Kejahatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyiksa warga sipil di Papua mendapat kecaman dan perlawanan dari rakyat. Mulai dari Jakarta hingga Papua, pernyataan sikap dan aksi demonstrasi dilancarkan dimana-mana. Rakyat mengutuk perlakuan TNI yang brutal dan tidak berperikemanusiaan menyiksa Alinus Murib, Warinus Murib, dan Delpius Kogoya di Puncak Papua. Militer, polisi termasuk juga kelompok sipil reaksioner melancarkan represi di lapangan. Termasuk juga memobilisasi buzzer untuk menyebarkan hoax dan kampanye hitam di media sosial.
Jumat (29/03), aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Papua dan berbagai organisasi di Jayapura melancarkan demonstrasi di depan Auditorium Universitas Cenderawasih dan mengutuk kejahatan TNI. Massa berbaris di depan Auditorium dan berorasi secara bergiliran. Massa melayangkan tujuh tuntutan utama, termasuk menuntut pelaku harus diadili, militer organik dan non-organik harus ditarik dari Papua, dan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Massa juga menolak stigma negara terhadap masyarakat sipil sebagai TPNPB-OPM, dan menuntut hentikan kriminalisasi.
Rabu (27/03) ratusan massa aksi yang terdiri dari Ikatan Mahasiswa Papua (IKMAPA) Bandung, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) melancarkan aksi turun jalan di Istana Plaza dan Gedung Merdeka Asia-Afrika Kota Bandung. Massa mengutuk kebrutalan TNI di Papua dan mendesak Presiden sebagai panglima tertinggi TNI untuk menarik militer dari Papua. Massa menilai kehadiran TNI di Papua hanya melanggengkan kekerasan terhadap sipil.
Sementara itu, rakyat Papua di Kota Sorong yang tergabung dalam “Solidaritas Rakyat Anti Militerisme dan Peduli HAM di Tanah Papua” juga melancarkan aksi demonstrasi pada Kamis, 28 Maret. Aksi dilancarkan di depan Studio Elim dengan tema utama “Seakan Kitorang Setengah Binatang.”
Sabtu (30/03) massa melancarkan aksi demonstrasi di Yogyakarta. Aksi dimulai dari Asrama Kamasan 1 di Jalan Kusumanegara dan berakhir di Nol KM. Massa mengangkat tema “Tanah Papua Berdarah, Adili Pelaku Penganiayaan Warga Papua dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis.” Aksi yang sama juga dilancarkan di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Kamis (27/03) Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) Se-Malang Raya juga melancarkan aksi massa di Kota Malang. Aksi diikuti oleh puluhan mahasiswa dengan membawa poster dan yel-yel “hidup rakyat Papua! Hidup Rakyat Indonesia!” Massa melayangkan 27 tuntutan utama, termasuk mengecam Pangdam Cenderwasih Mayjen Izak Pangemanan yang menyebarkan kebohongan bahwa penyiksaan TNI di Puncak Papua adalah hasil editan. Massa juga mendesak Pangdam Cenderawasih harus dicopot dan negara Indonesia segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM baik di Papua maupun Indonesia.
Di hari yang sama aksi juga dilancarkan oleh mahasiswa Papua di Kota Kendari. Mahasiswa Papua di Kendari turun kembali pada Sabtu (05/04). Aksi diikuti oleh puluhan mahasiswa dengan membawa bendera, spanduk dan poster bertuliskan “Melawan Kejahatan Kolonial Indonesia Terhadap Rakyat Bangsa West Papua.”
Kamis (27/03) Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) Surabaya dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) juga turun ke jalan. Juru Bicara, Merku Murib, menyatakan bahwa kejahatan TNI di Papua adalah perlakuan tidak berprikemanusiaan sejak 1961 hingga hari ini. Oleh karenanya mereka mengutuk perlakuan tersebut. Massa aksi melayangkan 12 tuntutan utama dan salah satunya adalah mengecam Pangdam Cenderawasih. Dalam aksinya, massa diintimidasi oleh kelompok sipil reaksioner, Laskar Merah Putih (LMP), namun massa tetap bertahan dan membacakan pernyataan sikap lalu membubarkan diri secara damai dan tertib.
Senin (01/04) Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali juga melancarkan aksi demonstrasi dengan tema “Demokrasi dan HAM Papua Tercekik”. Massa bergerak sejak pukul 08:30 WITA dengan menyampaikan orasi. Pada pukul 09:30 massa dihadang oleh kelompok sipil reaksioner Patriot Garuda Nusantara (PGN). PGN menyerang massa dengan melayangkan pukulan dan lemparan batu. Sekitar 14 orang massa aksi mengalami luka-luka, berbagai perlengkapan aksi seperti poster, dan spanduk dirusak. Sementara itu aparat kepolisian membiarkan serangan PGN tersebut.
Selasa (02/04) di Makasar, Forum Solidaritas Mahasiswa Pelajar Peduli Rakyat Papua (FSM-PRP) juga melancarkan aksi. Massa terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan kaum muda lainnya. Aksi dilancarkan untuk mengutuk perlakuan TNI di Puncak dan Papua secara keseluruhan. Aksi dimulai pukul 14:00 WITA. Ketika aksi baru dimulai, aparat kepolisian langsung membubarkan aksi. Aparat kepolisian memukuli peserta aksi, sebagian ditangkap dan dipaksa menaiki truk polisi. Menurut laporan LBH-Makasar, massa direpresi sebanyak 3 kali dan mengakibatkan lebih dari 5 orang mengalami luka sobek di kepala.
Sementara di Jayapura, Front Mahasiswa dan Rakyat Papua Anti Militerisme (FRMPAM) juga melancarkan aksi pada Selasa 2 April. Massa terdiri dari ribuan mahasiswa, kaum muda, dan elemen rakyat lainnya. Massa berkumpul di beberapa titik secara berbeda, baik di Kota Jayapura maupun Kabupaten Jayapura. Dalam rilisnya, Ones Suhuniap dan Philipus Robaha, Kordinator Aksi menekankan bahwa aksi mereka adalah aksi damai dan murni untuk kemanusiaan. Namun aparat kepolisian tetap melancarkan represi. Pada pukul 07:00 WIT, massa yang berkumpul di Sentani dibubarkan dan 62 orang ditahan sewenang-wenang. Sedangkan di Perumnas 3 Waena, aparat kepolisian dan tentara menyerang massa. Massa dihujani gas air mata, pukulan, dan tendangan. Akibatnya puluhan massa mengalami luka-luka dan satu orang pingsan di tempat. Di titik kumpul yang lain, polisi juga melancarkan represi. Massa yang tersisa kemudian berkumpul di Abepura, dan membacakan pernyataan sikap bersama pada pukul 14:00 WIT.
Jumat (05/04) ribuan rakyat yang tergabung dalam front “Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia” juga turun jalan di Nabire. Massa berukumpul di beberapa titik dengan membawa poster, tuntutan, dan tema “Papua Darurat Militer Demi Investasi.” Dalam rilisnya, Adhen Dimi, Koordintor Aksi mengatakan bahwa kekerasan militer di Papua adalah upaya negara untuk menguasai wilayah Papua demi investasi. Tindakan militer membunuh dan menyiksa rakyat Papua adalah praktek menebar teror demi memuluskan kapital borjuasi di tanah Papua. Untuk itu rakyat mengutuk perlakuan militer di Papua.
Aparat kepolisian dan tentara melancarkan represi secara membabi-buta. Massa diberbagai titik dihadapi dengan senjata dan pentungan. Di titik SP 1 dan 2, polisi menembaki massa. Opinus Japugau pelipis kirinya hancur terkena peluru dan tidak sadarkan diri. Sementara massa aksi lainnya dikejar hingga masuk hutan. Polisi menggerebek rumah warga, dan menghancurkan rumah milik Ketua KNPI Dogiyai, Bernando Boma. Bukan hanya itu, 4 jurnalis yang sedang meliput aksi: Kristinaus Degei, Elias Douw, Melkianus Dogopia dan Yulianus Degei, dikejar oleh aparat, kepala mereka dipukul, dan telpon genggamnya dihancurkan sebagai upaya untuk menghancurkan bukti represi yang mereka lakukan. Sementara PJ Gubernur Papua Tengah, Ribka Haluk menolak menemui massa.
Senin (08/04) Himpuan Mahasiswa Papua di Tapanuli Utara juga turun jalan. Mereka mendesak militer organik dan non organik harus ditarik dari Papua dan adili semua pelaku pelanggaran HAM. Sebelumnya di Manado, Sulawesi Utara, mahasiswa juga turun jalan pada tanggal 03 April. Selain aksi massa, kecaman terhadap kejahatan TNI juga datang dari berbagai pihak lewat peryataan sikap. Mulai dari Komnas HAM, Imprasial, YLBHI, Kontras, BEM UI. Khusus BEM UI, negara memobilisasi buzzer dan menyerang akun media sosial BEM. Ini membuktikan bahwa kejahatan negara di Papua sedan dilindungi dan negara tidak punya niat sedikit pun untuk menyelesaikannya.
Kekerasan militer di Papua termasuk semua represi terhadap perjuangan rakyat harus kita hadapi dengan memperkuat persatuan rakyat Papua dan Indonesia. Mempertahankan demokrasi, meluaskannya, termasuk mengakui hak-hak demokratis rakyat Papua adalah kepentingan bagi rakyat Papua dan sejatinya termasuk kepentingan rakyat Indonesia. (mm)
Comment here