Pada Kamis (20/2) dua personil band Sukatani, Twister Angel dan Alectroguy, mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri dan menyatakan menarik lagu ciptaan mereka berjudul “Bayar Bayar Bayar.” Pernyataan tersebut tidak bisa dilepaskan dari intimidasi yang dilakukan oleh kepolisian. Sebelumnya empat polisi anggota Direktorat Reserse Siber (Ditressiber) Polda Jawa Tengah mendatangi personil band Sukatani tersebut. Vokalis Sukatani juga diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru SD akibat surat dari kepolisian kepada sekolahnya tempat mengajar.
Intimidasi, bully hingga pembunuhan sudah sering dilakukan oleh kepolisian. Sebelumnya kita bisa mengingat Gamma, seorang pelajar di Semarang ditembak mati oleh polisi Aipda Robig Zanudin. Di hari yang sama, Beni seorang petani di Bangka Barat ditembak mati oleh anggota Brimob yang menjaga kebun kelapa sawit PT BPL. Dua kasus ini memiliki pola yang sama setelah terungkap oleh publik secara luas. Masing-masing kepala kepolisian yang mengusut, mengatakan bahwa dua orang tersebut telah melakukan perbuatan pidana terlebih dahulu. Gamma, dituduh tawuran pelajar. Sedangkan Beni, dituduh mencuri tandan buah sawit. Masih mengingat kasus Alm. Brigadir Yosua yang ditembak mati oleh Ferdy Sambo? Polisi juga menyatakan bahwa Alm. Brigadir Yosua menembak lebih dulu Ferdy Sambo, namun dalam investigasi yang diulang justru mengungkap bahwa Yosua dilucuti lebih dahulu senjatanya sebelum dieksekusi.
Rakyat sudah banyak mendapatkan berita intimidasi hingga pembunuhan yang dilakukan oleh polisi. Khusus tembak mati, YLBHI misal mendata setidaknya sekitar 94 orang mati selama 2019 – 2024. Itu termasuk Randy dan Yusuf yang dibunuh polisi karena ikut dalam barisan massa aksi #ReformasiDikorupsi tahun 2019. Termasuk pula warga Parigi yang ditembak karena polisi karena menolak tambang. Di Papua, banyak fenomena yang menunjukkan orang Papua ditembak di tempat karena dianggap “merusuh” di bawah pengaruh alkohol, dianggap bagian dari tentara sipil Papua Barat, atau “bersekongkol dengan para separatis”. Menanggapi tingginya angka pembunuhan tersebut, organisasi-organisasi seperti NGO banyak bersikap untuk mereformasi kepolisian, reformasi sistem acara pidana, dan juga mengaudit penggunaan senjata api. Kita perlu mengingat bahwa masalah polisi tidak hanya berhenti pada keaktifan mereka memproduksi seorang pembunuh dan anjing penjaga kelas berkuasa. Polisi era Reformasi di Indonesia juga menjadi pemain dalam sektor bisnis. Baik mereka yang bermain di bisnis tambang, kasino, hingga narkoba.
Dari Mana Mereka Lahir?
Menelusuri proses sejarah berdirinya institusi kepolisian di era negara-bangsa modern adalah langkah pertama yang harus dilakukan dalam daftar ini. Di Eropa, kelahiran polisi terbagi menjadi tiga tahapan (Neocleous, 2000). Pertama, terdiri dari “tindakan reaktif ad hoc … untuk mempertahankan struktur tata krama yang terancam oleh pembusukan sistem produksi perkebunan yang ada dan krisis yang dipicu oleh Reformasi”; dua, ‘bentuk intervensionis yang lebih aktif dan sadar akan peraturan sosial yang didasarkan pada prinsip ketertiban yang baik’ yang muncul setelah Perang Tiga Puluh Tahun dan diekspresikan dalam kameralisme (cameralwissenschaft) dan ilmu kepolisian (polizeiwissenschaft) di wilayah berbahasa Jerman dan merkantilisme di tempat lain di Eropa; dan, tahap ketiga, reduksi liberal kepolisian menjadi penegakan hukum, yang dimulai pada akhir abad ke-18 dan dikonsolidasikan sepenuhnya pada abad kesembilan belas.
Di Indonesia sendiri, kemunculan polisi pertama kali lahir dari cangkokan kolonialisme 10 tahun setelah Domeinverklaring 1870 (Peluso, 1992). Pada masa ini, institusi polisi hutan yang pertama kali dibentuk untuk mengamankan tanah dan kontrol tenaga kerja di bawah institusi bernama Forest Service. Reformasi kepolisian di Hindia-Belanda kemudian terjadi di awal abad ke-20 ketika kekuatan kolonial menghadapi gerakan nasionalisme yang menguat (Shiraishi, 2019; 2021). Reformasi ini adalah ekspresi perasaan tidak aman kolonial Belanda (Sutherland, 1979) dan menandakan aktifnya fungsi pemolisian-politik di Hindia-Belanda (Shiraishi, 2021). Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa sebagian besar personel kepolisian merupakan seorang pribumi. Jauh sebelum itu institusi semacam kepolisian telah lama muncul di bawah pengampuan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) (Rossum, 2018). Di zaman ini, para narapidana adalah sumber kapital karena merupakan tenaga kerja produksi komoditas dan sumber tenaga kerja proyek infrastruktur.
Peran polisi modern di masa kolonial tidak hanya sebagai alat negara untuk menghancurkan gerakan politik nasionalisme – sesuatu yang sering dikonotasikan sebagai suatu tindakan tanpa ampun. Namun, kemunculan institusi kepolisian modernjuga menunukkan wajah negara kolonial yang lemah. Bagi negara penjajah semacam ini, institusi kepolisian juga difungsikan untuk memproduksi nilai-nilai “etis” berbarengan dengan kebutuhan untuk semakin memperbaiki ke arah bukan hanya efektif namun profesional dan tercerahkan, otoritatif dan peduli. Mereka adalah lembaga yang juga aktif memproduksi nilai-nilai “beradab” (Bloembergen, 2011; Dekker, 1938,).
Di masa Jepang, sangat sedikit literatur yang membahas peran polisi dalam dinamika kenegaraan. Berbagai literatur bahkan sering bertentangan. Ada yang menyatakan bahwa Jepang melucuti sebagian besar polisi dari aksesnya terhadap senjata (Groen, 1985; Van Delden, 1989). Namun terdapat fakta yang juga menandakan bahwa Inspektur Polisi Hoegeng memiliki atasan seorang berkebangsaan Jepang–fakta yang ditandai dari peristiwa ketika Hoegeng mempertanyakan larangan pengibaran bendera Merah Putih ketika Jepang mengalami kekalahan Perang Dunia Kedua (Siong, 2001). Terlepas dari itu, mengikuti arus politik nasionalisme, para polisi pribumi menunjukkan ketertarikannya pada politik. Praktis, ambiguitas yang melingkupi batas antara politik dan administratif, menjadi warisan setelah masyarakat Indonesia memperoleh kemerdekaannya.
Di bawah Sukarno, praktis polisi Indonesia adalah institusi peninggalan kolonial namun untuk tujuan menuntaskan proses dekolonisasi. Di bawah Sukarno juga, institusi kepolisian digabungkan dengan ABRI pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di masa Soeharto, polisi memiliki Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Struktur terbawah teritorial kepolisian yang mirip dengan Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Matasani, 2024). Rasionalisasi ekonomi Orde Baru pasca-1965 di Indonesia mengingatkan kita pada dorongan sempit terhadap produktivitas pada masa kolonial Beamrenstaar (Sutherland, 1979). Artinya, kepolisian juga didorong utuk aktif dalam urusan produktifitas ekonomi namun perannya hanya sebagai anjing penjaga modal.
Polri Reformasi: Satuan Penguat Investasi, Pelaku Bisnis, dan Partai Politik
Polisi Reformasi berjalan di atas kebanggaan menjadi institusi yang independen dan otonom. Bagi mereka, institusi yang independen merupakan kemenangan penting setelah tiga dekade berdiri di bawah bayang-bayang ABRI. Bukan tanpa pengawasan, Polri era Reformasi berada secara langsung di bawah Presiden dan diawasi oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Namun presiden adalah individu, bukan badan yang memiliki kewenangan mengelola Polri. Kewenangan untuk mengelola institusi kepolisian ada di tangan Polri itu sendiri dalam hal merancang undang-undang, arah reformasi birokrasi, sekolah pengkaderan, mengelola anggaran hingga memobilisasi lembaganya di lapangan. Dengan kekuasaan ini, Polri telah membangun monopoli yang efektif.
Sepuluh tahun di bawah kekuasaan Jokowi, Polri didorong untuk lebih aktif mengurusi politik dan dibiarkan menari dalam praktek-praktek bisnis sebagai sumber pemasukan non-negara. Di banyak kesempatan, Jokowi mendorong Polri untuk turut terlibat dalam mengawal investasi (Rahma, 2020; Audita, 2021). Prakteknya membentang dari pengamanan objek fital nasional, industri ekstraktif ilegal, hingga ketertarikannya dalam politik sangat gamblang di depan mata. Mulai dari konflik Cicak vs Buaya hingga campur tangannya dalam mendukung salah satu calon dalam pemilu lima tahunan. Di akar rumput, seperti yang tak kunjung henti menjadi perhatian masyarakat sipil, polisi tumbuh menjadi institusi yang berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan oleh warga negara, hingga pelaku penyiksaan terhadap para tahanan (YLBHI, 2024) kriminal pidana kelas teri.
Banyak kalangan yang menyerang masalah-masalah dengan dorongan kepada negara untuk menegaskan kembali legitimasi sistem hukum pidana, netralitas lembaga, protokol lebih ketat, hingga penguatan pelatihan de-eskalasi satuan ketika menghadapi aksi. Hingga akhir-akhir ini, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan kembali menggulirkan wacana menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri atau dikembalikan di bawah payung Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Agne, 2024). Wacana menaruh Polri di bawah Kemendagri bukan ide baru. Muradi misal, mendorong ide modifikasi dimana pemerintah daerah dapat terlibat dalam alokasi pendanaan terhadap kepolisian (Muradi, 2008). Namun problem kepolisian jauh lebih rumit di Indonesia.
Baker (2012; 2015) menunjukkan bahwa masalah Polri berkait kelindan dengan ekonomi politik pembentukan objek kriminal dan tindakan-tindakan yang secara resmi dilarang oleh negara. Kemunculan Polri sebagai suatu institusi yang diberi wewenang penuh “menindak” kriminal kelas kakap, membuat institusi ini menjadi organisasi pemburu rente yang dominan dalam perkembangan relasi produksi kapitalisme di Indonesia masa Reformasi. Aliran uang haram ini terus terjadi di atas realitas bahwa anggaran negara terus bertumbuh setiap tahunnya. Menandakan bahwa isu kesejahteraan polisi bukanlah masalah seperti yang dinuansakan oleh Muradi. Ada perbedaan peran kepolisian di masa kolonial di bawah kekuasaan Hindia-Belanda dan Orde Baru dengan Refirmasi. Era Reformasi telah menciptakan institusi kepolisian yang orang-orang dengan pangkat tinggi di dalamnya menjadi kelas bojuis tersendiri yang memiliki kedekatan ekonomi dengan borjuis non-negara. Relasi bisnis mereka terjaga untuk tetap berjalan dengan mengandalkan prajurit rendahan sebagai barisan pengaman modalnya. Merubah kepolisian di Indonesia untuk lebih desentralis tidak akan memutus mata rantai tersebut. Kendati pemindahan tersebut kemungkinan besar akan mengikis dominasi executive heavy di tingkat pusat terhadap institusi kepolisian.
Program Transisional
Hal umum yang dapat ditarik dari rekaman sejarah polisi di negara kapitalis manapun, memahami institusi kepolisian harus ditempatkan dalam satu kardus yang besar mengenai relasi kepemilikan properti di satu sisi dan kemiskinan serta kemelaratan di sisi lainnya. Seperti yang dicatat oleh Engels (1884/1993), kapitalisme adalah “perang sosial” tanpa henti dimana norma-norma yang dikuatkan adalah pembenaran untuk “setiap orang menjaga kepentingannya sendiri dan berjuang hanya untuk dirinya sendiri.” Kemiskinan mayoritas masyarakat dan kesengsaraan rakyat jelata telah menghasilkan ancaman bagi kepemilikan pribadi dan sirkulasi modal. Maraknya pencurian, tidak peduli barang dari kelas mana yang diambil oleh cadangan tenaga kerja di masa kapitalisme, akan mengasilkan ketakutan tidak hanya bagi kelas borjuis, namun juga kelas buruh. Oleh karena itu, rakyat perlu diawasi–untuk dibuat aman–oleh negara. Sehingga, terlepas dari “bermain” atau tidaknya polisi dalam lingkaran bisnis secara langsung di satu negeri, mereka tetap instrumen penting keberlangsungan negara di bawah kepentingan kelas borjuis. Polisi Indonesia tidak lepas dari konsep umum tentang polisi ini.
Meskipun tatanan dan struktur politik, seperti kepolisian, tidak dapat dipungkiri dibentuk oleh dan terjalin dengan hubungan ekonomi, namun hubungan keduanya tidak dapat direduksi menjadi kausalitas linier yang sederhana. Oleh karena itu, analisis materialis terhadap kepolisian harus menolak determinisme ekonomi dalam bentuknya yang paling murni namun sebaliknya berfokus pada kondisi-kondisi konkret dan spesifik dari eksistensi sosial yang menjadi perantara interaksi dinamis antara basis ekonomi, aparat negara, dan mereka yang menjadi sasaran paksaan negara (Greenberg, 1994). Dalam konteks Indonesia, keterikatan polisi dalam lingkup bisnis berasal dari mandat mereka yang luas dalam ‘penegakan hukum’, sebuah kekuatan yang semakin diperkuat melalui integrasi mereka ke dalam perlindungan investasi modal. Otoritas ini tidak hanya mendukung kaum borjuis dengan menyediakan keamanan bagi perusahaan-perusahaan kapitalis, namun juga menarik para elit polisi – baik di tingkat daerah maupun pusat – sebagai pebisnis dan relasinya melampaui batas-batas formal kepentingan negara. Akibatnya, melihat polisi hanya sebagai aparat ‘fungsional’ yang melayani hubungan antagonistik antara borjuasi dan proletariat (Quinney, 1977) tidaklah cukup. Perspektif semacam itu berisiko jatuh ke dalam kerangka instrumentalis yang secara sempit menafsirkan kepolisian melalui lensa tujuan dan praktik politik, dan gagal menjelaskan perannya yang lebih luas dalam reproduksi hubungan kapitalis.
Di saat bersamaan, publik dipaparkan pada fenomena bahwa pencurian merupakan kejahatan yang paling masif di Indonesia, diikuti dengan penganiayaan, narkotika, penipuan, penggelapan (Ayuningtyas, 2024). Tingginya angka kejahatan di lingkungan sosial akan melegitimasi pembenaran institusi Polri dikuatkan, baik anggaran maupun sumber daya manusianya. Di sisi yang lain, Marx sendiri jauh-jauh hari telah mencoba mengantisipasi kecenderungan kriminolog liberal hari ini yang melihat sebuah tindakan pidana merupakan kejahatan individual. Ia menekankan, jika kita ingin memahami keterlibatan orang dalam kejahatan, kita harus melihat situasi sosial yang konkret di mana mereka berada. Sehingga, melihat tingginya angka pencurian membuat kita sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa penyebabnya adalah kemiskinan struktural. Lebih jauh lagi, menopang para kriminolog radikal hari ini, Engles juga menekankan bahwa kejahatan merupakan bentuk perlawanan, penolakan tunduk pada kesesuaian tatanan yang mapan, hanya saja kejahatan itu sendiri adalah ekspresi yang atomistik (terbatas) yang disebabkan oleh kapitalisme itu sendiri–sebagai konsekuensi dari perang sosial. Untuk itu, memperkuat institusi kepolisian adalah tambal sulam dalam kasus penghapusan kejahatan.
Untuk itu, penulis sepakat pada beberapa solusi yang dirangkum sebagai upaya reformasi. Hal paling penting dalam hal ini adalah menghapuskan regulasi-regulasi yang menopang mereka mengurusi bisnis dan politik. Ini dilakukan dengan mencabut posisi mereka yang berada di bawah Presiden, serta menghapus kebijakan-kebijakan yang secara langsung meng-halal-kan polisi melingkar menjaga aktivitas bisnis. Hal kedua adalah memotong anggaran mereka–sedalam dan sejauh mungkin. Hingga mereka tidak hanya tidak dapat membelanjakan anggaran negara untuk senjata setingkat militer tetapi juga mengaplikasikan senjata administratif yang mereka gunakan untuk menyelesaikan konflik sosial (penghapusan pasal-pasal yang mengkriminalkan seseorang dalam konflik struktural). Jika hal ini dapat terwujud, polisi akan berada pada posisi yang lemah.
Namun program-progam tersebut tidak dapat dipahami secara terpisah dari upaya untuk menghapuskan sistem masyarakat yang eksploitatif yang diiringi dengan represi tanpa henti dari kelas bermilik. Tanpa pemahaman ini, dorongan divest-reinvest (divestasi-menginvestasikan ulang) akan mudah untuk dikooptasi. Menginvestasikan ulang untuk apa? Investasi pada layanan sosial seperti yang ada saat ini? Meskipun upaya-upaya semacam itu tentu saja akan membuat perbedaan, namun hal itu tidak akan menantang kekuasaan modal dan negara modern. Sebaliknya, menghapuskan kekuasaan polisi membutuhkan pemikiran di luar prosa pengamanan dan mengkonseptualisasikan kembali layanan sosial dengan istilah-istilah yang secara eksplisit menantang relasi sosial dasar yang dipertahankan oleh relasi produksi eksploitatif, dalam berbagai bentuknya, yaitu: kepemilikan pribadi dan relasi upah. Dengan kata lain, proyek penghapusan institusi kepolisian yang positif akan membutuhkan investasi ulang dalam perawatan dan rekonstruksi kepentingan bersama, sesuatu yang secara fundamental akan menantang tatanan kapital.
Program-program investasi ulang ini membentang, bukan pada bantuan langsung tunai yang faktanya justru menguatkan relasi patron-klien antara warga dan (pejabat) negara, namun perluasan akses warga negara terhadap institusi pendidikan, dekomodifikasi layanan kesehatan dan perumahan layak bagi rakyat miskin. Dengan program-program tersebut, imajinasi masyarakat akan kebutuhan pokok tidak seharusnya dilimitasi aksesnya menjadi kesadaran umum, artinya menjadi penantang hegemoni yang berkembang hari ini: semua butuh duit! Hanya dengan cara ini, pondasi perang sosial ‘all against all’ akan terkikis. Peran polisi secara kultural dalam tatanan masyarakat dengan sendirinya akan berangsur-angsur terdelegitimasi. Serta pada akhirnya menghapuskan institusi kepolisian itu sendiri.
Ditulis oleh Riang Karunianidi, Anggota Resistance dan Kader Perserikatan Sosialis serta Dipo Negoro, Kader Perserikatan Sosialis.
References
Agne, Y. (2024, Desember 2). Pro Kontra Wacana Pemindahan Polri di Bawah Kemendagri. Tempo. https://www.tempo.co/politik/pro-kontra-wacana-pemindahan-polri-di-bawah-kemendagri-1176040
Audita, M. (2021, Februari 15). Jokowi ke TNI-Polri: Beri Kepastian Hukum untuk Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi. kimparan. https://kumparan.com/kumparannews/jokowi-ke-tni-polri-beri-kepastian-hukum-untuk-dongkrak-pertumbuhan-ekonomi-1vBOToJ0749/full
Ayuningtyas, A. D. (2024, July 16). Pencurian Jadi Kejahatan Paling Masif di Indonesia. GoodStats. https://goodstats.id/article/pencurian-jadi-aktivitas-kejahatan-paling-masif-di-indonesia-JbbSi
Baker, J. (2012, June 18). The Rise of Polri: Democratisation and the Polirical Economy of Security in Indonesia [Dissertation of Doctor in Philosophy]. London School of Economics and Political Science.
Baker, J. (2015, Mei 19). The Rhizome State: Democratizing Indonesia’s Off-Budget Economy. Critical Asian Studies, 47(2), 309–336. https://doi.org/10.1080/14672715.2015.1041282
Bloembergen, M. (2011, April). The Perfect Policeman: Colonial Policing, Modernity, and Conscience on Sumatra’s West Coast in the Early 1930s. Indonesia, 91(237), 165-191.
Class, state, and crime : on the theory and practice of criminal justice. (1977). David McKay Company.
Dekker, P. (1938). De Politie in Nederlandsch-Indie: Hare Beknopte Geschiedenis. Haar Taak, Bevoedheid, Organisatie en Optredem. Soekaboemi: Drukkerij “Insulende”.
Delden, M. C. v. (1989). Bersiap in Bandoeng: een onderzoek naar geweld in de periode van 17 augustus tot 24 maart 1946. Van Delden.
Engels, F. (1993). The Demoralization of the English Working Class. In D. Greenberg (Ed.), Crime And Capitalism: Readings in Marxist Crimonology (p. 48). Temple University Press.
Groen, P. M.H. (1985). “Patience and bluff”; De bevrijding van de Nederlandse burger geïnterneerden op Midden-Java (augustus-december 1945). Mededelingen van de Sectie Militaire Geschiedenis van de Landmachtstaf, 8, 91-154.
Matasani, P. (2024, Desember 07). Setelah Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa. historia.id. https://historia.id/politik/articles/setelah-jadi-abri-polisi-jadi-alat-politik-penguasa-DpZ5B/page/1
Muradi. (2008, Juni 25). Indonesia’s Police Force: Desentralisation for Better Welfare? [Commentaries]. RSIS.
Neocleous, M. (2000). The Fabrication Of Social Order: A Critical Theory of Police Power. Pluto Press.
Peluso, N. L. (1992). Rich forests, poor people : resource control and resistance in Java. University of California Press.
Quinney, R. (1977). Class, state, and crime : on the theory and practice of criminal justice. Dacid McKay Company.
Rahma, A. (2020, Januari 4). Jokowi Minta Aparat Jaga Investasi, Polri Terbitkan Aturan Ini. Tempo. https://www.tempo.co/politik/jokowi-minta-aparat-jaga-investasi-polri-terbitkan-aturan-ini-668136
Rossum, M. v. (2018, Agustus). The Carceral Colony: Colonial Exploitation, Coercion, and Contol in the Dutch East Indies, 1810-1940s. International Review of Social History, 63(S26), 65-88. 10.1017/S0020859018000226
Shiraishi, T. (2019). An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912–1926. Cornell University Press.
Shiraishi, T. (2021). The Phantom World of Digul: Policing as Politics in Colonial Indonesia, 1926-1941. Unknown Publisher.
Siong, H. B. (2001). The indonesian need of arms after the proclamation of independence. Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, 157(4), 799. https://www.proquest.com/scholarly-journals/indonesian-need-arms-after-proclamation/docview/1125122924/se-2
Sutherland, H. (1979). The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi. Asian Studies Association of Australia.
YLBHI. (2024, Juni 26). Presiden dan DPR RI Gagal Jalankan Mandat Konvensi Anti Penyiksaan, Lalai dan Lakukan Pembiaran Praktik Penyiksaan! [Siaran Pers]. YLBHI.
Comment here