Opini Pembaca

Di Bawah Bayang-bayang Penindasan: Sejarah Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia

Situasi Perempuan Dunia Ketiga tentu saja memiliki perbedaan terhadap negara Barat, definisi terhadap diri kita kemudian tidak ditentukan atas dasar pilihan kita sebagai individu akan tetapi siapa penguasanya. Tidak menutup kemungkinan bahwa pengaruh wacana kolonial kemudian ikut melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Istilah Orientalisme yang dikemukakan oleh Edward Said sedikit banyak juga menggambarkan dampak dari wacana kolonial yang menganggap bahwa Timur (orient) menunjukkan The Other yang tunduk untuk tujuan konsumsi kekuasaan. Masyarakat Agraris Nusantara sebenarnya sudah memiliki konsep kesetaraan gender karena pembagian kerja yang cair dan egaliter, kemudian era kolonial para penjajah Eropa membawa budaya Aristokrat Victorian dan mengglorifikasi peran perempuan sebagai ibu rumah tangga. Konsepsi ini terus menerus dilanggengkan oleh kekuasaan setelahnya untuk menundukkan kaum perempuan. 

Indonesia bukan seperti yang kita ketahui sebagai hamparan keindahan sumber daya alam tapi ia lahir dari pembunuhan, eksploitasi, dan perusakan. Ada permasalahan trauma kolektif yang ditinggalkan oleh orde baru terhadap masyarakat Indonesia dan sejarah yang tidak mampu untuk dijelaskan karena ia dituliskan atas dasar kepentingan penguasa. Rezim Orde Baru Soeharto tidak hanya dibangun di atas 30 juta nyawa orang yang tidak bersalah tetapi juga penindasan terhadap kaum perempuan. 

Pembunuhan dan pembantaian yang terjadi kepada Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang berasal dari Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) merupakan pintu gerbang penghancuran upaya mendorong agenda kesetaraan kaum perempuan di Indonesia. Sebelumnya, Gerwani merupakan organisasi perempuan yang sangat progresif dan masif di Indonesia dengan 500 anggota saat didirikan di tahun 1950, yang kemudian berkembang hingga 1 juta lebih anggota pada tahun 1961. Kampanye Gerwani tertuju pada beberapa masalah perkosaan di Jawa Barat dan Bali, Gerwani juga mendorong kesempatan perempuan menjabat lurah yang terhalang Undang-undang kolonial, pembangunan koperasi simpan pinjam, menyokong kaum perempuan tani dan buruh ketika bersengketa dengan majikannya, pembukaan taman kanak-kanak di wilayah perkebunan, pasar dan kampung, sekolah politik bagi kaum perempuan, menuntut agar hak atas tanah juga diberikan kepada kaum perempuan, kampanye berantas buta huruf, perubahan Undang-undang perkawinan yang lebih demokratis serta menuntut hukuman yang berat untuk perkosaan dan penculikan. 

Malapetaka 65 memberikan kesempatan rezim untuk menghabisi Gerwani melalui penyudutan narasi biadab yang ditujukan untuk menggambarkan metafora seksual dan menghubungkan kegiatan politik perempuan dengan perilaku sundal. Doktrin ideologi orde baru untuk membangun keamanan nasional melahirkan hegemoni kejantanan dan keperempuanan serta memberikan label pada kekuatan perempuan yang berkaitan dengan komunisme di Indonesia dianggap sebagai perilaku rendahan dan jahat. Situasi ini bersamaan dengan fitnah terhadap komunisme yang dituduh sebagai pembunuh dan juga pengacau moral seksual, konotasi negatif ini masuk ke ruang-ruang lapisan masyarakat kita.

Tuduhan ini terus menerus digaungkan seperti pada tahun 1980-an berdirinya organisasi feminis bernama Kalyanamitra dan Solidaritas Perempuan yang dianggap sebagai “Gerwani Baru” yang mendapatkan pelarangan penerbitan tulisan-tulisan dengan muatan memperjuangan hak-hak untuk kesetaraan. Orde Baru yang melahirkan identitas nasionalnya dan menindas siapapun yang dianggap berseberangan. Rezim Orde Baru dibangun atas model maskulinitas militer dengan disiplin dan kepatuhan sebab segala upaya kritis dianggap sebagai tindakan subversif. Pada periode 1967-1997 di bawah kekuasaan orde baru, muncul organisasi-organisasi pemberdayaan perempuan yang lantas kemudian mensubordinasi perempuan Indonesia seperti organisasi para istri pegawai pemerintah (Dharma Wanita) serta istri tentara (Dharma Pertiwi), organisasi yang disponsori oleh pemerintah yaitu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan juga organisasi-organisasi yang berangkat dari paham agama yang menentang kiri yaitu Kesatuan Aksi Perempuan Indonesia. Bersamaan dengan itu berdiri juga Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada tahun 1991 yang konsen pada reproduksi pengetahuan mengenai isu-isu perempuan, gender dan seksualitas.

Pada 23 Februari 1998, demonstrasi pertama terhadap Soeharto untuk menuntut penyediaan bahan pangan yang mampu dibeli dan kaum perempuan maju lebih dulu daripada mahasiswa. Sesudah itu organisasi perempuan seperti Suara Ibu Peduli (SIP) berada di depan dalam koalisi anti-Soeharto. Periode Reformasi 1998-sekarang banyak bermunculan organisasi maupun lembaga yang bergerak di bidang perjuangan perempuan seperti Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Yayasan Pulih, Migran Care yang berfokus pada wacana keadilan global bagi buruh migran perempuan, Perempuan Kajian Islam dan Sosial (LKIS), SAPA Institute Bandung yang memiliki fokus untuk penghapusan kekerasan seksual dan pemberdayaan perempuan di pedesaan dan Gerakan Petani Perempuan Rembang.  

Pelekatan tuduhan terhadap sejarah Gerwani tentu saja masih digunakan hingga saat ini. Organisasi-organisasi perempuan di Indonesia yang memiliki aktivitas yang dianggap mengkritik selalu dilekatkan pada traumatis terhadap peristiwa malapetaka 65. Organisasi perempuan yang hadir pada masa orde baru dipercaya mengemban tugas dengan menjaga perempuan berada di tempat semestinya. Ini menjadi semakin kuat, ketika bangkitnya politisi perempuan, putri Soekarno yaitu Megawati yang kemudian memiliki pengaruh politik di Indonesia. Akan tetapi, kelekatannya terhadap Soekarno tidak bisa dianggap sebagai pemerataan kesempatan perempuan dalam berpolitik karena perbedaan kelas yang terjadi. Penggulingan kekuasan yang dilakukan oleh Megawati untuk naik menjadi presiden menggunakan cara-cara lama dengan kooptasi kekuasaan gaya borjuis.

Gejolak tumbuhnya organisasi perempuan di Indonesia juga pada akhirnya terbatas pada lapisan kelas atas masyarakat. Kalaupun perempuan kelas bawah terlibat, pada akhirnya mereka sebagai objek politik tertentu seperti misalnya dalam program keluarga berencana yang di mana perempuan kelas bawah tidak diberikan peran aktif. Keluhan yang disampaikan dengan mengaitkan situasi sosial, ekonomi, dan subordinasi kaum perempuan akan dicap sebagai berpolitik. Tentu saja keluhan tersebut akan dikaitkan dengan semangat kiri yang sangat ditentang oleh negara karena masih adanya sisa-sisa metafora yang berkaitan dengan pesta seksual dan pembunuhan. Sesudah perebutan kekuasaan tahun 65, berdirinya birokratik-militer yang kuat tentu saja membuat penindasan dan penghancuran gerakan kiri lebih mudah. Bersamaan dengan itu tumbuhnya partai-partai Islam reaksioner kemudian ikut menggagalkan setiap usaha untuk memperluas pembebasan dan emansipasi. Di pihak lainnya, bagi kaum perempuan elit dan pimpinan organisasi perempuan memiliki fungsi sosial tertentu. Status sosial mereka diperkuat dan mereka saling terhubung sehingga sebagian besar dari mereka memiliki fungsi ekonomi. 

Lantas masihkah penghancuran organisasi perempuan ini terjadi? Dalam perjalanan reformasi banyak kebijakan kelas berkuasa dibenturkan dengan kepentingan rakyat, serta menghianati semangat reformasi 1998 yang berupaya membuka keran demokrasi dan menghapus segala artefak-artefak orde baru. Namun, babak awal reformasi telah diisi dengan pembantaian dan pemerkosaan massal terhadap lebih dari 150 perempuan etnis Tionghoa di Indonesia. 

Organisasi perempuan di Indonesia pasca orde baru berkuasa tidak dapat berkembang lebih besar secara ideologis lebih dari Gerwani. Sehingga serangan rezim terhadap gerakan perempuan bentuknya tidak begitu kasat mata. Namun, terus menerus melanggengkan penindasan terhadap kaum perempuan. Pelanggengan peran ganda perempuan dan penormalisasian perempuan sebagai warga negara kelas dua yang terus menerus di wajarkan merupakan bentuk-bentuk penindasan yang tak kasat mata dilakukan oleh kelas berkuasa. Dampaknya negara melakukan represi terhadap kaum perempuan ketika melaporkan diri ketika mendapatkan kasus kekerasan seksual, dengan UU ITE atau melakukan pelecehan berlapis ketika melaporkan diri. UU ITE merupakan undang-undang yang sangat memiliki pengaruh terhadap upaya kriminalisasi korban kekerasan yang berhadapan dengan pelaku yang memiliki jabatan. Selain itu, negara melegalkan posisi peran ganda perempuan dan mengatur etik “keperempuanan” untuk menyokong konsepsi nuclear family yang direpresentasikan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diusulkan rezim Jokowi. RUU Ketahanan Keluarga memperkuat tujuan rezim untuk memundurkan kebutuhan membangun organisasi perempuan yang progresif, dengan mempertahankan penarikan perempuan ke ruang domestik dan dimanfaatkan untuk kepentingan kapital. Sehingga tugas-tugas pembebasan perempuan direduksi menjadi tugas-tugas sumur, kasur dan dapur semata. Terlebih RUU Ketahanan Keluarga semakin memperkuat normalisasi kepatuhan perempuan dalam keluarga inti yang memperparah kemunduran kaum perempuan dan memperparah penindasan terhadap kaum perempuan. 

Semakin besarnya ruang demokrasi dalam reformasi, juga mendorong industri kecantikan semakin kuat di Indonesia. Pelekatan perempuan dalam objektifikasi iklan mendorong menguatnya standar kecantikan terhadap perempuan. Rezim Jokowi dalam pendorongan pengesahan Omnibus Law serta pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) mendorong influencer perempuan untuk mempromosikan agenda penindasan baru rezim. Hal itu memiliki peranan serupa dalam penggunaan perempuan dalam berbagai iklan yang mengobjektifikasi perempuan sebagai bahan jajakan kepada masyarakat. 

Hal ini telah di bibit Orde Baru guna mengontrol imajinasi warganya sehingga menyebabkan moralitas dan kontrol terhadap tubuh perempuan itu sendiri diatur oleh negara. Dengan demikian keberanian perempuan dan pribadi yang bebas mereka hubungkan dengan perbuatan seksual liar dan nafsu yang membunuh. Baik kebebasan cara berpakaian, standar kecantikan yang diciptakan untuk mendiskualifikasi kaum perempuan kelas bawah, bahkan narasi-narasi agama yang menghancurkan moralitas kaum perempuan. Pandangan usang yang mengaitkan situasi perempuan dengan kodratnya sebagai perempuan sayangnya dirumuskan secara berbeda dalam berbagai strata sosio-ekonomi. Sehingga sejarah gerakan perempuan di Indonesia dalam berbagai fase sejarah mengungkapkan suatu proses pembentukan ulang relasi gender. Dalam satu waktu, dalam perumusan ulang gender berlangsung dengan kekerasan dan dapat disertai dengan tindakan manipulatif yang dilakukan dengan sadar.

Dalam gerakan perempuan di Indonesia, dilema perasaan dan perbedaan tidak pernah dipandang dari sudut pertentangan pasangan yang saling menyingkirkan. Melainkan cenderung ditekankan sebagai hubungan dialektis antara keduanya; batas antar keduanya bersifat cair dan ditafsirkan berbeda oleh aktor di dalam bidang sosial-politik serta menurut latar budaya dan sejarah yang berbeda. Perbedaan corak ideologi yang diyakini oleh setiap organisasi perempuan di Indonesia juga tentu melahirkan kutub yang berseberangan akan tetapi yang perlu di ingat hal ini merupakan cara negara untuk menghancurkan gerakan di masyarakat. Pengaruh ideologi patriarki yang menempatkan perempuan berpolemik pada kodratnya kemudian memisahkan kesadaran perempuan terhadap permasalahan penindasan yang bersifat struktural bukan sekadar peran biologis atau permasalahan psikologis. 

Penindasan terhadap perempuan tidak dapat diatasi melalui pendekatan gaya hidup. Ideologi politik gaya hidup berasal dari pemahaman awal bahwa pengalaman personal kita terbentuk oleh konteks sosial, ekonomi, dan politik yang ada. Namun, terkadang, pendekatan ini menjadi alasan untuk mengubah penindasan sosial menjadi masalah personal, dianggap sebagai pilihan gaya hidup untuk membebaskan diri dari penindasan. Sebaliknya, pendekatan ini mengabaikan peran dalam membangun gerakan perempuan sebagai perjuangan kolektif, seringkali tidak menantang kelas penguasa.

Pembebasan perempuan tidak dapat dicapai dengan hanya mempromosikan gaya kosmetik dan pakaian dengan dalih body positivity. Meskipun ada upaya untuk menentang standar kecantikan mainstream karena kapitalisme terus merekonstruksi konsep kecantikan sesuai dengan keuntungan bisnis yang menghasilkan eksploitasi tubuh perempuan. Dukungan terhadap usaha bisnis perempuan, meskipun dimaksudkan sebagai bentuk emansipasi, dapat menyebabkan pengeksploitasian tubuh perempuan dan memperkuat gaya hidup yang konsumtif. 

Perjuangan pembebasan perempuan tidak boleh bergantung pada intelektual feminis dari kelas menengah dan memperkuat individualitas serta tidak menyentuh akar dari penindasan perempuan. Butuh solusi yang konkret untuk dapat menghapuskan penindasan perempuan tidak sekadar mempercayai undang-undang yang menguntungkan penguasa atau bahkan solusi yang diciptakan oleh kelas atas. Kebebasan perempuan tidak hanya berarti kebebasan dari pandangan maskulin yang dominan tetapi juga kebebasan atas tubuh dan solidaritas antar perempuan.

Pengalaman sejarah dari Malapetaka 65 yang terlibat juga dalam penghancuran gerakan perempuan, peristiwa pemerkosaan massal yang terjadi tahun 1998, serta pelanggengan upaya memundurkan capaian gerakan perempuan selama reformasi, situasi tersebut memberikan pelajaran bahwa dorongan membangun kembali organisasi perempuan yang tidak sektarian merupakan kebutuhan mendesak dalam pembangunan kembali organisasi perempuan. 

ditulis oleh Sagra, Anggota Lingkar Studi Sosialis

Loading

Comment here