Demonstrasi menentang Jakarta[1] yang mekarkan West Papua jadi tiga Daerah Otonom Baru (DOB) berkobar di Papua: Sorong, Kaimana, Yahukimo, Wamena, Nabire, Jayapura, dan Merauke. Aparat TNI/Polri merepresi brutal aksi dan tembak mati dua demonstran di tempat di Yahukimo, menghadang keras aksi di Sorong dan Nabire serta bentak, pukul, dan rampas peralatan demonstran. Aparat lakukan hal serupa di Jayapura.
Sementara di Indonesia, demo anti-DOB berkobar di Ambon, Ternate, Manado, Bali, Kupang, Malang, Yogyakarta, hingga Jakarta. Mayoritas demo diinisiasi mahasiswa dan pelajar asli Papua. Di Yogyakarta mahasiswa Papua dan solidaritas lainnya secara berulang kali demo tuntut batalkan rencana pemekaran/DOB, UU Otonomi Khusus (Otsus) dicabut, dan kutuk Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai aktor intelektual—Tim Gugus Papua yang keluarkan berbagai kajian dukung kebijakan Jakarta, termasuk pemekaran. Demo di Jakarta, Malang, dan lainnya nyatakan sama dan tolak peran Jakarta yang berlagak seolah paling tahu tentang apa yang terbaik untuk Papua.
Rakyat West Papua tolak DOB sebab: Pertama, DOB kemauan sepihak Jakarta, bukan aspirasi rakyat West Papua. Rencana pembagian wilayah West Papua menjadi beberapa DOB merupakan agenda lama pemerintah pusat untuk bungkam tuntutan kemerdekaan. Dokumen rahasia Departemen Dalam Negeri Direktur Jenderal (DITJEN) Kesbang dan Linmas 2 Juni tahun 2000 dalam nota Dinas No. 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 yang dikeluarkan berdasarkan laporan radiogram dari caretaker Gubernur Papua No. 190/1671/SET/tertanggal 3 Juni 2000 berbunyi:
“Rencana operasi pengkondisian wilayah dan pengembangan jaringan komunikasi dalam menyikapi arah politik Irian Jaya (sekarang Papua) untuk merdeka dan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tempat pelaksanaan operasi di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Irian Jaya sampai ke wilayah terpencil dengan mempercepat pemekaran wilayah Provinsi Irian Jaya dan pembentukan kabupaten/kota baru sesuai kebutuhan”[2]
Agenda pemaksaan Jakarta ini kemudian mendapat protes keras dari rakyat West Papua, Jakarta membalas dengan membunuh Theys H. Elluay yang saat itu pemimpin nasional rakyat West Papua. 10 hari setelah pembunuhan Theys, Jakarta secara sepihak sahkan UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus pada bulan November dan kemudian diikuti dengan pemberlakuan Instruksi Presiden No 1 tahun 2003 tentang pembentukan DOB Provinsi Papua Barat. Walau tanggal 11 November 2004 Mahkamah Konstitusi putuskan Provinsi Papua Barat tidak miliki kekuatan hukum mengikat, namun karena ambisi Jakarta, provinsi ini dipaksa lanjut hingga kini.
Fakta berikutnya adalah, menjelang berakhirnya Otsus dan pecahnya protes di seluruh tanah Papua mengutuk perlakuan rasis kelompok reaksioner dan aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019. Gerakan rakyat kemudian berkembang menuntut kemerdekaan politik dengan menduduki berbagai gedung-gedung pemerintah dan mengibarkan bendera Bintang Kejora. Merespon itu, Jakarta selain mengerahkan ribuan aparat TNI/Polri ke Papua, Jakarta juga merekrut 61 orang yang secara dadakan dan dinamai “tokoh Papua” agar sesuai dengan kepentingan mereka. “Tokoh Papua” atau lebih tepatnya antek-boneka ini kemudian diatur untuk mendukung kehendak Jakarta, seperti Otus jilid II dan pemekaran.
30 Oktober 2019, Tito Karnavian akui pemekaran DOB di Papua hasil kajian Inteljen. Karena hasil kajian Inteljen inilah, maka dari 183 wilayah yang mengusulkan pemekaran DOB di seluruh Indonesia, semuanya diabaikan dan Papua yang didahulukan, padahal Indonesia masih memberlakukan Moratorium akibat kemampuan keuangan negara yang tak cukup.
Kedua, ini politik “pecah belah dan kuasai” yang dimainkan Jakarta. I Ngurah Suryawan dalam bukunya Jiwa Yang Patah mencatat konflik horizontal di Papua adalah produk ciptaan pemerintah Indonesia via lingkaran elit lokal/perpanjangan tangan dari kebijakan pemerintah Indonesia di tanah Papua. Kebrutalan rezim kapitalistis Indonesia yang membunuh manusia dan alam Papua selama 60 tahun ini telah membuat Indonesia kehilangan wibawa di mata rakyat Papua. Sehingga dalam rangka memaksa Papua tetap bertahan dengan Indonesia, selain pengiriman militer secara gila-gilaan, rezim kapitalistis rakus keuntungan ini juga berusaha memecah persatuan rakyat Papua, dan berdasarkan analisis inteljen, alat yang paling jitu adalah pemekaran daerah.
Banyak fakta buktikan pemekaran baru, sebagaimana dicatat buku Socrates S. Yoman Pemusnahan Etnis Melanesia, telah memecah orang Papua berdasarkan daerah, suku, dan marga. Narasi gunung dan pantai, perang saudara di Yalimo, Timika, Nduga, Yahukimo, Maybrat, Sorong Selatan, dan seluruh kabupaten baru bentukan Indonesia yang terjadi saat ini adalah “konflik horizontal” yang dimainkan Jakarta. Bahkan analisis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pimpinan peneliti konflik, Sidney Jones, sebagaimana simpulan Tirto.id: banyak pemekaran = banyak masalah.[3]
Pemekaran yang dipaksakan Jakarta bukanlah upaya membangun tapi upaya memecah persatuan orang Papua. Sebab Jakarta sadari bila kesatuan orang Papua tetap terjaga akan ancam mereka. Maka seperti disampaikan Sendius Wonda satu-satunya cara: paksakan pemekaran agar kesatuan orang Papua hancur, jadi Indonesia akan mudah kuasai dan curi kekayaan alam Papua.
Ketiga, pemekaran di Papua tak penuhi syarat malah ancam manusia dan alam Papua. Syarat pokok DOB adalah jumlah penduduk, kemampuan keuangan, dan luas wilayah. Di Papua total penduduk di dua provinsi sesuai data BPS 2020 tidak lebih dari 6 juta. 4,30 juta jiwa di Papua sementara 1,13 di Papua Barat. Apabila argumen Jakarta pemekaran upaya pemerintah untuk sejahterakan masyarakat Papua, apakah persoalan kemiskinan hanya ada di Papua?
Jelas, bahkan data BPS 2021 tunjukkan kemiskinan terekstrem juga ada di pulau Jawa. Sehingga bila benar pemekaran “obat penghilang” kemiskinan, harusnya Jawa Timur yang berpenduduk hampir 50 juta jiwa yang dimekarkan, bukan Papua!
Dipaksakannya DOB di Papua secara kacau seperti kini akan perlebar pintu bagi penduduk dari luar Papua untuk menduduki Papua. Data kini buktikan OAP di Papua tak lebih dari 3 juta, bahkan di provinsi Papua Barat OAP hanya 48,7% sisanya pendatang. Hadirnya DOB akan memperparah jurang ini.
Berikutnya, kemampuan keuangan. Oktober 2020 Universitas Cenderawasih keluarkan kajiannya tentang rencana DOB di Papua. Uncen simpulkan semua daerah di Papua tak penuhi syarat untuk dimekarkan, pasalnya jumlah PAD tidak lebih dari 50% dan hanya berharap dari transfer pusat. Uncen bahkan simpulkan kabupaten-kabupaten yang ada kini seperti Nduga, Mulia, Yahukimo, hingga Pegunungan Bintang harus dilebur kembali ke kabupaten induk. Di Papua Barat, Maybrat, Pegunungan Arfak, Tambrauw, dsb., juga harus dilebur karena PAD tidak lebih dari 2%.
Jadi pemekaran di Papua hanya akan tambah beban keuangan negara dan akhirnya utang negara akan kian meningkat. Rezim getol DOB Papua akibat strategi para borjuasi untuk legalkan investasi gila-gilaan ke Papua untuk kuras habis kekayaan alam Papua berdalih “menunjang pembangunan”.
Selain itu, pemaksaan pemekaran di Papua akan diikuti pemekaran struktur polisi dan komando ekstra-teritorial mulai dari Kodam-Polda hingga Polsek dan Koramil. Di Papua I Made Supriatna melaporkan hasil kajiannya jumlah per 40 orang diawasi oleh 1 orang militer. Pemekaran = penguatan kekangan militerisme atas kebebasan bergerak, berpendapat, dan berkumpul orang Papua.
Terakhir: luas wilayah. Dengan dalih Papua luas wilayahnya tiga kali pulau Jawa, Papua bisa dimekarkan menjadi beberapa DOB. Pemekaran untuk siapa, jika penduduknya saja kurang? Jelas bukan untuk rakyat West Papua, apalagi OAP dan masyarakat adat.
Keempat, pemekaran bukan solusi konflik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia simpulkan terkait Papua ada empat persoalan pokok: penyingkiran penduduk asli, kegagalan pembangunan, kekerasan negara, dan pelanggaran HAM, serta status politik Papua yang belum tuntas. Penyingkiran jelas akibat pendudukan masif dari luar Papua, pemekaran akan memperparah persoalan ini, bukan memberi solusi.
Kegagalan pembangunan, 60 tahun Indonesia menduduki Papua, berbagai program yang menurut Indonesia membangun sudah diberikan. Lalu mengapa orang Papua yang jumlahnya tidak lebih dari tiga juta belum juga sejahtera? Jangan-jangan pembangunan itu memang bukan untuk orang Papua tapi untuk fasilitasi perusahaan-perusahaan kapitalis dan imperialis menghisap rakyat Papua, mengeruk kekayaan alam, dengan menghancurkan lingkungannya? Filep Karma dengan nada sinis dalam aksi menolak DOB April 2021 menekankan bahwa “2 provinsi saja orang Papua sudah minoritas, apalagi bikin banyak provinsi?”
Sedangkan soal kekerasan dan pelanggaran HAM, sejak pertama kali Indonesia menduduki Papua 19 Desember 1961 hingga tahun 2000, tercatat 15 rangkaian operasi militer telah dilancarkan di Papua. Menurut Gemima Harvey 500.000 orang Papua terbunuh sepanjang operasi-operasi ini. Bahkan hingga kini operasi militer masih berlangsung di Nduga, Intan Jaya, Lani Jaya, Oksibil, Yahukimo, Maybrat, dan hampir di seluruh tanah Papua setiap hari terjadi kekerasan. Laporan terbaru Amnesty International ungkap sepanjang tahun 2018-2021 tercatat 95 warga sipil yang korban kekerasan aparat TNI/Polri di luar hukum. Ini belum jumlah keseluruhan korban sejak tahun 2000. Pelaku utamanya TNI/Polri. Jadi rezim harus tarik militer, bukan DOB yang justru tambah pasukan.
Soal status politik, perebutan Papua antara Indonesia dan Belanda yang berlangsung sejak tahun 1950an hingga 1960an adalah akar konflik Papua yang terus diperdebatkan dan diperjuangkan oleh rakyat West Papua hingga kini. Padahal 1 Desember 1961 rakyat West Papua melalui Dewan New Guinea Raad mendeklarasikan kemerdekaan West Papua.
Amerika Serikat yang yang bernafsu mencuri kandungan emas Papua di Timika, kemudian bertindak seolah-olah sebagai penengah untuk pertemukan Belanda dan Indonesia tanpa libatkan satu pun orang Papua pada 15 Agustus 1962. Hasilnya New York Agreement, perjanjian yang terdiri dari 29 pasal ini mengatur umum tentang peralihan kekuasaan dari Belanda kepada PBB dan kemudian PBB kepada Indonesia dan selanjutnya Indonesia mengatur penentuan pendapat rakyat Papua (PEPERA). Dalam pasal XVIII khususnya bagian a dan d mengatur tentang mekanisme pemilihan dalam PEPERA. Khususnya pasal d menegaskan bahwa yang berhak memilih adalah orang asli Papua dewasa laki-laki maupun perempuan.
Pada tahun 1969 PEPERA dilaksanakan, harusnya sesuai pasal XVIII bagian d semua orang Papua dewasa atau yang pada saat itu jumlahnya 800.000 jiwa dilibatkan dalam memilih. Namun dalam praktiknya Indonesia hanya menyeleksi 1.025 orang untuk memilih. Dan akhirnya Indonesia memenangkan PEPERA atau lebih tepatnya peristiwa “baku tipu ini”.
Inilah status politik yang sampai hari ini masih terus dipermasalahkan orang Papua. Hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri belum terlaksana. Jadi yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah selenggarakan pemilihan bebas dan jujur bagi orang Papua untuk menyatakan pendapatnya, atau dalam tuntutan orang Papua disebut refendum.
Ditulis oleh Sharon Muller | Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Lingkar Studi Sosialis
Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 128, III-IV Maret 2022, dengan judul yang sama.
Catatan:
- Jakarta yang dimaksud di sini adalah merujuk pada Istana Presiden. Adalah sebutan yang biasa digunakan oleh rakyat Papua untuk menunjuk pada daerah Istana Presiden RI. Istana sebagai tujuan karena dinilai segala kebijakan yang keluar pusatnya dari sana dan ditentukan menurut kemauan presiden dan orang-orang di sekelilingnya yakni oligarki.
- Socrates S Yoman “Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat” Yogyakarta Galang Press 2007. Hal: 221
- Tirto.id “Tak Ada Daerah di Papua Yang Memenuhi Syarat Provinsi”2020. Diakses dari: https://tirto.id/tak-ada-daerah-di-papua-yang-memenuhi-syarat-pemekaran-provinsi-eC2g.. Pada 7 April 2022
Comment here