Opini Pembaca

Brutalitas Aparat dan Kapitalisme di Balik Tragedi Kanjuruhan

Sabtu, (1/10/2022) tindakan aparat yang menembakkan gas air mata merespon masuknya beberapa Aremania ke lapangan bola memicu peristiwa yang mengakibatkan 450 orang jatuh korban. Yaitu 125 orang meninggal dunia, dimana 32 di antaranya adalah anak-anak dengan yang termuda adalah balita berusia 2 tahun. Sementara itu  21 orang luka berat, dan 302 orang luka ringan, usai pertandingan pekan ke-7 lanjutan liga 1 2022-2023 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya yang digelar di stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang Jawa Timur.

Pasalnya gas air mata bukan hanya ditembakkan ke lapangan tapi juga ke arah tribun-tribun penonton. Sementara itu pintu keluar masuk stadion Kanjuruhan Malang yang sempit dan banyak gerbang keluar malah ditutup mengakibatkan kondisi berdesak-desakan karena massa ingin segera keluar dari kepulan asap. Choirul Anam, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan bahwasanya dari total 14 pintu Stadion Kanjuruhan, “Cuma dua pintu terbuka, hiruk pikuknya di pintu yang sama,” sebagaimana dilansir CNN Indonesia. Kepanikan juga merajalela karena aparat melepaskan anjing-anjing penyerang serta menyerang banyak penonton, seringkali tanpa pandang bulu. Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kanjuruhan, Dr Bobby Prabowo mengungkapkan dugaan ratusan korban berjatuhan dalam tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan karena trauma, terinjak, kemudian juga ada yang sesak napas.

Ironisnya, sebagaimana dilansir Kompas, Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta mengatakan bahwa tembakan gas air mata sudah sesuai prosedur untuk menghalau pendukung Arema FC yang diklaimnya menyerang dan merusuh. Bukan hanya klaim ini tanpa didahului kronologi hasil investigasi apakah benar beberapa suporter masuk lapangan langsung merusuh ataukah serangan aparat yang justru memicu kemarahan massa. Melainkan juga bertentangan dengan aturan FIFA terkait pengamanan dan keamanan stadion (FIFA Stadium Safety dan Security Regulations) yang menyatakan penggunaan gas air mata tidak diperbolehkan. Lebih tepatnya tertulis di pasal 19 b soal pengaman di pinggir lapangan. “No firearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used (senjata api atau ‘gas pengendali massa’ tidak boleh dibawa atau digunakan),” Aturan yang sama juga memandatkan bahwasanya bilamana pertandingan berpotensi dimasuki penonton ke lapangan maka baris-baris terdepan harus diisi para petugas. Namun cara pencegahan ini pun juga tidak dilakukan.

Armuji, Wakil Wali Kota Surabaya, sebagaimana dilansir Antara Jatim, mengomentari Peristiwa Kanjuruhan, “Di Indonesia biasanya kerusuhan itu pemicu utamanya kalau tidak timnya kalah ya fanatisme tim yang berlebihan hingga rusuh antar suporter.” Namun faktanya pihak Panpel (panitia pelaksana) pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya menjual tiket melebihi kapasitas stadion (kapasitas stadion Kanjuruhan yang berjumlah 30.000 orang sedangkan jumlah tiket yang dijual berjumlah, 42.000).

Selain itu Operator Liga 1 dan Pemegang Hak Siar tetap menyelenggarakan pertandingan malam hari, demi rating hak siar, dengan mengabaikan keamanan bagi suporter. PSSI sebagai federasi penyelenggara liga tidak mampu memastikan pertandingan berjalan secara aman dan tidak ada nyawa melayang, mereka tidak memiliki prosedur pengamanan ketika pertandingan. Lalu juga Pihak Aparat yang dengan bringas menembakkan gas air mata ke arah supporter yang tak terlibat rusuh, sehingga memicu kekacauan, banyak yang terinjak-injak untuk mencari tempat aman dan kehabisan oksigen hingga meninggal.

Fanatisme bukanlah akar kekerasan dalam sepak bola. Akar kekerasan ada pada tatanan masyarakat kelas yaitu kapitalisme. Sistem kapitalisme tidak mengutamakan nyawa manusia, yang diutamakannya adalah keuntungan sebanyak-banyaknya. Mayoritas tim sepakbola yang besar dengan kelompok suporter masif berasal dari kota-kota industri. Basis massanya tentu saja yaitu kelas buruh dan kaum miskin kota yang menghadapi kekerasan kapitalisme setiap harinya. Demi bertahan hidup, buruh harus menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis. Demi memperkaya kapitalis, buruh harus bekerja dengan upah yang murah dan jam kerja yang panjang. Waktu istirahat buruh adalah waktu untuk memulihkan tenaga kerjanya agar bisa diperas lagi oleh kapitalis. Buruh bekerja keras menghasilkan barang dagangan yang belum tentu bisa dibelinya sendiri. Bila ia memaksa memiliki di luar kemampuan dan kebolehan, ia akan menghadapi dua pilihan kekerasan: kekerasan kemiskinan makin akut atau kekerasan dari penegak hukum. Sisi lain, kaum miskin kota justru lebih dekat dengan kekerasan. Kaum miskin kota hidup di tengah hukum jalanan. Mereka kasar karena hanya dengan kasar mereka bertahan hidup. Mereka keras karena selama ini mereka dikerasi oleh negara. Dari waktu ke waktu menjadi sasaran penggusuran, penangkapan, dan segala bentuk ‘penertiban’ sesuai standar kapitalisme. Begitupun dalam industri sepak bola yang berorientasi pada keuntungan pemilik modal, keselamatan dan keamanan suporter bukanlah keutamaan. Laba dari karcis dan penjualan atribut resmi, keuntungan dari rating dan hak siar, pendapatan dari iklan, gengsi dan nama besar dari kepengelolaan sepakbola, dan sebagainya sering didahulukan. Sedangkan di sisi lainnya harga karcis nonton terus naik di saat pendapatan riil menurun sementara jarang aspirasi suporter diwadahi apalagi dipenuhi. Azrul Ananda, mantan CEO Persebaya bahkan pernah terang-terangan menyebut bonek (pendukung Persebaya) hanya konsumen.

Kenyataannya sepakbola bukan hanya sekedar permainan olahraga semata. Berbeda dengan olahraga lainnya, ciri-ciri tubuh tidak langsung menentukan keunggulan, dan tim besar tidak otomatis bisa selalu menang. Banyak legenda sepakbola seperti Pele, bukanlah pemain tinggi besar, dan banyak pertandingan dimana tim kecil justru berhasil menghadang bahkan mengalahkan tim raksasa. Bagi kaum muda, kelas buruh, dan kaum miskin kota—basis massa dominan suporter bola, yang dalam kapitalisme terus dihisap, ditindas, dipecah-belah, bahkan dihinakan status sosialnya, menjadi bagian dari kelompok suporter memberikan identitas kebanggaan dan kolektivitas/ kebersamaan yang selama ini tidak mereka miliki atau bahkan direnggut dari mereka. Karenanya soal dukung-mendukung tim sepakbola juga soal harga diri. Bahkan dalam perkembangannya sepakbola bukan sekedar klub lawan klub, tim lawan tim, tapi juga disertai dengan adu dominasi kubu suporter bukan hanya dengan mendukung tim kesayangan tapi juga sebagai alat kampanye terhadap berbagai isu sosial-politik. Celtic FC misalnya bukan hanya anti-monarki tapi juga mendukung Palestina sementara suporter Barcelona banyak menyuarakan kemerdekaan bangsa Catalan. Pelajaran baik yang bisa diambil adalah seperti apa yang dilakukan oleh kelompok supporter di Turki. Supporter klub Galatasaray, Besiktas, dan Fanarbache yang dulunya rival, bersatu padu dalam aksi massa anti rezim Erdogan yang dipicu Occupy Gezi.Kelompok supporter diseluruh Indonesia harus sudah menyadari betapa pentingnya membangun persatuan dan tidak lagi saling baku hantam. Karena dengan bersatunya seluruh supporter di Indonesia kita akan menemukan siapa musuh bersama kita ,yaitu; Tirani!

Brutalitas aparat di Kanjuruhan terkait erat kebiasaan aparat melakukan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM namun bebas atau bahkan kebal hukum alias menikmati impunitas. Ini bisa dilihat bukan hanya dari sejarah panjang aparat di rezim kediktatoran militer Orde Baru-Suharto namun juga bagaimana brutalnya aparat menindas gerakan-gerakan massa seperti represi terhadap Reformasi Dikorupsi, gerakan anti-Omnibus Law hingga aksi kenaikan harga BBM.

Selain kekejian ataupun penganiayaan yang biasa dilakukan aparat polisi ataupun tentara, dengan pukulan ataupun tendangan terbang, gas air mata juga termasuk favorit mereka gunakan. Gas air mata ini sendiri diklasifikasikan sebagai senjata kimia dan secara internasional dilarang penggunaannya di saat perang. Gas air mata juga mengandung zat berbahaya yakni Sianida dan Fosgena. Fosgena adalah salah satu senjata kimia yang digunakan pada Perang Dunia I oleh Jerman. Dilansir dari Kompas.com akibat gas air mata adalah mata berair, gatal, panas seperti terbakar, tidak bisa melihat untuk sementara, hidung dan tenggorokan terasa panas dan gatal, sesak napas, batuk, mual, muntah, diare, juga gangguan kulit dan gangguan kesehatan mental. Penggunaan jarak dekat ataupun dalam jangka dekat, waktu lama dan atau konsentrasi tinggi bisa menyebabkan pendarahan mata, kerusakan mata, katarak, kebutaan hingga kematian. Kepolisian selain memiliki anggaran tertinggi ketiga di APBN 2022 juga mendapatkan anggaran 1 triliun rupiah untuk gas air mata sejak tahun 2014 hingga 2022. Anggaran gas air mata tersebut meningkat di tahun 2019, tahun dimana muncul gerakan Reformasi Dikorupsi. Aksi Reformasi Dikorupsi, Anti Omnibus Law ataupun kenaikan harga BBM tidak jarang dibombardir dengan gas air mata. Sudah begitu, gas air mata expired pula! Aktivis HAM dari Serikat Sindikasi menemukan selongsong gas air mata kadaluarsa dalam aksi di sekitar Gedung DPR/MPR RI pada September 2019. Selain itu aparat juga sering menembakan gas air mata secara langsung ke peserta aksi, seperti yang terjadi pada aksi penolakan kenaikan BBM di Pematangsiantar september lalu. Polisi menembakan gas air mata ke alat kelamin salah satu peserta aksi. Pada Selasa (19/4/2022), Alfatah, bayi laki-laki berusia 5 bulan, mengalami sesak napas akibat gas air mata polisi saat aksi menolak kenaikan harga BBM di Ternate, Maluku Utara. Sang ibu yang ada di lokasi juga tampak marah dan menangis histeris hingga berteriak-teriak. Gas air mata ketika digunakan tidak jarang masyarakat sekitar peristiwa juga terdampak. 

Penanganan terhadap peristiwa Kanjuruhan juga tipikal bagaimana penguasa mengatasi kejahatan kemanusiaan sebelum-sebelumnya yang dilakukan oleh penguasa. Tentunya tidak ada dari mereka yang secara terbuka menyatakan tidak usah mengurusi persoalan Kanjuruhan ini. Mereka akan memberikan gimmick, sogokan, rerepsi, manipulasi penyelidikan ataupun mengabaikannya. Tindakan-tindakan seperti inilah yang membuat kesewenang-wenangan serta kekejian penguasa terus terjadi. Semuanya pada ujungnya akan menyelamatkan kepentingan ekonomi maupun politik penguasa dan para pelaku kejahatan kemanusiaan. Aremania yang merekam kondisi pintu stadiun tertutup dan tribun penuh gas air mata diculik oleh aparat kepolisian. Menpora justru mengkhawatirkan sanksi dari FIFA akibat peristiwa Kanjuruhan. Kapolri, Listyo Sigit menawarkan anak korban peristiwa Kanjuruhan untuk menjadi anggota Polisi. Sementara Tim Gabungan Independen Pencari Fakta yang dibuat beranggotakan sumber-sumber masalah itu sendiri, yaitu TNI, Polisi serta PSSI. Dipimpin oleh Mahmud MD yang baru-baru ini menjadi Tim Pengarah Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Non-Yudisial. Dimana pelanggaran HAM tidak akan diselesaikan lewat penyelidikan komprehensif dan keadilan.

Demi melawan kekerasan yang dilakukan aparat negara, demi membersihkan persepakbolaan Indonesia dari para politisi borjuis-aparat pelanggar HAM-mafia bola-bandar judi yang berkelitkelindan, dibutuhkan persatuan dari berbagai elemen rakyat tertindas.

  1. Lawan brutalitas dan kesewenang-wenangan aparat! Hapus impunitas atau kekebalan hukum aparat pelanggar HAM!
  2. Bukan Copot, Mutasi atau Penon-aktifan tapi Tangkap, Adili dan Hukum Berat Kapolres Malang, Ferli Hidayat dan semua aparat pelaku kekerasan serta komandan Polisi maupun TNI yang bertanggung jawab atasnya!
  3. Tangkap, Adili dan Hukum Berat Operator Liga 1 dan Pemegang Hak Siar Liga 1!
  4. Hentikan Keterlibatan Aparat Kepolisian dan Militer Dalam Dunia Olahraga.
  5. Copot Menteri Pemuda dan Olahraga!
  6. Copot Ketua Umum PSSI!
  7. Copot Kapolda Jawa Timur, Nico Afinta!
  8. Hentikan seluruh kegiatan  PT LBI!
  9. Bentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta yang tidak melibatkan polisi, militer, dan PSSI, melainkan melibatkan aktivis HAM lokal, regional, nasional, internasional serta perwakilan suporter dan rakyat!
  10. Bangun federasi sepakbola alternatif di Indonesia yang dikelola secara demokratis dan kerakyatan serta gotong royong melibatkan pekerja dan pendidik persepakbolaan, pekerja media, perwakilan suporter, perwakilan klub, dan rakyat.

ditulis oleh Pavel Baksla, anggota Resistance

Loading

Comment here