Opini Pembaca

Penindasan Perempuan dan Alternatif Sosialisme

Tidak ada sejentik pun keraguan lagi berdasarkan kenyataan hari ini bahwa di dalam kapitalisme perempuan ditindas, direndahkan, dan diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi.

Memang benar argumentasi bahwa di tatanan sebelum kapitalisme perempuan juga ditindas. Namun kebenaran ini hanya benar jika argumen tersebut ditujukan kepada zaman ketika manusia dirobek menjadi kelas-kelas. Karena jauh sebelum itu, yakni masyarakat komunal primitif, posisi perempuan dan laki-laki adalah setara dan tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda ketimpangan gender.

Data-data antropologi terbaru menunjukan bahwa 100.000 tahun yang lalu setelah manusia modern (Homo sapiens) muncul pertama kali di Afrika dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, teknologi atau alat bantu kerja yang digunakan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup masih primitif dan terbatas sehingga mendorong manusia untuk hidup bergerombol dan bekerja secara kolektif baik laki-laki maupun perempuan.

Unit sosial produksi yang berkembang pada tahapan ini adalah klan, dan belum ada unit keluarga patriarki yang menempatkan laki-laki lebih tinggi. Semua alat produksi dimiliki secara bersama, tidak ada kepemilikan pribadi, tidak ada negara, tidak ada militer, tidak ada kelas-kelas sosial, dan lebih penting semua tugas merawat, membesarkan, serta mendidik yang dimitoskan menjadi tugas “alamiah” perempuan hari ini, tidak ditemukan sama sekali di masa itu.

“Saat Pastor Le Jeune bertanya kepada seorang dari suku Indian tentang bagaimana dia bisa mencintai anak-anak yang diakui bukan anak kandungnya sendiri” tulis Evelyn Reed dalam bukunya Mitos Inferioritas Perempuan, “orang indian itu memandangnya dengan jijik, dan menjawab, “kamu tak masuk akal. Kamu… hanya mencintai anak-anakmu; kami mencintai semua anak-anak di suku ini…kami semua adalah ayah dan ibu bagi mereka”.  [1]

Anak-anak yang dilahirkan adalah tenaga kerja masa depan. Di pundak mereka adalah masa depan kehidupan manusia. Sehingga menjadi mutlak perlu bagi masyarakat secara umum untuk merawat dan mendidik mereka. Masyarakat komunal primitif “menyadari” ini, sehingga tugas tersebut diemban oleh komunitas klan mereka. Dengan demikian tugas tersebut bukanlah kerja individu perempuan sebagaimana yang kita kenal hari ini.

Data-data antropolog juga menunjukan bahwa di fase ini tidak terdapat pembagian kerja yang rigid antara laki-laki dan perempuan. Sebuah penelitian terbaru di situs Neolitikum, Çatallhӧyȕk, Turki, menguak fakta ini, bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki pola makan dan tugas yang sama, termasuk di dapur. Di Suku Agta di Timur Laut Lauson, Filipina, sebagaimana diuraikan oleh Brewer 2017 juga menunjukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan bekerja secara kolektif di bidang perburuan.

Perempuan juga bukanlah manusia lemah. Alison A Macintosh, Ron Pinhasi, dan Jay T Stock menganalisa jenazah dari pemakaman masa Neolitikum, Zaman Perunggu, dan Zaman Besi mereka menemukan bahwa otot perempuan pra-sejarah jauh lebih kuat dari juara atlet dayung hari ini. Ini adalah konsekuensi tak terhindarkan dari kerja manual yang mereka lakukan untuk bertahan hidup pada saat itu.

Memang jelas bahwa terdapat penyempitan tulang panggul akibat bipedalisme, perkembangan kapasitas otak untuk melahirkan, dan ada ketergantungan bayi pada ibu. Tetapi di masa ini para perempuan memiliki kemerdekaan, kemandirian, dan tidak diperbudak sama sekali. Ini pertama sekali karena sumber daya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup tidak dimiliki secara pribadi sehingga semua orang, termasuk perempuan bisa mengaksesnya secara bebas. Dan ketika semua manusia memiliki kekayaan yang setara, maka di atas basis apa satu manusia dapat menindas manusia lain? Tidak ada sama sekali.

Hanya ketika masyarakat komunal primitif digulingkan, kepemilikan kolektif dihilangkan dan digantikan dengan kepemilikan pribadi, sebagian orang, termasuk perempuan menjadi tuna daya karena tidak memiliki akses terhadap surplus sosial. Dan inilah yang menjadi basis utama penaklukkan perempuan.

Jadi tidak benar argumentasi bahwa perempuan posisinya selalu lebih rendah dari laki-laki, tugasnya di rumah, diperbudak dan lemah. Tetapi penundukan terhadap perempuan muncul di waktu tertentu dan merupakan produk khusus dari tahapan tertentu sejarah perkembangan manusia. Atau pendeknya, bukanlah hal alamiah, atau ditakdirkan sejak dari semula.

Lalu bagaimana kemudian proses transformasi yang merendahkan perempuan seperti saat ini terjadi? Apa basis materialnya?

Kepemilikan pribadi dan Penaklukkan Perempuan.

Tidak seperti ideologi lain, Marxisme telah jauh hari menyimpulkan bahwa proses penaklukkan perempuan tidak bisa tidak pasti berkaitan erat dengan cara dimana manusia diorganisir untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dengan mendasarkan diri pada bukti-bukti sejarah yang dikumpulkan oleh para antropolog awal seperti Lewis Morgan, Edward Taylor, Charles Darwin, dsb, Fredrik Engles—bapak Marxisme, dalam karyanya Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara menyimpulkan bahwa sumber penaklukkan perempuan adalah ketika disingkirkannya mereka dari produksi sosial dan beralihnya tugas-tugas rumah tangga menjadi urusan pribadi. Kedua hal tersebut adalah akibat langsung dari pergantian kepemilikan komunal ke kepemilikan privat laki-laki atas alat produksi.

Walaupun bukti-bukti yang digunakan oleh Engels pada waktu itu sangat terbatas, namun kesimpulannya telah memberi dasar ilmiah bagi jalan menuju pengungkapan fakta ini. Sebagaimana yang ditulis oleh Pat Brewer bahwa pengembalan ternak dan penemuan mata bajak telah memunculkan kemakmuran baru bagi komunitas kesukuan, dan oleh karena hanya laki-laki yang mengontrolnya, status mereka samakin meningkat dibadingkan perempuan.

Lalu mengapa hanya laki-laki yang mengontrol produksi? Jawabannya jelas, bahwa dengan adanya agrikultur, hewan-hewan besar seperti lembu dan biri-biri mulai dilatih untuk membajak, dan kebutuhan tenaga kerja manusia mulai meningkat. Dan oleh karena hanya perempuan yang bisa melahirkan, maka ia dituntut untuk terus memproduksi anak dalam jumlah banyak. Kedua, agrikultur adalah pekerjaan yang berat dan tidak mudah untuk dikerjakan sambil mengasuh anak. Untuk itu perempuan ditarik ke ranah domestik sehingga tidak lagi terlibat penuh dalam produksi makanan sehari-sehari.

Sementara yang ketiga adalah dengan adanya bantuan binatang, agrikultur bajak tidak lagi membutuhkan kerja kolektif seperti halnya holtikultur, sehingga kerjanya semakin terisolir karena hanya membutuhkan beberapa asisten atau pembantu. Dengan demikian laki-laki yang terlibat penuh dalam aktivitas produksi, sementara tugas perempuan secara bertahap dan untuk pertama kalinya mulai bergeser ke ranah domestik. Rueter dan Runner menulis dalam The Family bahwa:

“Ketika perempuan berhenti untuk memproduksi, dia menjadi bergantung, menjadi membutuhkan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pernikahan, untuk pertama kalinya di dunia, memunculkan beban ekonomi yang serius. Hukum dan agama muncul untuk mendukung, menyebarkan, dan menegakan gagasan baru ini—bahwa kebutuhan hidup perempuan dan anak-anak adalah kewajiban dan tugas alami laki-laki.” [2]

Konsekuensi langsung dari hal ini adalah: 1) melahirkan anak dilihat sebagai tugas utama perempuan, 2) Anak laki-laki dilihat lebih berharga karena akan membantu kerja di ladang dan pewaris kekayaan, 3) tersingkirnya perempuan dari produksi makanan berarti sama halnya bergantung kepada laki-laki, 4) laki-laki cari nafkah (tulang punggung/kepala keluarga) dan perempuan sebagai pelengkap, dan 5) Tugas domestik dilihat sebagai tanggungjawab perempuan.

Pada perkembangan selanjutnya, pengembalaan skala besar juga dilakukan dan memunculkan perampokan sebagai variasi dari perburuan. Tanah menjadi sumber kekayaan pribadi, dan di sisi lain surplus produksi menjadi berlimpah. Kelas-kelas baru mulai terbentuk, sistem warisan menurut keluarga patriarki dipraktekkan, dan sumber daya tidak lagi menjadi milik kolektif tetapi dikuasi secara pribadi.

Perempuan yang diasingkan dari produksi sosial telah menjadi tuna daya karena tidak memiliki basis apapun untuk menopang kemandirian mereka. Dan oleh karena itu mereka menjadi bergantung sepenuhnya kepada pemilik kekayaan, yakni laki-laki. Inilah basis material atau “asal-usul” mengapa perempuan ditempatkan lebih rendah dari laki-laki.

Keluarga dan negara

Adalah fakta bahwa sistem keluarga patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan laki-laki sebagai pewaris kekayaan merupakan institusi paling penting yang melanggengkan penindasan terhadap perempuan hingga hari ini.

Mekanisme pewarisan kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang dimiliki oleh laki-laki adalah buktinya. Dengan terlahir sebagai manusia yang tidak memiliki kekayaan, perempuan sejak lahir telah ‘ditakdirkan’ untuk menjadi nomor dua, diasingkan dari produksi sosial, dan tidak memiliki basis material apapun untuk bisa mandiri.

Tak terhitung jumlahnya bukti mengenai praktek ini. Di masyarakat modern dapat kita temukan di masyarakat pedesaan yang mewariskan tanah untuk anak laki-laki, rumah untuk anak laki-laki, sawah untuk anak laki-laki, dan seterusnya. Perempuan dianggap tidak memiliki hak, dan dilihat hanya sebagai mesin produksi anak untuk produksi dan pewarisan selanjutnya.

Seperti yang diungkapkan oleh Kristen R Ghodsee bahwasannya “penaklukkan perempuan bermula dengan menjadikan mereka tergantung secara ekonomis pada laki-laki sekali lagi. Tanpa uang dan tanpa perangkat untuk menghasilkannya, perempuan menjadi tuna daya untuk menentukan jalannya hidup mereka sendiri. Kemandirian personal membutuhkan sumber daya-sumber daya untuk membuat pilihan-pilihan anda sendiri.” [3]

Tetapi apakah semua laki-laki mendapat keuntungan dari proses penundukkan perempuan? Jawaban atas pertayaan ini sangat penting karena sekali lagi akan menentukan arah perjuangan untuk membebaskan perempuan dari belenggu penindasan.

Adalah jelas bahwa ketika kepemilikan kolektif digulingkan dan diganti dengan kepemilikan privat (di tangan segelintir orang) maka terdapat basis material untuk penindasan terhadap kelompok sosial tertentu. Mereka yang tidak memiliki alat produksi, entah karena kalah perang, atau lahannya tidak subur, terpaksa harus menyerahkan tubuhnya bekerja kepada mereka yang memiliki alat produksi. Disinilah lahirnya penindasan satu manusia terhadap manusia lainnya.

Kemudian untuk mempertahankan hal tersebut, dibutuhkan sebuah institusi untuk melanggengkannya. Institusi tersebut adalah keluarga dan negara. Yang tersebutkan terakhir berfungsi untuk memproduksi ide dan kekerasan, sementara yang pertama berfungsi untuk melemparkan tugas sosial (masyarakat secara keseluruhan) menjadi tugas individu-individu keluarga.

Sistem keluarga dan penundukkan atas perempuan muncul seiring dengan institusi-institusi lainnya dari kemunculan masyarakat berkelas dalam rangka menopang pembagian kelas yang baru lahir dan menjaga kekayaan pribadi. Negara dengan polisi dan tentaranya, hukum dan pengadilan, turut memperkuat hubungan ini. Ideologi kelas penguasa berdiri di atas dasar ini dan memainkan perang penting dalam kemerosotan jenis kelamin perempuan. Dikatakan bahwa perempuan secara fisik dan mental lebih lemah dari laki-laki dan oleh karena itu ‘alami’ atau secara biologis merupakan jenis kelamis kedua” (DSP, Feminisme dan Soalisme 2015. Hal:25)

Atau dapat dikatakan bahwa kedua institusi tersebut (keluarga dan negara) secara serentak diorganisir oleh kelas berkuasa untuk menopang pembagian kelas yang sedang berlaku dengan cara membalikkan posisi perempuan dari yang dulunya setara (bahkan sangat fital), menjadi tidak berdaya dan di posisi nomor dua.

Jika di masyarakat sebelumnya tugas membesarkan, merawat, dan memenuhi kebutuhan hidup adalah tanggungjawab sosial. Maka di tatanan terbaru, itu semua menjadi tanggungjawab individu. Mengapa demikian? Karena surplus produksi tidak boleh didistibusikan secara merata karena akan mengurangi profit kepada kelas berkuasa. Inilah alasan utama institusi keluarga patriarki harus ditegakkan.

Sementara itu, mekanisme keluarga yang mempraktekkan sistem pewarisan juga adalah keuntungan bagi klas penguasa karena kedudukkan mereka tetap dipertahankan. Anak budak tetap akan terlahir sebagai budak dan anak pemilik budak akan terlahir sebagai pemilik budak, anak petani hamba akan terlahir sebagai petani hamba dan anak raja akan terlahir sebagai raja, anak buruh akan terlahir sebagai buruh dan anak burjuis akan terlahir sebagai borjuis.

Pendeknya institusi keluarga mempertahankan posisi kelas yakni kelas penindas tetap menjadi penindas, sementara yang ditindas tetap ditindas.  Sehingga dapat dikatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan dari golongan yang ditindas, diperas, dihisap, dan diperbudak oleh kelas berkuasa tidak mendapat keuntungan sejentik pun dari mekanisme sosial yang berlaku.  

Di masa perbudakan, sistem keluarga hanya dikenal oleh pemilik budak (tidak ada sistem keluarga di antara para budak). Budak-budak dicuri dari Afrika untuk dipekerjakan tanpa punya anak dan istri/suami. Di zaman feodalisme, sistem keluarga diperluas hingga kelas yang bekerja, hamba, yang memiliki sedikit alat produksi seperti tanah, binatang, dan alat pertukangan, serta menjadi unit dasar dimana produksi sosial diorganisir. Di zaman kapitalisme, sistem keluarga diperluas hingga ke semua kalangan. Tetapi itu sama sekali tidak menghilangkan fungsi ‘tradisional’ perempuan di dalam masyarakat berkelas, dan bahkan semakin mendapat ketidakadilan yang berlipat ganda.

Unit keluarga ‘alamiah’ yang kita kenal hari ini adalah mekanisme bagi borjuis, dan sama sekali tidak cocok bagi keluarga kelas pekerja. Kelas borjuis membagi pekerjaan antara suami dan istri karena mereka mempunyai cukup kekayaan dan kepastian hidup di hari depan. Sementara kelas pekerja karena tidak memiliki alat produksi maka baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk harus bekerja secara kolektif agar tetap hidup.

Misalnya, seorang tukang becak yang berpenghasilan 500 ribu/bulan, apakah istrinya harus tetap di rumah untuk memasak dan merawat anak layaknya istri seorang borjuis? Iya, ini dilakukan. Tetapi adalah fakta bahwa mereka juga harus memikirkan caranya mendapat apa yang mereka sebut sebagai ‘penghasilan tambahan’. Bukti-bukti mengenai ini dapat dilihat di mama-mama pasar di Papua ataupun buruh gendong di Yogya

Lalu apabila kita menarik ke belakang, di masa dimana revolusi industri mulai berkembang, dapat kita saksikan bahwa sebagai akibat dari nafsu kelas berkuasa untuk mengeruk profit sebanyak-banyaknya, mereka menyedot jutaan manusia baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak untuk bekerja di pabrik-pabrik selama lebih dari 14 jam.

F Engels dalam penelitiannya (1845) menulis bahwa, karena semua orang bekerja, termasuk perempuan, maka tidak ada lagi yang mengurus atau merawat tenaga pekerja secara sukarela. Sebagai akibatnya tenaga pekerja tidak terurus dengan baik, sakit-sakitan, angka kematian meningkat, kelahiran rendah, dan kehidupan kelas pekerja berlangsung layaknya binatang. Engels bahkan menyimpulkan bahwa keluarga kelas pekerja akan hancur.

Tetapi apa yang diprediksikan oleh Engels ternyata dipikirkan juga oleh kelas borjuis yang berpikiran lebih maju. Bagaimana pun juga apabila manusia tidak sehat, kelelahan, bahkan mati secara tidak alamiah, berarti sumber pencurian nilai lebih (tenaga manusia) akan menurun dan itu berarti keuntungan bagi kelas borjuis juga akan menurun. Langkah cepat diambil, dengan bantuan negara, institusi keluarga harus ditegakkan kembali agar tenaga kerja sukarela yang bekerja secara gratis untuk mengurus, merawat, dan melahirkan tenaga kerja yakni perempuan ditempatkan kembali di ‘tempatnya’.

“Negara mulai berkampanye membersihkan jalanan dengan menggunakan sejumlah kekuatan represif. Undang-undang anti-tunawisma dan anti-pengemis diberlakukan, dan lingkungan kumuh digusur. Jalanan menjadi tempat negara menegakkan kontrolnya. Langkah pertama reorganisasi keluarga muncul dari perubahan ini, seiring penduduk mulai kehilangan kontrolnya atas jalanan. Reorganisasi ini menekankan dan menegakkan perbedaan antara ruang publik dan ruang privat. Ketika ruang publik sudah benar-benar dikuasai, negara mengambil kontrol atas ruang privat dengan memaksa publik masuk ke dalamnya, dimana norma-norma baru keluarga harus dimapankan.” [4]

Jadi dapat disimpulkan bahwasannya negara dan keluarga adalah institusi yang memainkan peran penting bagi proses penundukan perempuan. Proses ini secara langsung dibutuhkan untuk memastikan akumulasi kekayaan sebanyak-banyak bagi kelas berkuasa. Sehingga perjuangan untuk membebaskan perempuan, tidak bisa tidak, haruslah juga merupakan perjuangan untuk “menghancurkan” dua institusi tersebut melalui perjuangan kelas.

Perempuan di dalam bingkai kapitalisme.

Sama seperti dua tatanan sebelumnya yaitu perbudakan dan feodalisme, kapitalisme juga adalah masyarakat berkelas. Di dalam tatanan kapitalisme, keuntungan adalah dewa yang ditaruh setingkat dengan Tuhan. Sehingga di dalam proses hidupnya, segala hal, termasuk juga tubuh manusia dirubah menjadi komoditas yang diperjual-belikan demi keuntungan.

Kapitalisme membutuhkan penindasan terhadap perempuan karena memiliki dua manfaat. Pertama, tersedianya tenaga kerja murah dan kedua tersedianya pelayan domestik gratis yang berfungsi untuk merawat dan mendidik tenaga kerja yang dipakai oleh kapitalis. Kedua motif ini saling dukung-mendukung, dan telah merantai perempuan dalam pederitaan yang tiada hentinya.

Seperti yang diungkapkan oleh Louise O’Shea dan Grace Hill bahwa kapitalisme tak pelak lagi “tertarik pada orang-orang yang bekerja semurah dan sekeras mungkin. Tenaga kerja yang patuh adalah cikal bakal profitabilitas kapitalis, dan tenaga kerja di mana separuh buruh menerima upah yang lebih rendah dan dengan kondisi yang lebih buruk seperti yang diterima oleh perempuan, lebih bagus lagi.” [5]

Sementara fungsi kedua, agar menekan biaya sosial yang diperuntukkan untuk mendidik dan merawat tenaga kerja, calon tenaga kerja (anak-anak), dan tenaga kerja yang telah dipakai (lansia), maka kapitalisme membutuhkan manusia yang mengambil tanggungjawab itu secara gratis. Menggunakan seksisme, kapitalisme merendahkan seksualitas perempuan agar perempuan yang memikul beban tersebut.

Dengan membagi unit produksi menjadi dua bagian yaitu produksi domestik dan non-domestik, kapitalisme menyatakan bahwa produksi domestik adalah urusan individu keluarga, dan bukan urusan masyarakat secara keseluruhan atau negara. Padahal kenyataanya, dua bagian ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

Misalnya produksi domestik yang berkaitan dengan merawat keluarga, melahirkan anak, melakukan pekerjaan rumah dan sebagainya; yang diuntungkan dari aktivitas ini bukanlah individu keluarga atau laki-laki seperti pendapat teori patriarki. Tetapi masyarakat secara keseluruhan diuntungkan. Karena misalnya anak-anak, mereka adalah prajurit, pekerja, dan pembayar pajak di masa depan. Mereka menguntungkan semuanya, bukan hanya bagi orang tua yang melahirkan mereka ke dunia ini.

Sebenarnya secara teoritis, produksi domestik yang membebankan perempuan dapat disosialisasikan di dalam kerangka kapitalisme. Tetapi biaya sosial, ideologis, dan ekonomis dari rekonstruksi semacam ini sangat besar sehingga kapitalisme tidak mau mengambil tanggung jawab ini, terutama karena mereka juga merasa tidak membutuhkannya. Sehingga satu-satunya pilihan yang tersedia adalah tetap memperkuat pembagian yang sedang berlaku dan menaruh perempuan sebagai tumbalnya.

Di dalam kapitalisme, perempuan juga mendapati dirinya semakin buruk. Melalui majalah, televisi, koran, dsb, kapitalisme mempopulerkan “idealnya seorang perempuan” dengan standar-standar tertentu. Sehingga perempuan yang tidak sesuai dengannya, terus-menerus hidup dalam tekanan dan perasaan rendah diri. Bagi kapitalis, perempuan yang merasa sedih tentang penampilan mereka bukanlah masalah sosial, tetapi peluang bisnis yang menguntungkan. Kugly Kayla menulis:

“Perempuan membeli harga produk kecantikan untuk dapat eksis sekaligus diterima dalam pergaulan sosial, dan diminati oleh laki-laki, dibuat bergantung pada produk-produk tersebut. Perempuan didorong untuk melakukan berbagai cara untuk membentuk tubuh ideal sesuai konsepsi kecantikan yang dikonstruksi kapitalisme. Bahkan lewat industri pornografi tubuhnya dibuat jadi objek seksual.” [6]  

Sementara di dunia ketiga, perempuan terus menghadapi ancaman kekerasan dan intimidasi. Ini karena nafsu kapitalisme untuk meluaskan ekspansinya tetapi berbenturan dengan kepemilikan individu atas tanah. Kaum perempuan yang mempertahankan tanahnya mengalami pelecehan seksual, kekerasan fisik, bahkan banyak yang terbunuh. Perempuan juga menjadi sumber tenaga kerja murah demi keuntungan super.

Perempuan yang kehilangan tanah juga terpaksa menjadi gelandangan dan menjajakan dirinya agar bisa hidup. Di Indonesia, per Juni 2022 angka HIV mencapai 519.158 orang. Angka ini penyumbang terbesarnya adalah wilayah rawan perampasan lahan seperti NTT, Kalimantan, dan Papua.

Sehingga walaupun di dalam kapitalisme tenaga produktifnya telah maju dan bisa membebaskan perempuan, tetapi hubungan produksi yang menempatkan profit sebagai tujuannya tetap menghalangi perbaikan apapun bagi perempuan.

Alternatif Sosialisme

Sosialisme adalah sebuah fase transisi dari masyarakat berkelas menuju masyakarat tanpa kelas. Leon Trotksy menulis dalam Revolusi yang Dikhianati bahwa ketika terompet revolusi sosialis dibunyikan, tugas pertama kali yang harus dilakukan adalah merubah negara menjadi negara yang bukan negara dalam makna sebelumnya.

“Rezim kediktatoran proletaritat, dengan begitu, dari awal berdirinya telah berhenti menjadi “negara” dalam makna lama—sebuah aparatus khusus yang memegang kekuasan atas mayoritas rakyat. Kekuatan material, bersama dengan persenjataan, berpindah tangan langsung dan segera pada organisasi rakyat pekerja seperti soviet. Negara sebagai aparatus birokratik mulai pupus di hari pertama berdirinya kediktatoran proletar.” [7]

“Kekauatan material” adalah alat produksi dan hasil yang telah diproduksi. Sementara “persenjataan” adalah sumber kekuataan, tempat bersandarnya kelas berkuasa selama ini. Sehingga di hari pertama revolusi, tugas langsung dan segera adalah penghancuran dua kekuatan tersebut melalui “berpindah tangan” dari segelintir mahluk parasit yaitu kelas borjuasi kepada kepemilikan kolektif yaitu “organisasi rakyat pekerja seperti soviet”.

Apa artinya ini? Sumber penindasan perempuan yaitu kepemilikan pribadi dan negara (dalam makna lama) telah dihancurkan di hari pertama revolusi sosialis. Ini artinya, secara fundamental, basis material yaitu kepemilikan kolektif—yang berfungsi untuk menopang kemandirian perempuan juga telah tersedia di hari pertama revolusi sosialis.

Selanjutnya dengan kontrol kolektif rakyat pekerja atas alat produksi, semua urusan produksi akan dilakukan secara terencana melalui forum demokratis yang melibatkan semua rakyat pekerja yang tergabung di dalam dewan rakyat. Sehingga produksi atas nama keuntungan individu sebagaimana di dalam kapitalisme juga akan lenyap. Masyarakat baru, yang menempatkan asas kegunaan di atas debu produksi anarkis akan segera mengarahkan sumber daya yang tersedia bagi kepentingan emansipasi manusia, tak terkecuali perempuan.

Ini bukanlah kesombongan intelektual, atau janji-janji kosong kaum marxis. Tetapi telah dibuktikan di Negara Buruh atau Rezim Sosialis 1917 di Rusia. Antara tahun 1917-1927 rezim sosialis mengesahkan serangkaian undang-undang yang memberikan perempuan keadilan legal untuk pertama kalinya. Anak-anak hingga usia 16 tahun menjalani wajib belajar gratis, tunjangan melahirkan, abosi gratis dan legal, dan sebagainya.

Bahkan bukan hanya itu, Program Partai Komunis tahun 1919 juga menegaskan bahwa “Partai tidak membatasi dirinya sendiri pada keadilan formal terhadap perempuan, partai berjuang untuk membebaskan kaum perempuan dari beban kuno kerja rumah tangga dengan menggantikannya dengan rumah-rumah komunal, tempat makan umum, pusat laundri, perawatan anak, dan lain-lain.” (DSP, Feminisme dan Sosialisme 2015, Hal 70).

Tujuan dari hal ini adalah jelas, bahwa parasit yang selama ini merantai perempuan yaitu produksi domestik yang melelahkan harus dihancurkan demi emansipasi perempuan. Dipimpin oleh Clara Zektin dan Alexandra Kolontai, tulis Kristen R Ghodsee “negara soviet muda justru mengusulkan membangun taman kanak-kanak, tempat penitipan bayi, rumah anak-anak, dan kafetaria-kafetaria dan penatu-penatu publik.” [8].

Rezim sosialis menyadari bahwa ketika produksi domestik disosialisasikan, dampaknya bukan hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi sistem secara keseluruhan. Karena pemisahan kehidupan rumah tangga dan kehidupan publik selama ini telah menjadi tembok yang mengisolsasi manusia untuk perkembangan yang lebih baik. Dengan menghancurkannya berarti sama halnya membebaskan lebih banyak manusia ke dalam kerja produktif sehingga dapat meningkatkan total ekstrasi nilai lebih bagi sistem.

Sosialisme adalah jembatan penghubung antara masyarakat berkelas menuju masyarakat tanpa kelas. Basis bagi terciptanya masyarakat tanpa kelas adalah keberlimpahan. Sehingga sosialisme mau tidak mau harus menyediakan segala kebutuhan yang dibutuhkan bagi berlangsungya masyarakat tersebut. Inilah alasan semua manusia, termasuk perempuan harus dibebaskan agar dapat mengimplementasikan kemampuan terbaiknya guna penciptaan “nilai lebih” atau keberlimpahan yang dibutuhkan bagi jalannya masyarakat tanpa kelas.

Sampai disini, anda mungkin akan bertanya “bagaimana caranya rezim sosialis dapat mempertahankan capaian tersebut?”.  Marx menjawab:

“Komune terbentuk dari anggota-anggota dewan kota praja, yang dipilih berdasarkan hak pilih umum di berbagai pelosok distrik kota Paris. Mereka bertanggung jawab dan sewaktu-waktu dapat diganti. Mayoritas dari mereka dengan sendirinya terdiri dari kaum buruh, atau wakil-wakil yang diakui dari kelas buruh … Polisi, yang sampai sekarang menjadi alat pemerintah, dengan seketika dicabut fungsi-fungsi politiknya, dan diubah menjadi organ yang bertanggung jawab dari komune dan sewaktu-waktu dapat diganti. Demikian juga para pejabat semua badan lainnya dari administrasi pemerintahan mulai dari anggota komune sampai ke bawah, pekerjaan umum harus dijalankan dengan upah buruh. Semua hak istimewa uang tunjangan representasi bagi pembesar-pembesar tinggi negara, lenyap bersama pembesar-pembesar tinggi itu sendiri” [9]

Dengan demikian tidak terdapat ruang satu pun bagi seseorang untuk menumpuk kekayaan dan menggunakan kekuasaan dengan semena-mena. Karena jika demikian, maka ia dapat ditarik sewaktu-waktu. Lebih penting “pekerjaan umum harus dijalankan dengan upah buruh” sehingga ini memberi jaminan bahwa tidak ada yang lebih kaya dan tidak ada yang miskin. Dengan demikian, semua manusia adalah setara. Dan ketika semua manusia setara, maka di atas basis apa satu manusia dapat menindas manusia lain? Tidak ada sama sekali.

Inilah sosialisme, seperti yang dikatakan oleh Kristen R Gotsee “jika dilakukan dengan benar, mengarah pada kemandirian ekonomi, kondisi kerja yang lebih baik, keseimbangan kerja/keluarga yang lebih baik dan, ya, seks yang lebih baik”. Atau pendeknya pembebasan perempuan sama dengan sosialisme dan sosialisme sama dengan pembebasan perempuan.

ditulis oleh Sharon Muller, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Lingkar Studi Sosialis

Catatan:

  1. Evely Reed, “Mitos Inferioritas Perempuan” Penerbit Independen, 2019. Hal:24.
  2. Op. cit Hal:28
  3. Kristen R Ghodsee, “Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik di Bawah Sosialisme” Jalan Baru Publisher 2020. Hal:6.
  4. E. Moraletat, “Perempuan, Negara, dan Keluarga” Liberta 2020. Hal:16.
  5. Louise O’Shea dan Grace Hill, “Mengapa Seksisme Terus ada” Arah Juang 2020. Diakses melalui: https://www.arahjuang.com/2020/03/05/mengapa-seksisme-terus-ada/ 
  6. Kugly Kayla, “Kontrol Seksisme terhadap Tubuh Perempuan dan Hak atas Reproduski” Arah Juang 2017. Diakses melalui: https://www.arahjuang.com/2017/11/09/kontrol-seksisme-terhadap-tubuh-perempuan-dan-hak-atas-reproduksi/ .
  7. Leon Trotsky, “Revolusi yang Dikhianati” Resist Book 2010. Hal: 59-60.
  8. Kristen R Ghodsee, Op. cit Hal:38.
  9. Karl Marx, “Civil War in France” dalam V. Lenin “Negara dan Revolusi” Anitesis 2016. Hal:112.

Loading

Comment here