Oleh Jerome Small
- Perlawanan dan Solidaritas Dapat Menyebar dengan Cepat Melintasi Negara, Lautan, dan Benua
Gerakan mahasiswa di AS mengikuti pola klasik pemberontakan mahasiswa. Sejumlah kecil pengunjuk rasa melancarkan aksi terhadap isu yang didukung lebih pasif atau setidaknya dilihat sebagai protes yang diakui oleh lapisan yang lebih luas. Aktivis berhasil menarik lebih banyak mahasiswa, tetapi sering kali ditindak secara keras oleh pihak penguasa—yang menunjukkan penghinaan besar-besaran terhadap nilai-nilai liberal yang biasanya diklaim serius oleh universitas—yang mengguncang lapisan yang lebih luas dan membawa mereka ke partisipasi aktif.
Seperti itulah yang terjadi di Berkeley pada tahun 1964; di Paris pada tahun 1968 (dan berkali-kali setelahnya); di Gwangju di Korea Selatan pada tahun 1980; di Afrika Selatan pada tahun 2015-16, dan dalam banyak perjuangan lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Demikian pula halnya dengan peristiwa yang terjadi sejak pertengahan April, pertama di New York dan kemudian di seluruh dunia.
Penghancuran kamp protes mahasiswa di Universitas Columbia di New York pada 18 April, hanya sehari setelah didirikan, menjadi pemicu bagi para aktivis di lebih dari 120 universitas di seluruh Amerika Serikat untuk meluncurkan kamp solidaritas—dan untuk aksi solidaritas ini menyebar melintasi Atlantik dan Pasifik. Bahkan mahasiswa yang tinggal di bawah kediktatoran militer yang sangat represif di Mesir menggelar protes sporadis dan kini telah memulai kelompok koordinasi. Ketika para peneliti di basis penelitian McMurdo di Antartika ikut serta, ada kamp di semua tujuh benua.
Harapan menyebar dengan perlawanan—dari Columbia, mengitari dunia, dan ke pengungsian orang-orang Palestina yang bertahan dari serangan Israel di Jalur Gaza. Salah satu koresponden Gaza yang paling dicintai, Bisan Owda, menulis pada 27 April: “Saya berusia 25 tahun, saya telah menghabiskan seluruh hidup saya di Kota Gaza, dan saya tidak pernah merasakan harapan seperti sekarang. Tidak pernah”.
Sangat mengharukan melihat kaum muda di Gaza, yang sekolah dan universitasnya telah hancur bersama dengan rumah, nyawa, dan keluarga, memprotes baik terhadap genosida Israel maupun mengirimkan salam solidaritas kembali kepada mahasiswa AS. Dari Gaza, seorang perempuan muda pengunjuk rasa memberi tahu dunia: “Kami telah kehilangan segalanya tetapi kami tidak bisa kehilangan harapan, karena kalian, karena kalian berdiri di samping kami”.
Sementara itu, mahasiswa yang tinggal dan belajar di bawah pendudukan militer Israel yang mematikan di Universitas Birzeit di Tepi Barat menunjukkan keberanian luar biasa, berkumpul pada 30 April dan berhasil mengusir duta besar Jerman dari kampus mereka. Jerman adalah pemasok senjata terbesar kedua untuk Israel, setelah AS.
Harapan yang didasarkan pada perlawanan kolektif adalah hal yang berharga, dan berpotensi berbahaya bagi penguasa. Bagaimanapun, bagi kebanyakan orang, seringkali, bukanlah cinta positif terhadap sistem yang didasarkan pada keuntungan dan kekuasaan segelintir orang yang menghentikan kita dari pemberontakan. Sebaliknya, perasaan—yang ditanamkan kepada kita bukan hanya oleh media dan pendidikan tetapi juga, yang lebih penting, oleh pengalaman kita dalam kehidupan dalam sistem yang melucuti kita dari kekuatan—yang membuat populasi patah semangat dan pasif.
Jadi, merebaknya harapan yang meluas, penyebaran ide dan perasaan bahwa orang seperti kita benar-benar mungkin dapat mengubah dunia dengan tindakan kita sendiri, harus ditangani. Pihak penguasa akan mencoba mengalihkan perlawanan ke jalur yang tidak membawa kemana-mana (partai-partai elit politik terlintas dalam pikiran). Atau bertahan lebih lama dari perlawanan, untuk membuatnya lelah.
Atau menghancurkannya.
2. Hak dan Kebenaran Menjadi Sampah Ketika Kepentingan Para Penguasa Terancam
Buktinya jelas bagi siapa saja yang peduli untuk melihat.
Pilihan yang disukai oleh banyak sekutu kelas penguasa Israel—dari Washington hingga Canberra hingga Kairo—adalah diam yang sopan, hanya terganggu oleh sesekali protes kecil dari kaum liberal, sementara para penguasa kita membantu genosida Israel.
Diam sementara situs web Bellingcat mendokumentasikan kegembiraan yang tidak manusiawi dari unit Komando 8219 Israel saat mereka menghancurkan rumah-rumah dan masjid-masjid serta sarana kehidupan di Gaza; gumaman kekhawatiran yang tidak berarti sementara rakyat Palestina menggali sisa-sisa 520 orang yang dikubur di kuburan massal oleh Israel di halaman rumah sakit Al Shifa yang hancur di Kota Gaza dan Rumah Sakit Nasser di Khan Yunis; diam sementara Adnan al-Bursh, seorang dokter senior di Al Shifa, disiksa dan dibunuh di penjara Israel; diam sementara perusahaan senjata di Australia dan di seluruh dunia terus memasok Israel dengan alat-alat untuk genosidanya.
Ini adalah tanda betapa pentingnya Israel bagi imperialisme AS dan sekutu-sekutunya sehingga para penguasa kita melihat mahasiswa mendirikan tenda dan mengajak teman-teman mereka untuk bergabung sebagai sesuatu yang di luar batas perbedaan pendapat yang diizinkan.
Jadi, selama seminggu terakhir, polisi telah menghancurkan protes di setidaknya 39 kampus AS, dari New York hingga Los Angeles. Represi ini bersifat internasional. Dari Sorbonne hingga Kairo, polisi telah dikirim untuk menghancurkan protes dan mengubah universitas—yang seharusnya menjadi benteng penilaian kritis dan nilai-nilai liberal—menjadi kamp-kamp bersenjata, diduduki oleh polisi dan dipenuhi dengan ketakutan.
Natasha Lennard telah menghabiskan lima belas tahun meliput aktivitas kepolisian di New York untuk situs web Intercept. Lennard menulis tentang serangan polisi terhadap mahasiswa di Columbia dan City College:
“Saya belum pernah menyaksikan, di tempat protes, penggunaan kekuatan polisi yang begitu tidak proporsional terhadap jenis demonstrasi yang terjadi … Setelah polisi membersihkan [kampus City College] dari mahasiswa yang berhak berada di sana dan mengisi ruang dengan para polisi, Wakil Komisaris NYPD Kaz Daughtry menurunkan bendera Palestina dan mengibarkan bendera Amerika ke tiang penuh sebagai gantinya. Polisi anti huru hara bersorak di bawahnya.”
Sebuah visi sejati tentang demokrasi.
Di Australia, sejauh ini, belum ada tindakan keras semacam itu. Tetapi ancaman sudah terdengar.
Surat kabar Channel Nine melaporkan pada 5 Mei bahwa oposisi federal menyerukan “pembubaran paksa tenda-tenda protes pro-Palestina di universitas dan peraturan baru untuk mendenda universitas yang tidak memberikan sanksi kepada pengunjuk rasa yang berperilaku buruk”. Menteri dari Partai Buruh Bill Shorten, selalu menjadi salah satu suara Partai Buruh yang paling terang-terangan mendukung imperialisme pada umumnya dan Zionisme pada khususnya, telah bergabung dalam ‘paduan suara’ tersebut, sementara Menteri Pendidikan Federal Partai Buruh Jason Clare mengatakan kepada The Age bahwa “polisi perlu turun tangan” terhadap protes tersebut.
Ini adalah hitung-hitungan yang rumit bagi penguasa. Penindasan mungkin memicu lebih banyak protes. Tetapi di sisi lain, membiarkan solidaritas, kemarahan, dan harapan tumbuh dalam bentuk yang terorganisir di kampus-kampus memiliki risiko tersendiri, sebagaimana sejarah telah sering kali menunjukkannya.
3. Mahasiswa Dapat Mengubah Politik
Kekuatan dan kelemahan peran politik mahasiswa dibentuk oleh posisi sosial mereka. Dave Nadel, seorang veteran sosialis dari gerakan mahasiswa radikal di Monash, menjelaskan pada tahun 1986:
“Sebagai lapisan sosial, mahasiswa lebih independen dari tekanan ekonomi dibandingkan pekerja, dan juga dari institusi seperti serikat buruh dan Partai Buruh, yang keduanya memiliki inersia yang cukup besar. Ini membuat mereka lebih mudah berubah, dan sensitif terhadap pergeseran iklim ideologis. Mahasiswa sering kali menjadi ‘barometer bagi masyarakat’.”
Dalam beberapa kesempatan, perjuangan mahasiswa dapat berfungsi sebagai pemicu yang, melalui inspirasi dan beberapa tingkat organisasi sadar, dapat menarik buruh ke dalam perjuangan—menciptakan ledakan sosial. Prancis pada tahun 1968, di mana protes mahasiswa yang meningkat memicu mogok nasional terbesar di dunia, adalah kasus klasik. Namun versi dari ini telah terjadi pada banyak kesempatan lainnya.
Lebih sering, radikalisme di kampus tidak direspon begitu cepat dan dramatis dalam masyarakat yang lebih luas. Meskipun demikian, gerakan ini dapat membantu menghasilkan dan mempertahankan gelombang radikalisme dan aktivisme.
Di Australia, misalnya, protes mahasiswa adalah salah satu kekuatan pendorong dari gerakan kolosal menentang peran Australia dalam perang brutal di Vietnam pada tahun 1960-an dan 1970-an. Dan mahasiswa yang teradikalisasi dalam perjuangan ini kemudian memainkan peran penting dalam menghasilkan dan meregenerasi serikat buruh dan gerakan sosial pada tahun 1970-an dan seterusnya.
Sejarah ini, dan potensi ini, adalah apa yang dipahami semua orang secara intuitif. Dari kamp-kamp yang dibombardir di Rafah dan di seluruh dunia, jelas ada pentingnya gerakan mahasiswa yang substansial muncul—untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade—di Amerika Serikat, pusat kapitalisme global.
Tentu saja, ada batasan penting pada kekuatan yang dimiliki oleh mahasiswa. Buruh, bukan mahasiswa, yang memiliki kekuatan untuk menghentikan produksi, menciptakan krisis sosial dan politik yang mendalam bagi para penguasa kita—dan akhirnya, untuk mengubah kondisi sosial.
Seperti disebutkan di atas, kadang-kadang perjuangan mahasiswa dapat menyulut semangat revolusioner di kelas buruh. Bahkan ketika mahasiswa cukup beruntung untuk menemukan pekerja dalam suasana revolusioner, tingkat organisasi tertentu tetap diperlukan.
Dan jika ambisi kita tidak kurang dari mengakhiri genosida dan agar negara apartheid Israel mengikuti nasib apartheid Afrika Selatan, kita akan membutuhkan tingkat kekuatan sosial—dan organisasi—yang jauh lebih besar.
4. Kekuatan terorgansir itu penting
Di Australia, Perdana Menteri Albanese yang seperti biasa menyudutkan para mahasiswa pengunjuk rasa pekan lalu sebagai “Trots” – alias para sosialis revolusioner – adalah upaya tidak jujur untuk menghapuskan kemarahan dan rasa jijik ribuan orang terhadap kerja sama aktif Partai Buruh dalam genosida Israel. Ini juga merupakan reaksi spontan Albo, yang sudah terbiasa melakukan serangan menjelek-jelekkan kaum kiri dan serangan seperti ini juga sudah jadi kebiasaan mahasiswa Partai Buruh sejak lama.
Tentu saja, kelompok radikal yang membantu mendorong maju perjuangan di kampus-kampus bukanlah hal baru. Kampus Berkeley di Universitas California adalah pusat gerakan mahasiswa radikal di AS selama bertahun-tahun. Pidato luar biasa Mario Savio yang melancarkan pendudukan di Berkeley pada tahun 1964 mengungkapkan:
“Ada saatnya pengoperasian mesin menjadi sangat menjijikkan, membuat hatimu sangat sakit, sehingga kamu tidak dapat mengambil bagian, bahkan secara diam-diam kamu juga tidak dapat mengambil bagian. Dan kamu harus meletakkan tubuhmu di atas gir, di atas roda, di atas tuas, di atas semua peralatan dan kamu harus menunjukkan kepada orang-orang yang menjalankannya, kepada orang-orang yang memilikinya, bahwa jika kamu terbebas, mesin tidak akan bekerja sama sekali.”
Yang tidak banyak diketahui adalah bahwa Savio merupakan seorang pendukung utama Klub Sosialis Independen (ISC) yang baru didirikan, sebuah kelompok sosialis revolusioner di Berkeley. Pada tahun 2020 Joel Geier, salah satu anggota pendiri ISC, mendokumentasikan peran kelompok tersebut dalam radikalisasi Berkeley dalam sebuah artikel di Jacobin. Buku ini merupakan bacaan yang berguna dan inspiratif bagi para calon aktivis radikal kampus manapun (atau yang sudah lama terlibat) — sebagaimana yang Geier bicarakan dalam diskusinya tentang peran yang dimainkan oleh organisasi penerus ISC, Sosialis Internasional, dalam kebangkitan gerakan buruh AS di awal tahun 1970an.
Hubungan antara politik radikal dan aktivisme kampus selalu bersifat dua arah. Sejak masa Bolshevik dan seterusnya, mahasiswa radikal telah memainkan peran penting dalam membangun kekuatan politik revolusioner. Salah satu warisan paling penting pada tahun 1960an dan 1970an adalah kelahiran kembali, dan di beberapa negara pertumbuhannya pesat, organisasi-organisasi sosialis revolusioner yang menolak karikatur sosialisme mengerikan yang direpresentasikan oleh partai-partai Stalinis.
Proyek demikian tidak kalah pentingnya.
Inti dari memahami dunia, seperti yang pernah diamati oleh Karl Marx, adalah mengubahnya.
Dan tentu saja, semakin besar dan mendalam perubahan yang ingin kita menangkan, semakin penting pula bagi kita untuk memiliki kekuatan politik yang mampu melakukan pertarungan politik berskala besar dan efektif melawan partai-partai pro-imperialis dan pro-kapitalis yang sudah mengakar ini. Untuk membebaskan Palestina, apalagi menghapuskan kapitalisme, dibutuhkan kekuatan sosialis kelas buruh yang terorganisir dalam skala besar. Membangun kekuatan-kekuatan tersebut di mana pun kita bisa adalah salah satu tugas krusial, jika kita serius untuk mewujudkan pembebasan manusia.
5. Sejarah dan perjuangan bergerak dalam gelombang
Tahun 1968 adalah titik acuan yang konstan dan penting bagi para pemrotes saat ini. Penghancuran perkemahan mahasiswa di Universitas Columbia pada tanggal 30 April terjadi pada peringatan 56 tahun penghancuran pendudukan mahasiswa di kampus yang sama, yang memprotes rasisme dan Perang Vietnam.
Penting untuk memperjelas perbedaan dan persamaannya. Pada bulan Februari 1968, tentara AS dipermalukan dalam Serangan Tet oleh tentara Vietnam yang sebagian besar petani. Bagi jutaan orang di seluruh dunia, hal ini membuka banyak kemungkinan dan visi untuk perubahan radikal. Belakangan di tahun yang sama, keburukan Stalinisme terungkap ketika tank-tank Rusia menghancurkan gerakan reformasi demokrasi di Cekoslowakia.
Bersamaan dengan puncaknya ledakan ekonomi pascaperang, krisis-krisis yang saling bersinggungan ini memicu gelombang radikalisme dan pemberontakan selama bertahun-tahun yang mengubah politik di sejumlah negara.
Tingkat krisis dan radikalisasi pada gelombang-gelombang berikutnya memang lebih rendah dibandingkan tahun 1968. Namun kapitalisme global dan dampak buruk globalnya—termasuk krisis ekonomi, rasisme, dan perang—terus menghasilkan gelombang perjuangan dunia.
Kita jelas berada di tengah-tengah gelombang seperti itu saat ini. Mari kita lihat pelajaran apa yang dapat kita petik dari gelombang protes yang terjadi baru-baru ini.
Aksi protes terkoordinasi terbesar dalam sejarah umat manusia terjadi bukan pada masa Karl Marx atau pada tahun-tahun Perang Vietnam, melainkan pada bulan Februari 2003, ketika jutaan orang di seluruh dunia berdemonstrasi menentang invasi yang akan dilakukan ke Irak oleh AS, Inggris, Australia, dan kekuatan imperialis lainnya.
Namun begitu, dibutuhkan banyak hal untuk menghentikan perang. Invasi tetap berjalan meskipun ada protes: mungkin satu juta orang di Irak tewas sebagai akibatnya. Di Australia, warisan politik gerakan ini sebagian besar berupa demoralisasi.
Namun di Inggris, keadaannya sedikit berbeda. Pasukan militer Inggris merupakan bagian besar dari pasukan pendudukan Irak. Dan yang terpenting, kelompok sayap kiri yang cukup besar pada tahun 1970an dan 80an—jauh lebih besar daripada Australia atau Amerika Serikat—sedikit banyak telah meninggalkan warisan politik dan organisasi. Koalisi Hentikan Perang mempertahankan program-program protes berskala besar yang dilakukan beberapa kali dalam setahun di London dan kota-kota lain. Pentingnya lagi, demonstrasi ini selalu memasukkan kemerdekaan Palestina sebagai salah satu tuntutan mereka.
Protes yang terus berlanjut di Inggris juga tidak menghentikan perang, meskipun mereka menghancurkan warisan politik perdana menteri Partai Buruh Tony Blair. Dan bisa dikatakan, kegigihan protes-protes ini adalah alasan utama mengapa protes untuk Palestina di Inggris terus berlangsung secara konsisten dan cukup besar.
Krisis keuangan global pada tahun 2008-2009, dan kesulitan ekonomi pada tahun-tahun setelahnya, menghasilkan gelombang pemberontakan global berikutnya. Pada akhir tahun 2010, demonstrasi jalanan besar-besaran menentang penghematan dan kediktatoran dimulai di Tunisia setelah aksi bakar diri pedagang kecil, Mohamed Bouazizi. Ketika dia meninggal pada 4 Januari 2011, protes semakin meningkat. Dalam beberapa minggu, para pengunjuk rasa berhasil menggulingkan kediktatoran yang telah berdiri selama 23 tahun di negara tersebut. Protes menyebar ke Mesir, menggulingkan kediktatoran Mubarak dan memicu gelombang pemberontakan di seluruh dunia Arab dan sekitarnya.
Aktivis di Yunani meniru taktik utama para pengunjuk rasa Mesir—pendudukan publik di lapangan utama di Kairo—dalam “gerakan lapangan” mereka sendiri. Hal ini kemudian menyebar ke Spanyol dalam bentuk gerakan “Indignados”. Aktivis yang kebetulan juga bekerja di AS dan Spanyol memutuskan untuk mencoba hal serupa di New York. Setelah Occupy Wall Street didirikan, para aktivis di seluruh dunia pun mengikuti jejak aksi ini. Pada bulan Oktober 2011, tenda-tenda bermunculan di Martin Place di Sydney, City Square di Melbourne dan lebih dari 150 kota lain di seluruh dunia.
Kamp-kamp tersebut memang dihancurkan—dalam kasus Melbourne terutama, meskipun pembangkangan yang dilakukan oleh lebih dari seribu pengunjuk rasa . Central Melbourne tampak seperti kota yang berada di bawah darurat militer pada hari itu.
Perkemahan dan pertahanan mereka sangat luar biasa. Namun warisan politik dari gerakan Occupy global jelas beragam. Di beberapa negara, semangat dari protes-protes itu diekspresikan dalam berbagai proyek pemilu, yang semuanya kini telah mati atau berubah menjadi sayap kanan (Syriza di Yunani, Podemos di Spanyol, Corbyn di Inggris, Sosialis Demokrat di AS).
Yang lebih menjanjikan lagi, protes-protes pada tahun 2011 juga mengawali satu dekade protes massal – sebuah protes yang tidak ada tandingannya dalam sejarah umat manusia dalam hal jumlah orang yang terlibat. Pada tahun 2019, protes dan pemberontakan besar-besaran mengguncang Chile, Sudan, Lebanon, Irak, Hong Kong, dan negara-negara lainnya.
Namun sampai pada titik di mana para pengunjuk rasa memuja bentuk-bentuk protes dan pengambilan keputusan yang dipopulerkan oleh Occupy—menempati ruang publik sebagai taktik yang krusial; penolakan untuk mengajukan tuntutan yang jelas; bentuk pengorganisasian “tanpa pemimpin” (yang menjadikan kepemimpinan tidak akuntabel dan pengambilan keputusan menjadi kacau), hal ini justru menghambat dan bukannya membantu gerakan-gerakan tersebut.
Meskipun begitu, gelombang global berikutnya mulai terjadi—dan sekali lagi dimulai di Amerika Serikat. Black Lives Matter menjadi terkenal secara global pada tahun 2014 melalui protes massal menyusul pembunuhan Trayvon Martin, Michael Brown dan Eric Garner. Pembunuhan polisi terhadap George Floyd di Minneapolis pada Mei 2020 juga memicu gelombang protes terbesar dalam sejarah AS, dan gelombang protes anti-rasisme di seluruh dunia.
Salah satu warisan gerakan global Black Lives Matter adalah meningkatnya kesadaran akan Palestina. Protes tahun 2014 di Ferguson, Missouri, setelah pembunuhan Michael Brown oleh polisi bertepatan dengan terjadinya pembantaian besar-besaran oleh Israel di Gaza. Ketika para aktivis di Tepi Barat men-tweet tentang bagaimana mereka diserang dengan gas air mata yang sama persis dengan yang dikerahkan polisi terhadap pengunjuk rasa BLM di Ferguson—dan berbagi informasi tentang cara melawan dampaknya—banyak orang yang kemudian menyadari. Pernyataan-pernyataan yang mendukung Palestina dari kelompok-kelompok terkemuka dalam gerakan BLM juga secara dramatis meningkatkan profil solidaritas Palestina, pada saat itu dan sejak saat itu.
Salah satu buah kesadaran yang dibangun melalui protes Black Lives Matter adalah skala protes global pada tahun 2021, sebagai bentuk solidaritas terhadap penduduk lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur yang diduduki dan meningkatnya perlawanan yang luar biasa di seluruh Palestina. Gelombang solidaritas terhadap Palestina yang belum pernah terjadi sebelumnya—yang telah meluas melampaui komunitas-komunitas yang memiliki ikatan kepercayaan atau kekerabatan dengan wilayah tersebut, bahkan lebih besar dibandingkan beberapa tahun yang lalu—juga membangun warisan ini.
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari sejarah singkat gelombang perjuangan global ini?
Perjuangan datang dalam gelombang. Masing-masing mereka meninggalkan warisan. Dampak dari masing-masing gelombang ini—perubahan yang dicapai, serta warisan politik dan organisasi yang dibangun untuk membangun gelombang berikutnya—bergantung pada banyak faktor.
Namun ada tiga hal yang sangat penting. Pertama, seberapa besar skala krisis ekonomi, sosial, dan politik yang dialami masyarakat ketika gelombang perjuangan tersebut terjadi?
Kedua, kekuatan politik apa, dengan jenis politik seperti apa, yang telah dibangun sebelum gelombang perjuangan tersebut terjadi? Seberapa kuatkah kekuatan reaksi yang terorganisir? Seberapa kuatkah kekuatan terorganisir reformisme, yang bekerja dengan gigih untuk mengarahkan segala ancaman terhadap sistem ke saluran-saluran yang lebih aman dan lebih tenang? Dan kekuatan-kekuatan terorganisir apa yang melakukan hal sebaliknya—menyebarkan perjuangan, mendorongnya sejauh yang kita bisa, dan membangun kekuatan yang lebih radikal dari perjuangan tersebut?
Faktor pertama, yaitu seberapa parah krisis ekonomi atau sosial, hampir seluruhnya berada di luar kendali kita. Sedangkan yang kedua—kekuatan apa yang diorganisir, dan untuk tujuan apa—adalah proyek yang bisa memberikan dampak nyata.
Dan tentu saja, ada faktor ketiga yang menentukan nasib setiap gelombang perjuangan global: apa yang kita semua lakukan.
6. Masa depan itu tidak tertulis
Pada tanggal 22 April, hanya beberapa hari setelah tumbuhnya aksi protes di universitas-universitas AS, situs web Electronic Intifada memuat artikel dari Lubna Ahmad Abu Sitta, salah satu koresponden mereka di Gaza:
“Kamp baru kami di Rafah, setelah pengungsian kami yang ketiga, terletak di kuburan dekat perbatasan Mesir. Setiap hari tenda-tenda pendatang baru—yaitu mereka yang terpaksa mengungsi akibat serangan Israel—semakin mendekat ke kuburan. Setelah setiap pembantaian yang dilakukan Israel, kuburan dan kamp meluas hingga ke tepi luar gurun.”
Semua orang yang membaca artikel ini tahu betapa tinggi resiko yang mereka alami.
Jadi apa tugas kita?
Sebagai seorang aktivis muda di awal tahun 1980an, saya seringkali merasa kagum dan sedikit tertegun saat berbicara dengan para veteran gerakan radikal di tahun 1960an dan 1970an.
“Ini pasti merupakan saat yang luar biasa”, saya ingat pernah berkata kepada Liz O’Brien, salah satu mentornya.
Sejauh ingatanku, Liz menjawab dengan menyetujui bahwa ya, sedikit banyak, itu sangat luar biasa. Semua orang tahu bahwa mereka adalah bagian dari gerakan global. Semua orang tahu mereka sedang membuat sejarah. Namun kita harus ingat—(dalam ingatan saya ada jeda di sini, seolah-olah untuk membuat penekanan)—kita harus ingat, ketika sudah jelas bahwa AS kalah dalam perang di darat, mereka semakin meningkatkan pengeboman dari udara. Jadi sebenarnya lebih banyak orang yang terbunuh. Kemudian mereka menyebarkan perang ke Kamboja. Seringkali kami merasa bahwa pihak kami tidak menang. Untuk waktu yang lama, kami tidak mendapatkannya.
Saya mengingat percakapan ini lebih dari sekali selama tujuh bulan terakhir.
Pertama, pentingnya kegigihan, bahkan ketika dihadapkan pada pembantaian yang luar biasa besarnya.
Dan yang kedua, pentingnya membangun. Jika Liz dan orang-orang sezamannya menolak membangun politik dan organisasi yang menarik kesimpulan umum tentang kapitalisme dari perjuangan khusus di Vietnam, kita akan semakin tertinggal jauh dari apa yang kita perlukan.
Salah satu bagian tugas kita saat ini adalah bekerja, dengan segala yang kita punya, untuk menyebarkan, memelihara dan membangun pendudukan kampus—untuk membangun perlawanan dan memperjuangkan kejernihan dan dari situ membangun harapan.
Bagian penting lainnya dari tugas kita adalah membangun kekuatan yang didedikasikan untuk menggulingkan semuanya.
Naskah diambil dari website susanrosenthal.com. Dapat diakses melalui Six lessons from the student encampments dimuat pada 11 Mei 2024. Diterjemahkan oleh Jasmine Sriwedari dan Tirta Adi Wijaya, anggota Resistance.
Comment here