Pada tahun 1953, melalui Kabinet Ali Sastroamidjojo, muncul usulan RUU Kewarganegaraan baru berdasarkan sistem aktif yang menggantikan UU undang Kewarganegaraan tahun 1946 yang berdasarkan sistem pasif. RUU Kewarganegaraan tersebut bertujuan untuk membuat sebanyak orang Tionghoa di Indonesia menjadi warga negara asing. Menteri Luar Negeri Sunario mengajukan usulan RUU tersebut dengan isi sebagai berikut: Pasal 1: Hanya penduduk keturunan asing yang sudah menetap di Indonesia selama tiga generasi diizinkan mengajukan permohonan untuk menjadi warga Negara Indonesia; Pasal 2. Yang mendaftar harus dapat membuktikan bahwa orang tuanya lahir di Indonesia dan telah tinggal di Indonesia selama 10 tahun berturut-turut.
Dua pasal di atas mendatangkan protes keras dari masyarakat Tionghoa dan anggota-anggota DPR berketurunan Tionghoa. Permasalahan RUU ini menyadarkan masyarakat Tionghoa akan perlunya suatu badan yang dapat menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan mereka.
Pada awal tahun 1954, Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) memutuskan untuk membentuk organisasi masa yang disokong oleh seluruh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Nama yang diusulkan untuk organisasi tersebut adalah Badan Permusyawaratan Warga Negara Turunan Tionghoa, disingkat Baperwatt. Para peserta rapat berpendapat bahwa jabatan ketua organisasi sepatutnya dipangku oleh seorang yang sudah aktif dalam kancah nasional dan dekat dengan DPR.
Disebutlah nama Siauw Giok Tjhan sebagai kandidat, selain dekat dengan DPR, ia juga ia bekerja erat dengan berbagai tokoh Nasional dari berbagai aliran. Sejak menginjak usia 18 tahun, Siauw Giok Tjhan telah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan gerakan politik (setelah kemerdekaan), sebuah profesi yang dianggap “onghiam” atau berbahaya bagi banyak orang Tionghoa.
Awalnya, Siauw menolak untuk menjadi ketua, ia bahkan enggan bergabung dengan organisasi yang hendak dibentuk. Ia tak sepakat dengan nama “Baperwatt” karena mengandung kata Tionghoa. Juga Siauw mengusulkan penggunaan “kewarganegaraan” karena menganut paham Nation Building yang memerlukan kewarganegaraan. Di sisi lain, nama “Baperwatt” disetujui oleh Yap Thiam Hien dan pimpinan PDTI. Menurut mereka, kata “Tionghoa” patut disertakan untuk mempertegas golongan mana yang mereka bela. Setelah dilakukan perdebatan, diputuskan untuk mengganti Baperwatt menjadi BAPERKI; Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Siauw Giok Tjhan terpilih secara bulat sebagai ketum dari BAPERKI dengan Oei Tjoe Tat, Khoe Woen Sioe, Thio Thiam Tjong (Jakarta), dan The Pek Siong (Surabaya) sebagai wakilnya. Diatur dalam Pasal 3 Anggaran Dasar, organisasi ini memperjuangkan pelaksanaan cita-cita nasional; asas-asas demokrasi dan hak asasi manusia; dan realisasi persamaan hak, kewajiban, serta kesempatan untuk maju bagi setiap warga negara tanpa memandang keturunan, budaya, adat, maupun agama.
Di bawah kepemimpinan Siauw Giok Tjhan, BAPERKI tumbuh menjadi organisasi massa yang secara efektif melawan diskriminasi rasial melalui intervensi politik. Pokok perjuangan Siauw (dan BAPERKInya) yaitu untuk mewujudkan pembangunan “Nation” Indonesia yang menurutnya berkaitan dengan motto Bhinneka Tunggal Ika serta sosialisme ala Indonesia, sebuah gagasan yang diformulasikan Presiden Soekarno dan berdasarkan UUD-45.
Pada 12 Maret 1963 muncul Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Ini adalah organisasi yang dibangun dengan tujuan menyaingi pengaruh BAPERKI. Para pendiri LPKB antara lain Sunario, Radius Prawiro, Harry Tjan Silalahi, Junus Jahja, Sindhunata, Soe Hok Gie, Cosmac Batubara, dan Jakob Oetama. LPKB yang didukung oleh Angkatan Darat mengusulkan asimilasi dimana orang-orang Tionghoa harus betul-betul melebur dengan kebudayaan lokal. Ini berarti Tionghoa menanggalkan semua budaya Tionghoa, mengganti namanya dan kawin campur. Asimilasi paksa kemudian dijalankan oleh Rezim Militer Orde Baru dengan membuat berbagai peraturan.
Siauw menegaskan bahwa BAPERKI menganut konsep integrasi dan menentang asimilasi. Dengan integrasi, orang Tionghoa tidak perlu mengganti nama mereka menjadi nama Indonesia. Mereka juga tidak akan dipaksa untuk mengganti agama atau meninggalkan tradisi dan perayaan Tionghoa. BAPERKI tak hanya menghendaki Tionghoa untuk diakui sebagai kelompok etnis tersendiri di Indonesia, namun juga sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang dapat berpartisipasi dalam Nation Building atau pembangunan bangsa. BAPERKI memilih etnis Tionghoa masuk dalam pluralitas yang membuat Indonesia negara multikultural. Indonesia dilihat sebagai Nation yang memiliki banyak suku bangsa yang semuanya menjadi bagian dari Indonesia.
Pada kongres ke-2 yang diselenggarakan di bulan Agustus 1954, BAPERKI mengambil keputusan untuk ikut serta dalam Pemilu 1955. Mereka berhasil menempatkan satu perwakilan dalam kursi DPR, yaitu Siauw Giok Tjhan. Dengan jabatannya di DPR, Siauw memperjuangkan kewarganegaraan masyarakat Tionghoa dengan menentang berbagai peraturan pemerintahan yang mengandung unsur-unsur diskriminasi sosial. Usahanya termasuk memperjuangkan dibuatnya undang-undang dan Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan yang menjamin sebagian besar penduduk Tionghoa kelahiran Indonesia menjadi WNI. Pada tahun 1965 usaha Siauw terbayarkan, sebagian besar orang Tionghoa yang lahir di Indonesia diberikan kewarganegaraan Indonesia.
Selain dalam kancah politik, BAPERKI juga turut memperjuangkan hak warga Tionghoa dalam pendidikan. masalah kewarganegaraan. Pada tanggal 6 November 1957, Menteri Pertahanan kabinet Djuanda mengeluarkan undang-undang yang melarang warga negara Indonesia belajar di sekolah-sekolah asing. Peraturan ini menargetkan anak-anak etnis Tionghoa yang bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa. Dilarangnya sekolah asing bagi murid WNI mengakibatkan puluhan ribu anak terkatung-katung karena tak kebagian bangku di sekolah. Menanggapi masalah ini, Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan dan membuka sekolah-sekolah untuk anak-anak tersebut. Namun masalahnya tidak selesai sampai situ. Bangku di universitas-universitas negeri sangat terbatas karena adanya sistem jatah bagi etnis Tionghoa. Akibat desakan dari para pimpinan BAPERKI, Siauw akhirnya terdorong untuk mendirikan Universitas Baperki, dengan Dr. Ferdinand Lumban Tobing sebagai rektor pertamanya. Pada tahun 1962, Universitas Baperki mengganti namanya menjadi Universitas Res Publica, disingkat URECA. URECA menampung banyak anak-anak berkewarganegaraan asing yang tak dapat melanjutkan studi di universitas negeri atau belajar di luar negeri.
Dalam usaha-usaha melawan diskriminasi rasial, BAPERKI mendapat banyak dukungan dari Soekarno dan PKI. Selain ada beberapa anggota BAPERKI yang bergabung dengan PKI, terdapat kedekatan antara kedua organisasi tersebut yang ditandakan dengan hubungan timbal balik. D.N. Aidit menyatakan bahwa baginya, BAPERKI merupakan alat revolusi yang baik dan bisa selalu diandalkan, dan PKI akan selalu membantu BAPERKI dalam melawan rasisme. Sedangkan BAPERKI sering kali membantu kegiatan-kegiatan demonstrasi PKI dengan mengirim bantuan berupa massa, transportasi dan dana.
Pada malapetaka tahun 1965, organisasi massa yang dianggap terafiliasi dengan PKI turut dibinasakan, tak terkecuali BAPERKI yang di dalamnya mencakup Perhimpunan Mahasiswa Indonesia, Permusyawaratan Pemuda Indonesia, dan Universitas Res Publica. Anggota BAPERKI yang bergabung dengan PKI dan Pemuda Rakyat ditangkap terlebih dahulu. Mereka dipenjara tanpa pengadilan. Begitu pula Siauw Giok Tjhan yang menjadi tahanan dari 1968-1978. Sebagian besar dari keanggotaan BAPERKI dan simpatisannya tidak ditangkap. Sebagai gantinya, mereka dijadikan korban pemerasan oleh penguasa militer. URECA (Universitas Res Publica) berakhir dibakar pada pertengahan Oktober tahun itu. Kemudian diambil alih oleh Yayasan Trisakti yang mengubah namanya menjadi Universitas Trisakti. Sedangkan sekolah-sekolah BAPERKI disulap menjadi ruko-ruko dan perkantoran tanpa kejelasan status hukumnya.
ditulis oleh Theia, anggota Resistance
Comment here