Menjelang kejatuhannya, Rezim Militer Orde Baru melancarkan operasi penculikan (serta pembunuhan) aktivis. Sampai sekarang masih ada 13 aktivis yang masih hilang. Mayoritas dari mereka adalah kader dari Partai Rakyat Demokratik dan organisasi-organisasi di bawahnya. Salah satunya adalah Herman Hendrawan. Sosok yang dipandang diantara gerakan-gerakan pada saat itu.
Herman Hendrawan adalah seorang mahasiswa Universitas Airlangga yang lahir 19 Mei 1971 di Pangkal Pinang. Dibesarkan dari ayah yang disiplin keras terutama pendidikan agama, politik tetap diminatinya sejak kecil dan menemukan misinya saat kuliah di FISIP UNAIR pada 1990. Herman mencoba banyak aktivitas yang dilibatkan untuk mencari panggilannya mulai dari Paduan Suara, Senat, HMI, FKMS dan juga sempat mendirikan LSM Surabaya Forum pada 1994.
Herman juga semakin dikenal setelah mengorganisir aksi besar advokasi pemecatan mahasiswa di UNAIR; melalui keterlibatan yang intens dengan diskusi Kelompok Belajar Mentari (KBM), Komite Mahasiswa Universitas Airlangga (KMUA) yang kemudian bertransformasi menjadi SMID cabang Surabaya. Dalam organisasi itu Herman belajar teori-teori kiri dan bersama Bimo Petrus dan Anom Astika adalah anggota yang paling menonjol soal pemahaman dan teori-teori tersebut. KMUA menjadi gerakan pengorganisiran mahasiswa yang aktif mengangkat isu-isu kebebasan akademis, biaya kuliah, kualitas intelektual dosen, sarana pendukung kuliah, berbagai fasilitas perkuliahan, pemecatan mahasiswa hingga perjuangan petani dan kekerasan militer.
Pergumulannya dengan teori ini, diakui oleh Herman sendiri, mengasah cara berpikirnya. Hasil pembelajaran, panduan teori revolusioner dan pengalaman represi, menghasilkan praxis pengorganisiran rakyat. Pertama, ia dengan Bimo aktif dalam agenda politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan semakin lantang dalam menentang Rezim Militer Orde Baru. Kedua, Herman berpartisipasi dalam aksi buruh PT Sritex bersama 60 aktivis lainnya pada tahun 1995 dimana ia ditangkap dan dipukul dengan senapan sampai luka kepala bocor. Selain itu Herman juga beberapa kali ditangkap akibat partisipasinya dalam gerakan aktivis lainnya. Pengalaman-pengalaman ini semakin membulatkan keyakinannya bahwa pembebasan rakyat hanya dapat terbuka dengan kunci perjuangan massa.
Dimulai pada 20 Mei 1996, terjadi sebuah aksi untuk mendinamisir dukungan PDI Pro Mega yang berjalan dari Monas ke Stasiun Gambir, “Gambir Berdarah.” Walaupun aksi pada 20 Mei itu dihentikan, perlawannya tidak surut dan dilanjutkan dengan mimbar bebas di Kantor DPP PDI. Setelah berhari-hari berlanjut; setelah banyak orasi dan didatangi massa, pengaruh dari aksi ini dilihat Soeharto menjadi berbahaya untuk menjadi gerakan yang lebih besar. Sehingga pada pagi hari 27 Juli 1996 lokasi mimbar bebas itu diambil paksa oleh militer dan PDI Soeryadi. Pengambilan itu menghasilkan 5 korban meninggal, 149 orang luka-luka, 136 ditahan dan 23 hilang secara paksa menurut KOMNAS HAM. Tetapi kemudian Menko Polkam Soesilo Soedarman mengkambing-hitamkan PRD sebagai dalang kekacauan itu dan PRD sebagai “reinkarnasi PKI.”
Meski sejumlah pemimpin PRD mendekam di penjara, kader-kader PRD yang tidak tertangkap berusaha menjaga api perlawanan. Mereka membentuk Komite Pimpinan Pusat (KPP) PRD yang bergerak secara klandestin atau bawah tanah. Dari bawah tanah, PRD menyusun tiga agenda utama: Membentuk tim pengacara untuk pembebasan kader yang dibui; penggalangan kampanye internasional; dan membentuk kembali organ-organ perjuangan legal maupun semi-legal.
Salah satu wujud dari agenda itu adalah pembentukan Komite Nasional untuk Perjuangan Demokrasi (KNPD). KNPD adalah komite rakyat sektoral yang didirikan oleh PRD, partai dimana Herman aktif, yang dikonsolidasi pada 14 April 1997. KNPD berfungsi sebagai ekstensi legal dari operasi PRD yang ‘bawah tanah’ untuk meningkatkan konsolidasi dan gerakan oposisi. Herman Hendrawan, dengan nama alias ‘Sadeli’, ditempatkan sebagai Ketua Departemen Kerjasama, yang memungkinkannya bersentuhan dengan kelompok-kelompok oposisi terutama masa PDI pro-Mega. Wujud intervensi lain lewat fenomena Mega-Bintang jelang Pemilu 1997 dengan melengkapi slogannya menjadi “Mega-Bintang-Rakyat”. Para kadernya mendistribusikan selebaran di kantong-kantong perlawanan terhadap Orde Baru. Boikot pemilu menjadi agenda besar PRD pada masa itu. Aksi-aksi massa juga dilakukan dengan mantel “Aksi Mega-Bintang-Rakyat”.
Ketika Krisis Ekonomi 1998 menghantam pada awal Juli 1997, PRD melakukan konsolidasi nasional. Pertemuan pada 30-31 Agustus 1997 itu dihadiri seluruh anggota kolektif Komite Pimpinan Pusat dan perwakilan dari masing-masing Komite Pimpinan Kota. Lahirlah program “Gulingkan Soeharto dengan Pemberontakan Rakyat”. Kata “pemberontakan,” sebagaimana dijelaskan dalam rilis PRD, lebih dekat dengan pembangkangan atau insureksi ketimbang huru-hara maupun kerusuhan. PRD pun berikhtiar menjadi pelopor yang hendak mendorong pemberontakan terorganisir sekaligus menghindarkan rakyat dari sentimen bernuansa rasial dan agama.
Pada 18 Januari 1998, ledakan bom terdengar dari unit 510 rumah susun Tanah Tinggi di permukiman padat Johar Baru, Jakarta Pusat. Di mata para petinggi militer Orde Baru, bom Tanah Tinggi adalah titik balik. Ia dianggap ancaman paling serius untuk menggagalkan Sidang Umum MPR pada Maret 1998, yang rencananya hanya mengetok palu untuk Soeharto menjadi presiden ketujuh kalinya. Ledakan bom itu juga jadi dalih untuk melakukan operasi Tim Mawar, satuan tugas dalam Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang menggelar operasi penculikan aktivis 1998.
Sebuah brief berisi nama-nama orang yang harus diamankan beredar di kalangan perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Brief itu bersumber dari penyelidikan atas barang sitaan di Tanah Tinggi. Mayjen Prabowo Subianto, saat itu Komandan Jenderal Kopassus kemudian dipecat dari dinas militer lantaran kasus penculikan aktivis, membenarkan hal itu.
Pada Februari-Maret 1998, horor penculikan, penyekapan, dan penyiksaan dilancarkan Rezim Militer Orde Baru. Selain empat kadernya kemudian turut hilang, PRD juga kehilangan seorang simpatisannya, Leonardus Nugroho Iskandar alias Gilang. Pada 23 Mei 1998, pengamen yang kerap terlibat dalam advokasi kaum miskin kota di Surakarta ini ditemukan tewas di hutan Watu Ploso, Magetan, Jawa Timur. Terdapat luka berlubang di dada, menembus jantung dan paru-paru, pada jasad Gilang.
Pada 12 Maret 1998, sebagai respon Sidang Umum MPR yang menetapkan Soeharto menjadi presiden ketujuh kalinya untuk periode 1998-2003, KNPD mengadakan konferensi pers di YLBHI. Herman hadir di konferensi itu. Sehari sebelumnya ia sempat bicara keras dalam wawancara dengan radio BBC dan beberapa minggu terakhir ia mengungkapan was-wasnya lantaran merasa dibuntuti dan kerap kali diteror. Berkali-kali ia ingatkan sejumlah kawan untuk waspada penuh. Setelah konferensi pers selesai; terakhir tampak di bawah halte Megaria. Pada 12 Maret 1998 Herman Hendrawan tidak pernah terlihat lagi, hilang dan tidak kembali sampai hari ini.
Saat diculik Herman dibawa ke Poskotis Markas Kopassus di Cijantung. Paling tidak ada 14 orang yang pernah disekap di Markas Kopassus Cijantung, tetapi hanya sembilan orang yang kembali dengan selamat. Waluyo Jati dan Faisol Riza bersaksi mengenali suara Herman dari lagu “Widuri” dan “Camelia” yang biasa dinyanyikan. Pius mengaku sempat mengobrol dengan Herman. Andi Arief pernah diberitahu oleh interogator bahwa ada orang bernama Herman. Teman satu lokasi penyekapan pernah diberitahu Herman akan dibawa ke Polda Metro Jaya. Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan bahwa Prabowo Subianto, saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus, bertanggungjawab terhadap penculikan para aktivis.
Herman Hendrawan adalah sosok dengan personalitas yang mencolok, menurut Lilik Hastuti Setyowatiningsih, aktivis aktif pro-demokrasi. Herman memiliki logat Bangka dengan campur Surabaya, lucu dan aneh; teman diskusi dan berantem yang asik dan baik, dapat diajak diskusi panjang yang tidak memandang waktu. Walaupun dengan pakaiannya dan jarang dicuci dan itu-itu saja dan lupa mencuci gelas kopi Herman adalah sosok yang percaya diri, tegas, disiplin; pribadi perawat, pandangan yang dimiliki pendukungnya di PRD dan kawan-kawan disekitarnya. Ia adalah seseorang yang berkomitmen, intens dalam pembelajarannya dan dalam aksinya, sampai tidak pulang ke orangtuanya karena banyak agenda yang perlu dilakukan. Tidak boleh kita memadamkan api cita-cita kader-kader terbaik ini. Jangan pernah putus asa, masih banyak yang harus dilakukan.
Xie Guan Liang, Simpatisan Perserikatan Sosialis
Tulisan ini dimuat Arah Juang cetak edisi 171, I-II Maret 2025
Comment here