Lebih dari 70 tahun silam meletuslah Peristiwa Madiun dimana pemerintah mencapnya sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mitos ini ditanamkan rezim kediktatoran militer Orde Baru (Orba) untuk mencitrakan kaum komunis sebagai pengkhianat terhadap Indonesia yang sedang melawan penjajahan. Kenyataannya Peristiwa Madiun merupakan konflik bersenjata buah dari berbagai perspektif politik yang berseberangan soal strategi menghadapi imperialisme untuk mempertahankan Indonesia.
Secara umum, pandangan-pandangan politik masa Revolusi Nasional bisa dibagi sebagai berikut: Kubu yang mengutamakan diplomasi dan kubu yang menghendaki diprioritaskannya perjuangan bersenjata. Kemudian kubu pro-pengembalian aset-aset kapital sebagai imbalan pengakuan diplomatik dan kubu yang menghendaki perebutan aset-aset imperialis. Kelompok Sukarno, Hatta, Sjahrir serta sebagian besar kubu nasionalis dan agamis berada di kubu pertama. Sedangkan kelompok-kelompok komunis mengalami kekacauan posisi karena absennya kepemimpinan revolusioner. Utamanya karena dua hal: taktik Popular Front dan tidak segera munculnya PKI dari status bawah tanah/rahasia pada masa seputar kekalahan Jepang serta proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Taktik Popular Front memandatkan kaum komunis menunda perjuangan kelas untuk memprioritaskan perjuangan melawan fasis lewat bersekutu dengan borjuis demokratis dan monarkis anti-fasis. Konsekuensinya di Indonesia, PKI yang sebelumnya memberontak melawan Belanda diwajibkan bersekutu dengan Belanda untuk melawan fasisme Jepang. Sayangnya Amir Sjarifuddin terus dipengaruhi taktik Popular Front meskipun Jepang telah kalah. Menuruti Paul De Groot—pimpinan Komunis Belanda pula, Amir mengikuti garis CPN untuk mendukung kerjasama antara Belanda dan Indonesia. Ini tercermin dari banyaknya kompromi dan kapitulasi yang didukung orang-orang PKI.
Diperparah dengan tidak segera munculnya PKI ke permukaan dan memainkan kepeloporan revolusioner dengan strategi-taktik yang tepat, terjadi banyak pertentangan dan perpecahan di internal PKI. Widarta, salah satu pimpinan PKI di masa perjuangan anti-fasis Jepang, yang berperan dalam revolusi sosial di Peristiwa Tiga Daerah serta berjasa mengurangi kekacauan amuk massa, mengambil posisi merdeka 100% sama dengan kelompok Tan Malaka. Karena ini dan karena keterlibatannya di Peristiwa Tiga Daerah, Widarta malah dijebak kepemimpinan Maroeto Daroesman dan dihukum tembak mati oleh laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Dipa Nusantara (DN) Aidit protes atas tindakan ini, begitu pula Muso yang kemudian kembali ke Indonesia. Sisi lain juga muncul perpecahan PKI. Pertama, munculnya PKI pimpinan Mohammad Joesoef pada 21 Oktober 1945 yang disambut antusias massa rakyat tapi ditentang pimpinan bawah tanah. Desember 1945 PKI Joesoef sudah memiliki 16 cabang dan Laskar Merah serta sekolah politik komunis. Namun karena konflik bersenjata dengan polisi militer akibat isu akan dilucutinya Laskar Merah, terjadi pembubaran terhadap PKI-Joesoef dan penangkapan para pimpinannya. Perpecahan lain muncul dalam bentuk keberadaan PKI-Merah. Muhammad Djoni, Amir Hoesin, dan L.A. Kasim mendeklarasikan PKI Merah pada 8 Maret 1947 sebagai protes terhadap kepemimpinan Sardjono yang memprioritaskan perundingan dengan Belanda dan menganggapnya sebagai penyimpangan. Sisi lain, kelompok Merdeka 100% yang dipimpin Tan Malaka juga melakukan kesalahan dengan menyandarkan diri pada aliansi tanpa membangun kepeloporan revolusioner. Kepulangan Muso mendorong penyelesaian masalah ini tapi membuka masalah baru dengan menuduh kelompok Tan Malaka sebagai Trotskyis dan memusuhinya.
Front Demokrasi Rakjat (FDR) kemudian berhasil dibentuk PKI dengan menyatukan berbagai organisasi kiri dan serikat yang dipengaruhinya. Salah satu yang mereka sampaikan adalah mengutuk politik kapitulasi dan kompromis terhadap Imperialisme Belanda. Namun PKI kesulitan memulihkan wibawanya karena dua hal. Pertama, Amir Sjarifudin saat menjabat Perdana Menteri turut mengakibatkan terjadinya Perjanjian Renville dimana wilayah RI hanya diakui Belanda pada Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera, dan tentara Indonesia harus ditarik mundur dari daerah-daerah pendudukan Belanda. Jauh lebih parah dibandingkan perjanjian Linggarjati saat Sjahrir jadi Perdana Menteri. Kedua, kepulangan Muso yang mendorong penyelesaian masalah kepemimpinan PKI malah membuka masalah baru dengan menuduh kelompok di seputar Tan Malaka dan pendukung merdeka 100% sebagai Trotskyis dan memusuhinya.
Sebelum kabinet Amir Sjarifudin jatuh pada 28 Januari 1948 dan kabinet Hatta dibentuk untuk menggantikannya, Sjahrir, Leimena, dan beberapa aktivis lainnya melobi Hatta untuk meminta jabatan menteri. Hatta menurutinya asalkan PNI dan Masyumi memberikan dukungan besar ke pemerintah. Hatta sendiri sebagai perdana menteri berusaha menggalang dukungan dari berbagai kelompok termasuk ke Sajap Kiri yang kemudian jadi FDR—aliansi partai-partai dan organisasi-organisasi di bawah pengaruh kepemimpinan Amir dan PKI. Hatta menawarkan tiga posisi menteri kepada mereka. Namun Sajap Kiri menuntut empat kursi menteri dan satu posisi menteri pertahanan untuk Amir Sjarifuddin sebagai Menteri Pertahanan, sebagai imbalan atas dukungan mereka terhadap pemerintah Hatta. Negosiasi antara keduanya gagal, 23 Januari 1948 Kabinet Hatta dibentuk tanpa Sajap Kiri.
Februari 1948 Sajap Kiri berubah menjadi aliansi resmi bernama FDR. FDR terdiri dari Partai Sosialis, PKI Ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), Laskar Pesindo, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Agustus 1948 Hatta bersama menteri-menteri kabinetnya mengundang berbagai kelompok politik untuk merundingkan soal kabinet dan program. FDR menuntut tiga kursi menteri yang diberikan Hatta ke Partai Sosialis Indonesia (PSI) dikembalikan ke Sajap Kiri dengan alasan kursi itu dulu didapatkan saat mereka masih menjadi anggota Partai Sosialis (PS) yang kini bergabung ke FDR. Permintaan ini tidak dipenuhi Hatta. Bulan yang sama Musso tiba kembali di Indonesia. Di bawah kepemimpinan Muso, Politbiro CC PKI mengeluarkan dokumen “Jalan Baru untuk Republik Indonesia.” Isinya mengkritik terpencarnya kekuatan kader-kader komunis ke dalam banyak partai kiri, minimnya atau absennya propaganda, ideologisasi, serta kepemimpinan revolusioner di kalangan buruh, tani, pemuda, kaum perempuan, dan prajurit. Secara organisasional Muso lewat itu menyerukan penggabungan semua partai kiri yang di bawah kepemimpinan komunis ke dalam PKI. Secara politik, ia menyerukan ditinggalkannya politik kompromis reaksioner dan sebagai gantinya mengampanyekan perjuangan untuk merdeka sepenuh-penuhnya. Ini diterjemahkan dengan dorongan untuk mendirikan pemerintahan berdasarkan front nasional di bawah kepemimpinan PKI. FDR membuat program yang pokoknya memuat: (1) penentangan Perjanjian Renville (2) penghentian negosiasi dengan Belanda dan (3) nasionalisasi semua perusahaan asing. Namun harus dicatat, bahwa tulisan Jalan Baru juga memandatkan PKI untuk memimpin perlawanan di daerah-daerah pendudukan Belanda.
Hal yang turut mendorong pecahnya Peristiwa Madiun adalah program reorganisasi-rasionalisasi. Dengan alasan menyiasati kesulitan ekonomi dan kacaunya angkatan bersenjata di pihak Republik, sebulan setelah pembentukan kabinetnya, Hatta memulai program Re-Ra berdasarkan Keputusan Presiden No.9 27 Februari 1948, dengan ini jumlah kekuatan bersenjata Republik diturukan drastis. Pada tahap awal re-ra, ada 160.000 pasukan tersisa. Program ini diharapkan hanya menyisakan 57.000 pasukan reguler pada akhirnya. Kebijakan ini dikritik keras bukan hanya karena Re-Ra dijalankan saat Indonesia masih menghadapi berbagai serangan militer sebagai bagian upaya penjajahan kembali oleh Belanda. Namun juga karena memprioritaskan hirarki jabatan lebih tinggi kepada mantan anggota KNIL dan PETA bentukan imperialis sementara rakyat jelata yang berjasa bertempur via TNI maupun laskar-laskar tanpa pendidikan militer formal direndahkan atau bahkan ditolak.
Re-Ra juga membubarkan TNI-Masjarakat buah konsepsi Amir untuk mentransformasi laskar-laskar menjadi TNI. 15 Mei 1948, salah satu pangkalan utama TNI-Masjarakat didemobilisasi. Pembubaran TNI-Masjarakat ditambah diturunkannya hirarki berbagai kesatuan yang dipengaruhi PKI membuat pengaruh FDR di pemerintah semakin lemah dan meruncingkan konflik antara FDR dengan pemerintah Hatta. Ini diperparah banyaknya kasus culik-menculik dan pembunuhan misterius, seperti pembunuhan terhadap Dr. Moewardi dari GRR dan pembunuhan Kolonel Soetarto–pimpinan tentara yang menjadi oposisi yaitu Divisi Senopati Solo pada 2 Juli 1948.
Konflik lain yang memicu permusuhan antara PKI dengan partai Majelis Sjoero Oemat Moeslimin Indonesia (Masjoemi) dan sayap kanan Partai Nasional Indonesia adalah kasus pemogokan Delanggu. Pemogokan 20.000 buruh selama 35 hari yang bukan hanya memprotes soal ekonomi tapi juga politik pemerintahan ini memang berakhir 18 Juli 1948. Pemerintah akhirnya memenuhi tuntutan buruh akan tekstil dan beras sepanjang dua meter tiap bulan sebagai tambahan gaji. Namun dalam prosesnya sempat terjadi konflik sengit, dimana Masjoemi mengerahkan serikatnya untuk mengambil alih pekerjaan yang ditinggalkan pemogok dan para buruh pemogok menentangnya sampai muncul kontak bersenjata antara laskar Hizbullah Masjoemi dengan laskar Pesindo.
Para pimpinan FDR dan PKI kemudian melakukan tur propaganda dari Jawa Timur dan tengah untuk mempromosikan program mereka dan mewujudkan gagasan Pemerintahan Nasional dan bila dimungkinkan membentuk Front-Front nasional dari bawah. Sementara itu konflik-konflik bersenjata meruncing, termasuk di Solo. Banyaknya penculikan bahkan pembunuhan yang terjadi setelah kedatangan Divisi Siliwangi (pro pemerintah) berakhir dengan kalahnya kekuatan FDR di Solo dan penguasaan kota Solo pada kelompok Pro Hatta.
Khawatir dengan yang terjadi di Solo, para pemimpin lokal FDR di Madiun mereka melaporkan ini kepada para pemimpin FDR di Kediri. Turunlah perintah untuk melucuti para agitator di Madiun dengan alasan menghindari kemungkinan pertumpahan darah di daerah itu. Jam tiga pagi 18 September 1948, FDR mulai menyita pejabat pemerintah setempat, pertukaran telepon, dan markas tentara dengan Sumarsono dan Djoko Sujono sebagai pemimpin operasi. Sempat meletus pertempuran singkat namun berakhir dalam beberapa jam dan Madiun berada di bawah kendali FDR. Dua anggota FDR, Setiadjit dan Wikana, mengambil alih pemerintahan sipil dan membentuk Front Nasional Pemerintah Daerah Madiun (Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun). Sumarsono kemudian mengumumkan melalui radio lokal, “Dari Madiun kemenangan dimulai”. Ini yang kemudian dianggap sebagai Pemberontakan Madiun.
Setelah mengetahui itu, Musso dan Sjarifuddin bergegas ke Madiun. Mereka segera mendiskusikan situasi dengan Sumarsono, Setiadjit, dan Wikana pada saat kedatangan mereka. Jam 22.00 19 September 1948, Presiden Sukarno menyatakan bahwa pemberontakan Madiun adalah upaya untuk menggulingkan Pemerintah Republik Indonesia dan bahwa Musso telah membentuk pemerintahan Soviet. Dia juga menyatakan bahwa orang Indonesia harus memilih antara dia dan Hatta dan Musso dan partai komunisnya. Marah mendengar itu, jam 23.30, Musso membalas Sukarno. Dia menyatakan Sukarno dan Hatta adalah budak dari Imperialisme Amerika, “pengkhianat”, dan “pedagang Romusha”.
Soe Hok Gie dalam bukunya menyebut ini sebagai fait accompli, kesalahan fatal yang berbuah keterjebakan pada situasi serba salah yang menimpa mereka dengan tiadanya pilihan lain. PKI dan FDR tidak berniat memberontak begini, mereka ingin mendirikan pemerintahan Front Nasional di bawah kepemimpinan PKI dengan menyertakan semua kelompok yang menyepakati program mereka. Oleh karena itu terdapat banyak perbedaan sikap setelah pidato Sukarno yang mencap PKI memberontak bersama FDR. FDR Sumatera menyatakan tidak ikut-ikut pemberontakan. Sementara itu ada beberapa pemimpin FDR meninggalkan Musso. Tanggal 20 September 1948, mereka menyatakan bersedia berdamai dengan pemerintah Indonesia. Amir sendiri pada 23 September menyatakan bahwa konstitusi FDR adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), bendera mereka tetap merah dan putih; dan lagu kebangsaan mereka masih Indonesia Raya . Komandan Militer Madiun, Kolonel Djoko Suono dan Sumarsono juga menyatakan bahwa peristiwa Madiun bukan kudeta tapi upaya mengoreksi tujuan-tujuan politik pemerintah Hatta serta menyelamatkan revolusi yang mereka anggap tengah melenceng ke arah lain.
Meskipun secara resmi Hatta yang menjadi Perdana Menteri tapi kekuasaan di lapangan dipegang militer, parahnya dalam Peristiwa Madiun, Nasution—seorang perwira sayap kanan bekas didikan KNIL yang anti-komunis serta Gatot Subroto yang memimpin operasi penumpasan FDR-PKI. 28 Oktober, pemerintah menangkap 1.500 orang dari unit militer pemberontak terakhir. Musso ditembak mati tiga hari kemudian pada tanggal 31 Oktober ketika menolak untuk menyerah. 29 November, Djoko Sujono dan Maruto Darusman ditangkap. Sedangkan Amir ditangkap 4 Desember. 7 Desember 1948, markas besar TNI mengumumkan pemusnahan terakhir pemberontakan dan menyatakan bahwa sekitar 35.000 orang, sebagian besar pemberontak ditangkap. 19 Desember, Sjarifuddin, Maruto Darusman, Djoko Sujono, Suripno dan para pemimpin FDR lainnya dieksekusi. Diperkirakan total korban sekitar 24.000 (8.000 di Madiun), 4.000 di Cepu dan 12.000 di Ponorogo.
ditulis oleh Dipayana Raka, Anggota LSK, dan Leon Kastayudha, Anggota Perserikatan Sosialis
Comment here