Internasional

Ketimpangan dalam Kematian 5 Konglomerat dan Tragedi Kemanusiaan Ratusan Imigran

Pada 14 Juni, kapal Adriana, berisikan 400 hingga 750 imigran tenggelam di laut Mediterania. Korban yang berhasil diselamatkan hanya 104 orang, sebagian besar imigran asal Mesir, Suriah, Pakistan, Afganistan, dan Palestina. Sedangkan pada 18 Juni, sebuah kapal selam bernama Titan OceanGate dikabarkan hilang dan meledak. Dunia terpaku oleh dua kejadian yang mengerikan—perbandingan kematian lima konglomerat penumpang kapal selam dengan tenggelamnya imigram yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan di Mediterania.

Akan tetapi, berita meninggalnya ratusan imigran di Laut Mediterania tertutup oleh hingar bingar meledaknya kapal selam Oceangate. Kapal ini membawa lima orang, satu konglomerat bersama anaknya dan tiga konglomerat lainnya, salah satu CEO OceanGate sendiri. Kapal selam Titan diperkirakan meledak hanya satu setengah jam setelah menyelam, akan tetapi selama empat hari media internasional dan berbagai lembaga negara mencari bangkai kapal sementara berspekulasi bahwa para penumpang masih terjebak di dalam dengan suplai oksigen yang menipis. Operasi pencarian ini mencapai sampai milyaran dollar.

Sementara pada kasus kapal imigran, kenyataan yang terjadi amat berbeda. Menurut laporan agensi perlindungan batas EU Frontex dan Penjaga Pantai dan Laut Yunani, kapal ini telah terlihat mengalami masalah akibat kelebihan penumpang sejak sehari sebelum kecelakaan. Dari kesaksian mereka, kapal Adriana tetap melaju menuju Italia dan menolak bantuan dari Penjaga Pantai Yunani beberapa kali. Akan tetapi investigasi dari beberapa agensi berita seperti BBC, Greek News, dan bahkan kesaksian dari penyintas tenggelamnya kapal berkata sebaliknya. Kapal itu tidak bergerak selama 7 hingga 11 jam sebelum tenggelam, dan Alarm Phone, kelompok non-profit bagi pengungsi dan imigran telah menghubungi otoritas Yunani, Frontex dan badan pengungsi PBB sejak pagi 13 Juni tanpa balasan. Parahnya, dari kesaksian korban kecelakaan, penjaga pantai Yunani justru mencoba menarik kapal dengan paksa, aksi yang tentu saja menyebabkan kapal Adriana oleng dan akhirnya terbalik.

Pada akhirnya, aparat Yunani menangkap sembilan tersangka dengan tuduhan penyelundupan manusia dan imigrasi ilegal sementara tidak ada dari Penjaga Pantai Yunani yang dipenjara. Korban selamat dari tenggelamnya kapal sekarang berada dalam kamp pengungsi, dimana mereka diawasi ketat dan akses kepada jurnalis dilarang.

Ketimpangan perhatian dan bantuan yang diterima penumpang Titan dan Adriana bukanlah hal yang mengejutkan. Dalam kapitalisme, kehidupan kaum miskin dan kelas pekerja tidak dihargai, bahkan dihisap setiap hari demi keuntungan para borjuasi. Sementara para pemilik modal dianggap tinggi dan dihormati. Lagipula, negara kapitalis bergerak menurut kepentingan kelas borjuasi. Media dalam masyarakat kapitalis yang didorong insentif finansial juga terdorong untuk meliput berita-berita yang viral dan “menarik” untuk mengejar rating dan iklan, bukannya menjadi media edukasi ataupun sumber berita yang faktual dan penting.

Ketimpangan dalam hal evakuasi ini terlihat sangat jelas. Sumber daya yang cukup besar dimobilisasi dan upaya bersama dilakukan untuk menemukan kapal selam Titan yang hancur beserta para penumpangnya yang sangat kaya. Kerja sama luas antara militer dan penjaga pantai AS dan Kanada terlihat jelas, partisipasi perusahaan-perusahaan swasta yang semuanya menggunakan teknologi terbaru dilakukan. Kolaborasi internasional semacam itu tidak dilakukan untuk menyelamatkan kapal penangkap ikan yang penuh sesak dengan imigran. Otoritas Yunani hanya melakukan pelacakan titik koordinat kapal terakhir namun tidak melakukan apapun untuk menyelamatkan orang-orang di dalamnya. Upaya pasif tersebut mengingatkan kita pada peristiwa Badai Katrina tahun 2005 yang diawali dengan mengabaikan peringatan akan potensi jebolnya tanggul. Berujung dengan kematian dan perampasan ruang hidup terhadap penduduk kulit hitam di New Orleans dengan mengarahkan militer AS untuk melakukan pengusiran.

ditulis oleh anggota Lintas Komunal

Alasan lain tragedi kapal migran itu terjadi separah itu juga berasal dari hukum anti-imigrasi rasis yang diterapkan Eropa. Selama bertahun-tahun, Uni Eropa menetapkan syarat ketat bagi pencari suaka dan pengungsi serta menggunakan aparat dari negara-negara Eropa untuk menghalang-halangi, bahkan menangkap pencari suaka dari Asia dan Afrika. Kapal-kapal yang melewati wilayah Yunani ditembaki dan ditenggelamkan. Sejak 2014, lebih dari 27 ribu imigran telah mati atau menghilang di laut Mediterania, area yang sering dijadikan rute wisata kapal pesiar. Di Libya, Uni Eropa membayar pasukan milisi sipil milyaran euro untuk menangkap imigran yang berusaha memasuki Eropa. Bagi para pengungsi yang berhasil masuk, mereka ditahan berbulan-bulan dalam kamp migran dimana mereka disiksa jika tidak di deportasi.

Padahal, krisis imigran ini tidak lepas dari ketidakstabilan negara-negara timur tengah yang berawal dari kolonialisme Eropa, dan diperparah dengan intervensi negara-negara imperialis yang menghancurkan kestabilan ekonomi dan bahkan memicu perang. Tentu saja kelas borjuasi besar secara keseluruhan, termasuk para konglomerat yang meninggal dalam ledakan kapal selam Titan itu mendapat manfaat dalam ketidakadilan dan kesenjangan kapitalisme.

Jika ada satu hal yang dapat diambil dari insiden OceanGate, adalah bahaya dari mengutamakan keuntungan dan penghematan modal daripada keselamatan. Jendela area pandang Titan hanya bisa dipakai untuk kedalaman 1,300 meter, sementara bangkai Titanic berada dalam kedalaman 4000 meter. Navigasi Titan dioperasikan menggunakan tuas kendali permainan yang terhubung dengan sistem kendali dan thruster kapal lewat jaringan bluetooth. Kapal selam itu juga terbuat dari serat karbon kadaluwarsa dari Boeing. David Lochridge, mantan direktur operasional OceanGate, dan banyak ahli industri kelautan yang mengetahui proyek itu memperingati CEO OceanGate untuk mendesain ulang kapal selam Titan agar sesuai dengan standar keselamatan internasional. Lochridge bahkan melapor pada badan standar keselamatan industri AS (OSHA), akan tetapi OceanGate menuntut Lochridge selama bertahun-tahun hingga dia terpaksa mundur.

Pengabaian standar keselamatan demi memaksimalkan profit ini sebenarnya juga tercermin pada industri-industri seluruh dunia dalam skala lebih masif dan dengan dampak lebih parah bagi kelas buruh. Banyak pabrik-pabrik terutama di negara-negara dunia ketiga dengan kondisi kerja yang sangat mengenaskan, dengan limbah produksi yang dibiarkan meracuni para buruh dan lingkungan sekitar. Bahkan di kota-kota banyak pekerja yang diperas tenaganya hingga mati kelelahan.

Seorang milyarder mungkin hanya akan terdampak oleh hal ini dalam kejadian langka seperti Titan OceanGate tapi bagi imigran dan buruh, resiko menjadi korban kecelakaan kerja justru turut berlipat. Selain mendapatkan diskriminasi dari negara mereka berpindah, mereka juga seringkali hanya bisa dapat pekerjaan dengan upah murah, beban kerja berlipat, dan standar keselamatan yang diabaikan.

Kontradiksi antar kelas memang telah menajam sedemikian rupa hingga banyak dari kelas buruh yang justru secara terbuka menertawakan kematian para kapitalis, tetapi lelucon gelap tidak bisa dijadikan satu-satunya jalur keluar frustrasi atas masyarakat kelas. Solidaritas dengan para pengungsi dan perjuangan berorganisir dengan sesama buruhlah yang dapat menghentikan kejadian seperti tragedi terbaliknya kapal migran Adriana dan kasus seperti kapal selam Titan agar tidak terjadi lagi.

ditulis oleh Susie, anggota Lintas Komunal

Loading

Comment here