Perjuangan

Kejahatan TNI di Papua dan Solusi Demokratis Untuk Rakyat Papua dan Indonesia

Pada Jumat 22 Maret 2024, beredar sebuah video penyiksaan TNI terhadap seorang warga sipil di Papua. Dalam video itu, korban diredam dalam drum berisi air dengan kedua tangannya diikat ke belakang. Korban secara bergantian dipukuli dan ditendang oleh sejumlah anggota TNI. Punggung korban juga disayat dengan pisau.

Video tersebut beredar cepat dan dikecam oleh berbagai pihak. Gustav Kawer dari Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua mengutuk perlakuan tersebut dan mendesak pelaku harus diadili. Ini kemudian diikuti oleh Komnas HAM, Imparsial, Keuskupan, Gereja, Mahasiswa, dsb.

Sementara Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Izak Pangemanan, berusaha menutupi kejahatan tersebut dengan mengatakan itu adalah hoax dan hasil editan. Belakangan argumen ini terbantahkan dan terbukti TNI lah yang melakukan kejahatan tersebut.

Penyiksaan itu terjadi pada tanggal 03 Februari 2024 di Kabupaten Puncak, Papua. Korban yang diredam dan disiksa adalah Delpius Kogoya. Ia ditangkap bersama Warinus Murib dan Alinus Murib. Mereka ditangkap dengan tuduhan sebagai mata-mata TPNPB-OPM; suatu tuduhan murahan yang kemudian tidak dapat dibuktikan sama sekali oleh TNI dan Polisi.

Mereka bertiga ditangkap saat TNI melakukan penyisiran di Distrik Amukia dan Distrik Gome. Warinus Murib saat ditangkap, kakinya diikat dan disambungkan ke mobil. Ia diseret sejauh 1 Km, sebelum akhirnya disiksa. Sementara Alinus juga dibawa ke pos TNI dan disiksa. Setelah beberapa jam, mereka akhirnya diserahkan ke pos polisi karena tidak cukup bukti untuk membutikan tuduhan dan kejahatan TNI.

Delpius akhirnya pingsan, sementara Warinus Murib meninggal dunia. Jasad Warinus dikremasi oleh keluarga keesokan harinya 04 Februari 2024. Sementara Delpius masih menderita dan sakit-sakittan hingga hari ini. Ini adalah kejahatan TNI di Papua.

Tetapi bukan hanya itu. Pada 22 Februari 2022, TNI juga menyiksa 7 orang anak di Distrik Sinak, Puncak Papua. 7 anak itu adalah Deson Murib, Makilon Tabuni, Pingki Wanimbo, Waiten Murib, Aton Murib, Elison Murib, dan Murtal Kurua. Makilon Tabuni akhirnya meninggal dunia.

Pada 22 Agustus 2022, TNI membunuh dan memutilasi 4 orang warga sipil di Timika. Mereka adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi dan Atis Tini. Keempat orang ini mayatnya dipotong; kepala, badan, dan kaki dipisah menjadi beberapa bagian, diisi di dalam karung lalu dibuang ke sungai.

Enam hari kemudian, TNI dari Batalion Infantri Raider 600/Modang, menyiksa empat orang warga sipil di Kabupaten Mappi, Papua. Empat warga itu adalah Amsal P Yimsimem, Korbinus Yamin, Lodefius Tikamtahae, dan Saferius Yame. Mereka disiksa selama tiga jam dan mengalami luka di sekujur tubuh.

Tiga hari kemudian, pada tanggal 30 Agustus 2022 TNI kembali menyiksa dua orang warga sipil atas nama Bruno Amenim Kimko dan Yohanis Kanggun di Distrik Edera, Kabupaten Mappi, Papua. Bruno Amenim akhirnya meniggal dunia, sementara Yohanis Kanggun menderita luka berat.

Pada 27 Oktober 2022, tiga orang anak di bawah usia 16 tahun disiksa oleh TNI di Kabupaten Keerom, Papua. Mereka adalah Rahmat Paisel, Bastian Bate, dan Laurents Kaung. Mereka disiksa menggunakan rantai, gulungan kawat, dan selang air. Kejadian ini terjadi di Desa Yamanai, Arso II, Distrik Arso.

Pada 22 Februari 2023, TNI dari Angkatan Laut Pos Lantamal X1 Ilwayap menyiksa dua orang warga sipil atas nama Albertus Kaize dan Daniel Kaize. Albertus Kaize akhirnya meninggal dunia. Kejahatan ini terjadi di Kabupaten Merauke, Papua.

Antara tahun 2018 hingga 2021 Amnesty Internasional mencatat bahwa lebih dari 94 warga sipil telah disiksa dan dibunuh oleh TNI dan Polri. Kejahatan ini menyasar orang asli Papua, dan kurvanya terus meningkat dari tahun ke tahun bahkan sejak Indonesia menduduki Papua tahun 1961. [1]

Kejahatan ini dilakukan secara berantai dan tidak terputus-putus, kejahatan ini sudah menjadi pola. Sehingga disimpulkan bahwa ini bukanlah perbuatan oknum-oknum atau satu dua orang seperti argumen TNI untuk mereduksi kejahatan mereka menjadi perbuatan individu. Tetapi ini adalah kejahatan struktural (sistematis) yang dirancang untuk menundukan bangsa Papua, menghentikan segala bentuk perlawanan bangsa Papua demi eksploitasi dan pencurian kekayaan alam Papua.

Persoalan di Papua tidak bisa diselesaikan memperbanyak aparat kepolisian ataupun tentara. Persoalan di Papua harus diselesaikan secara demokratis. Penyelesaian secara demokratis ini termasuk mendirikan Pengadilan HAM untuk semua pelaku kejahatan di Papua sejak tahun 1960an, bukan saja pelaku di lapangan namun juga yang bertanggungjawab dalam rantai komando. Ini akan memutus pola kejahatan yang sudah terjadi, memberikan keadilan pada rakyat Papua. Pengadilan HAM juga akan berarti melemahkan kekuatan anti-demokrasi yang ada di Indonesia dan Papua, yaitu militer(isme). Syarat tercapainya demokratisasi adalah dengan menyingkirkan kekuatan-kekuatan lama sampah-sampah sejarah. Semakin bersih proses tersebut dijalankan maka semakin luas dan mendalam demokrasi bisa didapatkan. Termasuk juga tuntutan rakyat Papua untuk mendapatkan Hak Menentukan Nasib Sendiri.

Ini bukanlah tugas di kemudian hari, tetapi adalah tugas rakyat Papua hari ini. Bukan pula tugas elit politik ULMWP atau aktivis-aktivis politik semata, tetapi adalah tugas seluruh rakyat Papua jika ingin keluar dari kejahatan TNI/Polri atau kolonialisme Indonesia.

Kemerdekaan hanya bisa direngkuh oleh perjuangan rakyat itu sendiri. Rakyat harus berjuang, rakyat harus turun jalan, rakyat harus membangun barisannya sendiri, alat politik alternatifnya sendiri dan berjuang secara teorganisir dan terpimpin.

ditulis oleh: Sharon Muller, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Lingkar Studi Sosialis

Catatan dan Pustaka:

  1. Baca laporan Gemima Harvey “The Human Tragedy of West Papua” 15 Januari 2014. Laporan ini menyatakan bahwa lebih dari 500.000 orang West Papua telah dibantai oleh Indonesia dan aktonya adalah TNI/Polri sejak tahun 1961. Baca selenkapnya di The Diplomat melalui https://thediplomat.com/2014/01/the-human-tragedy-of-west-papua/.
  2. Veronika Coman, unggahan tentang kronologi penyiksaan warga sipil di Papua. Ditulis di dinding facebook Veronika Coman, Minggu 24 Maret 2024. Diakses melalui: https://www.facebook.com/share/p/eDBJMeT9wS1MyA6T/?mibextid=qi2Omg pada 25 Maret 2024 pukul 13:00 WIB.
  3. Jubi, “Dugaan Penyiksaan Warga oleh TNI Menambah Panjang Daftar ke Kekerasan di Tanah Papua” 23 Maret 2024”. Diakses melalui: https://jubi.id/polhukam/2024/dugaan-penyiksaan-warga-oleh-prajurit-tni-menambah-panjang-daftar-kekerasan-di-tanah-papua/ pada  25 Maret 2024 pukul 14:00 WIB.
  4. Voa Indonesia, “Amnesty Internasional: 95 Warga Sipil di Papua jadi Korban Pembunuhan di Luar Hukum.” Diakses melalui: https://www.voaindonesia.com/a/amnesty-international-95-warga-sipil-di-papua-jadi-korban-pembunuhan-di-luar-hukum-/6494380.html 21 Maret 2022. Pada 25 Maret 2024 pukul 15:00 WIB.  

Loading

Comments (1)

  1. […] Translated by James Balowski for Indoleft News. The original title of the article was “Kejahatan TNI di Papua dan Solusi Demokratis Untuk Rakyat Papua dan Indonesia”. […]

Comment here