Pemerintah telah merobohkan bangunan Rumoh Geudong yang tersisa di Kabupaten Pidie, Aceh. Bangunan ini merupakan tempat terjadinya pelanggarah HAM berat di Aceh untuk menginterogasi dan menyiksa rakyat Aceh saat menjadi Daerah Operasi Militer. Peristiwa penyiksaan Rumoh Geudong merupakan salah satu dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui oleh pemerintah. Saat ini, Romah Geudong merupakan lokasi ziarah para penyintas dan keluarga korban.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendaku bahwa perobohan Rumoh Geudong menandai peluncuran program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu. Jokowi mengklaim pembongkaran dan pembangunan masjid di wilayah tersebut telah menyerap aspirasi masyarakat. Ini berbanding terbalik dengan ungkapan yang disampaikan oleh salah satu korban dalam peristiwa Rumoh Geudong, Saifuddin yang sempat diwawancarai oleh Tempo. Ia menceritakan bahwa pemerintah tak pernah memberitahukan rencana penghacuran bangunan. Diketahui, Saifuddin disiksa ketika dirinya berusia balita agar ayahnya mengaku sebagai penyelundup senjata.
Dalam laporan Komnas HAM yang telah selesai menyelidiki kasus tersebut, tentara dan polisi terbukti telah melakukan pelanggaran HAM berat yang mencakup kejahatan kemanusiaan seperti penangkapan sewenang-wenang, pemerkosaan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Data dari Komnas HAM menyebutkan bahwa setidaknya 109 penduduk sipil disiksa dan 74 perempuan diperkosa, kemudian sembilan orang dibunuh dan delapan orang dinyatakan hilang hingga hari ini. Penyiksaan tersebut terjadi selama kurun tahun 1989-1998. Namun, kasus pelanggaran HAM berat di Aceh berlanjut hingga Rezim Militer Suharto tumbang.
Pada masa rezim Megawati, Mei 2003, aparat melakukan penyisiran dan penyerangan terhadap kampung-kampung dalam di Aceh. Salah satu contoh adalah peristiwa Desa Jambo Keupok yang diduga oleh pemerintah sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua hari setelahnya, Megawati yang kala itu masih menjadi presiden mengeluarkan Keppres 28/2003 untuk menetapkan Darurat Militer di Aceh. Keppres tersebut yag telah melegitimasi aparat keamanan untuk melanjutkan pelanggaran HAM berat setelah Suharto lengser. Ini menunjukkan bahwa, alih-alih mencoba untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu dan menyeret para terduga pelakunya ke muka pengadilan, rezim justru melanjutkan pelanggara-pelanggaran HAM berat. Selain itu, terdapat dua hal penting dalam melihat perobohan Rumoh Geudong.
Pertama, ini merupakan langkah lanjutan rezim dalam memanfaatkan hukum yang buruk dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Januari lalu, Jokowi berpidato dimana pemerintahannya mengakui adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia, termasuk Peristiwa Rumoh Geudong. Di tahun sebelumnya, Jokowi mengeluarkan PP No.17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. PP ini adalah kelanjutan dari kekosongan hukum di dua undang-undang induk hak asasi manusia di Indonesia – Undang-Undang No.39 Tahun 1999 dan Undang-Undang No.26 Tahun 2000.
Dua induk hukum tersebut tidak mengatur ikatan antara penyelesaian pelanggaran HAM berat yudisial dan non-yudisial. Lebih-lebih, organisasi “independen” semacam Komnas HAM hanya diberi hak untuk mengusut kasus dugaan pelanggaran HAM berat sampai penyelidikan. Membuat kasus-kasus yang menggunung mudah dipingpongkan oleh para pejabat kejaksaan ataupun yudikatif. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hukum progresif yang dimiliki oleh Indonesia pasca Rezim Militer Suharto meninggalkan begitu banyak kasus pelanggaran HAM Berat.
Kedua, masih berhubugan dengan kekosongan hukum tersebut. Rezim dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai dengan perspektif mereka. Yaitu melindungi para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu. Cara-cara tersebut berpola. Presiden-presiden sebelumnya memiliki rekam jejak yang sama. BJ Habibie pernah membentuk Tim Pencari Fakta untuk kasus DOM Aceh dan Ruang Keadilan untuk kasus Timor Leste. Susilo Bambang Yudhoypno juga pernah berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti invasi Timor Leste, penculikan aktivis 1998. Di masa pemerintahan Jokowi sendiri, menurut data KontraS pemerintah pernah membentuk 3 tim. Pertama, Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran pada tahun 2015. Kedua, Dewan Kerukunan Nasional pada tahun 2016. Ketiga, Tim Gabungan Terpadu tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di tahun 2018.
Untuk kasus DOM Aceh, akan semakin sulit juga untuk percaya bahwa pemerintahan Joko Widodo mau bergerak menyelesaikan kasus sesuai koridor keberpihakan pada korban. Karena ini menyangkut politik kekuasaanya yang dilingkari oleh pelanggar HAM. Termasuk Megawati yang merupakan promotornya sebagai presiden. Megawati adalah presiden yang melanjutkan DOM Aceh dengan menekan Keppres 28/2003.
Seperti biasa, Jokowi merespon kritik penghancuran Rumoh Geudong dengan ungkapan yang ambigu. Ia mengatakan, “nanti dibuat living park, kita tetap mengingat karena ada benda-benda yang ditaruh di situ tetapi juga bisa ada manfaatnya oleh sebab itu dibuat taman yang bisa dipakai untuk masyarakat di sini mengingat tetapi dalam sebuah perspektif yang positif bukan negatif”. Apa sebenernya aspek positif bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM? Tidak ada. Satu-satunya hal positif adalah jika para pelaku diseret ke meja pengadilan. Dan selama para pelaku masih bebas berkeliaraan, bahkan hingga mengisi posisi-posisi penting dalam pemerintahan, tempat-tempat bersejarah seperti Rumoh Geudong adalah simbol untuk terus berteriak menuntut para pelaku diadili. Bukan sekedar permintaan maaf, apalagi diselesaikan secara damai atau “positif” seperti yang diinginkan kelas borjuis melalui upaya-upaya non yudisial.
Jadi semakin jelas, kelas borjuis di Indonesia tidak memiliki perspektif keberpihakan terhadap korban. Mereka tidak dapat dipercayai apalagi punya inisiatif yang lebih maju daripada janji-janji penyelesaian ilusif.
Mengikis kecenderungan untuk percaya pada janji-janji ilusif di tengah rakyat harus dibangun. Cara ini hanya bisa dilakukan ketika kelas buruh dan rakyat (termasuk korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat) bergandengan tangan terlibat dalam perjuangan enuntut pengadilan HAM, mendorong penyelesaian dilakukan di bawah kontrol rakyat dengan mengeskspos kebobrokan kelas borjuis. Hanya dengan ini penyelesaian pelanggaran HAM berat DOM Aceh dapat dituntaskan.
Ditulis oleh Riang Karunianidi, anggota Resistance dan kader Perserikatan Sosialis
Comment here