Perspektif

Tangkap, Adili, dan Penjarakan Penjahat HAM untuk Indonesia yang Adil dan Beradab!

Rabu (11/01/2023), di Istana Negara dan di hadapan para jurnalis, Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu, diwakili Mohammad Mahfud Mahmodin atau Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) menyampaikan laporan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), disusul dengan Pernyataan Pers Presiden Republik Indonesia (RI).

Jokowi menyatakan:

“…Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan, saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada:

1. Peristiwa 1965-1966;

2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;

3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;

4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;

5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;

6. Peristiwa kerusuhan Mei 1998;

7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999;

8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;

9. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999;

10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002;

11. Peristiwa Wamena, Papua di 2003; dan

12.Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003. 

Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, yang pertama, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

Yang kedua, saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang. Dan, saya minta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik.

Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa, guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perhatikan Jokowi menyebut “…mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi…” dan “…menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat…” Dengan memilih “terjadi” dan bukannya “melakukan pelanggaran HAM berat” atau “pelanggaran HAM berat dilakukan” menyiratkan seolah-olah pelanggaran HAM berat itu terjadi sendiri begitu saja. Tak ada fokus pada pelaku. Apalagi motif, modus, serta keuntungan yang didapatkan para pelaku dari pelanggaran HAM berat itu. Belasan kasus tersebut saja setidaknya melibatkan puluhan jenderal dan pejabat yang sebagian sudah mati tapi sebagian juga masih hidup berkuasa kaya raya hingga kini.

Sebagian besar pelanggaran HAM berat tersebut merupakan tanggung jawab Soeharto yang sudah mati. Selain Soeharto adalah Benny Moerdani yang pernah menjabat sebagai Panglima ABRI dan Pangkopkamtib. Wiranto, Prabowo dan Hendropriyono tentu saja terlibat. Selain itu juga terdapat nama-nama seperti Endriartono Sutarto, Dibyo Widodo, Hamami Nata, Sjafrie Sjamsoeddin dan Timur Pradopo.

Dalam beberapa kasus yang disebutkan oleh Jokowi, berbagai struktur militer maupun polisi terlibat. Komnas HAM bahkan menyebutkan bahwa dalam kasus Rumah Geudong atau Pos Satuan Taktis dan Strategis (Stattis) seluruh Panglima ABRI, Komandan Jenderal Kopassus dan Panglima Kostrad dapat dimintai pertanggungjawaban. Kasus Rumah Geudong atau Pos Stattis ini terjadi pada saat Daerah Operasi Militer (DOM) diterapkan di Aceh dari 1989 hingga 1998. Beberapa nama yang terkenal adalah: Agum Gumelar, Subagyo HS, Muchdi PR, Wismoyo Arismunandar, Johny Lumintang, Djamari Chaniago, Try Sutrisno, Edi Sudradjat serta Feisal Tanjung. Termasuk tentu saja lagi-lagi Wiranto dan Prabowo. Keterlibatan komandan tersebut, juga anggota polisi dan tentara, bukan saja di tingkatan atas namun hingga Kodam, Polda, Korem, Kodim, koramil, Polsek bahkan di tingkatan detasemen. Ini seperti kesimpulan dari Komnas HAM dalam Peristiwa Simpang KKA dan Jambo Keupok di Aceh serta Wamena dan Wasior di Papua.

Pernyataan Pers Presiden RI tentang Pelanggaran HAM Berat, Istana Merdeka, 11 Januari 2023 Rabu ini bisa juga digunakan untuk menjegal atau setidaknya mempersulit saingan-saingan potensial kubu mereka untuk Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 ataupun jabatan lainnya maupun sedikitnya menarik dukungan para calon pemilih yang menganut lesser evil, pilih yang paling sedikit mudharatnya, atau asal calonnya bukan pelanggar HAM. maupun sedikitnya menarik dukungan para calon pemilih yang menganut lesser evil, pilih yang paling sedikit mudharatnya, atau asal calonnya bukan pelanggar HAM.

Di Pilpres 2014, Jokowi dengan baju kotak-kotaknya mengatakan akan mencari Wiji Thukul. “Ya dicari biar jelas. Mbak Pon temen baik, anaknya temen baik saya,” begitu janjinya. Kini delapan tahun setelahnya, hingga Sipon, istri Wiji Thukul meninggal dunia baru seminggu yang lalu, Wiji Thukul tidak pernah ditemukan. Apa yang kita temukan adalah Wiranto dan Prabowo makan bersama dan menjabat bersama Jokowi. Kalaupun mereka saling bersaing dan bertengkar, permusuhan mereka itu sifatnya semua atau setidaknya sekunder. Rakyat diadu domba dengan dibuat berpikir bahwa memilih Jokowi akan lebih baik daripada Prabowo. Toh, ternyata, seperti slogan yang sempat muncul saat Pilpres 2019: Pilih (nomer urut) Satu (Jokowi-Ma’aruf) dapat Dua (pasangan: Jokowi+Prabowo+Ma’aruf+Sandiaga+penjahat HAM lainnya).

Dari awal kesan Jokowi pro-demokrasi dan penegakan HAM hanyalah ilusi. Ia bersekutu dan memberikan banyak jabatan bahkan penghargaan bagi para sisa Orde baru, militeris, dan pelanggar HAM. Koalisi Indonesia Hebat yang dulu dibangun untuk memenangkan Jokowi di 2014 mayoritas partai anggotanya adalah hasil pembelahan diri dari Partai Golkar. Partai-partai tersebut adalah: Partai Nasional Demokrat dipimpin Surya Paloh, Partai Hanura dengan Wiranto, PKPI milik Sutiyoso. PDI Perjuangan sendiri sebenarnya juga terdapat orang-orang yang dahulu memiliki kekuasaan di jaman Rejim Militer Orde Baru. Wakil Presidennya pada saat itu adalah Jusuf Kalla, seorang petinggi Partai Golkar. Juga terkenal dalam film The Act of Killing atau “Jagal” saat adegan memberikan pidato di acara Pemuda Pancasila (PP) dengan mengatakan bahwa Indonesia butuh preman. Jagal sendiri menunjukan bahwa PP terlibat dalam Malapetaka 1965. Partai Golkar berawal dari kumpulan berbagai macam organisasi yang dihimpun oleh Tentara (khususnya Angkatan Darat) untuk menghambat kebijakan Soekarno dan para pendukungnya. Partai Golkar bersama Tentara menopang Rejim Militer Soeharto untuk berkuasa secara otoriter selama 32 tahun.

Wiranto saat ini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, Hendropriyono merupakan pendukung lama Jokowi dimana keluarganya diberikan berbagai kekuasaan oleh Jokowi. Anaknya, Diaz Faisal Malik Hendropriyono menjadi Staf Khusus Presiden sementara menantunya Andika Perkasa menjadi Panglima TNI. Lalu dua anggota Tim Mawar direkrut sebagai pejabat eselon di Kementerian Pertahanan. Hal yang serupa juga diberikan kepada para penjahat HAM di luar 12 kasus yang disebutkan Jokowi. Jokowi memberikan gelar bintang jasa utama kepada Eurico Guterres yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Timor Leste. Sedangkan Ryamizard Ryacudu yang menyatakan pembunuh Theys adalah pahlawan sempat menjadi Menteri Pertahanan.

Mencermati pernyataan Mahfud MD sebelum Jokowi juga membawa kesimpulan bahwa ini bukan kemajuan riil bagi perjuangan HAM. Mahfud MD mengemukakan, “Penyelesaian secara yuridis sudah kita usahakan. Hasilnya seperti kita tahu semuanya untuk empat kasus yang sudah dibawa ke mahkamah agung, semuanya bebas karena memang bukti-buktinya secara hukum acara tidak cukup. Penyelesaian KKR, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, itu juga mengalami jalan buntu karena terjadi saling curiga di tengah-tengah masyarakat sehingga itu juga tidak jalan. Oleh sebab itu Presiden mencoba dan memulai membuka jalan menyelesaikan kebuntuan ini dengan membentuk tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu yang diminta melakukan pemeriksaan dan penyelidikan ulang terhadap peristiwa itu kemudian mencari kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya di dalam situasi baru yang sesuai dalam situasi politik, ekonomi, budaya, yang berkembang saat ini.” Mahfud MD berkelit “…Jadi tim ini tidak menutup dan mengalihkan, mengalihkan penyelesaian yudisial menjadi non-yudisial, bukan. Yang yudisial silahkan jalan…” tapi pernyataannya sebelumnya menegaskan bahwa jalur hukum sudah buntu. Lebih lanjut lagi ia menyatakan masyarakat saling curiga, tapi masyarakat yang mana? Mengapa seolah seluruh populasi atau warga negara Indonesia dianggap saling mencurigai? Padahal yang paling getol menghasut adalah kaum reaksioner, bigot, militeris, dan anti-komunis.

Mahfud MD juga menyiratkan bahwa penyelesaian non-yudisial atas pelanggaran HAM di masa lalu ini tidak akan sepenuhnya memulihkan hak-hak para korban, terutama kebebasan berorganisasi dan berideologi. Ia menyatakan “…isu yang dulu rame, misalnya masalah peristiwa 65, ada yang menuding itu untuk menghidupkan lagi komunisme, mangkanya itu tidak benar. Karena berdasar tim ini, justru yang harus disantuni bukan hanya korban-korban dari pihak PKI tetapi juga direkomendasikan korban kejahatan yang muncul di saat itu termasuk para ulama dan keturunannya. Tidak benar juga ini mau memberi angin kepada lawan Islam karena dukun santet yang di Banyuwangi itu yang akan diselesaikan dan disantuni oleh atas rekomendasi tim ini semuanya ulama. Di Aceh itu semuanya Islam. Kenapa harus dikatakan ini untuk mendiskreditkan Islam, untuk memberi angin ke PKI? Itu sama sekali tidak benar. Karena soal PKI itu sudah ada TAP MPRnya…” TAP MPR yang dimaksud Mahfud MD ini adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No.: XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Rezim mengaku Indonesia sebagai negara hukum namun hukum yang melarang dan menghukum seseorang hanya karena mengikuti suatu ideologi atau organisasi (apalagi yang revolusioner) namun tidak melakukan atau tidak terlibat tindak kejahatan, jelas bukanlah hukum yang adil, bahkan mencerminkan hukum tirani.

Perhatikan juga cara Mahfud MD membandingkan PKI dengan ulama dan Islam. Seolah-olah PKI itu anti-agama, seolah-olah anggota PKI itu ateis bahkan anti-teis. Padahal bukan hanya PKI tidak mempropagandakan ateisme dan banyak umat beragama (Islam maupun lainnya) yang jadi aktivisnya, melainkan banyak resor PKI yang justru membantu pendirian tempat ibadah. Misalnya, sebagaimana diberitakan koran Sin Po, PKI Resor Kebon Sajur di Jakarta Kota mempelopori panitia pendirian Masjid. Jadi demikianlah pengakuan dan ‘penyesalan’ negara atas apa yang mereka sebut terjadinya pelanggaran HAM berat dilakukan dengan memelihara bukan hanya sentimen anti-komunisme namun juga fitnah seolah-olah PKI anti-agama padahal tidak benar.

Walaupun Jokowi menyatakan berupaya agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi termasuk berharap agar langkah ini akan memperkuat “kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” faktanya pelanggaran HAM pun dilakukan atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk slogan NKRI harga mati dan pelanggaran HAM juga marak dilakukan di bawah rezim Jokowi. Pelanggaran HAM juga akan terus dilakukan bahkan modusnya diulangi jika para jenderal pelanggar HAM bebas berbuat keji tanpa pernah diadili dan dihukum. Mereka justru masih semakin kaya raya, berkuasa dan memiliki jabatan karena kekejian yang mereka lakukan. Oleh karena itu, mereka akan menggunakan pola yang sama untuk berkuasa. Pembantaian, penculikan, perampokan, kekerasan seksual, dan berbagai pelanggaran HAM untuk memfasilitasi kepentingan penindasan sebagaimana pada Malapetaka 1965 juga dilakukan terus bahkan ditiru modusnya di berbagai kasus lainnya. Militerisme Indonesia melakukan pelanggaran HAM ke Timor Leste, Papua, dan lainnya. Bahkan kontra-revolusi ala Suharto kemudian dijadikan Metode Jakarta, platform bagi kaum imperialis dan kaum reaksioner untuk menggulingkan berbagai gerakan rakyat di negara-negara Asia maupun Amerika Latin. Keseluruhan pelanggaran HAM yang terjadi (yang jumlahnya lebih dari belasan yang diakui Jokowi) mengikuti pola kekuasaan yang sama. Bahkan kini, sekedar tidak mematuhi polisi dan masuk ke dalam lapangan pertandingan sepak bola, cacat menanti atau nyawamu akan dicabut. Jika dahulu untuk melancarkan Malapetaka 1965 kaum reaksioner juga memakai koran penyebar hoax seperti koran-koran militer tentara yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata maka saat ini kita ada Suprapti Fauzi (mantan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Solidaritas Indonesia (PSI)) yang berbohong mengaku seolah berjualan dawet di Stadiun Kanjuruhan. Juga ada buzzers atau para pendengung sekaligus selebritis yang siap menggunakan media sosialnya untuk mendukung apapun yang para elit politik minta (dengan bayaran tertentu).

Pola merancang kerusuhan, rasisme, adu domba, demi kepentingan penindasan-penghisapan juga terus menjadi andalan. Kita melihatnya di Malapetaka 1965, Pogrom Mei 1998, Tragedi Semanggi, kerusuhan etnis 1998-2001, Pilkada DKI 2017. Bahkan sudah menjadi kebiasaan para elit politik untuk mengandalkan agama, juga isu komunisme (dan tambahkan itu dengan LGBT) untuk mendapatkan kursi. Hingga kini juga hal yang biasa jika para elit politik nasional maupun lokal bersama polisi dan tentara menggunakan kelompok milisi sipil reaksioner (yang mereka atas namai dengan “warga,” “penduduk asli,” “masyarakat”, dan sebagainya) untuk memukul aksi, diskusi ataupun agenda-agenda rakyat lainnya.

Para aktivis HAM dengan benar meragukan ataupun khawatir terhadap pernyataan Jokowi ataupun menyatakan bahwa Jokowi tidak akan dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM jika terus mengikutkan para penjahat HAM dalam pemerintahannya. Namun kesimpulan ini membutuhkan kesimpulan yang lebih dalam lagi. Kesimpulan yang lebih dalam bukanlah memberikan rekomendasi pada para elit politik agar menjalankan ini dan itu.

Pertama, ini persoalan kepentingan sebuah kelompok bukan sekedar individu pelanggar HAM ataupun siapa yang berkuasa. Baik Jokowi, Prabowo, Wiranto, Megawati, Ganjar, Anies, PDI-P, PKS, Partai Demokrat, Gerindra, Golkar, dsb mewakili satu kepentingan kelompok yaitu para elit politik. Mereka memiliki kepentingan yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan kepentingan buruh ataupun rakyat. Kekuasaan para elit politik bertahan di atas penghisapan dan penindasan buruh serta rakyat. Bisa dikatakan “kerukunan nasional” tidak akan pernah terbangun selama para elit politik tersebut berkuasa. Bahkan kerukunan nasional yang dimaksud bisa jadi adalah rakyat-pekerja diam tunduk dihisap oleh negara kapitalis republik Indonesia.

Mereka boleh saja seolah-olah bertarung ketika berebut kursi. Prabowo bertarung dengan Jokowi rebutan kursi presiden 2019. Toh akhirnya Prabowo menjadi Menteri Jokowi. Lihat saja dalam berbagai macam kebijakan yang disahkan, mereka semua mendukung Omnibus Law, mendukung RKUHP, mendukung kenaikan harga BBM, upah murah, kontrak outsourcing dan magang, dan sebagainya. Bagaimana dengan RUU TPKS? Tentu saja mereka mendukung, bahkan borjuis tidak rela perempuan ataupun anak-anaknya mengalami kekerasan seksual. Perbedaan di antara mereka hanyalah kubu PDI-P dan semacamnya ingin mengkriminalisasi hubungan seks di luar nikah serta LGBT lewat KUHP sementara PKS dan semacamnya ingin kriminalisasi itu dilakukan di RUU TPKS. Semua kebijakan yang menindas akan mereka dukung bersama, setidaknya ketika sedang berkuasa, ketika tidak berkuasa bisa pura-pura oposisi.

Jika persoalannya adalah mereka semua sama saja maka kesimpulan kedua adalah persoalan yang kita hadapi saat ini karena yang berkuasa adalah para elit politik itu-itu saja. Selama hampir enam dekade setelah Malapetaka 1965, Indonesia dikuasai oleh entah jenderal, pengusaha, birokrat alias pejabat, atau keluarganya. Berganti-ganti tapi mereka saja terus. Kritik terhadap para elit politik lewat diskusi, seminar, panggung rakyat bahkan aksi, pemogokan, dan sebagainya, adalah hal yang baik. Tapi selama buruh dan rakyat tidak memegang kekuasaan maka itu semua akan berhenti pada berharap agar para elit politik mau merubah kebijakannya. Buruh dan rakyat butuh merebut kekuasaan dan itu akan membutuhkan kekuatan politik, partai politik yang revolusioner. Revolusioner! Bukan sekedar alternatif atau berbeda atau baru dibandingkan partai-partai para elit politik tersebut.

Salah satu hal yang bisa kita nilai dari “revolusioner” tersebut adalah perjuangannya untuk mengadili penjajahan HAM. Pengadilan HAM terhadap para penjahat HAM tersebut berfungsi untuk mengikis kemudian menghilangkan pola-pola kekuasaan para elit politik. Semakin tersingkir kekuasaan para elit maka kesempatan semakin terbuka untuk membangun demokrasi dan kesejahteraan. Demokrasi, yang tidak akan mengkriminalisasi buruh dan rakyat ketika melakukan kritik ataupun perjuangan; yang tidak menggunakan gas air mata, pentungan ataupun peluru tajam ketika rakyat berpolitik; kekuasaan yang justru menuntut partisipasi sepenuh-penuhnya buruh dan rakyat dalam kekuasaan. Termasuk kekuasaan yang juga membangun kesejahteraan, yang tidak memudahkan buruh dipecat, dikontrak hingga mati, yang tidak menganggap pembangunan adalah merampas tanah petani, yang tidak melihat investasi sama dengan menahan upah buruh. Kita semua, dapat membangun pola kekuasaan yang baru, kekuasaan yang adil dan beradab bagi buruh dan rakyat.

Ditulis oleh Dipo Negoro, Kader Perserikatan Sosialis.

Loading

Comment here