Senin 7 Januari 2024, aksi massa yang menuntut pembebasan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azar dilancarkan di beberapa kota. Di Sorong-West Papua, massa yang tergabung dalam front Solidaritas Peduli Hak Asasi Manusia (HAM) menggelar aksi bisu di Pengadilan Negeri (PN) Sorong. Massa juga membentangkan spanduk “Bebaskan Haris dan Fatia Segera!”
Di Yogyakarta, aksi yang sama juga dilancarkan di Kantor Kejaksaan Negeri. Dalam orasinya massa menuntut Fatia dan Haris harus dibebaskan tanpa syarat. Selain dari itu, massa juga menuntut demokrasi harus dibuka seluas-luasnya, hentikan kriminalisasi terhadap aktivis, dan tolak penambangan Blok Wabu di Intan Jaya.
Sementara di Jakarta, lebih dari 200 orang “menggruduk” Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Sejak pukul 09:00 massa pro demokrasi sudah meneriakan yel-yel “bebaskan Fatia-Haris!” Massa juga melakukan tari-tarian dari Papua, berbagai orasi politik, dan terus mengawal persidangan hingga akhir putusannya.
Sebagaimana diketahui dalam putusannya, Majelis Hakim PN Jakarta Timur memutus “membebaskan terdakwa” dari segala sangkaan yang dialamatkan kepadanya. Menurut hakim, Fatia dan Haris tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan—Mengko Kemaritiman dan Investasi, sehingga keduanya divonis bebas.
“Tidak terbukti sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap Luhut. Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana dakwaan pertama” (Detiknews, 09/01/24).
Fatia dan Haris dilaporkan pada 22 September 2021 oleh Luhut Pandjaitan ke Polda Metro Jaya. Dalam tuntutannya, Fatia dan Haris dinilai melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan pasal 310 KUHP Tentang Penghinaan.
Tetapi ini semua tidak benar. Sebagaimana dikatakan oleh Hakim Cokorda Gede Artahana, bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Fatia dan Haris adalah tidak mendasar sama sekali. Sebab, pertama, penggunaan frasa “Lord” bukanlah suatu penghinaan. “Lord” artinya “Yang Mulia” dan ini merujuk bukan pada pribadi Luhut, tetapi pada jabatan yang diembannya.
Selain itu, Lord adalah kata yang sering disematkan oleh banyak media online untuk menyebut nama Luhut. Bahkan dalam perbincangan sehari-hari kata “Lord Luhut” sering diucapkan namun tidak menimbulkan suatu permasalahan bagi Luhut. Sehingga dalam konteks ini, Fatia dan Haris tidak sedikit pun melakukan pencemaran nama baik.
Kedua, pembicaraan dalam podcast Haris Azar berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN ada juga!! NgeHAMtam,” bukanlah upaya yang dibuat-buat oleh Fatia dan Haris untuk menjadikan Luhut sebagai penjahat atau membuat onar sebagaimana dituduhkan oleh Luhut. Melainkan podcast tersebut membedah hasil kajian cepat 9 LSM tentang Ekonomi Politik Penempatan Militer kasus Intan Jaya yang diterbitkan pada Agustus 2021.
Dalam kajian tersebut, sebagaimana diakui juga oleh Hakim, bahwa 99% saham PT Toba Sejahtera Group adalah milik Luhut. Dan dalam fakta-faktanya terbukti bahwa perusahaan ini, melalui anak perusahaannya PT Tobacom Del Mandiri telah menjajaki kesepakatan bisnis pertambangan bersama West Wits Mining—raksasa tambang asal Australia untuk menjarah emas di Blok Wabu Intan Jaya.
Lebih daripada itu, Majelis Hakim juga menerangkan bahwa PT Tobacom Del Mandiri dan PT Madinah Qurrota Ain telah berkomitmen dalam sebuah kerja sama untuk memuluskan izin clean and clear (CNC) di Kementrian ESDM dan izin pakai kawasan hutan untuk usaha pertambangan Darewo River Gold Project. Dan sekali lagi, Luhut Binsar Panjaitan adalah benefical ownership di PT Toba Sejahtera dan Tobacom Del Mandiri.
Fakta ini dibuktikan berdasarkan rilis West Wits Mining pada April 2017 yang menyatakan bahwa izin CNC telah diterima berkat kerja PT Toba Sejahtera. Dalam dokumen Minutes of Meeting yang ditandatangani 5 Oktober 2016 oleh PT Tobacom dan West Wits Mining, disepakati bahwa Tobacom akan dijatah 30% saham asalkan membantu memuluskan izin di Kementrian ESDM dan pembangunan jalan menuju Blok Wabu.
Pada 21-23 Februari 2017 sebuah pertemuan kembali digelar oleh kedua perusahaan, dan hasilnya adalah menyepakati beberapa hal diantaranya teknis operasional, legal dan struktur organisasi, skema eksplorasi dan operasi, serta teknis pembiayaan. Walau hanya Paulus Prananto, Direktur Utama PT Tobacom yang terlibat, tetapi semua hasil pertemuan ini dilaporkan kepada induk perusahan yakni PT Toba Sejahtera pada Maret 2017. Sehingga argumen Luhut bahwa ia tidak terlibat dalam bisnis tambang Blok Wabu adalah omong kosong.
Tindakan Luhut terhadap Fatia dan Haris adalah murni kriminalisasi. Di satu sisi, untuk membungkam suara-suara kritis yang selama ini rajin menyampaikan fakta-fakta di lapangan, tetapi di lain sisi ini adalah upaya politis elit untuk mengamankan kepentingan bisnis di Papua. Luhut atapun elit Indonesia lainnya bukan saja memegang kekuasaan politik namun juga memuluskan bisnis mereka dengan kekuasaan politik tersebut. Fakta-fakta persidangan di atas adalah buktinya.
Fatia dan Haris telah bebas. Ini merupakan kemenangan rakyat, bukan hadiah majelis hakim, melawan para elit politik yang harus diapresiasi. Namun ini bukanlah akhir dari segala-galanya. Sebagaimana disampaikan oleh Fatia bahwa “selama penderitaan dan pelanggaran HAM itu masih ada, maka kita masih harus terus berjuang”.
Perjuangan yang baik adalah perjuangan yang teroganisir, sebab musuh kita adalah musuh yang terorganisir pula. Dan ini tidak lain adalah pembangunan alat politik milik rakyat tertindas yaitu partai revolusioner.
ditulis oleh Sharon Muller, kader Perserikatan Sosialis dan anggota Lingkar Studi Sosialis
Referensi: Narasi Newsroom “Siapa yang berdusta di Kasus Luhut vs Haris dan Fatia? Buka Matra.” 13 Juli 2023. Diakses pada 14 Januari 2024.
Comment here