Dengan suara bulat, semua pemimpin-pemimpin negara-negara Melanesia Spearhead Group (MSG) menolak sepenuhnya permohonan Keanggotan Penuh (Full Members) rakyat Papua yang diwakili oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang digelar Agustus lalu.
Padahal, inti dari permohonan ini adalah pengakuan rakyat Papua terhadap komitmen MSG untuk melindungi hak-hak dasar orang Melanesia, termasuk di West Papua. Akan tetapi, walau demikian, ditolak juga oleh KTT-MSG. Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik dari perlakuan ini adalah:
Pertama, bahwa perlakuan ini sekali lagi membuktikan betapa MSG dan borjuasi-borjuasi nasional Melanesia adalah sarang dan boneka-boneka imperialis Amerika dan China yang merupakan sekutu dekat kolonial Indonesia di Melanesia sehingga tidak mampu mengambil keputusan yang independen dan kongkrit mengenai West Papua.
Penolakan keanggotan West Papua dengan alasan yang remeh-temeh dan birokratik yang mengekang adalah bukti final MSG dan borjuasi-borjuasi nasional yang bersekutu di dalamnya tidak berdaulat dan didikte 100% oleh imperialis dan kolonial Indonesia untuk mengamankan praktek penjajahan di West Papua.
Kedua, penolakan ini menelanjangi sepenuhnya kemunafikan MSG dan borjuasi-borjuasi nasional Melanesia yang salama ini menggunakan “West Papua” di berbagai panggung internasional, padahal sejatinya sedang meminta makan kepada imperialis dan kolonial Indonesia.
Setelah kolonial Indonesia membangun lapangan sepak bola di Solomon, suntikan dana ke Vanuatu, Fiji, dan PNG—sikap negara-negara ini berubah 100 derajat dari yang mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri menjadi mengakui sepenuhnya kedaulatan Indonesia. Ini adalah kemunafikan terbesar, bahwa isu kemanusiaan yang selama ini digaungkan bukan perpolitikan yang murni, melainkan cara halus MSG minta makan.
Ketiga, bahwa dengan ditolaknya West Papua, maka menjadi jelas siapa musuh dan siapa kawan rakyat Papua. Bahwa kelas borjuasi nasional Melanesia, sesuai karakter kelas dan perkembagannya, adalah musuh rakyat Papua.
Kelas borjuasi adalah golongan yang selalu bimbang dan tidak konsisten. Ditambah perkembangan tenaga produktif di Melanesia yang lambat dan lemah, menjadikan kelas ini bertumbuh sebagai kelas borjuasi yang impoten. Mereka juga memasuki panggung internasional terlalu telat, sehingga perkembagan mereka adalah tidak mungkin selain di bawah asuhan imperialis.
Konsekuensi langsung dari fakta ini adalah kelas borjuasi Melanesia tidak mungkin memainkan peran yang indepen atau bebas dari kepentingan imperialis. Sehingga, seperti kata Thomas Sangkara “barang siapa memberi anda makan, dia mengendalikan anda.” Inilah dasar dari semua perpolitikan MSG dan borjuasi-borjuasi nasional saat ini. Pendeknya, politik MSG tidak lain adalah politik imperialis.
Keempat, bahwa penolakan ini sekaligus menelanjangi MSG bahwa lembaga ini didirikan bukan untuk tujuan yang mulia, yakni kemanusiaan dan kemerdekaan. Justru sebaliknya semakin menegaskan lembaga ini sebagai alat penindas kelas yang diperkuda oleh imperialis untuk mengamankan kepentingan mereka di Pasifik dan Asia.
Tetapi apakah dengan penolakan MSG, maka jalan menuju kemerdekaan Papua sudah tertutup? Tidak sama sekali! MSG hanyalah salah satu jalan yang dapat dan harus kita tempuh. Seperti seruan kawan-kawan muda kita Jefry Wenda dan Ones Suhuniap, bahwa nasib kita tidak tergantung di MSG, tetapi terletak di tangan kita sendiri. Kemerdekaan ada di dalam negeri dan rakyat Papua yang menentukannya.
Untuk itu, hal-hal yang harus dipersiapkan dan diperkuat adalah:
Pertama, persatuan nasional. Persatuan semua organisasi perlawanan, agama, suku-suku, dan berbagai aliran politik dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Persatuan adalah kunci kekuatan dan kemenangan kita. Sementara sebaliknya, perpecahan berarti kekuatan dan kemenangan bagi musuh.
Dengan persatuan, semua kekuatan akan dipusatkan menjadi satu dan dalam sekali pukulan kemenangan dapat diraih.
Kedua, persatuan nasional haruslah berwatak demokratis dan kerakyatan. Ini berarti ULMWP haruslah menjadi rumah bagi semua kekuatan nasional dalam semangat one people-one soul. Semua aturan yang membatasi keterlibatan massa luas dalam ULMWP seperti trias politica harus dihapuskan dan diganti dengan front demokratis yang berbasiskan kekuatan massa rakyat melalui dewan-dewan rakyat.
Ketiga, menghidupkan kembali politik “aksi massa atau massa aksi” sebagai satu-satunya jalan utama menuju kemerdekaan. Kemerdekaan ada di dalam negeri dan rakyat Papua yang menentukan. Ini berarti ULMWP sebagai kendaraan politik rakyat Papua harus memfasilitasi perlawanan-perlawanan rakyat (demonstrasi, boikot, dan mogok) yang terkoodinir dan terkomando di seluruh tanah Papua.
Keempat, kesatuan tindakan antara kekuatan sipil, militer, dan diplomasi. Ini berarti pertama-tama harus ada rekonsiliasi menyeluruh antara semua kekuatan bersenjata yang terpencar-pencar dan diplomasi dalam satu komando nasional. Kita harus berbaris bersama dan memukul secara bersama sesuai kemampuan dan bidangnya masing-masing. Aksi yang terpisah-pisah dan terpencar-pencar hanya akan mempermudah pekerjaan musuh untuk menghancurkan perjuangan kemerdekaan Papua.
Akhirnya, perjuangan Papua pada analisanya yang terakhir adalah perjuangan kelas. Perjuangan antara kelas yang dihisap dan ditindas melawan kelas yang menghisap dan menindas. Ini berarti perjuangan Papua dalam setiap sudut adalah perjuangan kelas—yang demikian merupakan satu mata rantai tak terpisah daripada seluruh perlawanan rakyat tertindas di seluruh dunia.
Dengan demikian, persatuan dan solidaritas antara sesama kelas tertindas di seluruh dunia merupakan kunci kemenangan penuh rakyat tertindas di seluruh dunia, termasuk West Papua.
ditulis oleh Sharon Muller, anggota Lingkar Studi Sosialis
Comment here