Pernyataan Sikap

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) Tolak Revisi UU TNI dan Tolak Dwi Fungsi TNI

SERUAN AKSI MENDESAK “PEMBATALAN RUU TNI, TOLAK DWI FUNGSI TNI”

Kepada ; seluruh media elektronik/cetak nasional, publik/masyarakat, dan jaringan gerakan rakyat yang ada di seluruh indonsia.

Kembalinya dwifungsi ABRI adalah satu hal yang mengkhawatirkan. RUU TNI merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. Dwifungsi ABRI, yang pada era Orde Baru memberi peran ganda kepada militer dalam bidang pertahanan dan pemerintahan sipil, telah terbukti merusak prinsip demokrasi, akuntabilitas, serta hak asasi manusia. Ketika militer memiliki kewenangan di luar urusan pertahanan, seperti dalam urusan pemerintahan dan keamanan dalam negeri, maka mekanisme check and balance yang seharusnya dijalankan oleh lembaga sipil akan melemah. Hal ini menciptakan potensi penyalahgunaan kekuasaan, mengingat institusi militer tidak memiliki mekanisme akuntabilitas publik yang sekuat institusi sipil.

Jika TNI menjadi multifungsi, masyarakat sipil akan berada dalam posisi yang rentan karena harus berhadapan dengan institusi militer yang tidak hanya memiliki kekuatan senjata, tetapi juga otoritas dalam bidang politik dan pemerintahan. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kekuasaan harus memiliki batas dan mekanisme kontrol yang jelas. Namun, ketika seorang yang dipersenjatai juga memiliki pengaruh politik, maka masyarakat dapat kehilangan jalur hukum yang adil dalam menyampaikan aspirasi atau menyelesaikan konflik. Kritik terhadap kebijakan atau tindakan aparat bisa dianggap sebagai ancaman, yang berpotensi direspons dengan pendekatan koersif alih-alih dialog atau mekanisme hukum yang adil. Ini mengancam kebebasan berekspresi dan mempersempit ruang demokrasi bagi warga negara.

Pembahasan revisi UU TNI oleh Komisi I DPR RI berlangsung secara terburu-buru dan minim transparansi, menimbulkan kekhawatiran akan abusive law making. Dalam waktu hanya tiga hari, yaitu pada Senin, 17 Maret 2025, DPR sudah memulai perumusan dan sinkronisasi RUU ini dalam rapat Timus dan Timsin. Kemudian, pada Selasa, 18 Maret 2025, hasil perumusan tersebut langsung dibahas dalam rapat Panja, diikuti dengan Rapat Kerja Komisi I untuk pengambilan keputusan tingkat I pada hari yang sama. Akhirnya, tanpa melalui pembahasan yang melibatkan masyarakat secara luas, revisi UU ini dijadwalkan untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025, hanya tiga hari setelah pembahasan awal. Proses yang seharusnya melibatkan kajian mendalam dan partisipasi publik justru dijalankan dengan tergesa-gesa, tanpa memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk berkontribusi secara substansial.

Revisi UU TNI mencakup tiga pokok perubahan yang signifikan terkait dengan kedudukan, peran, dan masa dinas prajurit TNI. Pasal 3 dalam draf revisi mengatur bahwa TNI berada di bawah presiden dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer. Namun, dalam aspek kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI harus berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan perdebatan mengenai sejauh mana koordinasi dengan Kementerian Pertahanan dapat mempengaruhi independensi operasional TNI dalam struktur pemerintahan.

Selanjutnya, Pasal 47 mengalami perubahan signifikan terkait dengan peran TNI dalam instansi sipil. Jika sebelumnya hanya 10 kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif, dalam revisi ini jumlahnya bertambah menjadi 15 institusi. Lima tambahan tersebut mencakup Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kejaksaan Agung. Perluasan ini menimbulkan kekhawatiran terkait dengan meningkatnya peran militer dalam ranah sipil, yang dapat mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan fungsi pemerintahan sipil.

Terakhir, perubahan dalam Pasal 53 mengatur batas usia pensiun bagi prajurit TNI. Dalam draf revisi, batas usia pensiun bagi perwira ditetapkan maksimal 60 tahun, sementara bagi bintara dan tamtama adalah 58 tahun. Perubahan ini bertujuan untuk memperpanjang masa dinas prajurit sebelum memasuki pensiun, yang dapat berdampak pada regenerasi kepemimpinan di dalam tubuh TNI serta keseimbangan antara kebutuhan organisasi dan efektivitas personel.

Di samping isu mengenai perluasan jabatan sipil, penggunaan kekuatan militer, dan juga aturan mengenai operasi militer non-perang, rancangan undang-undang ini juga masih mempertahankan inti dari doktrin dwifungsi ABRI: komando territorial. komando teritorial adalah inti dari dwi-fungsi. Masyarakat sipil telah belajar banyak dari sejarah rezim Orde Baru dan sistem komando teritorialnya. Sistem ini dipertahankan sebagai basis kekuatan angkatan bersenjata di daerah-daerah, yang memungkinkan mereka untuk mengakses sumber-sumber ekonomi di akar rumput (berhadapan dengan rakyat) dan mempertahankan peran mereka sebagai pemain penting dalam politik lokal. Ini memungkinkan militer untuk mengakses pendanaan ilegal di luar APBN. Menciptakan negara di dalam negara, dan revisi UU TNI menguatkan upaya tersebut.

Dampak Dalam Pengesahan RUU TNI

Bagi Gerakan Rakyat Pro Demokrasi ; Buruh, Petani, Nelayan, Mahasiswa, Pelajar, Perempuan, Masyarakat Adat dan Lingkungan. Fungsi TNI kini lebih bisa dikatakan sebagai pelindung penguasa dan para pemilik modal. Tidak jarang prajurit TNI masuk pada Konflik Agraria,  menjaga lokasi pabrik saat aksi-aksi protes buruh, menjaga kampus-kampus untuk meredam gelombang aksi mahasiswa dan lainnya.

Bagi perempuan dampaknya bisa jauh lebih buruk, cara-cara kekerasan yang menjadi ciri ideologi militer, mulai dari intimidasi hingga kekerasan seksual menyasar tubuh paling rentan yaitu perempuan. Hal ini akan mendukung eksploitasi lebih besar pada tenaga kerja perempuan. Kontrol terhadap tubuh perempuan mulai dari rumah hingga ruang kerja akan dapat dilakukan dengan mudah oleh militer jika revisi UU TNI disahkan.

Untuk itu kami Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menuntut kepada DPR RI, Pemerintah dan Rezim Prabowo-Gibran ;

  1. Menghentikan semua pembahasan yang dilakukan mengenai RUU TNI,
  2. Tidak melakukan pengesahan RUU TNI dengan alasan apapun demi Reformasi dan Demokrasi,
  3. Mengembalikan TNI pada fungsi sejatinya sebagai institusi pertahanan Negara bukan tempat untuk mengurusi persoalan sipil ; ekonomi, politik, dan kebijakan rakyat yang dilakukan lembaga negara.
  4. Menarik semua Perwira TNI aktif yang mengisi jabatan politis lembaga negara tanpa terkecuali dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan Undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Demikian Press Release ini disampaikan kepada seluruh media elektronik/cetak nasional, publik/masyarakat, dan jaringan gerakan rakyat yang ada di seluruh indonsia.

Narahubung ;

Sunarno (Konfederasi KASBI), +62 812 8064 6029, Ilhamsyah (KPBI), +62 812-1923-5552, Martin (KPR) +62 857 6175 4198, Ajeng (Perempuan Mahardika) +62 811 1313 760, Isnur (YLBHI) +62 815 1001 4395

Organisasi yang tergabung dalam Aliansi Gebrak ;

Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), Federasi Pelajar Indonesia (FIJAR), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Federasi Serikat Buruh Makanan & Minuman (FSBMM), Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Federasi Pekerja Industri (FKI), Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Greenpeace Indonesia (GP), Trend Asia (TA), Aliansi Jurnalis Independent (AJI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), BEM STIH Jentera, Serikat Pekerja Kampus (SPK), Rumah Amartya, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Perempuan Mahardhika, Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), Kesatuan Serikat Pekerja Medis dan Tenaga Kesehatan Indonesia (KSPMTKI), Perserikatan Sosialis (PS), Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN).

Loading

Comment here