Pekerja berbagai universitas di Indonesia akan mengadakan kongres pendirian Serikat Pekerja Kampus (SPK) pada Kamis, 17 Agustus 2023, di Salemba, Jakarta Pusat.
Kongres SPK merupakan hasil kolaborasi para pekerja di lebih dari 100 perguruan tinggi di Indonesia yang akan bergabung pada Kongres SPK pada tanggal 17 Agustus 2023, baik secara luring maupun daring.
Ketua Komite Kongres Serikat Pekerja Kampus Indonesia, Herdiansyah Hamzah dan Kanti Pertiwi, menyatakan kongres ini merupakan kongres yang pertama.
“Para pendiri SPK akan menetapkan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, formatur pengurus pusat, dan/atau manifesto serikat. Kongres Pendirian SPK merupakan musyawarah yang dilaksanakan oleh para pendiri SPK, untuk mencapai mufakat atau didasarkan pada suara terbanyak yang diambil melalui mekanisme pengambilan suara atau voting,” kata Kanti.
Pendirian serikat ini merupakan respon terhadap terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Jabatan Fungsional (PermenPAN-RB), yang dianggap merugikan dosen sebagai salah satu entitas pekerja kampus.
Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa beleid ini dianggap merugikan dosen sebagai pekerja kampus. Pertama, PermenPAN-RB ini adalah aksi sepihak kementerian tanpa melalui proses yang partisipatif. Kedua PermenPAN-RB ini mengatur penilaian kinerja yang secara terang benderang diorientasikan untuk pemenuhan ekspektasi pimpinan. Ketiga, PermenPAN-RB ini hendak mengintegrasikan kinerja dosen ke dalam mesin kerja birokrasi. Pada akhirnya, kreativitas akan dibunuh atas nama institusi. Keempat, beban administratif yang semakin berat. Beban ini akan membuat dosen membangun menara gading yang terasing.
Alasan-alasan inilah yang membuat protes bergelora di mana-mana. Pekerja kampus, khususnya dosen, menemukan momentumnya untuk berkumpul, berkeluh kesah bersama, sekaligus menyadari jika posisi tawar pekerja kampus selama ini, terlampau lemah di hadapan pemegang kebijakan pendidikan, mulai dari birokrasi kampus, kementerian terkait, hingga pemegang kendali kekuasaan pemerintahan.
“Kami menyadari kalau marah saja tidak cukup, mengumpat dan memaki tidak mempan, dan geram tidak akan mengubah keadaan. Oleh karena itu, posisi tawar pekerja kampus harus dinaikkan, kekuatan mesti dilipatgandakan, dan perlawanan harus diorganisir. Posisi tawar yang kuat serta kekuatannya berlipat ganda itu hanya bisa kita peroleh melalui serikat pekerja,” kata Herdiansyah.
Kami Semua Sama, Buruh!
Pada Hari Buruh Internasional (May Day) yang jatuh tepat pada tanggal 1 Mei 2023, para dosen mendeklarasikan dan mengakui dirinya sebagai buruh, dan menyatakan diri bergabung ke dalam barisan aksi hari buruh internasional.
Pada awalnya, Serikat Pekerja Kampus (SPK) didesain untuk kepentingan perjuangan para dosen. Namun para inisiator menyadari bahwa pekerja kampus bukan hanya dosen. Dosen hanya salah satu entitas pekerja kampus. Selain dosen, ada tenaga kependidikan (tendik), keamanan dan tenaga kebersihan, hingga asisten dosen dan pekerja magang
Atas dasar inilah, para inisiator memutuskan serikat yang hendak dibangun ini adalah Serikat Pekerja Kampus, yakni serikat yang menampung kehendak berorganisasi dari semua kalangan pekerja kampus, apapun jenis dan status pekerjaanya
Inisiator SPK berpandangan bahwa semua pekerja sama, semua adalah buruh, dan buruh tidak dibatasi oleh jenis kelamin, jenis pekerjaan, asal usul, domisili. Sesama buruh harus saling bersolidaritas, bahu membahu memperjuangkan nasib dan kepentingan secara kolektif.
Tim Riset Kesejahteraan Dosen telah menemukan bahwa sebanyak 42,9% dosen menerima upah di bawah Rp 3 juta per bulan. Tim Perumusan Masalah Komite Persiapan Pembentukan Serikat Pekerja Kampus juga menemukan bahwa 58% tenaga kependidikan merasa bahwa penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidup.
Para pendiri berharap SPK dapat menjadi wadah berdiskusi dan medium advokasi untuk memperjuangkan kesejahteraan dan kepentingan pekerja kampus di Indonesia.
“Isu-isu yang menjadi perhatian utama SPK mencakup permasalahan kesejahteraan, beban kerja akademik dan nonakademik, diskriminasi dalam sistem kerja, tidak adanya kesetaraan dan kebebasan akademik, serta terabaikannya hak-hak pekerja kampus.
“Kongres ini merupakan langkah awal aksi kolektif para pekerja kampus untuk mencapai tujuan bersama. Kami berharap semua pekerja kampus dapat berkolaborasi, saling membantu dan urun rembuk untuk menghadapi segala macam tantangan para pekerja kampus,” kata Kanti.
Selain pekerja kampus, berbagai serikat dan organisasi juga telah menyatakan dukungan bagi pendirian SPK.
“Kebebasan akademik menghadapi ancaman di berbagai tempat di dunia. Akademisi dan mahasiswa menghadapi ancaman persekusi dan hukuman disiplin karena menyebarkan gagasan dan mengajukan pertanyaan. Pemerintah menarik pendanaan pendidikan untuk alasan politis dan semakin sulit bagi akademisi untuk mempertahankan pekerjaan tetap. Kami melihat ini di mana-mana: Afghanistan, Brazil, China, Hungaria, Nikaragua, Amerika Serikat, Venezuela,” kata Daniel Munir dari Scholars at Risk, sebuah jejaring internasional yang mengadvokasi kebebasan akademik di seluruh dunia.
“Di Indonesia, anggota komunitas akademia juga menghadapi tantangan dalam kebebasan akademik, mulai dari persekusi hingga undang-undang dan kebijakan yang menekan riset, ekspresi akademik, dan kolaborasi internasional. Tekanan-tekanan ini harus ditanggapi dengan solidaritas di antara komunitas pendidikan tinggi dan semua yang memahami pentingnya kebebasan akademik bagi masyarakat,” lanjutnya.
Daniel memberikan dukungan penuh untuk pendirian SPK.
“Upaya ini hadir di waktu yang tepat dan akan berdampak bagi gerakan global untuk kebebasan akademik,” katanya.
*** Narahubung:
Sita Dewi +62 818-0872-0440
Comment here