7 Desember 1975, rezim kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Harto meluncurkan Operasi Seroja. Operasi Seroja mengerahkan pasukan militer untuk menginvasi dan mencaplok Timor Leste demi menggulingkan pemerintahan Front Revolusioner untuk Timor Leste Merdeka (Fretilin) serta mencaploknya. Dari 7 Desember 1975 ke 17 Juli 1976, 35 ribu tentara Indonesia dikerahkan dan membunuh, melukai, atau menangkap 100.000 – 180.000 jiwa termasuk rakyat sipil.
Sebelum dicaplok Indonesia, Timor Leste baru memerdekakan diri dari penjajahan Portugis. Tahun 1915 Imperialis Belanda membuat perjanjian dengan Imperialis Portugis untuk membagi-bagi pulau Timor. Timor Barat dijajah Belanda dan Timor Leste dijajah Portugis. Penjajahan Belanda di Timor Leste digulingkan dan digantikan penjajahan Imperialis Jepang. Dengan kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Timor Leste dikembalikan jadi jajahan Portugis. Sampai dengan 25 April 1974, berkobarlah Revolusi Anyelir. Gerakan Angkatan Bersenjata, faksi kiri dalam militer, menggulingkan pemerintahan kanan otoriter Estado Novo. Rezim hasil revolusi menerapkan kebebasan beragama, demokratisasi, dan penghapusan penjajahan di Afrika dan Timor Leste.
Partai-partai berkembang di Timor Leste. Tiga besarnya: União Democrática Timorense (UDT) atau Uni Timor Demokratis, Associação Popular Democratica Timorense (APODETI), atau Asosiasi Timor Demokratis Kerakyatan, dan FRETILIN itu sendiri. UDT mayoritas diisi pejabat senior, pemilik perkebunan, dan ketua adat pribumi. Cenderung konservatif dan setia ke Portugis. Lalu APODETI, mayoritas pegawai negeri dan ingin gabung ke Indonesia. Sedangkan FRETILIN dominan kaum muda, administrator, dan pekerja perkotaan, serta memperjuangkan Timor Leste sebagai negara merdeka yang berdiri sendiri. Januari 1975 UDT dan Fretilin berkoalisi dengan kesamaan tujuan: penentuan nasib sendiri. Namun April 1975 faksi Lopes da Cruz di UDT memimpin upaya pecah dari persatuan dengan menuduh Fretilin akan komuniskan Timor Leste. Fretilin membantah dan menyebutnya sebagai konspirasi Indonesia sambil menyebut sayap radikal di Fretilin tidak punya basis kekuatan. 11 Agustus 1975 Fretilin terima surat dari pimpinan UDT yang menyatakan penghentian koalisi. Manuver UDT diiringi mobilisasi massa mereka dan pengambilalihan berbagai infrastruktur penting. Massa kedua pihak bentrok dan perang sipil pecah. Militer di Timor Leste sendiri mendukung Fretilin. Sisa-sisa massa UDT kemudian mundur ke perbatasan Indonesia.
Militeris Orba sendiri memandang kudeta militer di Portugis sebagai kesempatan mencaplok Timor Leste. Mayor Jenderal Ali Murtopo, Kepala Operasi Khusus (Opsus) dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen (Bakin), bersama Brigadir Jenderal Leonardus Benny (LB) Murdani mengepalai operasi intelijen militer itu. Meskipun awalnya skandal korupsi Pertamina dan ancaman gagal bayar utangnya ke bank AS 1974-1975 menyulitkan pencaplokan, namun invasi tetap dilakukan, menurut John Taylor, tiga alasan utamanya: 1) rebut akses ke kandungan minyak dan gas alam di Laut Timor yang diperkirakan sangat tinggi (namun kemudian keliru); 2) tempatkan Indonesia sebagai rekan militer utama AS di Asia Tenggara pasca-kemenangan Vietnam; 3) berikan contoh keras bagi provinsi yang ingin merdeka. Namun di hadapan umum, Indonesia berkedok anti-komunisme dan anti-kolonialisme.
Ali Murtopo merancang dan memimpin Operasi Komodo tahun 1974 untuk pengaruhi warga Timor Leste dan melobi pejabat Portugis. Operasi Komodo disusul Operasi Flamboyan LB Murdani yang kerahkan tim-tim Pasukan Khusus melatih orang-orang APODETI. Tiap tim melatih 50 orang dengan total 400 milisi. Mereka ini yang lalu bergerak di serangan-serangan perang sipil. Didahului serangan ke kantor polisi dan perebutan gudang senjatanya 9 Agustus 1975.
Operasi Kuta 16 Agustus 1975 berhasil intip dokumen atase militer Portugis, Mayor Antonio Joao Soares yang akan temui Gubernur Jenderal Timor Portugis. Intel Indonesia tahu Portugis akan segera pergi begitu saja dari koloni tanpa selesaikan permasalahan perang sipil. Ini memberi peluang lebih besar bagi Operasi Seroja.
Serangan dan operasi militer Indonesia turut bunuh para jurnalis internasional. Lima orang jurnalis dan kru dari media Australia meliput serangan ke Balibo. Menurut sejarawan Clinton Fernandes mereka sejak awal pakai penanda wartawan dan lambang Australia bahkan angkat tangan serahkan diri agar tak disangka lawan namun malah dieksekusi. Roger East, jurnalis AAP-Reuters Australia yang investigasi pembunuhan itu lalu juga ditangkap di Dili 7 Desember 1975 dan dieksekusi serta jenazahnya dibuang ke laut.
Indonesia kerahkan 641 tentara penerjun payung dan kapal-kapal perang yang membombardir Timor Leste. Menurut siaran radio FRETILIN, “Pasukan Indonesia melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu. Perempuan dan anak-anak ditembaki di jalanan…” Ini dipastikan kebenarannya oleh Uskup Martinho da Costa Lopes. Pembunuhan, pembantaian, dan pemerkosaan juga dilakukan terhadap para migran Tionghoa.
Perdana Menteri pertama Timor Leste, Nicolau dos Reis Lobato, ditangkap pasukan pimpinan Prabowo Subianto, dan dibunuh dengan ditembak di perut. Jenazahnya dibawa ke Dili untuk dipertunjukkan ke pers Indonesia. Hingga kini pemerintah Timor Leste menuntut pengembalian jenazahnya namun tidak pernah ada kejelasan dari Indonesia.
Imperialis dukung pencaplokan itu. Desember 1974 Atase Pertahanan Indonesia di Washington sampaikan rencana Indonesia mencaplok Timor Leste ke AS. Maret 1975, Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, setujui kebijakan tutup mulut di hadapan publik, kebijakan ini disarankan David Newsom, Duta Besar AS. H-1 invasi, Presiden Gerald Ford dan Henry Kissinger dengan Suharto bertemu, AS beri lampu hijau dan rencanakan meredam protes di dalam negerinya. Selain itu AS juga memasok kebutuhan militer invasi Indonesia. Semua persenjataan dan kendaraan perang untuk pencaplokan Timor Leste dikucurkan AS bernilai total $AS 250 juta.
Sementara itu Imperialis Australia di September 1974 lebih awal pertemukan Suharto dengan rezim pemerintahan Partai Buruh pimpinan Gough Whitlam dimana Whitlam menyatakan negara Timor Leste yang merdeka sebagai unviable atau tidak akan berhasil. Intelijen Australia juga memasok berbagai informasi ke Indonesia mengenai Portugis. Meskipun rezim Whitlam digulingkan setelah konflik dengan Gubernur Jenderal dan oposisi, namun rezim Malcolm Fraser, Bob Hawke, dan Paul Keating setelahnya bukan hanya memberikan restu bagi Indonesia namun juga bekerjasama dengan militernya untuk mempertahankan klaim maupun kontrol terhadap wilayah itu. Sikap ini berbeda dengan publik Australia yang banyak memprotes dan mendemo pencaplokan Timor Leste. Bukan hanya karena rakyat Timor Leste mendukung pasukan Australia dalam perang melawan fasis Jepang di PD II namun juga disebabkan pembunuhan militer Indonesia terhadap para jurnalis Australia di Balibo. Solidaritas dari rakyat Australia ini menyebabkan rezim borjuis Australia terpaksa mengakui Timor Leste dicaplok Indonesia dan menandatangani veto mengutuk invasi itu serta memberikan suaka kepada para pelariannya. Walaupun sembari di sisi lain tetap mempertahankan kerjasama militer dengan Indonesia.
Pendudukan Indonesia terhadap Timor Leste secara total mengakibatkan setidaknya 102.800 korban jiwa tewas akibat konflik, 18.600an orang dibunuh atau hilang, dan 84.000an orang tewas akibat kelaparan atau penyakit, menurut Komisi PBB untuk Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste. 70% pembunuhan penuh kekerasan akibat pasukan Indonesia. Selama 25 tahun kekuasaan Indonesia di Timor Leste, pemerintah secara rutin dan sistematis melakukan penyiksaan, perbudakan seks, pembunuhan ekstra-yudisial, pembantaian, dan secara sengaja mengakibatkan kelaparan warga. Sementara itu banyak militeris pelanggar HAM di Timor Leste masih berkuasa di Indonesia, tidak diadili apalagi dihukum. Wiranto yang melakukan pembumihangusan pasca-referendum sekarang jadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden sedangkan Prabowo dilantik Jokowi jadi Menteri Pertahanan.
ditulis oleh Leon Kastayudha, kader Perserikatan Sosialis
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi AJ 122, I-II Desember 2021, dengan judul yang sama.
Comment here