Prabowo Subianto didampingi Gibran Rakabuming Raka melantik Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024-2029, di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10/2024) sore. Di dalamnya terdapat mantan-mantan kader Partai Rakyat Demokratik (PRD). Mereka adalah: Mugiyanto, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia; Agus Jabo Priyono, Wakil Menteri Sosial; Faisol Riza, Wakil Menteri Perindustrian; Nezar Patria, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital. Keesokan harinya Prabowo Subianto melantik Budiman Sudjatmiko sebagai Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan di Istana Kepresidenan, Selasa (22/10/2024).
Menanggapi pelantikan tersebut terdapat tanggapan-tanggapan, termasuk dari kalangan mantan kader ataupun aktivis yang berada di lingkaran PRD (lama maupun baru) yang menyambutnya dengan semangat mendukungnya ataupun mewajarkannya sebagai sebuah perjuangan politik. Beberapa mantan kader PRD, seperti Ragil, bertindak lebih jauh lagi memanipulasi analisa, program dan perjuangan PRD lama untuk membenarkan dukungan terhadap Prabowo-Gibran. Secara umum terdapat anggapan bahwa para mantan kader PRD tersebut adalah kelanjutan dari PRD itu sendiri. Demikian juga menganggap bahwa PRD tidaklah mengalami perubahan, sehingga PRD sejak didirikan hingga PRD saat ini masihlah sama.
Dalam terbitan resmi PRD bernama PEMBEBASAN di No II/ November 1996, di artikel berjudul “Sekali Lagi, DEMOKRASI Jawabannya!” yang bersumber dari Manifesto Politik PRD disebutkan bahwa solusi “haruslah radikal (mengakar).” Itu karena masalahnya juga mendasar yaitu “sistem Orba yang otoritarian, yang telah membangun kediktaktoran militer dengan sistem ekonomi kapitalis yang dimonopoli oleh keluarga Cendana (presiden).”
Artikel tersebut kemudian menjelaskan bentuk masyarakat dan pemerintahan yang diinginkan paska-Orba. Ada tiga bagian besar yang disebutkan, yaitu: Politik: Demokrasi Sepenuh-penuhnya, Ekonomi: Sosialis (Demokrasi Ekonomi) dan Program Antara.
Dalam “POLITIK: DEMOKRASI SEPENUH-PENUHNYA” dijelaskan bahwa tujuannya adalah Demokrasi Multi Partai Kerakyatan. Ini adalah “(d)emokrasi yang memberi kebebasan warga negara untuk berpendapat, mendirikan pers, mendirikan organisasi maupun parpol, mendapat informasi dan mempelajari ilmu apapun, kebebasan memeluk dan beribadat sesuai keyakinannya, kebebasan menganut aliran apapun dan kebebasan-kebebasan lain yang universal.” Untuk menjalankan itu semua maka kepemimpinan politik nasional harus dipegang oleh “Koalisi Demokrasi Kerakyatan.”
Koalisi tersebut adalah lembaga yang berupa gabungan kelas, sektor, maupun kelompok serta “merupakan perwakilan rakyat yang sejati dari tingkat desa hingga tingkat nasional. Perwakilan ini harus dipercayai serta membela kepentingan rakyat. Serta mempraktekan proses penentuan kebijakan secara terbuka, partisipatif dan demokratik. Menghormati otonomi organisasi-organisasi rakyat dan kerjasama dengan organisasi-organisasi tersebut dalam pembangunan. Membangun fungsi bela negara dari serangan luar yang berasal dari masyarakat, bukan kekuatan senjata reguler. Menghormati HAM, hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Maubere (Timtim), dan menentang watak kolonial yang menindas rakyat Aceh dan Papua Barat. Menghapus Dwi Fungsi ABRI dan memfungsikan sistem peradilan internasional yang independen untuk menyelesaikan tuntutan rakyat Indonesia yang telah dilanggar hak-haknya.
Dalam “EKONOMI: SOSIALIS (DEMOKRASI EKNOMI)” dijelaskan bahwa “ekonomi diatur oleh negara, untuk kesejahteraan seluruh rakyat, tulang punggungnya adalah koperasi.” Lebih lanjut dijelaskan bahwa problem ekonomi yang dihadapi adalah “sistem ekonomi kapitalis yang dimonopoli oleh kerabat presiden.” Sistem ekonomi tersebut “membuat ekonomi Indonesia menjadi bagian dari sistem ekonomi kapitalisme dunia (imperialisme).” Sumber daya alam dan tenaga kaum buruh dihisap oleh negara-negara imperialis yang bekerjasama dengan kapitalis pribumi.
Bentuk ekonomi paska Orba adalah: pembangunan industri dan pertanian yang akan mengarah pada pencapaian alih teknologi sebesar-besarnya dan produktivitas secara maksimal. Mengembangkan iptek yang akan diarahkan untuk memperbaiki kapasitas seluruh produksi guna menyediakan kebutuhan-kebutuhan rakyat. Pemilikan sosial atas perusahaan-perusahaan yang menyediakan barang-barang/ jasa yang vital dan mendasar bagi rakyat, serta pemilikan sosial bagi jalur industri yang sangat penting bagi perekonomian rakyat. Mendorong mekanisme kolektif di kalangan rakyat untuk meningkatkan produktivitas perekonomian rakyat. Mendukung sektor swasta yang memberikan sumbangan positif bagi pengembangan kapasitas produksi dan sumberdaya. Mendorong reformasi agraria untuk menciptakan sistem pertanahan dan pertanian kooperatif-modern di pedesaan.
“PROGRAM ANTARA” menjelaskan bahwa untuk mencapai itu semua maka harus mencabut 5 UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI. Dengan terpenuhinya dua tuntutan tersebut maka “kita akan kembali menggunakan sistem politik seperti yang dipakai pada pemilu 1955” yang paling demokratis dan dengan demikian kebebasan dalam partisipasi politik tidak dihambat. Ditambah dengan ABRI yang netral dalam politik maka ABRI tidak bisa melakukan intervensi dan pemaksaan-pemaksaan terhadap partai politik. “Dalam iklim politik seperti inilah, program pemerintahan koalisi Demokrasi Kerakyatan kita ajukan. Ia HANYA bisa kita melalui pemilu yang benar-benar demokratis. Pemilu yang demokratis: pemilu yang terbebas dari 5 UU Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI…” Untuk memenangkan tuntutan tersebut maka harus dibangun front yang benar-benar bekerja, aksi dan membuat rumusan penggantinya bukan sekedar alat kampanye semata.
Dalam Pembebasan Edisi 1/ Thn. V/ Juli 2000, di artikel “”Pengadilan Soeharto: Penghancuran Kekuatan Lama” disebutkan bahwa “(m)emang di mana pun di dunia ini, setiap proses transisi dari sistem yang tidak demokratis ke sistem yang lebih demokratis selalu mansyaratkan penghancuran sisa-sisa kekuatan lama yang tentu akan terus melakukan perlawanan untuk menghambat laju reformasi dan mengembalikan kekuasaannya. Artikel tersebut ditulis oleh Habiburachman.
Dalam kolom Bahasan Utama berjudul “Singkirkan Sisa Orde Baru: Syarat Penuntasan Revolusi Demokratik” di Pembebasan edisi 19/ Thn. V/Agustus 2000 dijelaskan bahwa terdapat tiga serangkai sisa-sisa kekuatan Orde Baru, yaitu: Partai Golkar, TNI dan Soeharto serta kroninya. Dalam tulisan tersebut kembali ditegaskan bahwa “Penuntasan reformasi total (baca: revolusi demokratik) mensyaratkan penyingkiran sisa-sisa kediktaktoran yang terus berkonsolidasi melakukan pukulan balik kepada kekuatan baru. Selama sisa-sisa kekuatan Orba masih memiliki kekuatan ekonomi dan politik, mereka akan terus mengganggu jalannya reformasi total.”
Masih dalam kolom Bahasan Utama namun di artikel lain berjudul “Bahaya Reformis Gadungan,” dijelaskan bahwa “ancaman bagi revolusi demokratik bukan hanya datang dari sisa-sisa Orba, tetapi juga dari para reformis gadungan. Mereka adalah orang-orang yang selama ini memakai baju “reformis,” namun tindakan-tindakan dan sepak terjangnya anti reformasi. Artikel tersebut juga menyebutkan siapa-siapa yang termasuk di antara reformis gadungan, itu adalah: Amien Rais dan Megawati, “dua orang tersebut hanya contoh dari sekian banyak kaum reformis gadungan. Ciri utama kaum reformis gadungan adalah justru tidak mau agenda reformasi berjalan tuntas. Tuntasnya agenda reformasi adalah tersingkirnya sisa-sisa Orba. Mereka justru bekerja sama dengan sisa-sisa Orba.”
Dalam kolom teori di edisi yang sama, Hanan Ragil Nugroho menulis “Demokrat Borjuis: Mereka Selalu Berkhianat.” Kolom tersebut memberikan landasan teori bagi strategi revolusi PRD. Pertama, “Revolusi Demokratik di Indonesia untuk keuntungan massa rakyat (massa rakyat, tani dan borjuis kecil revolusioner) telah terhenti oleh tindakan kaum borjuasi yang tidak konsisten.” Kedua, “Revolusi Demokratik dalam makna sesungguhnya akan menguntungkan massa rakyat. Ia, memang akan melapangkan jalan kapitalisme. Akan melumatkan fedalisme ,militerisme dan KKN. Kondisi tersebut dibutuhkan kapitalisme untuk berkembang, tetapi sekaligus ia akan menyediakan jalan seluas-luasnya bagi massa rakyat untuk berkuasa. Jalan tersebut adalah terbukanya demokrasi seluas-luasnya terutama kebebasan rakyat untuk melawan segala bentuk penindasan dan kebebasan berorganisasi.” Ketiga, tulisan tersebut juga menunjukan apa yang harus dilakukan oleh massa rakyat yaitu: “Kekuatan bersama harus dibangun dengan harus tetap independen dari borjuasi. Massa rakyat harus tetap berada dalam organisasinya sendiri, mempunyai program sendiri, mempunyai strategi taktik sendiri. Adalah kesalahan apabila meleburkan diri dalam cengkeraman borjuasi.” Keempat, Mereka, borjuis demokrat, akan terus berdaya upaya mengaburkan kesadaran sejati massa rakyat agar revolusi demokratik tidak tercapai. Maka, massa rakyat harus terus menerus memajukan program-program yang ada. Program-program reformis yang ditawarkan demokrat borjuis harus diganti dengan program yang revolusioner.”
Mungkin pembaca merasa ironis, bahwa artikel-artikel yang kami kutip di atas ditulis oleh mantan-mantan kader PRD yang sekarang mengambil jalan serupa dengan lima mantan kader PRD bergabung dengan Rezim Prabowo-Gibran.
Namun mengatakan bahwa mereka berlima termasuk penulis di koran Pembebasan yang saya sebutkan di atas adalah perwakilan dari PRD adalah kesalahan. Sebagian besar dari mereka sebenarnya sudah tidak lagi berada di PRD setidaknya sekitar tahun 2000an.
Nezar Patria sudah tidak aktif di PRD paska diculik pada 1998. Dia kemudian berkarir di dunia jurnalistik menjadi jurnalis Tempo dan terus menanjak karirnya. Mugiyanto dan Faisol Riza aktif di PRD hingga 2001. Faisol Riza kemudian bekerjasama dengan Wimar Witoelar yang sebelumnya menjadi juru bicara presiden Gus Dur. Setelah itu aktif dia bergabung ke PKB bersama Muhaimin Iskandar. Mugiyanto tidak aktif lagi di PRD paska perbedaan pendapat dengan PRD. Bersama beberapa kader PRD yang lain membentuk Faksi Demokrasi Sosialis (FDS) yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Demokratik Sosialis (PDS). Aktivitasnya berlanjut lebih banyak di LSM yang bergerak di isu HAM. Budiman sendiri sudah tidak aktif di PRD pada proses penggulingan Gus Dur. Dia menghilang dari kolektifnya di Komite Pimpinan Pusat-Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) dan kemudian diketahui melanjutkan kuliah ke Inggris. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Budiman masuk ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan bersama aktivis lain mendirikan Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM). Dia pernah menjadi anggota DPR RI dari PDIP hingga ketika dia menyeberang memberi dukungan kepada Prabowo pada Pilpres 2024.
Kita tidak dapat berharap pada mereka yang sudah meninggalkan partai selama hampir dua dekade akan tetap membawa dan mewakili tujuan-tujuan partai. Terlebih mereka semua hidup dan berpolitik dalam lingkungan para elit politik. Entah itu di PDI-P, PKB ataupun Gerindra maupun Partai Demokrat ataupun yang lainnya. Dari catatan ini terlihat bahwa lingkungan sosial mereka lebih banyak di lingkaran elit politik, tidak dalam derap Gerakan Rakyat lagi. Lingkungan sosial bagaimanapun menentukan kesadaran sosial, membentuk cara berpikir untuk mengambil keputusan dan bertindak. Bila pada masa menentang Orde Baru dahulu mereka dimasukkan dalam kategori Kiri (berlawan) maka pada hari-hari selanjutnya dapat kita lihat posisi mereka tidak berlawan. Hal yang serupa juga berlaku bagi mereka yang bekerja di LSM ataupun menjadi jurnalis. Mereka dapat saja mengurusi persoalan hak asasi manusia atau mencoba mewartakan persoalan-persoalan rakyat senetral mungkin. Namun baik LSM maupun media massa tidak berjuang untuk penuntasan revolusi demokratis dan memenangkan sosialisme seperti yang diproyeksikan oleh PRD.
Kader Partai jatuh bangun, berkembang dengan partainya, begitu kata-kata Pramoedya Ananta Toer menanggapi Budiman yang justru kuliah ketimbang terus berada di PRD. Demikian pula menjaga ideologi, keteguhan dan beberapa mengatakan menjaga kewarasan adalah dengan terus berada di dalam partai secara konsisten. Kita tidak hidup di ruang hampa, kita berada di tengah gempuran hegemoni maupun penindasan kapitalisme. Tidak ada ideologi ketiga, hanya ada sosialisme atau kapitalisme.
Demikian sebuah partai terlebih partai revolusioner, bukanlah sekedar papan nama. Partai utamanya adalah terkait dengan ideologi, program perjuangan, perspektif politik serta tradisi revolusionernya. Ini adalah kesalahan keduanya, yaitu tidak melihat bahwa PRD sendiri juga mengalami dialektika. Termasuk perubahan kualitatif, perubahan dalam ideologi, program perjuangan serta perspektif politiknya yang terjadi pada sekitar tahun 2007an. Perubahan yang kemudian membawa Agus Jabo Priyono menjadi Ketua Umum PRD.
Agus Jabo Priyono yang paling lama di PRD. Sejak awal PRD dibentuk Agus Jabo sudah aktif dan menjadi salah satu pimpinan ketika PRD bergerak di bawah tanah. Pada 18 Januari 1998 dia tertangkap ketika bom meledak di rumah susun Tanah Tinggi. Dia bebas setelah Soeharto diturunkan. Setelah keluar dari penjara tetap aktif di kepemimpinan PRD tetapi tidak muncul terbuka di hadapan publik. Pada 2004 menjadi Sekjen PRD dengan ketua Dita Indah Sari. Inilah secara terbuka kemunculannya di hadapan publik dan para elit politik. Kemudian pada 2007 terjadi perpecahan di PRD. Agus Jabo tetap berada di PRD bahkan kemudian menjadi Ketua Umum menggantikan Dita Indah Sari. Pada masa kepemimpinannya PRD berubah asas dari Sosial Demokrasi Kerakyatan menjadi Pancasila. Menurut Wikipedia PRD dibubarkan pada 1 Juni 2021 dan diteruskan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dengan Ketua Umum Agus Jabo Priyono.
Setelah gagal dalam usahanya untuk mengikuti kontestasi pemilu 2004 PRD kemudian menata diri. Mereka mempersiapkan untuk bisa berkontestasi di pemilu 2009. Upayanya adalah menggalang partai front dengan berusaha mengajak kelompok-kelompok pergerakan. Mereka menawarkan Komite Persiapan Partai Pembebasan Nasional. Komite ini bisa dikatakan tidak berhasil mengajak kelompok kelompok gerakan untuk bersatu membentuk partai baru guna merespon pemilu. Menurut Wikipedia pada 18-20 Januari 2007 di Wisma Sejahtera II Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta diselenggarakan Kongres yang mengubah KP Papernas menjadi Partai Pembebasan Nasional (Papernas). Papernas mengalami kesulitan memenuhi syarat yang ditetapkan UU untuk secara legal formal diakui sebagai partai politik. Tahapannya adalah mendapat pengesahan dari Kementrian Hukum dan HAM sebagai partai politik kemudian mendaftar ke KPU sebagai peserta pemilu. Untuk disahkan sebagai partai politik harus memenuhi syarat jumlah struktur. Untuk itu Kemenkumham akan memverifikasi apakah mencukupi atau tidak. Setelah bisa lolos sebagai partai politik KPU juga menetapkan syarat jumlah struktur baik Propinsi, Kab/ Kota dan Kecamatan. Dirasa tidak sanggup memenuhi syarat struktur untuk menjadi partai politik PRD berusaha mencari peluang lain untuk bisa intervensi pemilu 2009 guna memanfaatkan kesempatan berbicara secara luas ke rakyat. Mulailah dijajaki untuk bekerjasama dengan partai partai yang sudah memiliki badan hukum dan mempunyai “tiket” untuk berkontestasi di pemilu 2009. Diantaranya adalah PNBK, Partai Pelopor dan PBR. Penjajakan untuk bekerjasama membentuk partai baru tidak berhasil. Dalam proses ini di kalangan pimpinan PRD terjadi perpecahan. Mayoritas tetap berada di PRD dengan pimpinan Dita Indahsari dan Agus Jabo sedangkan yang lain kemudian berhasil mengkonsolidasikan diri dan membentuk Komite Perjuangan Rakyat Miskin Partai Rakyat Demokratik (KPRM PRD). PRD pimpinan Dita Indah Sari dan Agus Jabo kemudian mengikuti pemilu 2009 dengan mensubordinasikan masuk ke Partai Bintang Reformasi (PBR). Upaya intervensi ini tidak berhasil mendudukkan calon calon dari PRD menjadi anggota legislatif.
Dalam Kongres VII di Salatiga, Jawa Tengah, pada 1-3 Maret 2010 disepakati asas baru yaitu Pancasila. Tampil memimpin hasil keputusan kongres ini adalah Agus Jabo Priyono sebagai ketua umum dan Dominggus Oktavianus sebagai Sekjend. Pada pemilu 2014 PRD mengambil taktik “Diaspora” dengan cara memasukkan kader kadernya ke partai partai peserta pemilu. Menurut beritasatu.com Agus Jabo Priyono menjabat sebagai ketua bidang pemetaan potensi pemilih DPP Partai Gerindra. Untuk mengahadapi pemilu 2024 Kemudian melahirkan partai PRIMA yang dideklarasikan pada 1 Juni 2021 di Jakarta dengan ketua Umum Agus Jabo Priyono dan Sekjend Dominggus Oktavianus.
Dari paparan diatas terlihat ada perubahan orientasi PRD dari partai gerakan yang mengedepankan program, strategi revolusi dua tahap tidak terinterupsi serta metode aksi massa berubah ke hasrat untuk terlibat di kekuasaan dengan segala cara. Mulai dari memasuki partai para elit politik, bersatu dengan faksi-faksi elit politik hingga mengabdi pada pemilu sebagai cara utama. Langkah-langkah itu coba dibenarkan dengan argumentasi Persatuan Nasional. Semua itu sama sekali bertentangan dengan PRD dahulu.
PRD lama menjelaskan bahwa penuntasan revolusi demokratis tidak bisa dilakukan oleh para elit politik. Sementara salah satu tujuannya adalah menyingkirkan sisa-sisa Orde Baru. Jika kita membaca strategi revolusi Lenin maka aliansi yang harus dibangun untuk penuntasan revolusi demokratis adalah aliansi atau persatuan antara buruh dan petani, dalam konteks Indonesia adalah aliansi antara buruh dan rakyat. Tidak ada dalam propaganda ataupun pendidikan PRD lama yang menjelaskan bahwa penuntasan revolusi demokratis dilakukan lewat persatuan nasional dengan para elit politik apalagi dengan sisa-sisa Orde Baru.
Dalam perjuangan revolusioner juga tidak ada logika HARUS masuk ke dalam kekuasaan, termasuk menjadikan pemilihan umum sebagai STRATEGI untuk “reformasi total,” menuntaskan revolusi demokrasi apalagi mencapai sosialisme. PRD sendiri pernah menyerukan boikot pemilihan umum. Demikian pula partai revolusioner seperti Bolshevik. Kita bisa membaca seruan Boikot Pemilihan Umum 1997 di dalam koran PEMBEBASAN No IV/ FEBRUARI 1997. Keterlibatan dalam pemilihan umum merupakan taktik yang dapat digunakan ataupun tidak digunakan. Dalam persoalan kekuasaan, kita harus melihat isian dari kekuasaan itu sendiri. Prabowo-Gibran bersama lima mantan kader PRD yang bergabung dalam pemerintahannya, bersama dengan PRIMA dan bersama dengan seluruh mantan kader PRD yang mendukung mereka ataupun mendukung para elit politik tidak akan mungkin dapat memenuhi “Manifesto Politik PRD” yang beberapa bagiannya belum tuntas dimenangkan saat ini.
Pada pilpres 2024 Budiman Sudjatmiko dan Agus Jabo Priyono (beserta partai PRIMA) secara terang-terangan memberi dukungan kepada Prabowo. Jelas sekali keterkaitan direkrutnya sebagai wakil Menteri Sosial dan Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan adalah peranan mereka dalam memberi dukungan pada pilpres, sama sekali tidak ada hubungannya dengan status mereka sebagai mantan PRD. Kalaupun ada dapat diyakini bukan sebagai alasan utama.
Mugiyanto pada awal Agustus 2024 lalu menjadi inisiator pertemuan antara keluarga korban penculikan 1998 dengan petinggi partai Gerindra. Ada kabar bahwa keluarga korban mendapat uang tali asih sebesar masing masing 1 miliar rupiah. Peristiwa ini bisa saja dimaknai telah adanya “perdamaian” antara keluarga korban dengan Prabowo yang dianggap paling bertanggung jawab dalam kasus itu sebagai pimpinan Kopasus yang memerintahkan dibentuknya Tim Mawar. “Perdamaian” ini merias Prabowo tampil lebih cantik karena seakan dosanya sudah terhapus. Patut diduga jasa Mugiyanto inilah yang menjadi pertimbangan diangkatnya dia menjadi Wakil Menteri HAM, apalagi dia memiliki latar belakang bekerja di LSM HAM. Mugiyanto adalah salah satu korban penculikan pada 1998.
Wakil Menteri Perindustrian dipegang oleh mantan kader PRD yang pernah menjadi ketua PRD pada 1998-1999 yaitu Faisol Riza. Seperti diketahui dia adalah politisi PKB yang sebelumnya menjadi Ketua Komisi VI DPR RI. Dari PKB di Kabinet Merah Putih ada Muhaimin Iskandar sebagai Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat serta Abdul Kadir Karding sebagai Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Tidak jelas apa jasa PKB bagi Prabowo-Gibran sehingga bisa mendapatkan posisi 1 Menteri Koordinator, 1 Menteri dan 1 Wakil Menteri di kabinet. Seperti diketahui pada Pilpres 2024 lalu awalnya PKB mendukung Prabowo, akan tetapi kemudian mendukung Anis Baswedan sehingga ada 3 pasangan calon presiden dan wakil peresiden. Patut diduga dukungan kepada Anes Baswedan adalah upaya memecah suara dan konsentrasi pemilih. Akan lebih berat bagi Prabowo bila berhadapan langsung saja dengan Ganjar Pranowo. Besar kemungkinan direkrutnya Faisol Riza adalah latar belakang politiknya di PKB, bukan karena mantan ketua PRD. Faisol Riza ini juga korban penculikan pada 1998.
Nezar Patria menduduki posisi sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Digital dalam kabinet Merah Putih Prabowo -Gibran. Tak banyak informasi apa peranannya dalam pemenangan pilpres 2024. Dapat disimpulkan juga bahwa Prabowo mengakui perfotrmanya ketika bersama sama dalam Kabinet Indonesia Maju dibawah presiden Jokowi. Nezar juga korban penculikan pada 1998.
Dari kelima mantan kader PRD yang diangkat Prabowo terdapat 3 korban penculikan dan 2 orang yang pernah dipenjarakan karena aktivitasnya menentang Orde baru. Memang bisa saja menimbulkan kesan bahwa Prabowo merangkul semua kalangan walaupun dulu pernah berseberangan. Akan tetapi terlalu naif mengkaitkan pengangkatan mereka dengan status sebagai mantan kader PRD. Sehingga yang menyatakan Prabowo mengangkat harkat dan martabat PRD dengan mengangkat kelima orang itu sungguh konyol. Alih-alih mengangkat, justru mencampakkan gerakan rakyat karena bila dilihat dari sisi PRD pada waktu menentang Orde Baru dikecilkan dari perjuangan demi kemanusiaan menjadi sekedar pijakan karir.
Sungguh menyesatkan pikiran itu.
“Sekarang semuanya tergantung sentuhan. Mendukung Jenderal Penculik bila diberi sentuhan nasionalisme, bisa berarti satu barisan menghadang gempuran neoliberalisme. Pun, Jenderal Penculik bila diberi sentuhan Venezuela bisa berubah menjadi Hugo Chavez, sentuhan Kuba menjelma Castro atau Che, dan sentuhan a la Cina muksa jadi Mao.” Budiman Sudjatmiko, Mugiyanto, Nezar Patria, Agus Jabo, Faisol Riza, Ragil, PRD-Paska 2007/ PRIMA, dkk “telah berubah menjadi Panji Tengkorak yang sedang menyeret-nyeret peti mati sembari menggandeng dengan mesra tangan Jenderal Penculik. Dan, dalam peti mati itu terbaring: Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul dan Bimo Petrus.” Lihat “RIP PRD.”
Partai Rakyat Demokratik telah memainkan peran revolusionernya dalam perjuangan menggulingkan Suharto. Tindakan-tindakan mantan kader PRD di atas, ataupun mantan-mantan kader lainnya, termasuk juga PRD paska 2007 (PRIMA) bukanlah kelanjutan dari PRD dahulu. Kita mempelajari sejarah PRD, menganalisa kesalahan-kesalahannya serta mengambil hal-hal baik yang pernah dilakukan. Untuk kemudian membangun partai yang baru demi penuntasan revolusi demokratis serta kemenangan sosialisme.
ditulis oleh Hadi Sutanto, mantan Kader Partai Rakyat Demokratik dan Dipo Negoro, Kader Perserikatan Sosialis.
Comment here