Sejarah

Wikana, Menteri Pemuda Pertama Pelopor Proklamasi

Wikana lahir pada 18 Oktober 1914 di Sumedang, Jawa Barat dari keluarga menak. Kakaknya, Winanta, ditahan di Boven Digul akibat terlibat Pemberontakan 1926. Wikana banyak mempelajari politik lewat pengalaman Winanta yang dituangkan dalam buku “Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul” yang disunting Pramoedya Ananta Toer di Cerita Dari Digul.

Setelah lulus MULO pada 1932, Wikana menulis di Fikiran Ra’jat di Bandung. Dia masuk menjadi anggota Partai Indonesia (Partindo), pecahan dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pasca penangkapan Bung Karno. Dalam gerakan bawah tanah, Wikana bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada masa itu dilarang oleh pemerintah kolonial sebab pemberontakan di tahun 1926. Wikana juga sempat menjadi salah satu pemuda yang belajar langsung dari Soekarno di Bandung sebelum akhirnya pindah ke Surabaya tahun 1935 untuk memimpin mingguan Pedoman Masyarakat Baroe.

Tahun 1938 Wikana pindah ke Jakarta memimpin harian Kebangoenan. Oktober tahun yang sama, Wikana bersama Amir Sjarifuddin, Asmara Hadi, dan A.M Sipahutar menjadi dewan redaksi majalah bulanan Toedjoean Rakjat. Tulisan Wikana antara lain: Organisatie, Pengoempoelan Boeah Pena, Dokumentasi Pemuda Sekitar Proklamasi Indonesia Merdeka (bersama DN Aidit dan Legiono), serta Satu Dua Pandangan Marxisme.

Wikana juga aktif di Menara Merah terbitan PKI bawah tanah. Dia bertugas menyebarkannya di Jawa Barat. Dua tahun sebelum pendudukan Jepang, satu eksemplar terbitan ini disita. Wikana, Adam Malik, dan Pandu Kartawiguna ditangkap Belanda akibat menyebarkan Menara Merah yang menuntut pembentukan Popular Front atau Front Kerakyatan untuk melawan fasisme.

Dia juga terpilih jadi ketua pertama Barisan Pemuda Gerindo yang menganjurkan kerjasama sementara dengan Belanda untuk melawan musuh bersama: fasisme. Tetapi dia akhirnya didesak untuk mundur oleh Ketua PB. Gerindo akibat kecenderungan kiri radikalnya. Setelah Jepang kalah, ia turut mengorganisir dan menggerakkan massa. Karenanya bisa rapat akbar di lapangan Ikada dengan Sukarno. Wikana tidak penting hanya saat peristiwa Rengasdengklok, dia telah ada sejak awal untuk membentuk pemuda agar aktif menyadarkan massa. Pekerjaan ini tidak lepas dari menulis, menyebarkan koran, dan mengajar.

Segala usaha pergerakan masuk ke puncaknya saat hari detik-detik sebelum kemerdekaan. Di antara golongan tua dan muda, terdapat perpecahan. Golongan tua yang dicap kolaborator penjajah karena bekerja sama dengan Jepang, dengan segala perhitungan politiknya berpendapat Indonesia belum siap mempertahankan diri dari agresi militer. Indonesia tidak boleh tergesa-gesa proklamasi. Lagipula, Jepang terjebak dekat dengan kekalahan, dan dibandingkan pemerintah kolonial Belanda, Jepang yang menjanjikan kemerdekaan. Tetapi golongan muda, dengan Wikana yang memimpin dan jadi juru bicara, menolak campur tangan Jepang dalam revolusi ataupun kemerdekaan sebagai hadiah penjajah.

Jepang menyerah setelah pengeboman Nagasaki dan Hiroshima. Pasukan Sekutu masuk Indonesia dan mereka tidak akan menjanjikan kemerdekaan apalagi pasukan Belanda ikut serta. Berita itu menyebar. Sikap pemuda adalah: proklamasi harus dilaksanakan segera. Setelah diskusi dan debat panas antara golongan tua dan muda, Wikana mengusulkan ‘penculikan’ Rengasdengklok. Penculikan yang berakhir dengan Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Wikana tetap memilih aktif di barisan massa biarpun kabinet Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memintanya menjadi Menteri Urusan Pemuda dari tahun 1946-1948. Dia memilih PKI sebagai ruang mengorganisasi rakyat. Wikana juga masuk ke dalam organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API) sebagai ketua pertama pada 1 September 1945. Dia bersama Soemarsono mewakili API pada Kongres Pemuda Pertama dan menjadi salah satu pembicara di samping tokoh-tokoh lainnya. Agenda Kongres Pemuda adalah rencana untuk menggabungkan semua gerakan pemuda dalam satu organisasi berdasar prinsip sosialisme agar lebih terkoordinasi dan militan. Akhirnya organisasi pemuda yang setuju oleh peleburan bergabung dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Wikana terpilih menjadi wakil ketua Pesindo dan ditunjuk menjadi pemimpin Dewan Pekerja Pembangunan.

Pesindo sendiri dalam perkembangannya, bergerak tidak serta-merta pro pada pemerintah presidensial. Pandangan kritis dan oposisi ini dibutuhkan. Bagi Wikana proklamasi hanya suatu awal. Seorang revolusioner tidak bisa lengah ataupun asal menerima. Kemerdekaan masih jauh diraih dan satu-satunya jalan hanya lewat mobilisasi massa.

Wikana juga tetap aktif menuangkan pikiran teoritisnya. Konstelasi politik pada masa itu memang rumit, apalagi perihal pengorganisasian partai komunis. Hal ini terlihat jelas dalam tulisannya. Dalam jurnal Bintang Merah PKI, Wikana menulis Organisasi Massa Pemuda yang mempaparkan dengan jelas pandangannya perihal pemuda dalam pergerakan. Dia mempertanyakan soal basis pemuda, dan dari sana konsepsi partai itu sendiri terhadap hubungannya dengan organisasi massa pemuda. Baginya “perbedaan antara partai dan organisasi massa pemuda bukan harus diadakan dengan jalan membedakan azas, tujuan dan menyelundupkan tujuan strategi perjuangan.”.

Terlihat usia pembatas dalam organisasi pemuda hanyalah dalih bagi Wikana, yang terpenting adalah mendapatkan massa dan simpatisan lalu memastikan mereka dekat dengan perjuangan aktif meskipun tidak sanggup ataupun tidak ada keinginan mendedikasikan hidupnya pada partai. Tetapi tujuan utama dari organisasi massa tetaplah tempat memberi pendidikan dan ideologisasi revolusioner terhadap anggota-anggotanya, dimana yang terbaik akan ditingkatkan menjadi anggota partai. Dan bagi Wikana, tempat pendidikan calon kader yang terbaik adalah dalam organisasi pergerakan pemuda daripada di dalam partai atau organisasi lain.

Setelah Peristiwa Madiun 1948 posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan Hatta oleh Gatot Subroto. Hal ini tidak lain karena paham kirinya. PKI sendiri hampir hancur akibat dituduh menjadi dalang “pemberontakan” Peristiwa Madiun. PKI lumpuh diperangi bangsa sendiri. Baru dua tahun ketika golongan muda PKI seperti D.N Aidit, Njoto, dan Lukman mulai pelan-pelan membangun partai kembali dalam kondisi kacau. Sejumlah strategi dilancarkan, mulai dari pembentukan front luas, tuntutan moderat, segala hal untuk memperkuat posisi partai.

Wikana mengkritik gagasan konsep Aidit tentang konsepsi partai sebagai organisator gerakan massa dan peran hegemoni di dalamnya. Dimana ‘golongan muda’ dalam PKI memilih membentuk front persatuan di bawah Soekarno dan secara tidak langsung bekerja sama dengan kaum borjuis nasional, ‘golongan tua’ lebih memilih pendekatan class struggle.

Pertentangan berlanjut, dan Wikana serta golongan tua lainnya seperti Alimin dan Tan Ling Djie mulai tersisih dari peran penentu keputusan partai. Mereka diberi tempat dalam kepengurusan central comittee PKI, namun tanpa kuasa untuk mengambil kebijakan apapun. Posisi Wikana dalam MPRS dan DPA pun biarpun saat itu lumayan penting, juga tidak memiliki kuasa akibat terkucilkannya kaum kiri dalam pemerintah parlementer meskipun dukungan massa yang besar.

Isolasi ini, ketika dibiarkan akhirnya berakhir tragis. Wikana beserta beberapa anggota PKI sedang berada di Peking menghadiri perayaan hari nasional Tiongkok saat kabar pembantaian 30 September 1965 terjadi. Lagi-lagi, PKI dituduh melakukan pemberontakan akibat kematian para jenderal. Sementara anggota delegasi lain masih menunggu kepastian berita, Wikana memilih langsung pulang ke tanah air. Dia memilih mati di tanah air. Dan perkiraannya benar. Tak berapa lama kemudian, segerombolan tentara datang menjemputnya di rumah. Wikana tidak pernah terlihat lagi. Menjadi satu dari jutaan korban pembunuhan massal rezim Soeharto.

ditulis oleh Susie anggota Lintas Komunal

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 119, III-IV Oktober 2021, dengan judul yang sama.

Loading

Comment here