DiskusiReportase

Jejak Langkah Gerakan Perempuan

Jumat (17/3), Solidaritas Perempuan (SP) bersama Komunitas Beranda Rakyat Garuda, mengadakan diskusi “Jejak Langkah Gerakan Perempuan” di sekretariat Beranda Rakyat Garuda, Jakarta Timur.

“Diskusi ini masih satu rangkaian dengan aksi IWD kemarin,” kata Icha, anggota SP sekaligus penyelenggara. Mengarah pada momentum Hari Perempuan Internasional (HPI) yang sebelumnya dirayakan pada tanggal 8 Maret dengan aksi massa.

Diskusi “Jejak Langkah Gerakan Perempuan” ini, dihadiri lebih dari 60 orang peserta, yang diantaranya ada Dialita, kelompok paduan suara yang sebagian besar anggotanya para perempuan yang mengalami langsung peristiwa 65. Martin Aleida, Sastrawan yang sempat mendekam di kamp konsentrasi pasca 65 dan para anggota sekolah kepemimpinan feminis SP, yang berasal dari 10 wilayah Indonesia, tersebar di daerah Jawa, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi dan Kalimantan. Saskia Wieringa, Akademisi dan Penulis Buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, serta Yuniyanti Chuzaifah, Pegiat HAM Perempuan turut hadir sebagai narasumbernya.

Resistance, cabang Organisasi Kaum Muda Sosialis (OKMS) Jakarta juga hadir sambil membuka stand propaganda, menyediakan buku-buku dan pamflet Bintang Nusantara (BN) yang berkaitan dengan perjuangan pembebasan perempuan, serta koran Arah Juang.

Sebelum diskusi, Dialita membuka acara dengan menyanyikan 2 buah lagu, “Salam Harapan” dan “Ujian”.

“Dari balik jeruji besi

Hatiku diuji

Apa aku emas sejati atau imitasi?

Tiap kita menempa diri

Jadi kader teladan

Yang tahan angin, tahan hujan

Tahan musim dan badai”

“Meskipun kini

Hujan deras menimpa bumi

Penuh derita

Topan badai memecah ombak

Gugur patria

Tembok tinggi memisah kita

Namun yakin dan pasti

Masa depan ‘kan datang

Kita pasti kembali”

Penggalan lirik lagu “Ujian” yang dibawakan Dialita ini, ditulis oleh Siti Jus Djubariah dari balik jeruji besi penjara Bukit Duri pada 1965-1971.

Saskia memulai diskusi, menyampaikan saat ia bergabung dengan gerakan perempuan di Belanda tahun 1968, gerakan perempuan di Indonesia sudah hancur. Namun ia mengetahui kehebatan gerakan perempuan Indonesia di masa lalu. “Tahun 1950-an gerakan perempuan di Belanda lemah, tapi gerakan perempuan di Indonesia sangat kuat, dan termasuk yang terkuat di dunia. Kita harus betul-betul sadar bahwa Gerwani waktu itu nomor tiga dari jumlah anggota terbesar di dunia sesudah Cina dan Rusia,” ucapnya.

Itulah yang membuat Saskia terdorong, menjadikannya topik tesis kuliah S3-nya dan menuliskan buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia untuk mendeskripsikan apa yang terjadi secara politik.

“Kalau kita lihat gerakan perempuan mulai dari perjuangan kemerdekaan Indonesia, perempuan ikut serta bukan hanya untuk dapur umum – walaupun itu penting sekali – kalau serdadu tidak punya makanan, mereka akan kalah, makanya ada dapur umum. Tapi tugas utama perempuan saat itu menjadi kurir, saat itu belum ada internet, tidak ada pos. Kalau kelompok gerilya mau saling menghubungi perlu dengan surat yang dibawa perempuan. Perempuan juga membawa senjata, mereka paling rentan karna kalau ditangkap langsung dibunuh. Tapi peranan perempuan di dalam perjuangan kemerdekaan hilang. Hilang dari buku-buku sejarah dan kesadaran orang, sampai saat ini…”, tambahnya.

Hal lain yang tidak kalah penting yang disampaikan oleh Saskia adalah bagaimana kita harus belajar dari malapetaka 65, dimana negara bisa hancur dan gerakan perempuan maupun gerakan sosial secara umumnya lewat politik seksual.

“Saya rasa Indonesia adalah contoh terpenting di dunia, bagaimana kita bisa belajar tentang kepentingan sexual politics. Saya lama tidak mengetahui siapa yang betul-betul mengarang cerita Gerwani memotong kemaluan jenderal, tapi sekarang saya tahu itu Jenderal Sucipto, kepala dinas intelijen dari kelompok Soeharta. Itu mereka yang mengarang. Karena mereka menguasai koran-koran dan radio, mereka bisa langsung sebarkan kemana saja,” ungkapnya.

Kemudian menyoroti gerakan perempuan dalam konteks reformasi 1998, Yuni menyampaikan bahwa reformasi adalah akumulasi panjang dari gerakan rakyat/perempuan, yang melakukan deligimitasi terhadap Soeharto lewat berbagai isu, kemiskinan, perburuhan termasuk pekerja rumah tangga dan buruh migran, serta keadilan bagi para korban/penyintas 65.

Menggugat depolitisasi yang dilakukan Soeharta. “kok bisa-bisanya ya kita tidak boleh berorganisasi? Organisasi yang diperbolehkan seperti skema yang disampaikan Saskia hanya dibidang sosial keagamaan, sedangkan kita berkepentingan membangun perserikatan-perserikatan, yang tidak hanya dalam bentuk-bentuk kecil saja. Kita juga menuntut demiliterisasi. Saat demo, meski sudah siaga satu, para perempuan berada dibarisan depan, pakai pendekatan feminim melawan para militer yang membawa senjata dengan memberi bunga. Kemudian, mengangkat isu agraria revolusi hijau, dimana alam semesta dirusak oleh pemerintah orde baru”, ucapnya.

Tahun 1998, politik seksual kembali digunakan Soeharto. “saya masih sering tergetar, mengingat peristiwa itu pembunuhan dan pemerkosaan massal kepada perempuan-perempuan etnis Tionghoa, dimana-mana tertulis pribumi dan non pribumi, kelompok Islam, serta perempuan Cina untuk mendisasosiasikannya dengan perempuan lainnya saat itu. Namun kawan-kawan Suster, Bu Nyai, para seniman, aktivis yang tua-muda, siapapun saat itu merasa ini bukan hanya tubuh perempuan Cina tapi tubuh kita. Politik seksual kembali digunakan untuk mentarget para perempuan, tapi kita berjuang menentang rasisme saat itu”, ucap Yuni.

Fanda dari Aliansi Perempuan Bangkit, salah satu peserta diskusi kemudian menanggapi dan bertanya “gerakan perempuan perlu menyusun programnya sendiri, tapi ada stigmatisasi terhadap feminis sebagai gerakan yang eksklusif, dan disisi lain ada berbagai tipikal feminis di Indonesia, yang memvisualkan/mengekspresikannya secara berbeda, seperti kerabat saya yang menghadirkan feminis sangat arogan/sombong dan seolah laki-laki ingin di genocide. Hal-hal demikian menyebabkan kebencian terhadap feminisme, lalu feminisme seperti apa yang bisa kita gunakan untuk gerakan perempuan di Indonesia?,” tanyanya.

“Kita juga harus bertanya kenapa gerakan perempuan bisa dianggap eksklusif? Dan apabila gerakan perempuan bisa eksklusif, gerakan buruh juga bisa eksklusif untuk kepentingan (buruh) mereka sendiri, kesuksesan itu juga baik. Kita bisa bekerjasama, gerakan buruh dan gerakan perempuan mau saling membantu. Seperti UU Perkawinan yang belum terwujud dan RUU PPRT, itu membutuhkan solidaritas”, kata Saskia menanggapi.

Pada akhirnya, kita memang harus mempelajari kembali sejarah gerakan perempuan di Indonesia, khususnya Gerwani, baik keberhasilan maupun kegagalannya dimasa lalu, meliputi program-program Gerwani, dan hubungannya dengan PKI maupun Soekarno. Menuntut diadilinya para pelaku kejahatan 65 dan dipulihkannya secara penuh hak-hak korban. Meskipun reformasi 98 berhasil menumbangkan Soeharto, namun sampai saat ini para pelaku kejahatan 65 tidak ditangkap dan diadili. Oleh karena itu, kita harus menuntut rekonsiliasi yang disertai dengan rehabilitasi, membangun kembali organisasi pergerakan pembebasan perempuan di Indonesia secara terorganisir. Melancarkan program-program perjuangan pembebasan perempuan tidak hanya dikalangan gerakan perempuan, tapi juga gerakan buruh dan antar gerakan rakyat tertintas lainnya. (hm)

Loading

Comment here