Pada 14 Februari 2024 nanti, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum legislatif dan presiden-wakil presiden. Buruh dan rakyat diharapkan memilih anggota legislatif dari 18 partai politik di tingkat nasional, serta tiga pasangan capres-cawapres: antara Anies Rasyid Baswedan – Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo – Mahfud MD, dan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
Dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir, kemunculan partai-partai baru maupun tokoh-tokoh baru seperti Jokowi dan Gibran, hanya berdasarkan atas figur belaka. Pertarungan dalam pemilu 2024 kali ini, seperti sebelum-sebelumnya adalah pertarungan untuk mendapatkan suara berbasis ketokohan. Itulah mengapa dalam pemilu, “elektabilitas” menjadi kata kunci, dan “politik dinasti” menjadi cara elit politik untuk melanggengkan kekuasan. Mereka bersatu dan berpisah atas dasar pragmatis demi mendapatkan kekuasaan untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan kata lain, pertarungan para elit politik bukanlah mengenai demokrasi dan kesejahteraan bagi buruh dan rakyat Indonesia.
Apabila kita cermati kembali, selama seperempat abad setelah Reformasi 1998, para elit politik di Indonesia telah berganti-gantian memegang kekuasaan. Silih berganti berkuasa, mereka menunjukan bahwa tidak ada perbedaan besar diantaranya, termasuk ketika menjadi “oposisi.” Tidak ada perpecahan prinsipil, tidak ada perdebatan prinsipil, tidak ada oposisi alternatif, tidak ada perbedaan perspektif tentang Indonesia kedepannya. Manuver politik tentunya tetap terjadi namun bukan terkait persoalan prinsipil, melainkan berupa manipulasi semata untuk mendapatkan suara. Hampir dalam seluruh kebijakan, pada akhirnya, mereka semua bersepakat.
Secara umum, para elit politik Indonesia saat ini terbagi menjadi dua, yakni sisa-sisa Rezim Militer Orde Baru dan para elit politik yang dianggap di luar Rezim Militer Orde Baru. Namun kenyatan pahit yang harus dihadapi adalah bahwa sisa-sisa Rezim Militer Orde Baru bisa menancapkan kembali kekuasaanya setelah digulingkan oleh perjuangan rakyat dalam Reformasi 1998, justru karena para elit politik di luar Rezim Militer Orde Baru menyelamatkan mereka. Kini, hampir tidak ada partai-partai yang tidak berisi mantan pejabat, jenderal, ataupun pengusaha yang berasal dari Rezim Militer Orde Baru. Kita harus mengingat hasil Deklarasi Ciganjur yang membajak agenda Reformasi 1998. Ketika mahasiswa, buruh dan rakyat berbondong-bondong turun ke jalan untuk menghancurkan sisa-sisa Rezim Militer Orde Baru yang berkumpul di Gedung DPR menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR, para elit politik termasuk Megawati, Gus Dur, Amien Rais, dan Sri Sultan, justru berkumpul di Ciganjur menyepakati deklarasi yang membuka jalan konsensi terhadap sisa-sisa Rezim Militer Orde Baru.
Dalam Pemilu 2014 dan setelahnya, berkembang pandangan bahwa yang harus dilakukan adalah memilih terbaik di antara yang terburuk, memilih untuk mencegah yang terburuk berkuasa ataupun lesser evil. Kini kita dapat melihat hasil dari “lesser-evil-isme” tersebut: Pertama, bahwa ada kemungkinan besar Prabowo-Gibran akan mendapatkan suara mayoritas dalam Pilpres 2024 ini. Keduanya termasuk representasi terkuat dari sisa Rezim Militer Orde Baru dan Politik Dinasti. Kedua, hingga kini belum juga muncul kekuatan politik alternatif dari buruh dan rakyat.
Sudah jelas bahwa dalam masyarakat Indonesia, posisi para elit politik yang memegang kekuasaan selalu berhadap-hadapan dengan buruh dan rakyat. Situasi berhadapan ini amat jelas: “mereka dan kita”, “antara sana dan sini”, “kaum 99% dan kaum 1%”. Oleh karena itu, tidak tepat bagi kelompok gerakan yang mengusung gagasan alternatif sebatas menjadi penyeimbang kekuasaan. Tidak tepat pula kelompok gerakan hanya sebatas bertujuan menjaga suasana agar iklim demokrasi dapat terpelihara sehingga pikiran alternatif terus diberi kemerdekaan bersuara. Tidak tepat juga memandang bahwa tujuan masyarakat sipil adalah mendidik dan mengendalikan para elit politik. Tidak tepat juga jika kita mengambil kesimpulan bahwa ketika kita melawan mereka, maka yang kita lakukan adalah memberikan rekomendasi-rekomendasi bagi para elit politik untuk mengubah kebijakan, sikap ataupun posisinya.
Di sisi yang lain, dalam Pemilu 2024 kali ini juga muncul Partai Buruh, yang dibentuk oleh sebagian serikat-serikat buruh dan organisasi rakyat lainnya. Sebagian kekuatan gerakan demokratis, progresif ataupun sosialis bergabung dengannya. Meskipun menggunakan slogan “We Are The Working Class” namun Partai Buruh masih dikuasai oleh para elit birokrasi serikat buruh. Mereka memiliki sejarah panjang berkolaborasi dengan para elit politik. Hingga kini, para elit birokrasi serikat buruh tersebut masih berupaya untuk mendukung salah satu pasangan calon presiden–wakil presiden. Mereka masih bersandar pada para elit politik yang bertentangan sepenuhnya dengan kepentingan buruh dan rakyat. Akan tetapi, harus diakui bahwa terdapat kekuatan Sayap Kiri dalam Partai Buruh yang terdiri dari organisasi dan individu dengan ideologi demokratik progresif dan memiliki pengalaman panjang perjuangan sebelum bergabung dengan Partai Buruh. Sayap Kiri Partai Buruh ini juga menunjukkan konsistensi posisi politik mereka, termasuk menolak 3 Capres dan menolak Koalisi Partai pendukung Omnibus Law dalam Pemilu 2024.
Tugas dan tujuan kita adalah agar buruh dan rakyat dapat merebut kekuasaan dari tangan para elit politik. Dengan itu maka kekuasaan dapat digunakan untuk kepentingan buruh dan rakyat. Ketika kekuasaan berada di tangan buruh dan rakyat maka Program-program Demokratisasi dan Kesejahteraan dapat dijalankan. Program-program demokratisasi dan kesejahteraan tersebut antara lain:
- Memperjuangkan dan mendorong perluasan hak-hak demokratik dan hak asasi manusia. Memperjuangkan hak serikat buruh serta kebebasan sipil. Menghapus semua produk hukum yang anti demokrasi dan anti rakyat. Seperti Perppu Cipta Kerja, RKUHP, UU ITE, dsb. Termasuk juga melawan mereka yang menghalangi demokrasi.
- Rehabilitasi bagi korban kejahatan kemanusiaan melalui Pengadilan HAM terhadap seluruh Jenderal, Pejabat serta Konglomerat pelaku Kejahatan Kemanusiaan. Rehabilitasi ini termasuk kepada ide-ide Marxisme, Komunisme dan Leninisme yang dikambinghitamkan oleh Rezim Militer Orde Baru dalam Malapetaka 1965.
- Sekularisasi yang memisahkan agama dari negara dan pemerintahan. Serta menjamin kebebasan untuk (ataupun pilihan untuk tidak) beragama, berkeyakinan, beribadah bagi seluruh penduduk.
- Kontrol kelas buruh dan rakyat pekerja atas ekonomi. Kontrol tersebut berarti perencanaan serta pelaksanaan rencana ekonomi harus diawasi, disetujui dan dijalankan oleh pemerintahan yang diwujudkan dari kekuatan serta organisasi buruh dan rakyat.
- Mendukung tuntutan petani untuk melawan perampasan tanah dan Reforma Agraria Sejati yaitu tanah untuk penggarap.
- Kondisi kerja dan kehidupan yang layak. Ini termasuk perjuangan untuk upah yang layak; pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan; kesehatan gratis, berkualitas dan mudah diakses.
- Industrialisasi Nasional untuk mengembangkan tenaga produktif demi kesejahteraan dan kemajuan rakyat.
- Nasionalisasi aset-aset strategis di bawah kontrol rakyat.
- Redistribusi kekayaan nasional.
- Pembebasan perempuan dari seksisme serta melawan penindasan terhadap seksualitas manusia.
- Kesetaraan penuh untuk hak masyarakat adat serta kaum muda.
- Melawan rasisme, seksisme, serta fundamentalisme kanan.
- Perlindungan lingkungan hidup serta sistem tanggap bencana dan deteksi dini bencana secara komprehensif.
- Mendukung perdamaian dan solidaritas internasional dengan mendukung hak menentukan nasib sendiri serta menolak intervensi imperialis.
- Penghapusan utang-utang luar negeri seluruh negara dunia ketiga.
Untuk dapat melakukan itu maka buruh dan rakyat membutuhkan kekuatan politik alternatif, yaitu partai politiknya sendiri. Sebenarnya hampir seluruh gerakan demokratis, progresif ataupun sosialis telah menyerukan pembangunan kekuatan politik alternatif. Salah satunya adalah Konferensi Gerakan Rakyat pada tahun 2018. Konferensi ini dihadiri tidak kurang dari 500 peserta mewakili sekitar 42 organisasi dan dimotori oleh KASBI, KPBI, SGBN, SEDAR dan KSN. Dalam resolusinya menyebutkan: (1) Kapitalisme-imperialisme adalah sumber utama dari persoalan kerakyatan yang menyebabkan kemiskinan, kesengsaraan, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, korupsi, kehancuran sumber daya alam dan ketidaksetaraan dalam ekonomi politik sosial dan budaya; (2) Rezim kapitalisme-imperialisme mengancam demokrasi rakyat, dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang mempersempit ruang-ruang demokrasi (Perppu Ormas, UU ITE, UU MD3, dsb) dan disisi yang lain telah memberi ruang bagi menguatnya kekuatan kaum modal, militerisme, fundamentalisme, patriakalisme dan korupsi yang merajalela; (3) Persatuan gerakan rakyat dan kekuatan politik alternatif menjadi kebutuhan mendesak bagi gerakan rakyat untuk melawan rezim kapitalisme-imperialisme yang berkuasa.
Kita membutuhkan kembali persatuan gerakan rakyat untuk membangun kekuatan politik alternatif. Persatuan ini berlandaskan atas Manifesto Politik ini dan untuk diperdalam lebih lanjut dalam Konsolidasi Nasional Kekuatan Demokratis, Progresif dan Sosialis. Kita tidak dapat berhenti dalam deklarasi-deklarasi atau pernyataan sikap menyerukan pembangunan kekuatan politik alternatif. Elemen-elemen termaju dari setiap organisasi dan kelompok harus dikonsolidasikan dan ditugaskan untuk membangun kekuatan (partai) politik alternatif.
Dalam Pemilihan Umum 2024 ini kami menyerukan kepada seluruh buruh dan rakyat untuk:
- Abstain dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
- Menyerukan kepada serikat buruh, organisasi, mahasiswa, kaum muda, rakyat yang demokratis, progresif dan sosialis untuk mendukung Manifesto Politik Pemilu 2024 ini.
- Menyerukan kepada Sayap Kiri Partai Buruh untuk mendukung Manifesto Politik Pemilu 2024 ini. Serta menjalankan keseluruhan aktivitas kampanye serta proses elektoral berbasiskan atas Manifesto Politik Pemilu 2024.
- Mendukung kampanye serta proses elektoral dari Sayap Kiri Partai Buruh yang menyepakati Manifesto Politik 2024 ini.
Pendapat saja.
Karena ditujukan kepada seluruh rakyat, walau mungkin tetap diprioritaskan kepada bagiannya yang paling maju, tapi akan semakin baik (sekaligus membantu rakyat menjadi lebih maju) kalau Manifesto Politik ini mengganti kata/istilah yang “ekslusif” dan berpotensi bias menjadi lebih lugas dan esensial. Misalnya istilah Sayap Kiri Partai Buruh. Mungkin akan lebih baik kalau diganti dengan kalimat “unsur/faksi yang paling bla, paling bla dan paling bla.blabla”
[…] “Abstain in the 2024 presidential elections” – photo: arahjuang.com […]