Perjuangan

Kemana Jalan Politik Partai Buruh? Pencapresan Elit atau Memajukan Perjuangan Buruh dan Rakyat?

Partai Buruh menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) selama 3 hari pada 14 hingga 17 Januari 2023. Rakernas tersebut dihadiri oleh 800 orang dari 38 propinsi yang merupakan perwakilan exco se-nasional Partai Buruh.

Menurut Said Iqbal sebagai Presiden Partai Buruh, dikutip dari koranperdjoeangan.com, dari Rakernas Partai Buruh merekomendasikan empat nama. Dua nama yaitu Ganjar Pranowo (didukung 15 provinsi Partai Buruh) dan Anies Baswedan (6 provinsi) kemudian bacapres alternatif yaitu, Said Iqbal (14 provinsi) dan Najwa Shihab (3 provinsi). Untuk bacawapres adalah Ketua Umum Kadin, Arsjad Rasjid (21 provinsi). Untuk bacawapres juga muncul nama Mahfud MD (didukung 3 provinsi), Said Iqbal (7 provinsi), dan Najwa (3 provinsi), Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Hendri Saragih (2 provinsi) dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (1 provinsi).

Menjelang momentum Hari Buruh Sedunia para elit Partai Buruh, khususnya Said Iqbal dan Andi Gani melancarkan manuver. Diawali dengan Said Iqbal mengucapkan selamat kepada Ganjar Pranowo yang dijadikan capres oleh PDI Perjuangan. “Partai Buruh yang ada 38 provinsi, 457 kab/kota, dan 4.626 kecamatan serta lebih dari 10 juta kader dan simpatisan dari buruh, nelayan, buruh perempum, migran, guru dan tenaga honorer, tenaga kesehatan, buruh informal, generasi Z dan milenial yang ayah ibunya kelas pekerja, serta rakyat jelata lainnya mengucapkan selamat atas terpilihnya Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden RI Tahun 2024,” kata Said Iqbal.

Partai Buruh juga mengundang Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Najwa Shihab dalam peringatan Hari Buruh Sedunia. Namun tidak ada satupun yang datang. Said Iqbal mengatakan bahwa Ganjar tidak bisa hadir karena dipanggil PDI Perjuangan sedangkan Anies Baswedan tidak merespon undangan itu. Said Iqbal kemudian mengklarifikasi bahwa undangan untuk Anies Baswedan tidak dikirim. Malam Hari Buruh Sedunia, Said Iqbal dan Andi Gani menemui Ganjar. Disini Andi Gani menegaskan bahwa KSPSI dengan 10 federasinya akan mendukung all out Ganjar untuk menjadi Presiden. Sementara Ganjar mengatakan bahwa para buruh tidak menolak Omnibus Law namun hanya kluster ketenagakerjaannya saja. Sedangkan Said Iqbal mendapatkan kesempatan untuk mencium tangan Ganjar.

Ketidakhadiran Ganjar dan Anies di peringatan Hari Buruh Sedunia yang diselenggarakan oleh Partai Buruh mungkin saja refleksi dari pertarungan para elit birokrasi serikat buruh di Partai Buruh itu sendiri. KSPSI Andi Gani sudah sejak lama dekat dengan PDI Perjuangan dan mendukung Jokowi. Andi Gani sendiri mendapatkan jabatan Komisaris Utama merangkap Komisaris Independen PT PP sejak Mei 2015. Dengan gaji mencapai Rp57,6 juta per bulan dan tunjangan transportasi Rp11,52 juta pada tahun 2016. Sedangkan KSPI/ FSPMI Said Iqbal memiliki kedekatan dengan Prabowo serta PKS. KSPI, FSPMI dan SPN pada Pilkada DKI mendukung Anies-Sandi. Bahkan ketika marak gerakan kelompok reaksioner lewat GNPF-MUI, KSPI/ FSPMI menggunakan nama Gerakan Pekerja Indonesia untuk terlibat. Dalam kesempatan lain Said Iqbal menyatakan KSPI akan mengadakan mogok nasional bertepatan dan bersamaan dengan aksi Bela Islam Jilid 2.

Satu perkembangan yang baik adalah kritik terbuka yang mulai dilakukan oleh kubu Komite Politik Nasional (Kompolnas) serta KPBI terhadap para elit Partai Serikat Buruh. Sekjen Kompolnas, Rivaldi Haryo Seno di parade.id menyayangkan pertemuan antara Ganjar Pranowo, Said Iqbal dan Andi Gani. Juga menyebutkan bahwa pertemuan tersebut tidak resmi tanpa sepengetahuan unsur di Partai Buruh lainnya. Rivaldi juga menyatakan pertemuan tersebut tidak sehat karena mengklaim bahwa Partai Buruh akan mengarahkan dukungannya ke Ganjar Pranowo. Selain itu juga klaim bahwa Partai Buruh tidak menolak Omnibus Law Cipta Kerja namun hanya permasalahan klaster ketenagakerjaan itu bertentangan dengan sikap resmi Partai Buruh.

Rivaldi juga menyampaikan sikap resmi Partai Buruh. Sikap resmi hasil Rakornas tersebut bertentangan sepenuhnya dengan apa yang dilakukan oleh Said Iqbal dan Andi Gani. Pertama, Partai Buruh menolak Omnibus Law Cipta Kerja secara keseluruhan, bukan hanya mempermasalahkan klaster ketenagakerjaan; Kedua, Partai Buruh oleh karena itu menolak capres-cawapres yang berasal dari atau diusung oleh partai politik pendukung Omnibus Law Cipta Kerja; Ketiga, Partai Buruh mendukung capres-cawapres alternatif. Apa yang dimaksud dengan capres- cawapres alternatif adalah capres-cawapres yang relatif bersih dari pengaruh partai-partai pendukung Omnibus Law dan oligarki; Keempat, mendukung capres-cawapres alternatif mensyaratkan perubahan aturan Pemilu yang ada, dalam hal ini adalah Parliamentary Threshold 4 persen dan Presidential Threshold 20 persen. Karenanya Partai Buruh berencana mengajukan judicial review atas aturan tersebut; Kelima, masih dalam sikap resmi sebelum konvensi, Ganjar Pranowo serta Anies Baswedan disebut bukanlah capres yang baik untuk kaum buruh dan rakyat pekerja lainnya (petani, kaum miskin kota, dsb).

Rivaldi juga menyatakan bahwa “Selama ini, kami dari Komite Politik Nasional-Partai Buruh banyak menahan diri dalam menyampaikan aspirasi kami terkait capres-cawapres ke publik karena kami menghormati mekanisme internal Partai Buruh, yakni Konvensi Partai Buruh yang akan diselenggarakan pada bulan Juni atau Juli 2023.” Untuk mengatasi persoalan saat ini Rivaldi menyerukan “…kepada para pimpinan Exco Pusat Partai Buruh untuk segera menetapkan tahap-tahap Konvensi pencapresan Partai Buruh dalam bentuk surat keputusan. Kami juga menyerukan kepada seluruh anggota Partai Buruh untuk berani menyampaikan sikap dan pendapat dalam persoalan capres-cawapres. Penentuan capres-cawapres Partai Buruh sangat penting bagi masa depan Partai Buruh dan rakyat pekerja secara luas,”

Menahan diri dan menyadarkan pada mekanisme internal Partai Buruh bukanlah langkah yang tepat untuk menghadapi kondisi saat ini. Kita bisa mengingat bagaimana elit-elit birokrasi serikat buruh menggunakan mekanisme internal serta posisinya di serikat buruh untuk melakukan manuver melemahkan Gerakan Buruh 2012. Mekanisme internal dan manuver-manuver birokratis adalah taman bermain para elit birokrasi tersebut.

Kritik tajam dan terbuka terhadap para elit birokasi serikat buruh untuk memenangkan dukungan massa Partai Buruh harus terus dilakukan dan diperhebat. Tapi itupun tidak akan cukup untuk melemahkan manuver serta cengkraman para elit Partai Buruh. Seperti pernah kami sampaikan bahwa salah satu persoalan utama di situasi sekarang adalah ketiadaan radikalisasi gerakan buruh. Gerakan buruh, dan rakyat sebenarnya, terus menurun paska para elit birokrasi serikat buruh menghancurkan Gerakan Buruh 2012. Bahkan kenaikan gerakan di Reformasi Dikorupsi 2019 dan Gerakan Anti Omnibus Law 2020 belum mampu memenangkan tuntutan buruh dan rakyat.

Penurunan gerakan tersebut juga berakibat pada kesadaran buruh yang semakin terhegemoni oleh para elit politik. Harus dipahami juga bahwa hasil Rakernas Partai Buruh dimana mayoritas mendukung Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, ataupun Arsjad Rasjid menunjukan bahwa, walaupun bisa dikatakan demokratis, Partai Buruh didominasi oleh para elit birokrasi serikat buruh dan bersandar pada mayoritas massa yang kesadaran politiknya justru jauh dari slogan “We Are The Working Class.” Satu yang jelas adalah mereka semua justru merupakan bagian dari elit politik yang merupakan musuh bebuyutan dari buruh dan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah PDI Perjuangan, Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, Golkar, PKB, Nasdem ataupun Gerindra, dsb. Paska Reformasi 1998, mereka semua pernah berkuasa ataupun menjadi oposisi. Selama itupula tidak ada perubahan signifikan dalam kondisi buruh dan rakyat.

Apa yang saat ini dibutuhkan adalah meningkatkan radikalisasi buruh dan rakyat. Komite Politik Nasional, KPBI, SGBN, dsb harus menggunakan pernyataan Said Iqbal untuk melancarkan mogok nasional untuk mencabut UU Cipta Kerja. Said Iqbal mengatakan 4 Mei lalu akan melancarkan “Mogok nasional 5 juta buruh di 100 ribu pabrik. Ini stop produksi, keluar dari pabrik karena kami merasa dirugikan,”. Pernyataan Said Iqbal tersebut harus digunakan untuk menagih KSPSI, KSBSI, KSPI, FSPMI dan seluruh elemen Partai Buruh untuk mengkonsolidasikan diri dan melancarkan aksi-aksi persiapan mogok nasional. Konsolidasi harus terutama dilakukan dengan basis-basis massa setiap organisasi. Menyiapkan komite-komite pemogokan di setiap pabrik hingga kawasan industri, di setiap kampus hingga daerah-daerah.

Persatuan dan konsolidasi bersama harus dibangun dengan kelompok lain, khususnya GEBRAK yang salah satu elemen utamanya yaitu KASBI mengatakan bahwa aksi Hari Buruh Sedunia 2023 merupakan prakondisi menuju pemogokan umum. Ini juga diikuti dengan pengkonsolidasian kekuatan secara nasional untuk bersama-sama memutuskan waktu mogok nasional dan persiapan-persiapannya.

Tanpa ada radikalisasi tersebut, hanya mengandalkan Konvensi Partai Buruh ataupun kritik terbuka, tidak akan mampu mematahkan cengkraman para elit Partai Buruh. Konvensi kemungkinan besar hanya akan menghasilkan keputusan yang tidak jauh berbeda dengan Rakernas Partai Buruh lalu, yaitu mayoritas mendukung Ganjar Pranowo sebagai cawapres. Mungkin saja kubu pendukung Anies akan protes atau marah, tapi dukungan kepada Anies juga tidak akan berarti kemajuan kondisi kehidupan ataupun gerakan buruh dan rakyat. Atau jika seperti yang dikatakan oleh Rivaldi, Sekjen Kompolnas, bahwa Rakernas memutuskan mendukung bakal calon presiden alternatif (yaitu Said Iqbal atau Najwa Shihab) dan judicial review Partai Buruh gagal maka seharusnya Partai Buruh di dalam Konvensi tidak akan mendukung calon presiden manapun. Kita akan lihat perkembangannya bagaimana di dalam Konvensi Partai Buruh, pertarungan tiga arah.

Ditulis oleh Dipo Negoro, Kader Perserikatan Sosialis

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 153, III-IV Mei 2023, dengan judul yang sama

Loading

Comments (2)

  1. […] In light of the unequal power configuration between material, political tendencies and socialist-progressive tendencies, coupled with the importance of winning in the elections as a necessary condition for the advancement of the class struggle in Indonesia, the view of some on the Left to encourage an antagonistic confrontation between the two different tendencies is unrealistic.9 […]

  2. […] Negoro is a leading member of the Socialist Union (Perserikatan Sosialis). This article was first published in Arah Juang edition 153, III-IV May […]

Comment here