Perempuan dan LGBT

Per(Sekutu)an atau Solidaritas?

Oleh Kerri Parke

Konsep “Persekutuan”, Allyship, dikemukakan sebagai suatu cara bagaimana orang-orang diluar kelompok tertindas tertentu dapat mendukung mereka mendorong tuntutan; tanpa disaat bersamaan “merebut ruang” kelompok tertindas tersebut. Di lain sisi, Kaum Marxis berargumen bahwa “Solidaritas” adalah cara kunci untuk memenangkan reforma-reforma; dan pada akhirnya untuk pembebasan rakyat tertindas. Dua konsep ini—”Persekutuan” dan “Solidaritas”—mungkin terdengar serupa. Akan tetapi, terdapat perbedaan-perbedaan penting dalam keduanya ketika ditinjau secara strategis mengenai perjuangan perubahan sosial.

Dalam inti konsep “Persekutuan” terdapat dalil bahwa dari pengalaman kaum tertindas itu sendirilah dapat secara langsung ditemukan semua hal tentang cara-cara untuk melawan penindasan yang terjadi. Tentu saja, pengalaman perjuangan dapat menjadi sarana dalam membangkitkan aktivisme. Namun, pengalaman tidak sama dengan suatu analisis politik. Dalam “Persekutuan” diasumsikan  bahwa kelompok tertindas itu sendiri secara otomatis—dan eksklusif— terberikan suatu otoritas secara politis oleh sebab itu merekalah yang dapat memutuskan persoalan strategi politik. “Persekutuan” berpendapat bahwa hal paling jauh yang dapat dilakukan mereka yang tidak mengalami secara langsung suatu penindasan tertentu hanyalah memberikan dorongan (semangat) dari pinggiran; atau, setidak-tidaknya tidak menyebabkan kerugian dengan “mengambil sorotan”  dalam kampanye melawan penindasan.

Identitas dibentuk oleh kapitalisme serta penindasan; namun, juga oleh perlawanan terhadap penindasan. Identitas “gay”, sebagian merupakan hasil dari proses perjuangan. Serta, “Kulit Hitam (Black)” digunakan-setidaknya dibeberapa bagian dunia-sebagai identifikasi politik bagi siapapun orang non-kulit putih yang mengalami rasisme. Ini adalah salah satu alasan kenapa orang berpikir bahwa identitas secara otomatis radikal.

Kendati demikian, untuk tiap-tiap kelompok identitas terdapat keragaman yang signifikan terkait posisi kelas, opini, serta pandangan politik; yang memunculkan ragam bentuk tanpa batas berbagai pengalaman dan reaksi terhadap penindasan. Bagaimana, kemudian, kita bisa mengetahui suara siapa yang  harus didengarkan di tengah-tengah lautan kontradiksi ide ini? Bagaimana mungkin hadir pengalaman dengan “otoritas kekal” ketika dua anggota kelompok tertindas yang sama memiliki pandangan yang berbeda?

Seringkali diklaim bahwa kelompok yang paling termarginalkan atau “interseksional”pada hakekatnya mewakili garda depan perjuangan dan harus menjadi “pusat” perhatian setiap saat karena mereka telah memenangkan “Olimpiade penindasan” (perlombaan tidak membantu, saling mengungguli antara satu individu atau kelompok dengan yang lainnya berdasarkan identitas untuk menentukan siapa yang paling tertindas). Kendatipun demikian, tidak ada korelasi antara marginalitas seseorang dan radikalismenya; hingga kini, banyak individu “interseksional” merupakan anggota partai Republik juga Liberal.

Kaum sosialis tentu saja akan sependapat dengan pandangan bahwa di dunia dimana penindasan membuat kepeloporan amat sulit untuk dibangun, kita harus mendorong rakyat tertindas dalam perjuangan mereka. Kendati demikian, ini tidak sama dengan berpendapat bahwa mereka yang tertindas dengan sendirinya memiliki strategi yang tepat dalam melawan penindasan. Kian hari di kalangan aktivis, siapapun yang menentang perspektif politik seperti ini diberikan label “pemaksaan”

Di sisi lain dari konsep sekutu,terdapat suatu cara penilaian terhadap orang-orang yang tidak tertindas. Penilaian ini menekankan bahwa yang tidak tertindas—secara sadar maupun tidak—berjalan dimuka bumi dengan serangkai hak-istimewa dan dianggap berpandangan bias terhadap kaum tertindas demi menjaga dan membenarkan hak-hak istimewa yang mereka miliki. Rasisme anti-Kulit Hitam semisalnya, dianggap lahir dari suatu hasrat terberi—di alam bawah sadar—orang-orang kulit putih untuk mendominasi Kulit Hitam. Reni Eddo-Lodge, dalam karyanya Why I’m No Longer Talking to White People About Race (Mengapa Saya Tidak Lagi Berbicara kepada Orang Kulit Putih Tentang Ras), berkata: “Rasisme merupakan persoalan orang kulit putih. Suatu persoalan kejiwaan orang kulit putih”.

Sementara, kaum Marxis berangkat dari titik mula yang sangat berbeda: penindasan mesti dilihat sebagai suatu fenomena struktural. Penindasan diciptakan dan dipertahankan kelas penguasa demi perluasan dan mengokohkan kekuasaan mereka atas kita semua. Pemikiran  rasis di kepala sebagian orang kulit putih berpangkal dari kalangan atas masyarakat sebab gagasan bigot membenarkan penindasan terhadap kelas buruh secara keseluruhan; serta, lebih spesifik terhadap kelompok identitas tertentu.

“Struktural” disini tidak dimaksudkan untuk menganggap kelembagaan sekedar terdiri dari sekelompok orang dengan sekumpulan prasangka personal belaka. Melainkan, mengacu pada cara lembaga-lembaga tersebut berfungsi dalam masyarakat untuk mengatur dan membela kapitalisme serta mempertahankan penindasan. Ras seseorang yang berada dalam suatu lembaga tidak banyak mempengaruhi seberapa rasisnya lembaga tersebut. Sebagai contoh, dalam kasus di Memphis, Januari lalu, kelima polisi yang didakwa bersalah atas pembunuhan Tyre Nichols adalah orang berkulit hitam.

Demikian pula, tidak ikut ditindas bukan suatu “hak-istimewa”. Dalam kata-kata Emma Dabiri, penulis What White People Can Do Next: From Allyship to Coalition (Apa yang Dapat Dilakukan Orang Kulit Putih Selanjutnya: Dari Persekutuan ke Koalisi), “hak berpenghuni yang layak, atau hak untuk berbelanja tanpa dibuntuti oleh petugas keamanan, bukanlah hak istimewa. Hal-hal tersebut merupakan hak bagi setiap manusia”.

“Teori hak istimewa” melupakan pembahasan satu kelompok yang (jelas-jelas) mempunyai hak istimewa: kelas penguasa. Orang-orang yang menimbun seluruh kekayaan, yang menentukan bagaimana produksi dikelola, serta yang menggenggam kekuasaan politik dalam masyarakat. Hak istimewa mereka itu diterima secara cuma-cuma. Kendati demikian, “teori hak istimewa” dan konsep “Sekutu” menekankan bahwa kelas buruh yang bukan bagian dari kelompok minoritas tertindas juga ikut diuntungkan dari berlangsungnya penindasan meskipun pada kenyataannya kelas buruh adalah kelas tertindas. Faktanya, kelas buruh merupakan kelompok terbesar yang mengalami penindasan dalam suatu masyarakat.

Argumentasi “teori hak istimewa”, karenanya, bertentangan dengan bukti yang ada. Telah dilakukan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa kelas buruh tidak diuntungkan secara materiil dari terjadinya penindasan; dan, pada kenyataannya mereka ikut menderita akibat perpecahan-perpecahan yang muncul dari penindasan terhadap kelompok identitas tertentu di dalam mereka. Misalnya saja, di negara bagian selatan Amerika Serikat, dimana rasisme lebih mengakar karena warisan perbudakan, buruh kulit putih dibayar lebih rendah dibanding di negara bagian utara. Setelah penelitiannya terkait persoalan ini, ahli Ekonomi Amerika Serikat, Michael Reich menyimpulkan bahwa: “semakin besar kesenjangan antara pendapatan orang kulit hitam dan kulit putih, maka semakin besar pula kesenjangan pendapatan di antara orang kulit putih”. Hanya para boslah yang pada akhirnya diuntungkan.

Rasisme dan kebigotan tidak muncul dengan sendirinya dalam kepala manusia, melainkan disebabkan dari kondisi-kondisi sosial yang diciptakan oleh kalangan atas masyarakat yang membuat sebagian orang mengadopsi pandangan terdistorsi tentang kehadiran kaum tertindas. Kendati demikian, menurut para penganut “teori hak istimewa” mereka yang teguh memegang pandangan anti-penindasan harus juga menyiksa diri-sendiri hingga dapat mengakui kebigotan bawaan—lahiriah—mereka  serta “mendekolonisasi pikiran mereka” sendiri.

Penilaian bahwa setiap orang adalah rasis dalam benak terdalamnya merupakan premis konyol yang sekedar menunjukkan kokohnya pesimisme dan kepasifan dalam inti-jiwa “teori hak istimewa”. Sebab: antara kamu memiliki hak istimewa dan diuntungkan status quo sehingga berarti tidak berkeinginan melawan penindasan; atau kamu memang menginginkan ikut serta melawan penindasan, tetapi tidak bisa karena itu akan berarti menyangkal sifat sejatimu sendiri. Serba salah mau melakukan atau tidak; terkutuklah semua di dua ujung persimpangan itu!

Selaras dengan kemampauan kapitalisme dalam mengkomodifikasi segalanya, beberapa orang telah berujung cukup kaya dengan menyelenggarakan lokakarya yang dirancang untuk meyakinkan para buruh kulit putih bahwa merekalah penanggungjawab atas penindasan yang diciptakan kapitalisme sendiri.

Konsep “Persekutuan” menekankan bahwa, karena orang-orang yang tidak tertindas tidak akan menyerahkan hak istimewa sosial mereka, mereka setidaknya harus menyerahkan kelebihan materiil mereka; seperti yang tercermin dalam tagar #paytherent (#bayar uang sewa). Kaum Marxis sangat mendukung agar terlangsungnya ganti rugi oleh pemerintah negara bagian dan federal, serta lembaga-lembaga nasional dan multinasional, untuk kehancuran antargenerasi kehidupan rakyat Aborigin. Beberapa aktivis sayap kiri juga memegang perspektif serupa. Tetapi, #paytherent semakin digunakan—bukan dalam artian merampas kembali kekayaan dari kelas kapitalis—dalam pemaknaan bahwa pekerja berpenghasilan sedikit lebih banyak sebaiknya menyerahkan sebagian penghasilannya lantaran dipandang ikut terlibat dalam tindakan-tindakan pemerintah—dan kelembagaan lainnya—karena banyak dari mereka termasuk dalam kategori identitas yang sama dengan para penindas.

Perspektif yang lebih luas ini dapat mewujud seperti dalam penuntutan kaum feminis agar para buruh laki-laki menerima pemotongan upah guna menutup kesenjangan upah berdasarkan gender, atau tuntutan pada orang kulit putih untuk memberikan uang mereka kepada rakyat kulit hitam. Penyokong konsep “Sekutu” bersorak-ria atas perkembangan tersebut sebagai suatu keberhasilan memastikan kompensasi. Kendati begitu, hal ini sesungguhnya membebaskan para bos dan pemerintah yang seharusnya dibebankan, dan justru menyondongkan perlawanan pada penindasan sebagai suatu strategi yang bersifat individu.

Para kapitalis paham betul bahwa solidaritas terhadap satu sama lain merupakaan bawaan bagi rakyat jelata. Kapitalisme tidak akan bisa bertahan hidup andaikan kondisi pemecah-belahan acak itu dihancurkan. Itulah sebabnya kelas penguasa sangat bersungguh-sungguh dalam mempertahankannya. Solidaritas adalah tindakan aktif melawan pemecah-belahan tersebut. Kaum Marxis berpendapat bahwa dalam praktek perjuangan perbaikan nasib melalui perlawanan secara aktif terhadap penindasan rakyat pekerja dapat mengatasi persoalan perpecahan yang dipaksaan itu; apapun identitas individu mereka. Banyak pengalaman sejarah telah menunjukkan bahwa hal ini jauh dari asumsi utopis.

Sebagai contohnya, pada tahun 1960an para buruh militan di pesisir selatan New South Wales menggunakan kekuatan industrial mereka untuk memperbaiki kondisi kerja serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat mereka secara keseluruhan Lalu, ketika rakyat Aborigin melakukan aksi duduk untuk mendapatkan hak minum di bar Wollongong atau dilayani di toko-toko lokal, para buruh bersolidaritas dengan para aktivis tersebut, menggunakan kekuatan industrial mereka untuk memberikan tekanan ekonomi pada bisnis-bisnis itu, dan dengan demikian mempercepat proses penghapusan segregasi di wilayah tersebut. Solidaritas para buruh berarti desegregasi terjadi dalam praktik jauh sebelum adanya perubahan hukum.

Menjelang meletusnya Perang Saudara Amerika Serikat, satu dari enam pekerja di Inggris bekerja di industri tekstil. Diantara mereka  luas tersebar pandangan luas bahwa wilayah Selatan Amerika sepatutnya didukung sebab dari sanalah kapas diproduksi, meskipun didasarkan sistem kerja-budak. Kendati begitu, mereka berhasil diyakinkan kaitan penghapusan perbudakan dengan perjuangan mereka di dalam negeri dalam menuntut kehidupan yang layak serta perluasan kebebasan.

Hal ini tidak terjadi secara otomatis dan harus melalui perdebatan kolektif; bukanlah suatu upaya “dekolonisasi” pikiran tiap individu. Karl Marx menghadiri rapat akbar pekerja di London kemudian dengan antusias menceritakan kesaksiannya mengenai buruh kepada rekannya, Friedrich Engels. Hal ini membantu membentuk teori penting yang menjadi dasar tradisi sosialis. Ia menyaksikan langsung konsep solidaritas internasional kelas buruh dalam praktik dan bagaimana perjuangan untuk tuntutan tertentu dapat melahirkan keberanian untuk perjuangan berikutnya. Perjuangan penghapusan perbudakan mendorong para buruh Inggris untuk melancarkan perjuangannya mereka sendiri. Konsekuensi langsung dari praktek solidaritas ini ialah bahwa para pemimpin gerakan kelas buruh Inggris dapat memperluas sendiri cakrawala mereka.

Para aktivis sayap kiri dalam kelompok Lesbians and Gays Support the Miners (Lesbian dan Gay Mendukung Para Penambang) menyadari akan kesamaan musuh dengan para pemogok tambang pada tahun 1984 di Inggris: yakni, pemerintahan Tory (nama lain dari Partai Konservatif di Inggris) yang dipimpin Perdana Menteri Margaret Thatcher. Mereka paham bahwa kemenangan para penambang akan melemahkan serangan Tory lebih lanjut terhadap komunitas mereka. Meskipun pemogokan yang berlangsung selama setahun berakhir dengan kekalahan, hubungan yang dibangun berdasarkan solidaritas menyebabkan terjadinya perubahan pandangan orang-orang dari kedua kelompok itu.

Beberapa bagian dari komunitas LGBTI menjadi lebih semangat dan terpolitisasi akibat keterlibatan mereka dalam pemogokan tersebut dan dampak bagi mereka sendiri terasa dalam mobilisasi penolakan pada Section 28 (sebuah undang-undang Inggris yang melarang “promosi terhadap homoseksualitas”) beberapa tahun kemudian. Serikat Buruh Tambang Nasional menyerukan agar Dewan Serikat Buruh dan konferensi Partai Buruh untuk secara aktif mendukung perjuangan kaum gay dan lesbian, dan menuntut agar hal itu ditanggapi secara serius sebagai sebuah isu serikat buruh.

Pelajaran dari semua contoh solidaritas ini cukup jelas: kamu harus memahami keberpihakanmu; pengalaman perjuangan memberi semua yang terlibat peningkatan kepercayaan-diri mereka; cengkeraman ideologis borjuis dapat kita hancurkan; dan, rakyat menjadi yakin mereka dapat menang ketika mereka dapat merasakan kekuatan mereka sendiri.

Penindasan terus berlanjut seiring kapitalisme masih kokoh. Kedati begitu, selama penindasan berlangsung, akan ada perlawanan terhadapnya. Solidaritas kelas buruh sebagai kewajaran mulai terlupakan seiring dengan menurunnya perjuangan kelas dalam 30-40 tahun kebelakang, tapi gelombang pemogokan akhir-akhir ini di Inggris dan Perancis menunjukkan bagaimana perwujudan solidaritas yang dimungkinkan serta bagaimana perubahan dapat dimenangkan.

Konsep “Sekutu” mengarahkan mereka yang ingin melawan penindasan untuk berfokus pada diri sendiri dan melihat pilihan individu sebagai solusi. Kendati demikian, sebagaimana yang kini diterima secara luas bahwa keep-cup (kampanye yg diawali oleh perusahaan KeepCup Australia yang menggalakan peminum kopi yang sadar lingkungan untuk sebaiknya mengganti cangkir sekali pakai sehari-hari dengan cangkir yang dapat digunakan beberapa kali) tidak akan menyelamatkan planet ini dari kerusakan iklim, maka harus diakui bahwa sekutu individual sebagai sebuah strategi politik tidak dapat memajukan perjuangan melawan penindasan. Solidaritas mengajarkan bahwa tidak seorang pun bebas sampai kita semua bebas, dan bahwa kebebasan kita terkait erat dengan kebebasan semua yang tertindas.

Naskah diambil dari website Red Flag . Dapat diakses melalui Allyship or Solidarity? dimuat pada 23 Mei 2023. Diterjemahkan oleh Vogysta dan Fabian, anggota Komite Persiapan Organisasi Kaum Muda Sosialis Denpasar.

Loading

Comment here