Pada 16 Agustus 2023, Joko “Jokowi” Widodo berpidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR memperingati peringatan tahunan Proklamasi Indonesia 17 Agustus. Dalam pidatonya, setidaknya terdapat 5 poin krusial. Pertama, isu mengenai kepemimpinan Jokowi. Kedua, isu mengenai demokrasi. Ketiga, mengenai Indonesia di tengah dinamika geopolitik internasional. Keempat, bonus demografi dan lapangan pekerjaan. Kelima, adalah konsep hilirisasi.
Pertama, Jokowi mengeluhkan dirinya disebut sebagai “Pak Lurah” serta mengatakan bahwa “sudah nasib seorang Presiden untuk dijadikan paten-patenan [Bahasa Jawa], dijadikan alibi, dijadikan tameng.”
Namun itu adalah konsekwensi dari politik transaksional yang dilakukan oleh Jokowi itu sendiri. Walaupun pada awal terpilihnya, Jokowi menolak politik transisional namun dalam hampir 10 tahun perjalanan kekuasaannya, kenyataan bertentangan dengan itu. Jokowi sebagai berhasil mengkonsolidasikan hampir seluruh faksi elit politik Indonesia, sepertinya hanya PKS dan Partai Demokrat yang tidak. Konsolidasi itu dilakukan dengan bagi-bagi proyek, jabatan dan kekuasaan. Hampir tidak ada presiden di masa paska Reformasi 1998 yang lihai melakukan “transaksi” selain Jokowi. Para pengusaha mendapatkan UU Cipta Kerja dan pengampunan pajak, penjahat HAM dibebaskan dengan TPP-HAM, sebagian elit politik mendapatkan proyek IKN, sebagian lagi proyek kendaraan listrik.
Kedua, Jokowi mengatakan bahwa “Posisi Presiden tidak senyaman yang dipersepsikan. Ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Ada banyak permasalahan rakyat yang harus diselesaikan.” Kemudian dia melanjutkan “Dengan adanya media sosial seperti sekarang ini, apapun bisa sampai ke Presiden, mulai dari masalah rakyat di pinggiran, sampai kemarahan, ejekan, bahkan makian dan fitnah bisa dengan mudah disampaikan.” Termasuk juga “Saya tahu, ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Saya tidak masalah. Sebagai pribadi, saya menerima saja. Tapi, yang membuat saya sedih, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini tampak mulai hilang. Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia.” Sentimen negatif Jokowi terhadap kebebasan demokrasi ini kembali dikeluarkan oleh Jokowi setelah sebelumnya, di tahun 2017 mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah kebablasan.
Apapun bisa sampai ke Presiden (sic!), namun belum tentu diselesaikan. Salah satunya adalah tuntutan yang disuarakan dalam Aksi Kamisan. Aksi di depan Istana Negara yang awalnya diprakarsai oleh 3 keluarga korban pelangaran HAM berat, yaitu (1) Maria Katarina Sumarsih, orang tua dari Bernardus Realino Norma Irmawan, salah satu mahasiswa yang tewas dalam Peristiwa Semanggi I, (2) Suciwati, istri mendiang pegiat HAM, Munir Said Thalib, dan (3) Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang yang diduga PKI pada tahun 1965-1966. Aksi ini sudah berlangsung selama hampir 16 tahun. Sulit mengabaikan kegigihan tersebut, namun Jokowi tidak kunjung memenuhi tuntutannya. Jokowi justru memberikan impunitas dan melibatkan pelanggar-pelanggar HAM ke dalam pemerintahannya. Termasuk membentuk menyelamatkan mereka dari pengadilan HAM lewat penyelesaian non-judisial.
Di sisi lain, Jokowi sengaja menggunakan contoh kritik dangkal dan tidak berkualitas untuk melegitimasi pernyataan negatif mengenai ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi. Di luar contoh-contoh tersebut, sikap rezim terhadap gerakan rakyat justru menunjukkan represinya terhadap kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, represi terhadap demokrasi. Kita bisa menyebut banyak contoh di sini. Represi dan penangkapan ribuan massa aksi penolak UU Cipta Kerja 2 tahun lalu, kriminalisasi Nining Elitos, kiminalisasi Haris dan Fatia, penangkapan dan pemenjaraan aktivis anti-rasisme Papua di tahun 2019, hingga represi terhadap gerakan solidaritas korban Kanjuruhan.
Pemerintah juga mengesahkan KUHP baru yang akan memberangus kebebasan berpendapat, termasuk mengambalikan pasal-pasal ‘Haatzaai artikelen.’ Ini adalah pasal-pasal warisan kolonial Belanda yang berfungsi untuk memberangus protes terhadap kekuasaan kolonialnya. Ironisnya, Jokowi juga mengatakan bahwa Indonesia mendapatkan international trust yang tinggi salah satunya karena konsistensi Indonesia dalam menjunjung HAM, kemanusiaan, dan kesetaraan.
Ketiga, Jokowi jumawa dengan mengatakan bahwa Indonesia telah mendapatkan international trust. Ini karena “momentum Presidensi Indonesia di G20, Keketuaan Indonesia di ASEAN, konsistensi Indonesia dalam menjunjung HAM, kemanusiaan, dan kesetaraan, serta kesuksesan Indonesia menghadapi krisis dunia 3 tahun terakhir ini, telah mendongkrak dan menempatkan Indonesia kembali dalam peta percaturan dunia. Di tengah kondisi dunia yang bergolak akibat perbedaan, Indonesia dengan Pancasila-nya, dengan harmoni keberagamannya, dengan prinsip demokrasinya, mampu menghadirkan ruang dialog, mampu menjadi titik temu, dan menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada.”
Namun sebenarnya, dinamika politik internasional tidaklah bisa dilihat sebagai panggung eksistensi semata, seperti: Indonesia menjadi presidensi KTT ASEAN, tuan rumah G20, atau diplomat ulung di Asia seperti yang disebut oleh Lowy Institute. Mengapa demikian? Rakyat dunia memiliki masalah yang sama: dunia yang terbelah. Ada segelintir negara-negara imperialis yang terus menerus menghisap dan memprovokasi permusuhan antar negara jika kepentingannya dihambat di satu sisi. Di sisi lain ada mayoritas negara Dunia Ketiga yang tenaga dan sumber daya alamnya terus dihisap.
Pembelahan tersebut telah terjadi sejak kemunculan negara-negara modern. Perang Dunia Pertama, Kedua, Invasi Irak, Afganistan, Konflik Palestina-Israel, Perang NATO+Ukrainia-Rusia hingga saat ini gejolak di Afrika Tengah untuk membebaskan diri dari Imperialisme Perancis. Pembelahan tersebut bukanlah kesalahanpahaman yang bisa diselesaikan lewat ruang-ruang dialog, mencari titik temu ataupun menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada. Perserikatan Bangsa-bangsa sudah berdiri lebih dari satu abad dan belum ada satu haripun di dunia ini yang lewat tanpa perang ataupun konflik. Kata kuncinya adalah: Imperialisme yang mengeksploitasi negara Dunia Ketiga. Semua pemerintahan di seluruh dunia dipaksa memilih berada di pihak mana.
Keempat, bonus demografi yang dianggap sebagai peluang besar untuk program Indonesia Emas 2045. Program serba serbi Kartu dan Bantuan Jokowi hanyalah parsial, birokratis, menjadi sarang korupsi dan tidak membangun pondasi untuk pembangan sumber daya manusia Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia semakin hari semakin tidak dapat dijangkau oleh rakyat karena mahal. Akses terhadap pelayanan kesehatan tidak mudah terutama di daerah-daerah terpencil, medical check-up secara berkala masih mahal sementara secara umum kesehatan dijalankan dengan model asuransi lewat BPJS. Sedangkan kenaikan upah buruh mengalami stagnasi. Bonus demografi justru direspon dengan membuat kebijakan UU Cipta Kerja yang di dalamnya mengatur fleksibilitas pasar tenaga kerja. Ini menunjukkan bahwa rezim tidak memanfaatkan bonus demografi tersebut untuk memperbaiki kondisi hidup rakyat.
Kebutuhan rakyat Indonesia saat ini adalah Pendidikan dan Kesehatan gratis serta dapat diakses, upah layak dan jaminan kerja, perumahan dan transportasi murah dan layak serta bahan pokok yang murah. Sebaliknya, dengan adanya UU Cipta Kerja, pendidikan mahal, kenaikan harga-harga, kesehatan yang sulit dijangkai maka jumlah rakyat yang rentan untuk terjerembab dalam kondisi hidup sengsara semakin banyak di masa Indonesia Emas 2045 nanti.
Kelima, berhubungan dengan hilirisasi. Jokowi mengatakan bahwa Indonesia serius untuk melakukan transfer teknologi agar Indonesia tidak menjadi bangsa “pemalas” yang hanya menghasilkan bahan mentah saja. Hilirisasi ini diharapkan akan menciptakan lapangan kerja baru karena aktivitas produksi komoditas pasar tidak hanya di sektor pengambilan barang mentah. Dengan hilirisasi, komoditas yang tadinya di ekspor dalam bentuk mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau jadi. Namun di luar persoalan fleksibilitas pasar tenaga kerja dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan perusahaan-perusahaan tambah, hilirisasi juga tidak memberikan pondasi bagi perkembangan tenaga produktif rakyat Indonesia.
Kebutuhan saat ini adalah adanya industrialisasi nasional. Konsepsi pembangunan industrialisasi nasional adalah pembangunan industri-industri berat permesinan skala besar dasar yang mampu menjadi pondasi perkembangan proses produksi serta industri lainnya termasuk juga mampu mengorganisir ulang pertanian nasional.
Ditulis oleh Riang Karunianidi, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Resistance.
Comment here