Perspektif

RKUHP: UU Kolonial Gaya Oligarki

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) digagas para politisi borjuis serangkaian dengan berbagai peraturan bermasalah yang intinya melegalkan kesewenangan sekaligus memfasilitasi perluasan penghisapan—hal yang jadi sasaran utama gerakan Reformasi Dikorupsi 2019 silam. Kamis (27/5/2022) rezim pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy Omar Sharif Hiariej, berdalih “RUU KUHP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyusun suatu sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda.” Lebih lanjut ia juga mengklaim RKUHP sekaligus modernisasi hukum pidana. Dalih dan klaim ini tidak benar.

Kenyataannya, RKUHP justru mengadaptasi pasal penghinaan kepala negara dari KUHP Hindia Belanda yang melarang pribumi menghina Ratu Belanda, dengan memidanakan siapapun yang dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Semangatnya pun sama persis, cap penghinaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi berbagai bentuk kritik bahkan perlawanan terhadap rezim penguasa. Padahal pasal penghinaan ini sempat dicabut pada tahun 2006 lewat Mahkamah Konstitusi (MK).

Memang aparat dan para pendukung rezim sangat berambisi untuk mengkriminalisasi para penentangnya, terutama terhadap kalangan aktivis. Salah satu modus yang dipakai untuk memberangus aktivis rakyat terutama dalam gerakan Reformasi Dikorupsi, gerakan Mosi Tidak Percaya, dan gerakan anti-Omnibus Law lalu adalah dengan cara memberangus pengkritik serta demonstran dengan cara mencap mereka sebagai menghina lambang negara. Padahal lambang negara menurut UUD 45 adalah Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan UU No. 24 tahun 2009 menyebutkan bahwa simbol negara hanya ada empat yaitu bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Bukan Presiden atau Wakil Presiden. Terlepas dari kesalahan hukum yang melandasinya namun modus ini juga yang dipakai untuk memberangus atau menghapus mural-mural kritik, terutama yang menampilkan wajah Jokowi. Sadar bahwa secara hukum landasan ini kurang kuat, maka jalan bagi rezim adalah membangkitkan pasal pemidanaan penghinaan kepala negara.

Itu diperkuat dan diperluas juga dengan pemidanaan Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Pasal 351: “(1) Setiap orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. (2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.” Lalu Pasal 352: “(1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.” Dengan bagian penjelasan Pasal 351 berbunyi: “(1) Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini. Yang dimaksud dengan “kekuasaan umum atau lembaga negara” antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, atau pemerintah daerah.” Jadi kalau publik kesal dengan maraknya korupsi para anggota legislatif dan buruknya kinerja aparat hukum lalu mengkritiknya dengan berbagai cara, maka akan bisa dikriminalisasi. Kekesalan yang umum disampaikan berupa meme polisi tidur saat banyak data warganet bocor dan diperjualbelikan tapi sigap tiap kasus bokep, tagar percuma lapor polisi, berbagai poster kritik lucu terhadap DPR di aksi-aksi Reformasi Dikorupsi, dan semacamnya, bisa dipidanakan.

Dengan semangat yang sama, RKUHP juga memuat tindak pidana terhadap penyelenggaraan rapat lembaga legislatif dan badan pemerintah. Pasal 232 RKUHP menyebutkan: “Setiap orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan membubarkan rapat lembaga legislatif dan/atau badan pemerintah atau memaksa lembaga dan/atau badan tersebut agar mengambil atau tidak mengambil suatu keputusan, atau mengusir pimpinan atau anggota rapat tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.” Lalu Pasal 233 RKUHP: “Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan merintangi pimpinan atau anggota lembaga legislatif dan/atau badan pemerintah untuk menghadiri rapat lembaga dan/atau badan tersebut, atau untuk menjalankan kewajiban dengan bebas dan tidak terganggu dalam rapat lembaga dan/atau badan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.” Dengan Penjelasan Pasal 232: ‘Yang dimaksud dengan “Kekerasan atau Ancaman Kekerasan” tidak hanya mengancam terhadap orang, tetapi juga terhadap Barang, misalnya dengan cara membakar gedung tempat rapat.‘ Sedangkan Penjelasan Pasal 233: ‘Yang dimaksud dengan “merintangi” adalah mencegah untuk menghadiri rapat’.

Pasal-pasal demikian jelas menarget gerakan rakyat yang selama ini berusaha melawan kesewenangan yang dilegalkan atau kebijakan dan peraturan-peraturan hukum menindas. Baik gerakan Reformasi Dikorupsi, Mosi Tidak Percaya, Anti-Omnibus Law, sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, atau Tolak RKUHP semua masuk sasaran tembak Pasal 232 dan 233 itu. Termasuk mengkriminalisasi berbagai taktik seperti pemogokan, blokade, aksi piket, dan pendudukan/okupasi. Apalagi itu dilengkapi dengan pasal pemidanaan terhadap tindakan Memaksa Masuk Kantor Pemerintah. Pasal 260 (1): “Setiap Orang yang secara melawan hukum memaksa Masuk ke dalam kantor pemerintah yang melayani kepentingan umum atau yang berada di dalamnya secara melawan hukum dan atas permintaan Pejabat yang berwenang tidak segera pergi meninggalkan tempat tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 3 (tiga) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Dalam ayat (2) menyertakan pidana itu juga kepada mereka yang memaksa masuk dengan merusak atau memanjat. Belajar dari berbagai gelombang aksi sebelumnya dimana massa demonstran di beberapa wilayah berhasil mendobrak pagar bahkan menduduki (sementara) gedung pemerintahan, maka rezim berusaha mencegah itu bisa terulang kembali, meskipun dengan kian menunjukkan kemunafikan bahwa gedung yang dibiayai dari pajak rakyat menolak rakyat masuk.

Upaya kriminalisasi terhadap gerakan diperkuat dengan pasal-pasal lainnya. Pertama, pasal tentang Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi. Kedua, pasal-pasal tentang pidana Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum di RKUHP.  Pasal 256: “Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Bagian penjelasan Pasal 256: ‘Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” termasuk antara lain terganggunya pelayanan publik.’ Ini bermasalah sebab sebagian protes memang layak bersifat spontan alias mendadak karena banyak pula kesewenangan yang diprotesnya atau solidaritas yang menuntut aksi juga terjadi secara mendadak. Pun banyak kasus para politisi borjuis mengesahkan peraturan atau perundang-undangan yang merugikan juga secara mendadak. Ini belum termasuk beberapa kasus dimana polisi menolak menerima surat pemberitahuan agar punya dalih membubarkan demonstrasi.

Lalu pasal 246 RKUHP terkait ini berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan: (b) menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan Kekerasan.” Lalu Pasal 247: “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi hasutan agar melakukan Tindak Pidana atau melawan penguasa umum dengan Kekerasan, dengan maksud agar isi penghasutan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori V.” Bagian penjelasan pasal 246: “ Yang dimaksud dengan “menghasut” adalah mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. menghasut dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan, dan harus dilakukan Di Muka Umum, artinya di tempat yang didatangi publik atau di tempat yang khalayak ramai dapat mengetahui.” Sedangkan bagian penjelasan Pasal 247: ‘Yang dimaksud dengan “menyiarkan” termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan dokumen elektronik dalam sistem elektronik.’ Namun dalam bagian penjelasan kedua pasal itu sama sekali tidak dijelaskan yang dimaksud dengan kekerasan itu apa? Maka petunjuk/tindakan untuk menghadapi/memadamkan gas air mata maupun upaya membela diri apalagi melawan balik kekerasan bahkan brutalitas aparat juga bisa dicap ‘kekerasan’. Dengan ini rezim jelas berusaha mengkriminalisasi dan menghancurkan perlawanan rakyat agar agenda-agenda penghisapan serta pembenaran penghisapan mereka bisa berjalan lancar.

Ingat pula bahwa semua itu disertai dengan fakta bahwa RKUHP memuat Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman yang lebih ringan daripada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal 604 tentang pidana terhadap perbuatan memperkaya diri secara melawan hukum dipidana paling singkat dua tahun, sementara hal serupa di UU Tipikor dipidana paling singkat empat tahun. Begitu juga denda minimum diperkecil dari Rp 200 juta di UU Tipikor jadi Rp 10 juta menurut RKUHP. Lalu pasal pidana untuk penyalahgunaan kewenangan atau jabatan di RKUHP juga memperkecil denda minimum dari Rp 50 juta menurut UU Tipikor menjadi Rp 10 juta. Kemudian, pegawai negeri yang menerima suap dengan menyalahgunakan kekuasaannya, yang dihukum UU Tipikor maksimal lima tahun diperingan hukumannya oleh Pasal 610 (2) KUHP jadi maksimal empat tahun. Sanksinya pun diperkecil dari denda maksimal Rp 250 juta menurut UU Tipikor jadi Rp 200 juta menurut RKUHP.

Klaim penghapusan peninggalan kolonialisme juga bertentangan dengan pasal pemidanaan terhadap tuna wisma. Pasal 431 RKUHP mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp 1 juta. Padahal ini adalah peninggalan kriminalisasi dari rezim kolonial Hindia Belanda yang mencap geladangan sebagai orang tidak berguna akibat kesalahan dalam hidupnya. Secara umum ini bahkan masuk dalam golongan peraturan-peraturan yang mengkriminalisasi kemiskinan. Dari peraturan yang melarang pengemis dan memidanakan pemberi pengemis, perda-perda yang memburu manusia silver, hingga peraturan kompleks perumahan-perumahan yang melarang pengamen dan pemulung.

Kriminalisasi kemiskinan itu pula yang termuat di pasal-pasal tentang Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan. Pasal 278: “Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain yang menimbulkan kerugian dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.” Pasal 278: “(1) Setiap Orang yang membiarkan Ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II. (2) Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara.” Kenyataannya banyak rakyat miskin, demi menambah pendapatannya, beternak kecil-kecilan, seperti memelihara ayam kampung yang sesekali dilepas dari kandang untuk cari makan sendiri. Berbeda dengan peternak besar, mereka tidak sanggup membeli lahan peternakan luas dengan pakan melimpah. Alih-alih dipidanakan, konflik-konflik terkait ini harusnya ditengahi  bahkan dicegah dengan mengutamakan pendekatan sosial bahkan komunal.

Dalih RKUHP sesuaikan perkembangan zaman atau modernisasi juga tidak sesuai kenyataan. Modernisasi merupakan peralihan maju tatanan masyarakat yang setidaknya harus melibatkan pengetahuan ilmiah, semangat pencerahan, sekularisasi atau pemisahan agama dari negara, pembentukan negara bangsa, profesionalisme, dan pendayagunaan teknologi serta industrialisasi. Namun RKUHP alih-alih mendukung sekularisasi malah masih mencampuri soal agama bahkan memidanakan apa yang dianggap sebagai penodaan agama.

Muatan bermasalah dalam pasal-pasal lain di RKUHP misalnya menyangkut Living Law atau yang diklaim sebagai pengakuan hukum adat dan hak tradisional yang masih hidup lewat Pasal 2 Ayat 1 RKUHP. “(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

Berikutnya Pasal 598 Ayat 1: “Setiap Orang, yang melakukan perbuatan menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.”

Jadi seseorang bisa dipidana meskipun tidak melanggar KUHP atau hukum positif yang berlaku bilamana ia dianggap melanggar hukum adat atau peraturan tidak tertulis yang dominan di suatu wilayah. Pasal 96 RKUHP bahkan menyatakan pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding pidana denda kategori II dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda.

Pemberlakuan hukum pidana adat itu dinyatakan akan dikompilasi dalam bentuk Peraturan Presiden dan ketentuan tindak pidana adat akan dimuat di Peraturan Daerah semua tingkat. Ada 34 provinsi dan 514 kota atau kabupaten di Indonesia saat ini sehingga diperkirakan akan muncul 548 peraturan daerah baru menyusul ini. Jadi selain KUHP nasional ada semacam 548 KUHP lokal karena ini. Jumlah ini akan terus bertambah sebab otonomi daerah atau pemekaran wilayah masih terus didorong. Padahal RKUHP mengklaim melakukan unifikasi hukum.

Dengan segala hormat, masalah lainnya: tidak semua perda, hukum adat, norma, dan peraturan tidak tertulis di suatu wilayah itu adil dan maju. Dari segi perda, empat tahun lalu, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengungkap ada 421 perda diskriminatif, 333 perda atau 80%nya menyasar kaum perempuan, dan 56% diantaranya dikeluarkan Pemerintah Daerah (Pemda). Mulai dari paksaan cara berbusana perempuan, jam malam (yang rentan mengkriminalisasi para pekerja shift atau giliran malam, risiko kriminalisasi terhadap perempuan yang dianggap berada di wilayah prostitusi), hingga diskriminasi heteroseksis terhadap transpuan yang batasi kemampuan mereka untuk bekerja. Sedangkan dari segi adat, banyak wilayah yang melanggengkan pernikahan di bawah umur sehingga cenderung merampas hak anak dan hak kaum perempuan terutama hak atas kontrol reproduksi serta hak atas pendidikan. Kemudian dari segi norma, ada norma yang menghendaki suatu pemukiman berbasis satu agama. Slamet Juniarto, seorang umat Katolik, ditolak tinggal di Dusun Karet, Bantul, Yogyakarta, karena bukan muslim. Ini belum termasuk kebiasaan buruk di beberapa wilayah yang menikahkan remaja perempuan dan laki-laki yang kencan atau berpacaran serta dianggap melakukan aktivitas intim, kebiasaan menikahkan paksa penyintas perkosaan dengan pemerkosa, dan sebagainya. Ini disusul dengan tren penggrebekan (bahkan penyebaran identitas maupun pengarakan) terhadap orang-orang yang dituduh zina atau berhubungan seks di luar nikah yang bukan hanya mengakibatkan kecenderungan polisi ranjang, salah sasaran dan akibatkan trauma serta rusaknya reputasi korban, pelecehan dengan tuduh korban sundal atau pekerja seks. Dus, RKUHP berisiko tinggi memperbanyak dan memperparah persekusi demikian.

Memang di dalam Pasal 2 Ayat 2 RKUHP: “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.” Ini seolah memberikan jaminan bahwa hukum tidak tertulis juga diberlakukan pidananya selama tidak melanggar HAM. Kenyataannya HAM di Indonesia sering dilanggar dan seringkali tidak dituntaskan terutama bila korbannya kaum rentan atau rakyat tertindas sementara pelakunya bagian dari penguasa. Misalnya para jagal 65 tidak pernah ditangkap apalagi dihukum meskipun terang-terangan membanggakan pembantaian dan pemerkosaannya. Lalu yang spesifik terkait adat, pelajar Kristen yang dipaksa berjilbab di SMKN 2 Padang dengan dalih Instruksi No.451.442/BINSOS-iii/2005 yang ditandatangani Wali Kota Padang berisi kewajiban berjilbab yang sempat dicabut Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tapi kemudian dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Selain itu ada juga kasus-kasus persekusi terhadap umat Syiah dan itu belum soal banyaknya umat dengan agama-agama yang belum diakui di Indonesia. Kristen Ortodoks misalnya harus bernaung ke PGI dan tidak bisa memakai desain gereja berkubah sebagaimana lazimnya gereja Kristen Ortodoks. Begitu pula Yahudi di Indonesia yang bukan hanya menghadapi ketiadaan pengakuan tapi juga tingginya anti-semitisme. Semua ini terjadi meskipun Indonesia mengklaim mengacu ke Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan memiliki UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Sesungguhnya permasalahan utama dalam hal pengabaian bahkan pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dan hukum adat di Indonesia sebenarnya diakibatkan oleh perampasan tanah, penggundulan hutan, serta perusakan lingkungan, demi kepentingan perusahaan-perusahaan besar atau korporasi, dengan menyingkirkan masyarakat adat (bahkan banyak di antaranya sampai terancam punah) sekaligus merepresi-mengkriminalisasi aktivis-aktivis masyarakat adat. Ini justru tidak dibahas apalagi ditangani RKUHP. Peraturan-peraturan hukum lainnya justru ada yang merampas kembali hak masyarakat adat demi kepentingan kapital, misalkan Omnibus Law justru menetapkan tanah ulayat dan atau tanah adat sebagai Objek Pengadaan Tanah.

Penggambaran secara negatif sekaligus kriminalisasi terhadap hubungan seksual di luar nikah juga merupakan masalah lain yang difasilitasi RKUHP lewat Pasal 417 dan juga kriminalisasi terhadap hidup bersama lewat Pasal 416 RKUHP. Klaim rezim meninggalkan hukum pidana warisan kolonial juga terbantahkan di sini. Pasal zina di KUHP peninggalan Hindia Belanda yang awalnya hanya memidanakan orang sudah menikah yang berhubungan seksual dengan selain pasangannya kini diperluas juga untuk mengkriminalisasi orang-orang yang belum menikah walaupun sama-sama sudah berusia dewasa dan melakukan hubungan seksual secara konsensual atau dengan persetujuan. Ini akan memperparah peraturan-peraturan reaksioner yang sudah ada sebelumnya seperti tes keperawanan di beberapa sekolah dan institusi negara.

Kriminalisasi terhadap seks konsensual itu kerap berbanding terbalik dengan praktik aparat hukum soal kasus-kasus kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual di pesantren Shidiqah Jombang berkedok transfer ilmu meta fakta lama sekali ditangkapnya. Meskipun sudah dilaporkan sejak Oktober 2019 lalu tapi beberapa upaya penangkapan baru dilakukan belakangan, itu pun tidak berhasil, dan pelaku baru menyerahkan diri Juli 2022. Pencabutan izin terhadap Ponpes Shidiqiyah itu pun dibatalkan padahal ini kejahatan organisasional-institusional, bukan hanya mereka melindungi pelaku tapi juga mempersekusi para korban dan pendampingnya. Kasus lainnya, Kapolsek Sidayu Gresik bahkan sempat membantah kasus laki-laki asing mencium paksa anak perempuan di bawah umur di toko yang rekamannya viral, seolah bukan pelecehan dan kekerasan seksual, sebelum kasusnya diambil alih Polres Gresik.Seorang ibu di Bekasi bahkan terpaksa menangkap sendiri pelaku pelecehan seksual terhadap putrinya karena disinyalir akan melarikan diri ke Surabaya sementara Polres Metro Bekasi berdalih tidak bisa menangkap karena tak ada surat perintah penangkapan. Ini belum termasuk berbagai kasus serupa lainnya.

Apa sebenarnya kepentingan rezim penguasa dan kelas penindas dengan RKUHP ini? Pertama, pencitraan sekaligus kanalisasi dan pendangkalan perjuangan. RKUHP berupaya mencitrakan bahwa rezim seolah lebih maju atau progresif, modern, demokratis, kerakyatan, dan berwawasan Hak Asasi Manusia (HAM). Saat para pejabat dan politisi borjuis mempreteli RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, salah satunya dengan menghapuskan definisi dan pidana pemerkosaan berdalih itu akan diatur di RKUHP, rezim menjanjikan definisi pemerkosaan akan diperluas. Dari penetrasi paksa lewat penis ke vagina dalam RKUHP Pasal 477 (3) menjadi “Dianggap juga melakukan Tindak Pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan perbuatan cabul berupa: a) memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain; b) memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau c) memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.” Ini kesannya kemajuan, tapi harus digarisbawahi bahwasanya ini kemajuan yang terlambat. Tahun 1994 laporan mandat fokus kekerasan seksual PBB kepada Komisi HAM menyatakan bahwa definisi pemerkosaan harus berdasarkan ketiadaan konsensus atau persetujuan serta menyertakan semua jenis penetrasi sehingga semua kasus pemerkosaan bisa ditindak. Tahun 2011 Konvensi Istanbul tentang Pencegahan dan Pemerangan terhadap Kekerasan terhadap Perempuan serta Kekerasan Domestik mendefinisikan pemerkosaan sebagai “semua bentuk tindak seksual terhadap orang lain tanpa persetujuannya secara bebas dan yang dilakukan secara sengaja.” Jadi RKUHP terlambat puluhan bahkan belasan tahun.  Namun dengan proses pengesahan RKUHP ini seolah-olah ada harapan untuk perubahan atau perbaikan masyarakat dengan melalui proses hukum di bawah kerangka negara borjuis dan sistem kapitalis.

Kedua, perekayasaan musuh publik atau sasaran publik untuk pengalihan kemarahan massa. Dengan negara mencampuri urusan pribadi bahkan menjadi polisi ranjang dan polisi moralitas, maka rezim mencitrakan kesucian dirinya yang bermanfaat bukan hanya untuk menutupi bobrok dan korupnya sistem namun juga mengalihkan kemarahan akibat kesengsaraan hidup kepada kelompok-kelompok yang mudah dicap sebagai najis dan tidak bermoral. Ini mengapa sempat ada upaya kriminalisasi LGBT melalui RKUHP. Meskipun tidak lagi ada di draf RKUHP terbaru, namun perekayasaan musuh publik atau sasaran publik untuk pengalihan kemarahan massa, lewat RKUHP bisa melalui kriminalisasi terhadap praktik aborsi.

Ketiga, legalisasi kesewenangan dan penguatan cengkeraman negara terhadap rakyat. RKUHP ini menyusul revisi UU KPK, UU Minerba, Omnibus Law, dan berbagai peraturan hukum menindas yang diprotes rakyat. Kelas penindas butuh memulihkan laba yang sempat diterpa berbagai krisis multi-dimensi, termasuk krisis pandemi, oleh karenanya mereka memperluas penghisapan terhadap rakyat, dan karena penghisapan dan penindasan itu potensial dilawan balik massa, maka mereka perlu menyiapkan berbagai peraturan hukum yang bukan hanya untuk mengkriminalisasi kaum tertindas, namun juga menjinakkan berbagai potensi perlawanan, termasuk yang baru muncul pada tahapan pemikiran. Ini mengapa bukan hanya ada pemidanaan terhadap penghinaan kepala negara (Pasal 218), pejabat (Pasal 353), pemerintah (Pasal 240), bahkan demonstrasi yang akibatkan kemacetan (Pasal 273) namun juga pasal pemidanaan terhadap penyebaran Komunisme dan Marxisme-Leninisme serta peniadaan ataupun penggantian Pancasila sebagai dasar negara.

Suatu pengesampingan belaka, anarkisme atau belakangan disebut “anarko”, yang belakangan direpresi besar-besaran, tidak ikut dikriminalisasi lewat RKUHP. Namun kriminalisasi terhadap ideologi, khususnya dalam hal ini pemidanaan ideologi Komunisme dan Marxisme-Leninisme, bukan hanya mencerminkan pelanggaran HAM berupa pemberangusan hak-hak kebebasan berpikir, berpendapat, dan menyatakan pendapat di muka umum, yang termasuk kebebasan berideologi.

Melainkan juga, lebih dari itu, mencerminkan kerapuhan tirani kediktatoran kelas borjuis di negara kapitalis terbelakang seperti Indonesia. Berbeda dengan di negara kapitalis maju, apalagi di negara Imperialis, kaum Kanan memiliki hegemoni bukan hanya di ranah fisik, termasuk militer, namun juga di lapangan teori. Bukan hanya ada bala tentara bersenjata lengkap dengan milisi-milisi sipil reaksioner, namun juga pasukan intelektual dengan berbagai teori reaksioner yang senantiasa mengobarkan propaganda regresif, anti-kiri, penyesatan, pembenaran terhadap penindasan, bahkan penyusupan-penggerogotan-penyimpangan terhadap teori-teori progresif kemudian menenggelamkannya ke dalam rawa-rawa dan kuburan-kuburan bagi gerakan sosial dimana-mana. Sedangkan di Indonesia, banyak intelektual Kanan dalam pergolakan di tahun 50an-60an sudah dibantah-dipatahkan argumennya dan dikalahkan dalam berbagai posisi institusi publik, sehingga karena tidak bisa melawan argumen/teori anti-imperialisme, anti-kolonialisme, anti-kapitalisme dan semacamnya, mereka mundur memakai klaim/tuduhan seolah ada bahaya kediktatoran dan bahaya ateisme bahkan rasisme anti-Tionghoa, yang dikobarkan penuh lewat Malapetaka 65. Kanan di Indonesia, hingga kini, sedemikian rapuhnya. Mereka kuat bukan karena punya legitimasi teoretis dan sejarah. Kanan di Indonesia kuat, karena Kiri dibantai besar-besaran dan diberangus tradisi-sejarah-teori-wacananya. Kanan tidak punya visi ilmiah dan jalan keluar terobosan bagi masa depan Indonesia, sebaliknya bahkan penuh kemunafikan, korupsi, dan kebejatan. Intelektual-intelektual Kanan Indonesia mayoritas bukan hanya tidak paham Komunisme dan Marxisme-Leninisme yang mereka serang-musuhi serta jarang yang benar-benar membaca langsung Marx, Engels, Lenin, Zetkin, Luxemburg, Kollontai, dan sebagainya, melainkan juga pemalas, penjilat penguasa, pemfitnah rakyat, kaya dari rangkap jabatan/komisian suapan penguasa, pengecut, bahkan berwatak feodal dan bermentalitas priyayi. Pakar-pakar/tokoh-tokoh kebudayaan Kanan di Indonesia juga sama parahnya. Oleh karena itu Kanan di Indonesia dalam memperkuat hegemoni tiraninya serta mengamankan penghisapannya dari semua potensi perlawanan balik massa rakyat dan kaum tertindas, juga harus mengandalkan kriminalisasi terhadap Komunisme dan Marxisme-Leninisme. Bukan hanya karena ideologi itu yang secara tajam menganalisis bahkan menunjukkan bagaimana tatanan masyarakat kelas menghisap dan menindas sekaligus juga memberikan pedoman berjuang untuk melawan dan menggulingkan kapitalisme. Namun juga Kanan dan rezim penindas yang berkuasa di Indonesia, dengan memanfaatkan kebigotan dan sentimen-anti-komunisme berdasarkan hoax produksi kediktatoran militer Orde Baru, bisa leluasa memakainya untuk mencap dan mengkriminalisasi semua aktivis dan pengkritik yang dianggap menghalangi kepentingan ataupun agendanya. Dari kasus kriminalisasi Budi Pego penolak tambang emas Tumpang Pitu yang dicap pakai spanduk palu arit, pembubaran pameran lukisan Andreas Harsono sebagai tribut untuk Wiji Thukul, dan sebagainya.

Jangan lupakan fakta bahwa hukum di tatanan masyarakat kelas, termasuk dalam kapitalisme, terutama di negara kapitalis terbelakang seperti Indonesia, bias kelas. Tajam ke bawah tumpul ke atas. Keras dan ganas dalam menyasar rakyat tapi lembut dan lunak dalam menghadapi pejabat dan konglomerat. Kriminalisasi dan persekusi berdalih anti-komunisme dengan mudah disasarkan ke aktivis-rakyat tapi Fadli Zon yang bergaya foto di makam Karl Marx dan patung lilin Vladimir Lenin, aman saja tak pernah dipolisikan. Apalagi kenyataannya banyak partai-partai borjuis Indonesia terang-terangan jalin kerjasama dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Partai Golkar, PDIP, Gerindra, Partai Demokrat, dan PKS rutin bekerjasama dengan PKT, dari gelar pertemuan berbagi manajemen partai, kunjungan kerja, studi banding, pertukaran kader, dan semacamnya. Memang kita tidak usah berpura-pura tidak mengerti bahwa revisionis PKT seolah belum menjelma menjadi partainya kapitalisme Tiongkok. Tapi fakta partai-partai borjuis Indonesia, termasuk yang gencar umbar kebigotan dan mainkan sentimen-anti-komunis bahkan koar-koar ada bahaya ‘Cina” malah terang-terangan dengan aman kerjasama dengan PKT begitu terang-terangan kontrasnya dengan aktivis-rakyat Indonesia yang dianiaya, dipersekusi, dikriminalisasi hanya karena kaos, karena jualan buku kiri, putar film dokumenter, gelar acara terkait Tan Malaka, apalagi karena dituduh usung spanduk palu-arit yang tidak pernah terbukti.

Kriminalisasi terhadap aktivis-rakyat maupun pada pengkritik rezim itu pula lah yang difasilitasi pasal-pasal kategori Penodaan terhadap Bendera Negara, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Ingat kasus Harry Roesli menyanyikan plesetan lagu Garuda Pancasila di Peringatan Hari Kemerdekaan ke-56 Republik Indonesia di rumah mantan Presiden Abdurrahman Wahid di Ciganjur, Jakarta Selatan, untuk mengkritik rezim (saat itu rezim yang berkuasa adalah rezim Megawati) dan kelakuan para pejabat yang kerap memakai Pancasila sebagai jargon tapi jauh dari penerapan riilnya. Aktivis-anti-Orde Baru ini lalu diancam dipidanakan oleh Polda Metro Jaya. Kenyataannya Harry Roesli menyanyikan plesetan itu dalam berbagai acara sudah sejak tahun 1977. Kriminalisasi model begini yang akan dilakukan pada para seniman atau budayawan yang mengkritik rezim. Tapi di sisi lain, borjuasi atau oligarki akan cenderung tak disentuh. Pasal 237 RKUHP sebut: “Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang: a. Menggunakan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran; b. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara; atau c. menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang.” Sementara KUHP yang berlaku saat ini di Bagian Ketiga Larangan terkait lambang negara bagian c pun menyatakan dilarang “membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara;”  Kenyataannya Koalisi Merah Putih memakai siluet merah Garuda Pancasila, beberapa partai borjuis juga memakai lambang yang diambil dari potongan Garuda Pancasila (Golkar memakai lambang sila ketiga, PDIP memakai lambang sila keempat, dan Gerinda memakai kepala Garuda Pancasila), begitu juga organisasi premanisme seperti Pemuda Pancasila yang terang-terangan pakai lambang perisai Garuda Pancasila, tidak dipolisikan apalagi dipidana sampai sekarang.

Oleh karena itu penting mengampanyekan dan mengorganisir kembali bukan hanya kajian, kritik, dan diskusi memprotes RKUHP tapi juga demonstrasi-demonstrasi menolak muatan-muatan menindasnya. Dengan kata lain menolak RKUHP reaksioner ini. Ini penting bahkan berpengaruh karena berfungsi membangun kesadaran massa luas atas kereaksioneran rezim, menyadarkan massa atas potensi kekuatan bersamanya melalui melawan balik, serta membuat rezim kelas penindas yang berkuasa, lewat para politisi borjuis tidak bisa leluasa menggolkan agenda-agendanya (sepenuhnya). Berbagai protes dan demonstrasi membuat beberapa revisi dibatalkan. Misalnya frase ilmu hitam di Pasal 252 atau Pasal dukun santet atau praktisi ilmu hitam dibatalkan. Begitu juga kriminalisasi tukang gigi lewat Pasal 276 ayat 1 dan 2 dibatalkan.

Beberapa pasal juga diubah akibat desakan aksi-aksi massa rakyat. Pasal pemidanaan penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden diubah jadi delik aduan. Lalu Pasal 277 – Pasal unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih – tidak ada lagi pidana kurungan tapi jumlah denda diperbesar.

Pasal kriminalisasi kohabitasi (pasangan pra-marital tinggal bersama) – Dari Pasal 418 jadi Pasal 416 perubahan jadi pada delik aduan dibatasi yang berhak mengadu hanya suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan serta orang tua atau anak bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Wewenang Kepala Desa untuk melaporkan dihapus. Berikutnya istilah “sesama jenis” yang sebelumnya diatur di Pasal 420 RKUHP versi 2019 sudah dihapuskan di versi terbaru.

Selain itu upaya kriminalisasi seluruh tindak aborsi lewat Pasal 251, 413, 467, 468, dan 469 dan kriminalisasi terhadap penunjukan alat kontrasepsi via Pasal 412 dalam RKUHP terbaru juga mengalami perubahan. Pasal 412 diberi pengecualian: “petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.” Sedangkan terkait aborsi sebelumnya di RKUHP versi 2019, awalnya menghukum mereka yang menunjukkan alat aborsi, menghukum perempuan yang gugurkan kandungannya, maksimal 4 tahun bui dan orang yang menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujuannya juga bisa dipenjara maksimal 5 tahun, di RKUHP, diberikan pengecualian-pengecualian tertentu. Misalnya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 (yaitu menunjukkan alat aborsi) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan. Lalu aborsi kemudian diperkecualikan yang lewat Pasal 467 (2) menyatakan bahwa pidana terhadap perempuan pelaku aborsi: “tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 12 (dua belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis” serta Pasal 469: “(3) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 ayat (2) tidak dipidana.”

Ini membuktikan berbagai penyadaran luas, protes, dan demonstrasi punya kekuatan besar. Kita harus melanjutkannya, bahkan memperbesar perlawanan-perlawanan demikian. Bukan hanya massa rakyat harus kembali melawan upaya pengesahan kesewenangan lewat RKUHP yang dikebut Juli 2022 ini, namun juga menggunakan kesempatan perjuangan ini untuk menggugat kekuasaan oligarki, tirani borjuasi yang harus diakhiri, sekaligus menggambarkan dan memperjuangkan tatanan masyarakat penggantinya, tatanan masyarakat adil, makmur, lestari, bebas penindasan, bebas penghisapan, bebas kesewenangan. Modernisasi hukum, penghapusan peninggalan kolonialisme dalam KUHP pada khususnya maupun peraturan-perundang-undangan pada umumnya sebagai bagian dari pembebasan nasional, sekularisasi, pencerahan, penyelesaian-penuntasan pembentukan nasion Indonesia, adalah bagian dari tugas-tugas perjuangan revolusi demokratis nasional. Sejarah terutama Malapetaka 65 dan pengkhianatan sekaligus serangan balik terhadap perjuangan demokratis rakyat anti-Orde Baru telah membuktikan kelas borjuis Indonesia tidak bisa dipercaya dan memang tidak mau ataupun mampu mengemban tugas-tugas demikian. Kelas buruh dengan menggandeng kaum tani dan rakyat-pekerja serta memimpin kaum tertindas yang harus mengemban tugas-tugas revolusi demokratis nasional dan menghubungkannya ke perjuangan untuk menunaikan tugas-tugas revolusi sosialis.

ditulis oleh Leon Kastayudha, kader Perserikatan Sosialis

Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan dengan judul sama yang dimuat di Arah Juang cetak edisi 132, I-II Juni 2022

Sumber:

Adam, Aulia. 8 Juni 2022. Pasal Penghinaan Presiden hingga Aborsi yang Problematik dari RKUHP. Magdalene (Daring). Diakses dari https://magdalene.co/story/rkuhp-ditargetkan-sah-juli-apa-saja-yang-sudah-berubah

Biro Humas, Hukum, dan Kerjasama. 27 Mei 2021. Wujudkan Negara Hukum dengan RUU KUHP. Diakses dari https://www.kemenkumham.go.id/berita/wujudkan-negara-hukum-dengan-ruu-kuhp

Erdianto, Kristian. 31 Agustus 2019. Dalam RKUHP, Ancaman Pidana bagi Koruptor Lebih Ringan. Icha Rastika (Ed.) Kompas.com (Daring). Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2019/08/31/17342791/dalam-rkuhp-ancaman-pidana-bagi-koruptor-lebih-ringan?page=all

Prakoso, Jaffry Prabu. 19 November 2018. Komnas Perempuan Temukan 421 Perda Diskriminatif, 80% Menyasar Kaum Hawa. Kabar 24, (Daring). Diakses dari https://kabar24.bisnis.com/read/20181119/15/861265/komnas-perempuan-temukan-421-perda-diskriminatif-80-menyasar-kaum-hawa

Putra, Sandi Prisma. 3 Oktober 2019. Part II: “Eksistensi The Living Law dan Degradasi Asas Legalitas dalam Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (R KUHP).” Diakses dari https://sthgarut.ac.id/blog/2019/10/03/eksistensi-the-living-law-dan-degradasi-asas-legalitas-dalam-rancangan-kitab-undang-hukum-pidana-r-kuhp/ 

Rakhmat, Muhammad Zulfikar. 13 April 2022. Analisis: Partai-partai Indonesia Ternyata Menjalin Kerja Sama dengan Partai Komunis Cina. The Coversation. Diakses dari https://theconversation.com/analisis-partai-partai-indonesia-ternyata-menjalin-kerja-sama-dengan-partai-komunis-cina-181168

Loading

Comment here