Pada masa renaissance umat manusia seakan-akan dihidangkan oleh hingar-bingar wancana kemajuan peradaban. Karena masa ini secara historis adalah masa peralihan antara masa kegelapan yang disebut dengan dark age menuju masa “kemajuan” yang disebut dengan modernisme. Masa ini disebut-sebut puncak kejayaan peradaban umat manusia karena peradaban ini berusaha untuk melepas diri dari dogma-dogma gereja yang telah bersatu dengan sistem feodalisme sehingga melahirkan kebuasan atas kekuasaan. Ternyata masa modernisme ini masih memunculkan permasalah baru yang lebih masif.
Pada masa dark age, bersatunya gereja dengan kerajaan tidak membawa pengaruh yang lebih baik daripada masa sebelumnya, yang terjadi adalah banyak peristiwa dehumanisasi berupa pembunuhan contohnya pembantaian terhadap kerajaan sekuler yang dilakukan oleh kerajaan Britania Raya (Eropa Barat) (Russel, 1946).
Masa renaissance membawa konsep yang baru berupa liberalisme dengan konsep kebebasan sebebas-bebasnya dan antroposentrisme dengan konsep manusia adalah subjek yang sifatnya manusia sebagai sosok yang superpower, manusia memiliki kehendak atas dirinya, sederhananya manusia sebagai individu melihat selain daripadanya adalah objek. Konsep ini ingin melepaskan diri dari dogma-dogma agama yang menuntut untuk patuh kepada gereja. Karena pada masa “dark age”, Gereja sebagai kumpulan manusia “suci” telah membangun konsep imperium citra kepada kerajaan dan rakyat. Kerajaan patuh kepada gereja namun gereja tidak bisa membimbing kerajaan menjadi lebih humanis sehingga terjadi praktik dehumanisasi oleh kerajaan, dan rakyat terlalu memuja gereja secara ekstrim.
Jika kita cermati secara kritis dua konsep ini ternyata mengakibatkan dehumanisasi secara masif, tidak hanya dalam skala kedaulatan bahkan kepada skala individual manusia itu sendiri. Contohnya saja ketika kita berkehendak sebebas-bebasnya tanpa ada batasan, boleh jadi kita sedang atau telah mengambil hak orang lain, Ketika kita menganggap diri individual ini adalah subjek maka bisa jadi kita memperalat sesuatu di luar individu demi keuntungan individu itu sendiri.
Eksploitasi Alam
Manusia sebagai entitas sosial harusnya telah paham dan menghayati bahwasanya humaniora itu adalah sifat fitrah yang dimilikinya. Maka jika manusia itu dibebaskan dengan konsep liberalisme dan dipengaruhi oleh konsep antroposentrisme, maka aka terjadi permasalahan sosial disana.
Konsep antropotisme yang mendasarkan diri pada keyakinan bahwa manusia adalah penguasa dan penentu realitas yang akan menentukan apa yang menjadi dan terjadi pada dirinya. Oleh karena itu segala sesuatu yang berada di luar diri manusia akan diperlakukan sebagai objek yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Konsep tersebut berandil besar pada krisis ekologi. Karena pada dasarnya konsep krisis ekologi adalah gugatan terhadap perspektif bahwa entitas sosial (manusia) itu teralienasi bahkan terpisah dengan entitas ekologi atau non manusia (Maulana, 2021). Sesungguhnya lingkungan hadir dari sesuatu proses yang berjalan tidak dengan sendirinya, melainkan saling berterkaitan dan saling menghegemoni.
Fenomena ini semakin diperparah pada hegemoni konsep kapitalisme kedalam sistem undang-undang. Pada masa orde baru misalnya, sangat sarat denga spirit modernitas dalam pengelolaan yang lebih cenderung penulis sebut dengan eksploitasi lingkungan hidup, ditandai dengan ditetapkannya undang-undang No.1 Tahun 1967 yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing (PMA) disusul dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) (Muthmainnah, 2020). Adanya regulasi tersebut dianalogikan bahwa sesungguhnya negara telah membuka gerbang untuk dilakukannya praktik-praktik eksploitasi alam dan akan berimbas pada rusaknya lingkungan hidup secara masif. Berdasarkan data LPPM sejak 1815-2004 bencana hidrometeorologis adalah bencana yang mendominasi bencana di Indonesia hingga 90 persen (Riski, 2015). Hidrometeorlogis itu terjadi akibat pembabatan hutan dengan skema sebagai berikut. Adanya hutan air hujan dapat diserap dan masuk ke tanah perlahan akan menjadi mata air (Riski, 2015), maka otomatis pembabatan hutan yang dilakukan secara masif akan mengakibatkan bencana banjir. Selain dari itu pembabatan hutan juga akan mengurangi kualitas oksigen bumi.
Belum lagi pada praktik-praktik lainya yang berorientasi pada kapitalisme industrial. Bahkan kapitalisme merupakan syarat dari krisis ekologi. Karena pada sistem kapitalisme, faktor-faktor produksi (sumber daya alam, alat-alat produksi, maupun tenaga kerja) akan dikombinasikan sedemikian rupa untuk menciptakan kemungkinan terbesar bagi tercapainya penimbunan keuntungan. Pada sudut pandangan ini, sebuah perusahaan yang memiliki masa depan harus memiliki kontrol sumber daya dan meningkatkan investasi serta kehadirannya di pasar dunia. Watak dasar kapitalis umumnya tidak terlalu peduli untuk membuat kerja menjadi lebih nyaman atau pun mengharmoniskan produksi dengan keseimbangan alam dan kehidupan manusia. Proses produksi pada prinsipnya hanya peduli untuk menghasilkan nilai tukar maksimal bagi setiap biaya yang dikeluarkan. Prioritasnya adalah untuk menekan biaya produksi serendah mungkin daripada melestarikan keseimbangan ekologis yang biayanya mahal dan kerusakannya tidak akan menjadi beban perusahaan secara finansial. Teknologi kemudian menjadi pilihan praktis untuk dapat mencapai tujuan maksimalisasi keuntungan dan minimalisasi biaya produksi (Muthmainnah, 2020).
Kondisi kelangkaan sumber daya serta turunnya daya dukung bumi tersebut pada tahap lanjut akan menjadi ancaman bagi setiap manusia. Tidak hanya pada sumber daya yang tidak dapat diperbarui, tetapi kondisi kelangkaan juga menyasar berbagai sumber daya yang seharusnya dapat diperbarui. Menurut catatan Homer-Dixon, dkk., kelangkaan sumber daya alam yang dapat diperbarui ini telah mengakibatkan banyak konflik yang menyedihkan di banyak negara berkembang. Konflik-konflik tersebut berpeluang akan menjadi semakin membesar pada dekade yang akan datang, khususnya di negara miskin maupun negara berkembang di mana kelangkaan sumber air, hutan, dan lahan yang subur dikombinasi dengan pesatnya pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan situasi menjadi semakin sulit. Sementara itu, berbagai polusi dan pencemaran yang terjadi juga telah menyebabkan rusaknya daya dukung bumi (Muthmainnah, 2020).
Eksploitasi Manusia
Setelah memahami konsep sekaligus contoh jahatnya kapitalisme lalu bagaimana bisa sistem kapitalisme dan antroposentrisme juga dapat mengeksploitasi manusia. Pada dasarnya salah satu hal yang dimiliki manusia adalah kekreatifan. Kapitalisme dengan antroposentrisme memiliki satu titik yang berkaitan, dua hal inilah yang pada akhirnya membatasi kekreatifan manusia.
Menurut Karl Marx manusia sudah tidak lagi memaksimalkan potensi kekreatifan yang dimiliki disebabkan oleh alinease. Alinease atau keterasingan adalah salah satu konsep penting pemikiran Karl Marx. Menurut Karl Marx ada empat sisi keterasingan manusia dalam hubungannya dengan kerja (Marandika, 2018). Di antaranya adalah, alienase pekerja dari produk kerja, alienase dari aktivitas kerja sendiri, alienase dari potensi kemanusiaannya sebagai individu, dan alienase dari lingkungannya. Alienase pertama bermaksud bahwa perkerja menghadapi produk/ barang yang dihasilkannya sebagai objek yang asing atau sebagai kekuatan yang independen yang melebihi dirinya. Contohnya pada buruh tani miskin yang harus membeli beras hasil panen nya sendiri dengan harga yang boleh jadi melebihi kemampuannya (Marandika, 2018). Pada data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, rata-rata harga beras Yogyakarta per 04 Mei 2021 berada pada kisaran Rp 10.000 per kilogram (Yogayakrta, 2021) sementara rata-rata pendapatan buruh tani Yogyakarta menurut data BPS pada bulan Oktober 2021 yang dilansir dari (Jogja, 2021) berkisar Rp 31.962 per hari. Belum lagi kewajiban pemenuhan hak anggota keluarga, dan tentu saja pemenuhan kebutuhan makanan sehari-hari tidak hanya diukur pada kebutuhan beras saja, dan hal yang penting juga bagaimana hak pendidikan anak-anak para buruh tani miskin tersebut. Jika dilihat dari data-data tersebut tentunya para buruh tani miskin sangat jauh dari kata mampu. Pada alienasi kedua yang berkaitan dengan keterasingan dari aktivitas kerja adalah perkerjaan yang semula bagian dari sifat internal manusia berubah menjadi sifat eksternal karena tidak melibatkan hasrat batin dan tenaga fisik berdasarkan kerelaan, sehingga bukan kepuasan yang diperoleh, melainkan untuk memenuhi tuntutan kerjanya (Marandika, 2018). Tuntutan kerja di sini boleh jadi adalah tuntutan pasar yang berkaitan minat para konsumen yang tidak sesuai dengan batin pekerja, misalnya pada industri musik. Beberapa grup band musik telah melakukan peralihan genre yang jauh dari awal mula grup band tersebut lahir menyesuaikan selera pasar atas tuntutan manajemen grup band tersebut. Kemudian, alienasi/ keterasingan dari potensi kemanusiaan berarti bahwa pekerja tidak lagi mampu mengenali potensi dirinya secara utuh karena di bawah kendali keterpaksaan (Marandika, 2018). Hal ini juga kembali kita dapat lihat contoh kecilnya pada industri musik lagi, selera pasar yang bersifat mainstream akhirnya memaksa kelompok musik tertentu untuk merelakan potensi kekreatifannya pada selera mainstream pasar. Selanjutnya alienase/ keterasingan dari lingkungan yakni akibat terbaginya masyarakat menjadi kelas pemilik modal dan kelas para pekerja, di mana masing-masing individu, baik di dalam maupun di antara dua kelas tersebut memiliki kepentingan yang saling bertentangan, sehingga menyebabkan keterasingan satu dengan yang lainnya dan memicu konfrontasi berkelanjutan (Marandika, 2018).
Penutup
Sistem kapitalisme dan antroposentrisme yang merupakan produk modernisasi ternyata masih membawa hal yang cukup merugikan alam dan manusia itu sendiri. Kita sebagai manusia harus sadar dan mencoba untuk membatasi eksploitasi ini dengan mencoba terus membaca kondisi dunia dengan perspektif filsafat.
Pada abad ke- 21 ini apa yang diprediksi para filsuf terdahulu telah terjadi. Tugas kita manusia adalah menumbuhkan potensi intelektual kita dalam membaca setiap fenomena yang ada. Hal ini juga bisa menjadi upaya kita dalam memanusiakan manusia.
ditulis oleh Raka, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Darmaji, A. (2013). Herbert Marcuse tentang Masyarakat Satu Dimensi. Ilmu Ushuluddin, 1(6), 515–526. https://doi.org/10.15408/ilmu-ushuluddin.v1i6.1027
Jogja, P. (2021). Terendah se-Indonesia, Upah Buruh Tani di Yogyakarta Rp 31.000 perhari. Kumparan.Com. https://kumparan.com/pandangan-jogja/terendah-se-indonesia-upah-buruh-tani-di-yogyakarta-rp-31-ribu-per-hari-1ww6N8KA5mr
Marandika, D. F. (2018). Keterasingan Manusia menurut Karl Marx. Tsaqafah:Jurnal Peradaban Islam, 14(151), 299–322. http://dx.doi.org/10.21111/tsaqafah.v14i2.2642
Maulana, B. (2021). Krisis Sosial-Ekologis dan Kapitalisme. Walhi-Jogja.or.Id. https://www.bing.com/search?q=walhi+krisis+sosial-ekologis+dan+kapitalisme&qs=n&form=QBRE&sp=-1&pq=walhi+krisis+sosial-ekologis+dan+kapitalisme&sc=0-44&sk=&cvid=C332114B560E442494B08B99A970E701&ghsh=0&ghacc=0&ghpl=
Muthmainnah, L. (2020). Kapitalisme , Krisis Ekologi , dan Keadilan Intergenerasi : Analisis Kritis atas Problem Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia ( Capitalism , Ecological Crises , and Inter-Generational Justice : Critical Analysis on the Environmental Management Problems in Indonesia ). 20(1), 57–69. https://doi.org/10.20473/mozaik.v20i1.15754
Riski, P. (2015). Kerusakan Hutan Pangkal Semua Bencana Alam. Mongabay.Co.Id. https://www.mongabay.co.id/2015/08/08/kerusakan-hutan-pangkal-semua-bencana-di-indonesia/
Russel, B. (1946). Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang (V). Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, D. (2021). Harga Sembako. Jogjaprov.Go.Id. https://disperindag.jogjaprov.go.id/v3/sembako.asp
Comment here