“Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” Itulah pernyataan Pramoedya. Masalah keberanian atau nyali inilah yang hari ini tidak kita miliki. Bagaimana kita mau berjuang apabila tidak memiliki nyali. Runtuh semua. Setelah ruang Revolusi Demokratik berhasil dibuka, kita tak pernah bernyali untuk membuat partai alternatif yang besar. Kerja kita hanya menyalahkan partai borjuis. Kegemaran kita hanya menyalahkan oligarki. Sementara kita sendiri impoten, tak mampu membangun sebuah partai besar dengan tulangpunggung kaum buruh dan tani. Semuanya hanya perkara nyali.
Tak punya nyali menyusun ideologi perjuangan. Kita sudah mengenal Manifesto Komunis. Manifesto ini merupakan pengejawantahan dari ideologi gerakan Kiri di Eropa kala itu. Jelas di sana disebutkan bahwa “sejarah perjuangan manusia adalah sejarah perjuangan kelas.” Dari pernyataan itu kemudian diturunkan dalam kerja-kerja nyata membuat organisasi politik sebagai alat melakukan perjuangan kelas. Kita sudah mengenal Mukadimah Lembaga Kebudayaan Rakyat. Di dalamnya disebutkan bahwa “politik adalah panglima.” Ini sejalan dengan pernyataan Minke dalam Rumah Kaca bahwa “semua bertautan dengan politik.” Dari sana kemudian diwujudkan dalam penciptaan karya yang beraliran realisme sosialis. Sementara, gerakan perlawanan hari ini tak punya nyali untuk membuat manifestonya. Menerangjelaskan ideologi perjuangannya. Akibatnya, tak jelas apa yang mau diraih dan dituju.
Tak punya nyali melepaskan ego kelompok. Banyak sekali organisasi-organisasi yang menyatakan dirinya Kiri. Masing-masing berlomba menjadi paling Kiri. Tapi tak punya nyali untuk bersatu. Lebih suka bergerak sendiri-sendiri dengan isi kepala yang berbeda-beda. Padahal, tanpa persatuan ini tak mungkin mampu membangun organisasi yang besar. Organisasi politik yang besar adalah organisasi modern, bukan organisasi yang dibikin karena keinginan semata. Kalau kita membaca Tetralogi Buru karya Pramoedya dengan cermat, maka akan mendapati perjuangan sosok Minke untuk membuat organisasi modern. Ia mendatangi orang-orang satu persatu untuk kemudian membuat organisasi yang disebut Serikat Priyayi. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi Serikat Dagang Islam dan kemudian menjadi Serikat Islam. Kini tak ada yang memiliki nyali seperti Minke yang bersedia keliling dari satu tempat ke tempat lain untuk menyampaikan pentingnya membuat partai alternatif, dan bekerja untuk mewujudkannya.
Kita perlu belajar memiliki nyali dari Pramoedya. Pramoedya Ananta Toer adalah seorang sastrawan yang berani dan tangguh. Di tengah otoritarianisme rezim Orde Baru, karya-karyanya dibredel. Ia dipenjara tanpa proses peradilan, dan hak politiknya dicabut. Apa yang membuatnya istimewa? Pram menolak dijinakkan. Ia kerahkan segala tenaga untuk memukul balik Soeharto. Tidak sendiri, melainkan bersama gerakan rakyat dan banyak aktivis pro-demokrasi. Bukan dari balik meja, tapi dari aktivitas politik konkret. Cuplikan dari salah satu karya Pram memperjelas kerja politik yang dimaksud, bahwa “Manusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang di antara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia.”
Apa syarat-syarat untuk melahirkan “kenyataan baru”? Harus bekerja dikalangan buruh dan tani. Adakah nyali kita untuk melakukan itu. Kita tak punya nyali untuk turun ke bawah (turba). Kita lebih senang pergi diksusi atau seminar karena hal itu tak membutuhkan nyali. Cukup datang, duduk dan mendengarkan. Sementara untuk turba, nyali kita menjadi ciut. Berapa sering kita tidur, makan dan berbicara dengan buruh, tani dan kaum miskin perkotaan? Kalau menghitungnya kita akan malu sendiri. Tanpa adanya turba untuk melakukan kerja-kerja pengorganisiran, maka apa yang dikatakan Pramoedya bawa manusia bisa membuat syarat-syarat dan kenyataan baru akan menjadi jargon kosong semata. Semuanya harus diupayakan dengan bernyali seperti Arok dalam Arok Dedes yang memiliki nyali besar dalam melakukan pemberontakan sehingga dari bukan siapa-siapa bisa menjadi raja. Atau seperti Kartini dalam Panggil Aku Kartini Saja yang bernyali melawan feodalisme dan kolonialisme. Bisa juga seperti Saaman dalam Keluarga Gerilya yang bernyali membunuh bapaknya sendiri yang berkhianat pada Republik.
Kita paham bahwa musuh kita menjelmakan diri sebagai oligarki yang berorientasi pada akumulasi kapital dan sirkulasi kekuasaan yang hanya berpusar di antara mereka. Seturut dengan kebangkitannya, oligarki yang baru tumbuh meloloskan sejumlah paket kebijakan kapitalisme-neoliberal yang menyubordinasikan Negara di bawah fundamentalisme pasar; memprivatisasi berbagai sektor publik vital, seperti pendidikan dan kesehatan; dan mengerdilkan gerakan rakyat multi-sektoral. Kita membutuhkan nyali untuk menghadapi itu.
Upaya ini memerlukan strategi yang cerdas dan kolaboratif, serta komitmen untuk membangun kesadaran publik melalui pendidikan politik dan kampanye yang efektif. Strategi ini perlu dijalankan melalui jaringan solidaritas yang kuat di antara kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan visi dan misi: tidak tergabung dalam formasi pendukung “demokrasi” neo-orba versi oligarki hari ini, dan memiliki visi merebut kekuasaan negara dari tangan oligarki. Dan, tanpa nyali untuk mewujudkannya, semuanya itu hanya akan menjadi kata-kata kosong semata.
Pramoedya dalam esainya Tendesi Kerakyatan menyatakan bahwa kita perlu menghilangkan sifat turis. Artinya, kita bukan sekadar menjadi penonton dan penikmat dinamika politik semata. Kita perlu turun langsung ke dalam gelanggang pertarungan. Untuk itu kita membutuhkan nyali sebagai petarung. Adakah nyali kita untuk itu?***
ditulis oleh Dika Moehammad, Panitia Penyelenggara Peringatan Satu Abad Pramoedya Ananta Toer, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Saat ini Dika menjabat sebagai Sekretaris Nasional Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
Comment here