Opini Pembaca

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu camerad kita di Papua menulis di Lao-Lao 9 Juni 2023 bahwa gerakan pembebasan perempuan harus menentukan musuh bersamanya, yang menjadi akar penindasan perempuan Papua, yaitu patriarki di satu sisi dan corak produksi di sisi lain.

“Secara kolektif, kita harus melawan sistem patriarki yang sudah berakar cukup lama dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari konstruksi sosial budaya masyarakat Papua, tetapi juga imperialisme global yang terwujud dalam sistem kolonial yang sedang berlangsung saat ini. Jika semua perempuan sepakat bahwa patriarki adalah “musuh bersama” perempuan Papua, berdasarkan realitas penindasan perempuan Papua, maka membangun kesadaran kritis perempuan dan laki-laki Papua tentang patriarki merupakan keharusan dalam mengkonsolidasikan gerak bersama.” [1]

Hal senada juga disampaikan oleh kawan Yokbeth Fele bahwa di Papua terdapat dua sistem yang menindas perempuan. Di satu sisi ada kapitalisme-kolonialisme, tetapi di sisi lain ada juga patriarki. Kedua hal ini berdiri sendiri, tetapi saling berkorelasi untuk menindas perempuan Papua. Dengan demikian, kedua kawan kita ini mengadopsi teori strukturalis dan pos-strukturalis yang secara mekanis melihat masyarakat sebagai rangkaian struktur sosial terpisah yang dapat hidup berdampingan. Ada kapitalisme, tetapi ada juga patriarki.

Juliet Mitchell 1974 telah memelopori gagasan ini bahwa “Dalam kesatuan yang kompleks, setiap sektor yang independen memiliki realitas yang berdiri sendiri meski pada akhirnya ditentukan oleh faktor ekonomi … dengan demikian gabungan kondisi perempuan dalam setiap waktu adalah produk dari beberapa struktur (dan) setiap struktur yang terpisah bisa mencapai momen yang berbeda pada setiap masa historis tertentu.” [2]

Dengan kata lain, gagasan ini tidak mengakui faktor corak produksi sebagai satu-satunya penentu/dasar kehidupan manusia. “Sebagian masuk dalam konteks kelas, sebagian lagi tidak” Rosa Moiwend. Benarkah demikian? Benarkah patriarki adalah sumber lain, yang terpisah dari corak produksi, menjadi penindas perempuan? Apa itu patriarki?

Teori patriarki berdiri di atas dasar yang tidak jelas. Pertama, tidak memiliki definisi yang jelas dan kedua, tidak memiliki basis material apapun untuk menopang dirinya. Sebagai konsekuensi solusi yang diajukan juga abstrak atau tidak jelas sama sekali. Kata patriarki atau patriarkhēs dalam bahasa Yunani adalah sebutan yang mengacu pada keluarga khusus Yunani dan Romawi kuno yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin yang bukan hanya memimpin perempuan, tetapi juga laki-laki yang usianya lebih muda.

Marx dan Engles menggunakan kata patriarki dengan definisi di atas. Tetapi pasca Gerakan Perempuan tahun 1960an, kata ini mengalami pergeseran makna. Misalnya dalam Scarlet Women yang dikutip Lindsey German, patriarki diartikan sebagai “sebuah sistem yang menindas semua perempuan, suatu bentuk penindasan menyeluruh, yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan.” [3]

Heidi Hartmann kemudian punya definisi lain, patriarki adalah “suatu rangkaian hubungan sosial antar laki-laki, yang memiliki basis material, dan yang, meskipun hierarkis, membentuk atau menciptakan ketergantungan atau solidaritas di antara laki-laki yang memungkinkan mereka untuk mendominasi perempuan.” [4]

Sementara di tangan Rosa Moiwend, patriarki didefiniskan sebagai “sistem otoritas laki-laki yang melegitimasi dominasi dan penindasan terhadap perempuan.” Bahkan Moiwend lebih luas lagi mendefinisikan patriarki bahwa semua yang memiliki kuasa, otoriter, tidak peduli apakah laki-laki atau perempuan, selama ia menindas perempuan, maka itu adalah patriarki.

Dengan demikian, patriarki sekarang bukanlah laki-laki menindas perempuan, tetapi siapapun yang menindas perempuan, itu adalah patriarki. Sungguh definisi yang luar biasa! Mari kita bertanya: mana sesungguhnya definisi patriarki? Tidak jelas sama sekali. Sebagai gantinya kita dicekcoki dengan definisi yang abstrak, berubah-rubah, dan tidak menentu layaknya bunglong.

Kedua, patriarki tidak memiliki basis material apapun untuk menopang dirinya. Terlepas dari kekacauan definisnya, patriarki muncul dalam dua aliran dominan. Pertama, patriarki sebagai istilah ideologi atau budaya murni dan kedua, petriarki materialis sebagai konsekuensi perbedaan biologis serta keutungan yang diperoleh oleh laki-laki atas penindasan perempuan. Baik yang pertama maupun kedua, sama-sama ahistoris atau tidak cocok dengan bukti apapun.

Rosa Moiwend dalam diskusi lanjutan bersama Lao-Lao Tv menegaskan bahwa di Papua kita mengakui adanya kolonialisme yang menindas perempuan. Tetapi bukan hanya itu, sebab ada juga patriarki di sisi lain yang ikut menindas. Sebagai contoh, Rosa menyeret seorang laki-laki malang yang karena berbagai macam hal “terpaksa” mabuk-mabukan, lalu melakukan KDRT terhadap istrinya.

Rosa lalu mengisahkan, “tetapi laki-laki yang minum minuman keras lalu pulang dan memukul istrinya, itu pandangannya adalah pandangan kuasa, bahwa dia berkuasa atas istrinya, bukan karena negara Indonesia, kolonial atau kapitalis yang membentuk cara berpikirnya. Tapi menurut saya, paham patriarki, paham kuasa itu yang menindas perempuan.” [5]

Lantas kita bertanya, darimana paham ini berasal? Apakah bisa ada suatu gagasan yang muncul tanpa mempunyai basis material yang mendasarinya? Inilah omong kosong dari teori patriarki sebagai ideologi murni. Gagasan atau ide hanyalah produk dari basis material tertentu yang mengkondisikan masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan tenaga produktif dalam suatu masyarakat itu sendiri.

Marxisme secara jelas menyatakan bahwa bukan ide yang menentukan eksistensi manusia, tetapi sebaliknya eksistensi manusia yang mengkondisikan ide, gagasan, moral, intelektual, dan suprastruktur lainnya. Dan ide atau pikiran adalah produk dari aktivitas manusia dengan lingkungannya. Ahli neurobiologi, Steven Rose menulis bahwa:

“Konsekuensi yang niscaya dari evolusi struktur-struktur otak tertentu yang berkembang dalam serangkaian perubahan evolusioner dalam jalan yang ditempuh oleh kemunculan umat manusia … kesadaran adalah satu konsekuensi dari evolusi dari satu tingkatan kompleksitas dan derajat interaksi tertentu di antara sel-sel syaraf (neuron) di vorteks serebal, sementara bentuk yang diambil tiap-tiap otak dimodifikasikan secara mendasar oleh perkembangannya dalam hubungannya dengan lingkungannya.” [6]

Laki-laki mabuk yang diseret oleh Rosa dalam kisahnya bukan mahluk gaib yang hidup di ruang hampa. Tetapi ia adalah manusia nyata, yang dalam 1 x 24 jam berinteraksi dengan lingkungannya. Dan dari interaksi inilah muncul pikiran-pikiran di otaknya.

Adalah pembelahan masyarakat di atas garis kelas yang mengkondisikan perempuan sebagai manusia inferior yang merupakan konsekuensi niscaya daripada kepemilikan pribadi di satu sisi, dan propaganda seksisme dari media, agama, pendidikan di zaman kapitalisme di sisi lain—itulah yang membentuk pikiran dari laki-laki mabuk. Atau dengan kata lain, laki-laki mabuk adalah produk dari kondisi sosial ia berada, bukan setan patriarki masuk di kepalanya secara tiba-tiba.

Memang benar argumentasi bahwa patriarki ada lebih dulu sebelum kapitalisme merambah bumi Papua. Tetapi ini hanya sejauh mata memandang, sebab pada analisanya yang terakhir ia pasti hanyalah produk turunan dari basis material atau kondisi sosio-ekonomi itu sendiri. Dan oleh karena itu patriarki bukanlah akar penindasan perempuan Papua.

Mengapa demikian? Jawabannya jelas bahwa tahap komunal primitif yang dilalui oleh nenek moyang kita pertama kali adalah masyarakat tanpa ketidakdilan gender. Semua alat-alat produksi dikontrol secara kolektif; air, hutan, gunung, batu dan sebagainya adalah milik bersama (laki-laki dan perempuan) dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan bersama. Maka penindasan gender, penindasan sex, seperti kita kenal hari ini jelas tidak terdapat di masa itu.

Bahkan apabila mengutip data-data antropologi dari masyarakat Aborigin, yakni saudara kembar kita yang pernah hidup berdampingan di Benua Sahul menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran yang sentral di masyarakat. Antropolog ternama, James G Frazer (1890) menunjukkan bahwa teknik pengolahan tanah, pemilihan jenis tanaman, yang merupakan embrio dari revolusi neolitik di Melanesia adalah hasil kerja perempuan.

“Lagi, di antara pribumi Australia Barat “secara umum dianggap bahwa menggali akar adalah bagian kerja perempuan, dan untuk tujuan ini mereka membawa tongkat panjang, berujung runcing, yang digenggam dengan tangan kanan, dan ditusukkan ke tanah dengan mantap, digoyang-goyang untuk menggemburkan tanah, yang diraup dan dibuang dengan tangan kiri, dan dengan kebiasaan ini mereka menggali dengan sangat cepat. Tetapi kerja yang dibutuhkan sangat besar, dalam perbandingan dengan hasil yang didapat. Untuk mendapatkan ketela dengan keliling sekitar setengah inci dan panjang satu kaki, mereka harus menggali lubang seluas 1 kaki persegi sedalam 2 kaki; karenanya waktu para perempuan dan anak-anak banyak dihabiskan untuk pekerjaan ini… Di daerah-daerah subur, dimana ketela tumbuh berlimpah, tanah terkadang terlihat berlubang-lubang oleh lubang yang dibuat para perempuan dalam pencarian umbi-umbian yang dapat dimakan. Di antara Suku Aborigin di Victoria tengah, alat yang mereka gunakan untuk menggali akar-akarran panjangnya sekitar tujuh hingga delapan kaki ujung ke ujung, yang ujungnya diruncingkan dan dikeraskan di api, yang juga digunakan sebagai senjata, baik untuk bertahan maupun menyerang.

“Dalam kebiasaan seperti di atas, kita dapat mendeteksi langkah-langkah yang memajukan umat manusia menuju cocok tanam yang sistematis.” [7]

Di Papua kita dapati fakta yang sama terkait kepemilikan tongkat kayu oleh perempuan-perempuan tradisional. Di Ayamaru tongkat ini disebut asso yang digunakan oleh perempuan untuk menggali dan menanam umbi-umbian. Di Oksibil disebut atuk, Yalimo disebut wanggun, wadi untuk orang Mee, dsb, dsb. Perempuan memiliki posisi sentral dalam produksi, dan oleh karenanya memiliki basis materil untuk menopang kemandirian mereka dan tidak mudah untuk disubordinasikan oleh laki-laki.

Lagi pula tidak ada kebutuhan materil apapun untuk pensubordinasian perempuan, sebab alat-alat produksi pada tahap ini adalah milik kolektif. Justru sebaliknya peran perempuan sangat dibutuhkan mengingat keprimitifan alat-alat produksi yang tidak memungkinkan laki-laki untuk seorang diri mencari nafkah. Penyingkiran perempuan di tengah kondisi alam yang ganas seperti Papua hanyalah upaya untuk bunuh diri.

Lantas bagaimana kemudian posisi perempuan berubah seperti saat ini? Jawabannya terletak bukan pada kebutuhan laki-laki untuk menindas perempuan seperti gagasan Rosa Moiwend. Melainkan pada basis produksi itu sendiri. Ketika kepemilikan adalah kolektif, maka tidak ada kebutuhan untuk menindas. Tetapi ketika dibalik menjadi milik perseorangan, maka ada kebutuhan untuk menindas karena berkaitan dengan perebutan/mempertahankan sumber daya dan pengorganisiran kelas-kelas baru.

Adalah revolusi neolitik yang menjadi sumber dari persoalan ini. Peralihan dari fase kebinatangan yakni ketergantungan sepenuhnya pada persediaan alam ke pertanian holtikultura pasti membawa dampak yang besar pada organisasi klan dan perempuan secara khusus.

Pertanian holtikultura telah memastikan sumber persediaan makanan yang cukup. Bahkan di daerah-daerah subur hasil produksi berlimpah ruah. Ini kemudian dilihat dalam upacara-upacara adat sebagai ungkapan syukur terhadap hasil yang diperoleh. Di beberapa daerah seperti Suku Wano, hasil-hasil produksi dibawa ke lapangan terbuka dan kemudian diambil oleh siapa saja yang membutuhkan. Sementara di tempat-tempat lain yang kelas-kelasnya sudah terbentuk, seperti Sentani misalnya, surplus ini diserahkan kepada kelas ondofolo, dsb.

Pertanian holtikultura adalah pekerjaan yang berat. Aktivitas menebang pohon, pembersihan, pembakaran, penanaman, dsb, tidak mudah untuk dilakukan seorang diri. Atau jika terpaksa dilakukan, hasilnya akan sangat kurang maksimal (ini terutama karena alat-alat produksi masih sangat primitif). Sehingga kebutuhan akan tenaga kerja semakin meningkat.

Perempuan lalu didorong untuk memproduksi anak dalam jumlah banyak. Bahkan di beberapa daerah, laki-laki “dibolehkan” untuk memiliki istri lebih dari satu guna mempercepat produksi tenaga kerja. Di lain sisi, kebutuhan angkatan perang untuk bertahan atau menyerang juga memperkuat kecenderungan di atas. Hal ini kemudian secara bertahap menyingkirkan perempuan dari aktivitas produksi utama, dan secara ekonomi bergantung kepada laki-laki.

Di lain sisi, kepemilikan pribadi juga mendorong adanya kebutuhan pewarisan. Perempuan harus “dimiliki” secara pribadi, disucikan, dikurung dalam rumah, untuk memastikan benih yang ada di dalam rahimnya adalah benar-benar milik satu orang. Ini kemudian menandai terjungkalnya perempuan dari urusan-urusan publik dan ditarik ke urusan domestik.

Tetapi apakah laki-laki mendapat untung dari proses ini? Laki-laki primitif sama sekali tidak memiliki kebutuhan untuk mendapat pijatan pribadi di rumah, tukang masak air panas, pembantu pribadi, dsb. Sumber utama kecemasan mereka adalah pemenuhan kebutuhan hidup “keluarga” [8] atau klan dan keberlangsungan hidup generasinya di masa yang akan datang.

Pembagian kerja yang ada bukanlah karena kebutuhan laki-laki untuk menindas perempuan, tetapi terjadi secara spontan sebagai konsekuensi niscaya dari perubahan hubungan produsksi itu sendiri. Perlu ditekankan pula bahwa proses pembagian kerja yang terjadi di masa itu bukanlah dalam makna seperti hari ini, tetapi proses sederhana dalam upaya pemenuhan hidup sehari-hari. Bahkan dalam momen tertentu, spesialiasi macam ini tidak diperlukan dan mereka secara kolektif bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa laki-laki primitif memiliki kebutuhan untuk menindas perempuan. Mereka dikondisikan oleh hubungan produksi yang baru, dan ini secara tak terelakan terjadi di luar kendali mereka.  

Lalu bagaimana dengan laki-laki Papua modern? Jawaban atas pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan menjawab pertanyaan mendasar yaitu: siapa yang diuntungkan dari penyingkiran dan penundukkan perempuan? Jawabannya jelas bahwa bukan laki-laki sebagai soerang individu, tetapi sistem sosial yang diuntungkan dari proses tersebut.

Kerja domestik tak berbayar misalnya, yang dilayani bukanlah suami atau laki-laki di rumah. Tetapi ini merupakan unit dasar layanan gratis yang dilemparkan oleh sistem sosial kepada keluarga untuk menyegarkan tenaga kerja, merawat tenaga yang telah dihisap dan sudah tidak lagi produktif (lansia), dan mengasuh serta merawat anak-anak yang menjadi calon tenaga kerja di masa yang akan datang.

Anak-anak yang dibesarkan dengan susah-payah, kelak ketika bekerja yang dilayani bukanlah laki-laki melainkan sistem itu sendiri. Anggota Polri Noken yang bekerja di Freepot yang dilayani bukan kepentingan bapaknya atau laki-laki, pegawai rendahan di kantoran, pegawai bank, guru, perawat, buruh, dsb—yang dilayani adalah sistem itu sendiri yakni kapitalisme-kolonialisme yang sedang menjarah bumi Papua.

Bahkan justru sebaliknya, proses penindasan terhadap perempuan Papua sangat merugikan laki-laki itu sendiri. Seksisme, upah rendah, penyingkiran perempuan dari akses-akses publik, dsb, justru menjebak laki-laki dan perempuan dalam ketidakpastian hidup serta kemiskinan yang mengerikan. Ini adalah kenyataan yang terjadi di Sorong hingga Merauke.

Kesimpulan

Kita tidak pernah menolak realitas yang ada. Bukti bahwa sebagian laki-laki Papua memukuli istrinya, merendahkan, dsb, adalah fakta sehari-hari yang bisa ditemui dimana saja. Tetapi untuk memahami itu, tidak cukup hanya berbicara mengenai apa yang tampak di depan mata. Namun harus melampaui itu, yakni memahami totalitas kongkretnya.

Argumen Rosa bahwa “Patriarki berdasarkan realitas di Papua” hanyalah kenyataan bahwa dia berhenti pada apa yang di depan mata. Sementara apa yang melatarbelakangi kemunculannya, mengapa itu terjadi, dan sebagainya—tidak diperhitungkan. Ini adalah cara pandang yang tidak dialektis, dan oleh karena itu reaksioner.

Gagasan bahwa laki-laki menindas perempuan adalah sama persisnya teori konspirasi. Bukan hanya tidak dapat dibuktikan, tetapi justru mengarah pada solusi yang salah. Penindasan terhadap perempuan bukanlah diakibatkan oleh laki-laki atau kerjasama antara laki-laki dan modal, melainkan akibat langsung dari kepemilikan pribadi dan/atau penjajahan kapitalisme-kolonialisme Indonesia di atas tanah Papua.

Sehingga solusinya jelas, bukan hanya perjuangan merubah ide-ide di kepala manusia. Tetapi di atas itu, laki-laki dan perempuan berdiri di atas solidaritas penuh sebagai sesama kaum terjajah dan ditindas dalam perjuangan bersama untuk mengusir penjajah Indonesia dan mendirikan masyarakat tanpa penindasan yakni sosialisme yang gilang-gemilang.

ditulis oleh Sharon Muller, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Lingkar Studi Sosialis.

Catatan:

  1. Rosa Moiwend, “Gerakan Perempuan Papua dan Perlawanan Terhadap Patriarki” Lao-Lao 09 Juni 2023. Diakses melalui: https://laolao-papua.com/2023/06/09/gerakan-perempuan-papua-dan-perlawanan-terhadap-patriarki/ pada 09 Juni 2023.
  2. Juliet Mitchell, “Psychonalysis and Feminism” London 1974.
  3. Scarlet Women dalam “What’s Wrong with Patriachy Theory?” Lindsey German 1988. Diterbitkan ulang oleh Bintang Nusantara dalam bunga rampai “Kritik Terhadap Teori Patriarki” 2021. Hal:45.
  4. Heidi Hartman dalam “Kritik Terhadap Teori Patriaki” 2021 Hal:17.
  5. Rosa Moiwend dalam “Mengapa Patriaki Menindas Perempuan?” Lao-Lao Tv 26 November 2023. Diakses melalui:

https://www.youtube.com/watch?v=NHMPGOCx3iM&t=1408s pada 09 Januari 2024.

  • Steven Rose, “The Conscious Brain” 1973. Dikutip oleh Alan Woods dan Ted Grant dalam “Nalar yang Memberontak” Resist Book Yogyakarta, 2015. Hal 403.
  • James G Frazer, “The Golden Bough” 1890. Dikutip oleh Evelin Reed dalam “Evolusi Perempuan dari Klan Matriarkal Menuju Keluarga Patriakal” Yayasan Kalyanamitra 2017. Hal:117.
  • Penyebutan keluarga dalam baris ini diberi tanda (“ ”) untuk memisahkan bentuk pemaknaan keluarga hari ini dengan pemaknaan keluarga pada masa pra kelas. Catatan para sejarawan dan antropolog dari berbagai negeri telah menunjukkan bahwa institusi keluarga adalah unit yang baru ada dan sebelumnya tidak dikenal sama sekali. Evolusi manusia Papua dari tahap kebinatangan yang sama seperti manusia-manusia lain di muka bumi jelas tidak meragukan untuk tesis yang sama diterapkan di Papua.

Loading

Comment here