Sejarah

Manipulasi dan Penindasan Dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969

Pulau Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland dengan luas 785.753 km². Penduduk aslinya adalah ras melanesia namun mereka dan tanahnya dipecah belah oleh kolonialisme. Imperialisme Belanda mendukung klaim Kesultanan Tidore atas bagian barat Papua lalu mencaploknya sendiri setelah mengalahkan pemberontakan Kesultanan Tidore di tahun 1780an. Sedangkan koloni Britania di Queensland, Australia, mencaplok bagian tenggara Papua tahun 1883 dan pada 1884 menamakannya British New Guinea kemudian disusul imperialis Jerman yang menglaim bagian timur laut Papua dan menamakannya Deutsch-Neuguinea. Saat itu para imperialis umumnya menyebut pulau Papua sebagai New Guinea, Guinea Baru, atau Nugini, berdasarkan pandangan penjelajah Spanyol, Ynigo Ortiz de Retez di tahun 1545 yang menganggap ada kemiripan antara pribumi Papua dengan pribumi Afrika di wilayah Guinea. Berikutnya tahun 1828 Belanda mendirikan pemukiman di Nugini Barat dan pemerintahan Hindia Belanda mendirikan pos-pos pemerintahan daerah di Fakfak dan Manokwari tahun 1898, di Merauke tahun 1902, serta di Hollandia tahun 1910. Kolonialisme terhadap belahan barat Nugini ini diikuti misionaris dan pedagang Belanda, namun utamanya digunakan agar Imperialisme Britania dan Jerman tidak meluaskan ekspansinya ke wilayah Hindia Belanda. Kekuasaan imperialis Jerman terhadap Papua kemudian direbut Britania lewat pasukan Australia di tahun 1914 ketika Perang Dunia I (PD I) pecah.

Sebelum Perang Dunia II (PD II) aktivitas ekonomi di Nederlands-Nieuw-Guinea bersifat terbatas. Pemerintah Belanda total hanya memiliki 15 pos dan sejumlah tempat misionaris. Perusahaan Jepang mendirikan perkebunan kelapa beberapa ratus hektar dan produksi pohon kopal berskala kecil. Ada aktivitas perdagangan antara penduduk di pesisir dan kepulauan Papua dengan kepulauan Maluku namun skalanya juga kecil. Suatu perusahaan perdagangan didirikan di tahun 1938 namun tidak terlalu aktif. Kelompok luar yang justru paling tertarik dengan Papua adalah kaum Indo, orang-orang ras Eurasia, campuran Eropa (khususnya Belanda) dengan pribumi Hindia Belanda. Kebijakan rasis Imperialis Belanda menempatkan kaum Indo di atas pribumi namun di bawah orang-orang kulit putih Eropa. Mayoritas kaum Indo bekerja kantoran namun seiring proses Politik Etis sejak 1901 semakin banyak pribumi bekerja di sektor yang dulunya dipegang orang Indo. Sementara di sisi lain kaum Indo tidak boleh membeli atau memiliki tanah di Jawa. Tahun 1923 dirumuskanlah rencana untuk mendesain Nederlands-Nieuw-Guinea sebagai wilayah pendudukan bagi kaum Indo. Tahun 1926 didirikanlah Vereniging tot Kolonisatie van Niew-Guinea atau Asosiasi untuk Kolonisasi Nugini. Disusul tahun 1930 dengan pendirian Stichting Immigratie Kolonisatie Nieuw-Guinea atau Yayasan Imigrasi dan Pendudukan Nugini. Organisasi-organisasi ini menganggap wilayah Papua yang diduduki Belanda sebagai tanah kosong untuk tanah air bagi kaum Indo, serta berhasil melobi pemerintah agar mendirikan agensi untuk mensubsidi insiatif-inisiatif itu di tahun 1938. Namun mayoritas pemukiman Indo di Nugini Belanda gagal akibat minimnya kecakapan dalam pertanian maupun iklim dan alam yang keras.

Meskipun demikian klaim Belanda atas Papua tetap dipertahankan. Menurut ilmuwan Arend Lijphard motif dasar Belanda lainnya termasuk kepentingan atas sumber daya ekonomi yang menguntungkan, basis angkatan laut yang strategis, mempertahankan kehadiran, dan untuk mengamankan kepentingan ekonomi Belanda atas Indonesia.

Ketika PD II meletus, baik wilayah Nugini Belanda maupun Nugini Britania digempur di tahun 1942 oleh imperialis Jepang. Negara Belanda di Eropa sendiri awalnya menyatakan netral namun digempur dan dikuasai NAZI Jerman, bangsawan Belanda lalu kabur ke Inggris bersama beberapa jajaran pejabat mendirikan pemerintah Belanda di pengasingan, kemudian ke Kanada. Belanda secara resmi bersekutu dengan Britania (dan koloni-koloninya) serta masuk Sekutu. Sebagai dampaknya, negara-negara Sekutu ikut berperang di wilayah-wilayah jajahan Belanda. AS menyerang dan menduduki Guiana Belanda atau Suriname di tahun 1941. Sedangkan Australia bertempur di Papua melawan Jepang. Pasukan AS di bawah komando Jenderal McArthur kemudian bergabung dengan pasukan Australia di Papua untuk operasi di Asia Tenggara. Sementara itu gerilyawan Belanda di wilayah pendudukan Jepang di Papua umumnya dipimpin oleh Mauritz Christiaan Kokkelink. Pribumi Papua sendiri selama PD II banyak memberikan bantuan kepada tentara-tentara sekutu.

Selain terdapat pertempuran, pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk memfasilitasi mobilisasi angkatan perang dijalankan Sekutu. Demi mengakomodasi masifnya pasukan, persenjataan, kapal-kapal, dan pesawat-pesawat, Sekutu membangun jalan-jalan, jembatan, rumah sakit, barak-barak, pertokoan, jalur pipa minyak, bahkan juga bioskop. Dari situ kerja upahan mulai diperkenalkan dan industri awal, walaupun masih kecil, mulai bangkit serta memunculkan kota-kota awal di Papua yang berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi, seperti Biak, Merauke, dan sebagainya, bahkan kota Hollandia (Jayapura) meningkat pesat kapasitasnya hingga dijadikan ibu kota Nederlands-Nieu-Guinea saat PD II berakhir.

Masalah Pembebasan Nasional dan Konflik RI-Belanda dalam Perang Dingin

Revolusi nasional berkobar di Indonesia dari tahun 194-1949 sebagai perang pembebasan nasional melawan upaya rekolonialisasi dari Belanda. Kemenangan kubu prioritas diplomasi terhadap kubu prioritas perjuangan fisik menghasilkan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Meskipun Belanda lewat KMB kemudian mengakui kedaulatan Indonesia (lewat Republik Indonesia Serikat (RIS) yang mana RI adalah salah satu negara bagiannya) namun menyisakan beberapa masalah. Bukan hanya posisi RIS ditempatkan di bawah Uni Indonesia Belanda, namun juga seluruh perusahaan kapitalis dikembalikan, bahkan juga diwarisi hutang Hindia Belanda, sementara status West Papua baru akan dibahas dan diselesaikan setahun berikutnya.

Titik pangkal kebuntuan diplomasi RI dengan Belanda soal West Papua ada pada klaim Indonesia seharusnya mewarisi semua bekas wilayah Hindia Belanda, sementara Belanda bersikukuh bahwasanya etnisitas Papua berbeda dengan Indonesia dan karenanya lebih pantas menjadi suatu negara bangsa tersendiri. Selain itu Sukarno juga berpendapat bahwa berlanjutnya cengkeraman Belanda atas West Papua merupakan hambatan bagi Indonesia dan juga akan mendorong gerakan separatis. Pada tahun 1953, perselisihan ini telah menjadi isu utama bagi politik dalam negeri Indonesia dan jadi ajang perdebatan semua aliran politik Indonesia. Hampir semua partai politik di Indonesia mengklaim West Papua bagian RI dan menghendaki Belanda menyerahkannya. Perbedaan antar berbagai parpol umumnya berkisar pada cara mencapainya.

Meskipun demikian terdapat pengecualian. Partai Komunis Indonesia (PKI) misalnya mengalami pergantian sikap terhadap status West Papua. Pasca-Peristiwa Madiun serta dieksekusinya Amir Sjarifuddin dan tewasnya Musso, kepemimpinan PKI di bawah Alimin-Tan Ling Djie menjalankan oposisi keras terhadap pemerintahan Sukarno-Hatta-Natsir yang mereka pandang sebagai antek imperialisme. Oposisi itu juga ditunjukkan lewat penolakan terhadap klaim RI atas Papua. 2 Desember 1950 Komite Sentral PKI mengeluarkan pernyataan mendukung pendirian Republik Irian yang bebas dari kesepakatan-kesepakatan dalam KMB dan tergabung dalam liga berisi dua negara dengan Republik Indonesia. 8 Desember 1950 Ngadiman Hardjosubroto, anggota parlemen dan pimpinan kelompok Alimin, mempertahankan sikap ini. Namun 12 Desember Komite Sentral PKI dengan atas tanda tangan Sudisman, dari kelompok Aidit-Njoto-MH Lukman mengeluarkan pernyataan bahwa pernyataan 8 Desember bukanlah dikeluarkan dari Komite Sentral PKI sama sekali. Ini terjadi seiring perebutan kekuasaan dari golongan tua pimpinan Alimin-Tan Ling Djie ke golongan muda pimpinan Aidit. 25 Desember Komite Sentral PKI mencopot Ngadiman Hardjosubroto dari parlemen. 7 Januari 1951 Komite Sentral PKI mengumumkan nama Politbiro yang baru dimana Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman menduduki empat dari lima kursi Politbiro, sementara kursi kelima diduduki Alimin.

Di bawah kepemimpinan Aidit, PKI berubah sikap merapat ke Sukarno dan mendukung upaya menggabungkan West Papua ke RI. Sikap pro-integrasi PKI merupakan upaya melebarkan basis politiknya dan  meningkatkan kredibilitasnya sebagai partai komunis patriotis yang mendukung Sukarno.

Pemerintahan Sukarno juga mendapatkan senjata militer dan dukungan politik dari Uni Soviet sebagai upaya menarik Indonesia ke kubunya. Begitu juga sikap Uni Soviet kepada negara-negara Asia-Afrika lain yang tengah mengobarkan pembebasan nasional. Sedangkan pemerintahan Kennedy AS mendukung klaim pemerintahan Sukarno karena ingin mencegah Indonesia agar tidak jatuh ke kubu Komunis.

Persaingan Soviet dengan AS, khususnya untuk kawasan timur jauh semakin memanas. Kennedy langsung bergerak dengan mengirim surat pribadi kepada presiden Sukarno. Sembari AS menekan Belanda agar bersedia berembug dengan Indonesia untuk membicarakan status wilayah West Papua dan menyerahkan masalah Papua kepada PBB. Jika tidak, Kennedy mengancam akan menghentikan bantuan keuangan AS kepada Belanda.

Namun Sukarno sendiri meskipun memainkan politik bermain kaki di dua perahu, seperti memainkan perimbangan ABRI dengan PKI, Soviet dengan AS, sebenarnya memiliki agendanya sendiri. Tahun 1955 Sukarno mengorganisir Konferensi Bandung menunjukkan sikap Indonesia dalam Perang Dingin: menolak menggabungkan diri ke dalam Blok Barat pimpinan AS maupun Blok Timur pimpinan Uni Soviet, dengan mendirikan Gerakan Non-Blok yang diresmikan pendiriannya di Yugoslavia 1 September 1961. Ini diikuti pendirian Conference of New Emerging Forces (CONEFO) pada 7 Januari 1965 menghimpun kekuatan-kekuatan baru melawan imperialisme dan neo-kolonialisme.

Konteks Perang Dingin di sini hakikatnya adalah pertentangan antara kubu Imperialis AS, pimpinan imperialisme terbaru di dunia menggantikan imperialis Britania yang menyusut pasca-PD II, melawan rezim kediktatoran birokrat yang memimpin Uni Soviet, yang mempengaruhi berbagai perjuangan pembebasan nasional negara-negara dunia ketiga.

Dalam konteks Perang Dingin ini pula lah, Rezim Kennedy juga sudah menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 18 juta dolar AS untuk mengalihkan kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet. Cara halus ini dipakai karena cara mensponsori pemberontakan-pemberontakan anti-RI sudah gagal. Namun selain kepentingan politik Perang Dingin Rezim Kennedy, AS ternyata juga berambisi menguasai kandungan emas dan mineral berharga yang sangat besar di bumi Papua sehingga AS sangat bernafsu untuk menggabungkan Papua dengan Indonesia.

Selanjutnya AS memainkan peranan dalam misi ‘pengembalian’ Papua dari Belanda ke Indonesia. 15 agustus 1962, AS mempraksarai perundingan antara RI dan Belanda di Villa Huntland Middlleburg dan kemudian menandatangani perjanjian New York. Dalam perjanjian itu ada beberapa hal yang disepakati yakni; terutama seperti penarikan pasukan Belanda dari Papua, penyerahan Papua dari Belanda kepada United Nations Temporary Executive Authority [UNTEA] atau Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah badan perwalian sementara PBB dan selanjunya menyerahkan Papua kepada Indonesia.

Perjanjian itu juga memandatkan Indonesia harus mengadakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) untuk menentukan sikap rakyat Papua dengan menggunakan mekanisme sistem one man-one vote atau satu orang satu suara sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 Perjanjian New York sehingga seluruh orang Papua-800 ribu jiwa pada waktu itu berhak menentukan pendapatnya secara bebas dan damai.

Namun perjanjian New York tersebut tidak demokratis karena hanya menarik pasukan Belanda sementara pasukan Indonesia dibiarkan tetap di Papua. Selain itu Perjanjian New York tidak melibatkan satu orang Papua pun. Padahal yang dibicarakan adalah nasib masa depan orang dan tanah Papua. Konsekuensi dari tidak dilibatkannya orang Papua adalah aspirasi dan gerakan di Papua tidak diberi tempat sentral dalam menentukan nasibnya sendiri. Dengan kata lain dikorbankan dalam perang dingin.

Kelompok-kelompok Politik di Papua

Di Papua sendiri terdapat beberapa kelompok politik yang dibedakan berdasarkan pandangan dan pendekatannya mengenai status maupun masa depan Papua. Kelompok pro-integrasi ke Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan sebagai suatu negara terpisah. Kelompok pertama minoritas. Sedangkan kelompok kedua mayoritas.

Sebelumnya, Hubertus Van Mook, salah seorang ex-politikus etik serta Gubernur Jenderal Hindia Belanda, berusaha mengorganisir bekas jajahan Belanda di Indonesia ke model federalisme ke dalam RIS dalam bingkai persemakmuran yang masih terikat ke Belanda (seperti Britania dengan negara-negara Persemakmurannya). Ia melakukannya dengan menggalang para penguasa lokal (raja-raja), tokoh-tokoh dari etnis-etnis tertentu, terutama yang mendukung hubungan dengan Belanda. Ini difasilitasi dengan Konferensi Malino di Sulawesi 16-25 Juli 1946. Ini menjadi awal pendirian RIS yang diperkuat dengan konferensi-konferensi berikutnya. Salah satu delegasi dalam Konferensi Malino adalah Franz Kaisiepo, satu-satunya wakil dari West Papua. Namun Franz Kaisiepo sebenarnya pro-integrasi dan telah menjalin hubungan diam-diam dengan Sugoro Atmoprasodjo.

Franz Kaisieopo mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak pada bulan yang sama dengan Lukas Rumkoren terpilih sebagai pemimpinnya. Sementara itu 17 Agustus 1947, Silas Papare, seorang perawat kelahiran kepulauan Yapen dan veteran gerilyawan anti-Jepang sekaligus intel Sekutu di Papua selama PD II, melakukan pengibaran bendera merah putih di Manokwari.  Silas Papare sendiri awalnya anti-RI karena selama pendudukan Jepang di Papua, ia menyaksikan orang-orang Indonesia tunduk pada rezim fasis Jepang dan represif terhadap pribumi Papua. Namun pandangannya diubah oleh Sam Ratulangi, yang saat itu diasingkan ke Serui—tempat Silas Papare menjadi Kepala Perawat, sehingga ia kemudian menjadi pro-RI dan mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Setelah Silas Papare melakukan pengibaran bendera, pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakan semua partisipannya. Franz Kaisiepo  dan Johan Ariks lantas mengambil alih peran Silas Papare, termasuk peran mengorganisir pemberontakan. Sebelumnya pada Desember 1946, Silas Papare bersama Marthen Indey, polisi kolonial Nederlands-Nieu-Guinea sekaligus gerilyawan anti-Jepang kelahiran Doromena, Jayapura, mempengaruhi batalyon Papua untuk memberontak, namun gagal akibat kebocoran informasi. Kelompok Kaisiepo kemudian mengorganisir pemberontakan di Biak pada Maret 1948 namun dipadamkan pemerintah Belanda.

Tahun 1954 Komite Indonesia Merdeka (KIM) didirikan dengan dipimpin Marthen Indey, Nicolaas Jouwe, dan Korinus Krey. Sebagaimana PKII, para aktivis KIM juga banyak yang ditangkap dan diasingkan ke luar Papua. Kepemimpinan bawah tanah kemudian dipegang Steven Rumbewas, Korinus Krey, Marthen Indey, Abraham Koromat, Samuel Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, dan Eli Ujo. Sebagian dari mereka kemudian berbalik mendukung kemerdekaan West Papua, misalnya Eliser Jan Bonay, yang kemudian masuk Partai Nasional Papua (Parna).

Parna dideklarasikan di lapangan Hamadi 24 Agustus 1960 oleh Amos Indey dan Herman Wayoi serta kawan-kawannya. Resolusi Parna November 1960 mengusulkan perundingan tiga pihak melibatkan Papua, Belanda, dan Indonesia sekaligus. Mereka juga menolak konflik bersenjata antara Belanda dan Indonesia yang memperebutkan Papua. Karena itu Parna melobi dan menghadap baik Presiden Sukarno maupun Ratu Juliana untuk mencegah peperangan sekaligus menuntut kemerdekaan bagi Papua.

Dicanangkannya Operasi Militer Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961 menandai eskalasi konflik Papua dan Parna memandang harus dengan cepat mengirimkan utusannya untuk menemui Presiden Sukarno demi menuntut agar komitmen terhadap Pepera tetap dijaga. Fritz Kirihio anggota Parna yang sedang berkuliah di luar negeri kemudian didelegasikan Parna agar segera ke Indonesia. Atas bantuan Kedutaan Besar RI (KBRI) di Republik Federal Jerman atau Jerman Barat di Bonn, Fritz Kirihio sampai di Jakarta. Lalu mengikuti pertemuan dengan Presiden Sukarno bersama tokoh-tokoh masyarakat dan intelektual Papua lainnya di Istana Bogor pada 13 Juli 1962. Dalam pertemuan itu, Parna menjadi satu-satunya partai politik Papua yang hadir. Lewat lobi itu Presiden Sukarno menjanjikan tetap akan menyelenggarakan Pepera secara demokratis dan menghargai apapun hasilnya. “Saya tidak punya keberatan apa-apa terhadap orang-orang Papua, kalian adalah saudara-saudara kami, tapi orang Belanda harus pergi. Kalau kalian mau merdeka, kalian akan mendapatkannya dari saya, dan bukan dari orang Belanda,” kata Presiden Sukarno ke Fritz Kirihio.

Bagi Parna, ini langkah taktis karena mereka memperkirakan Belanda akan segara menyerahkan Papua ke UNTEA dan Pepera akan dijalankan Indonesia, bukan UNTEA. Salah satu hasil lobi Parna ke Sukarno ini undangan resmi terhadap Parna oleh Presiden Sukarno ke Istana Negara melalui Sekretaris Urusan Irian Barat (SEKIB) pada tahun 1963 setelah peralihan pemerintahan dari UNTEA ke RI yang mana dari pertemuan ini membuahkan mandat penunjukan Eliser Jan Bonay, anggota Parna, sebagai Gubernur Irian Barat.

Elieser Jan Bonay atau Elias Jan Bonai dilantik 1 Mei 1963 oleh Pemerintah RI dan menjadi orang Melanesia-Papua pertama yang menjadi Gubernur Papua. Gubernur pertama Papua, Zainal Abidin Syah, adalah sultan Tidore dengan kedudukan di Soa-Sio Tidore. Sedangkan Gubernur kedua Papua yaitu Pamudji, yang sebelumnya Wakil Gubernur Papua mendampingi Zainal Abidin Syah, adalah seorang Letnan Kolonel Angkatan Laut RI. Namun Elieser Jan Bonay karena menggunakan Pepera untuk menyuarakan kemerdekaan dan bahkan menyuarakannya ke PBB, ia dicopot dan dilucuti dari semua jabatan maupun pekerjaan di pemerintah. Kecewa, Elieser kemudian mengorganisir rapat-rapat rahasia untuk kemerdekaan Papua yang dilakukannya sembari menjabat sebagai Pegawai Utama Muda Menteri Dalam Negeri RI dari tahun 1964-1965 dan kemudian berbagai posisi direktur silih berganti perusahaan di West Papua. Tahun 1979 Elieser memutuskan melarikan diri ke Papua Nugini bersama John Hamadi dan mencari suaka di sana. Pada 23-31 Mei 1981 Melanesian Solidarity Week diadakan di Port Moresby, Papua Nugini, Elieser mengikutinya sebagai salah satu pembicara. Atas keterlibatannya di sana Pemerintah Papua Nugini mengusirnya. Elieser lalu pergi ke Swedia 27 Juni 1981 dan tiba 30 Juni 1981. Tahun 1982 Elieser pindah ke kota kecil Wijhe di Belanda. Selama di sana ia bergabung dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua. Elieser meninggal di Belanda tahun 1989.

Parna itu sendiri kemudian melebur ke dalam Partai Nasional Indonesia. Sedangkan Herman Wayoi diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Rakyat (DPR-GR) Provinsi Irian Barat dan terpilih menjadi Wakil Ketua DPRD GR. Partai-partai lokal tidak diperbolehkan di West Papua.

Sementara itu di kalangan orang-orang Papua pro-pendirian negara sendiri, terdapat beberapa organisasi massa dan partai politik. Tahun 1951, Nicolaas Jouwe mendirikan Gerakan Persatuan New Guinea (GNPG) di Hollandia. Partai GNPG ini meluas ke Biak, Manokwari, Sorong, dan Merauke. Tujuannya menentang RI dan mempromosikan persatuan orang Papua untuk kemerdekaannya sebagai suatu negara tersendiri. Tahun 1953 GNPG menolak rencana menjadikan West Papua sebagai tempat tanah air baru bagi kaum Indo. Selain itu GNPG juga menolak tawaran Republik Maluku Selatan (RMS) untuk menggabungkan West Papua ke dalam negara Molukas raya. Namun partai ini kemudian bubar. Tahun 1957 Johan Ariks dan Markus Kaisiepo mendirikan Demokratische Volkspartij (DVP) atau Partai Rakyat Demokratis di Hollandia.

Partai-partai lain juga bermunculan di Papua. 20 September 1960 warga Arfak dan kaum Indo-Belanda mendirikan Eenheidspartij Nieuw Guinea (EPANG) atau Partai Persatuan Nugini. Lodwijk Mandatjan terpilih sebagai ketuanya. 23 September 1960, Johan Ariks mendirikan Partai Orang Nieuw Guinea (PONG) dengan O.Manupapami sebagai ketuanya. Partai Serikat Pemuda-Pemudi Papua (Parsepp) di Manokwari. Partai Kena U Embay (KUE) di pegunungan timur di Enarotali. Partai Persatuan Islam Kristen Raja Ampat (Periskra) dan Partai Sama-Sama Manusia di Sorong. Semua partai ini kemudian mengikuti pemilihan umum yang diadakan Januari 1961.

Dari hasil pemilu itu, pada tahun yang sama dibentuklah badan perwakilan satu kamar milik orang Papua, badan ini disebut Nieuw Guinea Raad atau Dewan Nugini dan pengurusnya dilantik pada 5 April 1961 dengan 28 anggota. 16 dipilih melalui pemilu dan sisanya dari penunjukan pejabat atau perwakilan kota. Dewan ini menginginkan hak menentukan nasib sendiri. Dalam sidang istimewanya mereka merumuskan manisfesto nasional antara lain; nama negara adalah Papua Barat,  lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, bendera Bintang Kejora, batas-batas wilayah, mata uang, dan mendeklarasikan kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 1961.

Peristiwa 1965 dan Perampasan Hak-Hak West Papua

Gerakan Papua juga menjadi korban dari Peristiwa 1965 yang menghancurkan gerakan kiri dan mendirikan kediktatoran militer Suharto. 11 April 1969 Herman Wayoi, Moses Weror, Wilem Zonggonau, dan Clemens Runaweri memimpin ribuan mahasiswa melancarkan demonstrasi di depan gedung DPR-GR menolak pelaksanaan Pepera 1969 karena tidak dijalangkan secara one man one vote. Sayangnya usulan mereka tidak digubris oleh Indonesia dan tuanya Amerika.

Selain manipulasi dalam proses persiapan Pepera juga terdapat intimidasi dan teror luar biasa yang dilakukan oleh pemerintah RI untuk memaksa Papua bergabung dengan Indonesia melalui operasi-operasi militer. Secara faktual operasi militer dirintis mulai tahun 1961 dengan Trikora (tri komando rakyat) pada 19 desember atau 18 hari setelah deklarasi kemerdekaan Papua 1 Desember 1961.  Dalam buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” Socrates S Yoman menyampaikan bahwa dalam fase ini, dimasukkan kurang lebih 10 kompi prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke Papua dengan misi utama membubarkan negara West Papua yang baru saja diproklamasikan.

2 Januari 1962, Operasi Mandala, kampanye militer merebut Irian Barat diluncurkan di bawah komando Mayor Jendral (Mayjen) Suharto, kelak pelaku kudeta merangkak terhadap pemerintahan Sukarno.  Tahun 1963, Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Jenderal Ahmad Yani memerintahkan operasi Wisnumurti, mengerahkan pasukan dari divisi-divisi di Jawa, Makassar, dan Maluku untuk mengembangkan kekuatan tempur dan staf KODAM XVII. Selanjutnya untuk memenangkan Pepera, Operasi Sadar, Operasi Baratayuda, dan Operasi Wibawa dilancarkan dalam emam tahun.

Operasi-operasi ini banyak menelan korban jiwa, membuat kelompok perlawanan terpecah-pecah menjadi kecil dan surut. Untuk mengintensifkan kemenangan dalam Pepera, kelompok-kelompok ini kemudian dikejar terus-menerus. Sejalan dengan ini, unjuk kekuatan dilakukan operasi inteljen dan teritorial secara intensif untuk melemahkan sekaligus memenangkan situasi psikologis rakyat Papua.

Namun sebenarnya sebulan sejak UNTEA mengambil alih pemerintahan dari tangan Belanda, meskipun RI belum secara sah mengelola Papua, orang-orang Indonesia sudah banyak masuk Papua. Dimulai dari ABRI yang masuk dalam rangka persiapan Operasi Trikora. Disusul pegawai-pegawai eselon bawah, guru, dan sukarelawan dari Jawa. Mereka disebut sebagai Kontingen Indonesia (Kontindo). Kontindo, yang sebenarnya baru boleh secara legal datang dan berkegiatan setelah UNTEA pergi, dikerahkan lebih awal dengan misi menghadang gerakan atau kelompok yang ingin West Papua merdeka sebagai suatu negara tersendiri. Kontindo mendominasi sejak Komisaris Besar Polisi Drs. Legowo, Sekretaris SEKIB, datang ke West Papua. Tindakan KONTINDO meliputi pencopotan-pengiriman-dan penyekolahan para pegawai pamongpraja Melanesia-Papua ke Jawa atau pengiriman mereka ke kursus di Jayapura untuk diindoktrinisasi, pengusiran terhadap orang-orang Belanda, dan perampasan aset. Dorius Rumbiak, pejabat kontrolir di Wamena kala itu, mengemukakan, “Begitu tentara Indonesia dan pegawai-pegawai Indonesia datang, saya melihat yang terjadi hanya penjarahan saja. Mereka menjarah semua rumah. Mereka pulang membawa kopor-kopor besar berisi barang-barang yang ditinggalkan oleh Belanda. Tentara dan pegawai-pegawai Indonesia datang untuk menjarah saja. Kami menjadi heran juga.” Amapon Jos, orang Melanesia-Papua sekaligus Kepala Imigrasi UNTEA di Jayapura, menyatakan hal serupa, “Setelah kedatangan kontingen-kontingen pegawai dan militer dari Indonesia, ada kejahatan terhadap manusia, pencurian, dan perampokan di kota setiap hari.” Dolf Faidiban, Kepala Distrik di Bintuni, menambahkan, “Muncullah korupsi di mana-mana. Orang Papua tidak bisa menegur karena akan dituduh separatis.”

Sementara itu di tahun 1965, AS yang ingin menguasai kekayaan alam Papua dan membasmi komunisme terus meningkatkan intensitas intervensinya atas Indonesia. Demi memuluskan dua kepentingan ini maka; pertama, Simpatisan dan pimpinan PKI harus dihancurkan dan kedua, Sukarno yang tidak mau tunduk pada imprealisme baru AS harus dilengserkan. Sebagaimana ditulis Greg Poulgrin dalam The Incubus of Intervention, CIA lalu memakai koneksi jenderal-jenderal sayap kanan, terutama militeris anti-Komunis di Indonesia, yang sebelumnya memimpin operasi Trikora dan Mandala seperti: Suharto, Ahmad Yani, Nasution, serta lainnya sebagai ujung tombak.

Singkatnya, peristiwa 1965 berhasil memuluskan misi AS, PKI berhasil dihancurkan dan Suharto jendral yang ditunjuk CIA berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan sebagai presiden. Selanjutnya sebagai kompensasi dan ‘terima kasih’ kepada AS, kontrak karya pertama Freeport diteken pada tahun 1967- dua tahun sebelum Pepera dilaksanakan di tahun 1969. Beralihnya kekuasaan ke tangan militer kemudian memberikan akses leluasa bagi militer untuk mempersiapkan kemenangan Pepera.

Suharto yang sudah menjabat sebagai presiden kemudian mencetuskan Operasi Wibawa yang dipimpin oleh Brigjend Sarwo Edhi dan operasi khusus dipimpin oleh Mayor Ali Moertopo. Tugas utama dari operasi ini adalah menghancurkan kelompok perlawanan, pengamanan tempat-tempat sidang Dewan Pepera, dan mengamankan usaha memenangkan Pepera. Selain itu Suharto juga mengutus Yusuf Wanandi ke Papua untuk mendalami situasi Papua. Dalam laporanya Wanandi menyebut jika diadakan Pepera dengan metode one man one vote maka Indonesia pasti kalah dan angkat kaki dari Papua.

Merespon itu, Suharto lalu merubah pola one man one vote menjadi musyawarah mufakat yang diwakili beberapa orang saja. Untuk menutup ini Suharto berdalih dengan nada rasis bahwa musyawarah lebih baik dari pada voting karena orang Papua masih primitif dan terbelakang pada waktu itu. Jenderal Sarwo Edie lalu memerintahkan jajaranya menyeleksi 1.025 dari total 800.000 orang. 1.025 orang ini kemudian diberi hak suara disertai naskah yang sudah disiapkan oleh militer untuk kemudian dibacakan setelah namanya dipanggil.

Mereka yang diseleksi ini pun sebelumnya dikarantina, diancam apabila memilih merdeka maka mereka atau anggota keluarganya akan dibunuh. Selain intimidasi dan teror, beberapa peserta juga dilumpuhkan dengan politik ‘suap’ berupa pemberian perempuan, uang, janji-janji,dan sebagainya.

Kabel diplomatik menunjukkan bahwa para diplomat AS menduga Indonesia tidak bisa menang bilamana voting dilakukan secara adil dan memang pemungutan suaranya tidak secara jujur. Namun para diplomat AS melihatnya sebagai suatu ketetapan yang tidak bisa diubah dan justru menguntungkan kepentingan AS. Demikianlah bagaimana Pepera sarat manipulasi dan penindasan, yang bukan hanya diketahui Imperialis AS namun juga lewat itu AS mendukung pendudukan Indonesia terhadap West Papua sehingga bisa mengeruk kekayaan alam melalui pemerintah Indonesia tanpa perlu mengerahkan militer AS.  

ditulis oleh: Sharon Muller, anggota Lingkar Studi Sosialis dan kader Perserikatan Sosialis serta Leon Kastayudha, kader Perserikatan Sosialis

Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan dengan judul sama yang dimuat di Arah Juang cetak edisi 92, I-II Agustus 2020

SUMBER:

Mampioper, D.A. (2011, Januari 2). Partai Politik dan Nieuw Guinea Raad. Diakses dari jubi.co.id/partai-politik-dan-nieuw-guinea-raad/amp/

Mapioper, D.A. (2012, 30 Desember). Herman Wayoi Pendiri Partai Nasional Papua. Diakses dari jubi.co.id/herman-wayoi-pendiri-partai-nasional-papua/amp/

Rollings, B. L.  (2010) The West Papua Dilemma. (Master of Arts Thesis, University of Wollongong, School of History and Politics, 2010). Diakses dari htt//ro.uow.edu/theses/3276

Sitompul, Martin. (2016, Agustus 18). Kemenangan yang Ternoda di Papua. Diakses dari historia.id/politik/articles/kemenangan-yang-ternoda-di-papua-PmrE/page/2

Suryawan, I.N. (2018, November 1) Jalan Berliku Para Elite Papua. Diakses dari indoprogress.com/2018/11/jalan-berliku-para-elite-papua/

Loading

Comment here