Pernyataan Sikap Petisi Rakyat Papua (PRP)
Pada tanggal 4 Maret 2022 Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia mengundang 9 Bupati yang berasal dari wilayah Pegunungan tengah Papua. Pertemuan yang direncanakan pada Jumat 14 Maret 2022 itu, mengagendakan persiapan pemekaran Provinsi di Wilayah Papua Pegunungan Tengah. Pembahasan tersebut didasarkan pasal 76 UU Ayat 3, No. 2 Tahun 2021 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua.
Tuntutan pemekaran Provinsi, sebelumnya disampaikan oleh beberapa elit politik di Papua dengan landasan: 1). SK Gubernur Papua Barat No. 125/72/3/2020 tentang pemekaran Provinsi Papua Barat Daya. 2). Deklarasi 4 Bupati (Merauke, Asmat, Mappi dan Bovendigul). 3). Deklarasi di Timika pada tanggal 4 Februari 2021 meliputi Kab. Timika, Paniai, Dogiyai, Deyai, Nabire dan Puncak. 4). Permintaan ketua Asosiasi Pegunungan tengah Papua, Befa Yigibalom kepada Presiden Jokowi di Jakarta. Tentunya Rakyat Papua menyadari bahwa upaya pemekaran Provinsi Papua Tengah dan wilayah lainnya yang masih dalam wacana sudah direncanakan sebelum jauh berdasarkan UU No. 21 tahun 2019 (yang kini sudah diubah menjadi pasal 76 UU No. 2 Tahun 2021).
1 Mei 1963 secara legal dalam hukum internasional Papua digabungkan paksa (aneksasi) ke dalam teritori Indonesia. 2 tahun sebelumnya (1961) dikumandangkan Tri Komando Rakyat, Trikora oleh Soekarno. Trikora bertujuan untuk melakukan mobilisasi militer dan sipil untuk menduduki wilayah Papua. 1962 dilakukan dua perjanjingan Internasional yaitu New York Agreement (15 Agustus) dan Roma Agreement ( 30 September) hal ini bertujuan untuk melegalkan kependudukan Indonesia di Papua. Semua langkah-langkah ini tidak melibatkan orang asli Papua.
1967 Indonesia (Soeharto) menandatangi undang-undang penanaman modal asing (UU PMA, Januari 1967). Hal ini berpengaruh terhadap kontrak karya PT. FREEPORT Mc. Moran di Timika (7 April 1967). Perusahaan ini memiliki hak penambangan eksklusif selama 30 tahun untuk wilayah tersebut dari saat pembukaan tambang (1981). Penduduk setempat masih melawan, namun selalu dibungkam. Pada 1989 lisensi pertambangan diperluas 25.000 km². Pada 2003 perusahaan tersebut dipaksa mengakui telah membayar militer Indonesia untuk mencegah pemilik tanah asal jauh dari tanah mereka. Pada 2005, New York Times melaporkan bahwa perusahaan tersebut telah membayar hampir 20 juta dollar AS selama periode 1998-2004 yang didistribusikan di antara pejabat dan satuan, dengan satu individu menerima sampai 150.000 USD. Perusahaan menanggapi bahwa “tidak ada alternatif untuk ketergantungan kepada militer dan polisi Indonesia mengenai hal ini”. Freeport-McMoRan memegang 90,64 persen saham dari anak perusahaan PT. Freeport Indonesia, Sisanya dimiliki oleh pemerintahan di Jakarta.
British Petrolium (BP) beroperasi di hampir 80 negara di seluruh dunia, memproduksi sekitar 37 juta barel per hari (5.900.000 m³/d), namun kondisi rill masyarakat Bintuni masih terkungkung dalam kemiskinan kronis.
Perusahaan sawit adalah wujud eksploitasi berskala besar yang terjadi di Papua, perampasan lahan, intimidasi dan teror masif terhadap rakyat Papua dengan kekuatan militer.
Semua aktivitas eksploitasi ini memaksakan Papua harus menjadi wilayah jajahan Indonesia. Indonesia meraup keuntungan dari pajak eksploitasi sumber daya alam dan manusia di Papua.
Untuk memperluas eksploitasi sumber daya PT. Aneka Tambang memaksakan pembukaan eksploitasi sumber daya alam di Blok Wabu, Intan Jaya, Pegunungan Bintang dsb.
3 pola penjajahan Indonesia di Papua:
Sistem Penjajahan di Papua dibuktikan dengan 3 hal
- Eksploitasi: Eksploitasi sumber daya alam dan manusia terus terjadi, yang mana perusahaan-perusahaan di Papua, berupa perusahaan pertambangan, perkebunan kelapa sawit, perairan dsb. Manusia Papua dijadikan sebagai tenaga kerja dengan upah yang murah meskipun sebelum ada perusahaan tanah atau air adalah sasaran produksi yang menghidupi masyarakat Papua sekian lama.
- Ekspansi: ekspansi modal terus terjadi yang mana lahan-lahan yang kosong dijadikan lahan-lahan eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Hal ini menyebabkan perluasan kemiskinan, perluasan perampasan tanah, memperbanyak kematian
- Kependudukan: Kependudukan dimaknai dengan pendudukan militer dan sipil. Proyek daerah operasi militer menyebabkan genosida, dan proyek transmigrasi menyebabkan persaingan tenaga kerja sehingga menyebabkan terpinggirnya masyarakat Papua, dan konflik horizontal. Kependudukan Indonesia disertai dengan perdagangan miras, togel, sio, dsb yang memperparah kemiskinan masyarakat.
3 hal ini adalah pokok dari program penjajahan (kolonialisme) Indonesia di Papua.
Konggres Tingkat Tinggi (KTT) Global -20 yang akan dilakukan di Indonesia memiliki hubungan dekat dengan pemekaran. Keran investasi akan semakin deras menuju wilayah-wilayah baru kemudian mehadirkan lebih banyak militer.
Tentunya Rakyat Papua dengan sadar menolak Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran di Papua, Pertama, Otsus diberikan oleh Jakarta untuk meredam gerakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan politik bagi Papua.
Kedua, berdasarkan UU Otsus (yang sudah di jelaskan diatas) Jakarta mempermudah proses pemekaran Provinsi Papua Barat, serta perluas Kota/Kabupaten, distrik, dan seterusnya. Dampak konkrit adalah perluasan TNI/POLRI di wilayah-wilayah. Kabupaten Timika merupakan salah satu kota termiskin di Papua. Ironisnya PT. Freeport berada di Kabupaten Timika. Dan Masih banyak lagi persoalan-persoalan di berbagai sektor.
Ketiga, dari realita kota-kota berdiri hasil pemekaran, marginalisasi itu nyata terjadi. Dari jumlah orang Papua yang sedikit menemukan problem ketersediahan tenaga produktif manusia Papua yang mengisi di semua lini kehidupan suatu daerah pemekaran. Kondisi penjajahan berakibat pada lambatnya perkembangan sumber daya manusia Papua. Dan justru perpecahan yang sangat masif akibat politik pecah bela antara orang Papua.
Empat, Disisi lain juga pemekaran akan membuka penambahan markas militer (TNI/Polri) di Papua. Sebab pemerintah Indonesia yang masih menggunakan pendekatan militeristik Papua sampai saat ini. Sepanjang tahun 1962-2004, paling sedikit 500 ribu jiwa rakyat Papua yang meninggal dalam 15 kali rentetan operasi militer dalam skala besar. Kemudian dalam 4 tahun terakhir operasi militer terjadi di beberapa daerah. 2019-2020 Operasi Militer pecah di Nduga. Selanjutnya di Puncak Jaya, Intan Jaya, Yahukimo, Kiriwok, dan di Aifat, Sorong. Operasi miilter tersebut berdampak banyak kerugian dan kehilangan bagi warga sipil: Pengungsian, Teror, Pelanggaran HAM, kehilangan rumah dan harta benda. Kondisi ini mengakibatkan mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan, bahkan akses jurnalis. Sementara keamanan dan kenyamanan orang Papua sangat diragukan di kota-kota besar lainnya. Papua merupakan pulau angka kematiannya paling tinggi. Salah satu penyebabnya adalah Mati karena dibunuh oleh orang tak dikenal. Kematian dalam jumlah yang banyak juga diakibatkan karena, selain gisi buruk dan rentetan musim kelaparan, adalah operasi militer.
Kelima, Pemekaran atau Daerah Otonom Baru (DOB) hanya akan menguntungkan pemodal. Sebab pemekaran berpotensi untuk menyiapkan syarat-syarat akses modal di Papua. Kekerasan militer yang terjadi dibuktikan dengan penangkapan Victor Yeimo sebagai Juru Bicara Internasional Petisi Rakyat Papua. Pola ini sejak lama dipraktikan oleh penjajah Indonesia untuk meredam gerakan rakyat. Namun, justru gerakan rakyat semakin memperkuat barisan dalam konsolidasi-konsolidasi aksi massa.
Yan Mandenas selaku DPR-RI dan kelompoknya terus menggencarkan pemekaran Provinsi agar membendung tuntutan Hak menentukan nasib sendiri.
Bupati-bupati dan eksekutif yang terafiliasi dalam partai-partai nasional mendukung pemekaran, bahkan dari kelompok agama, dan memunculkan tokoh-tokoh Papua yang membawa kesadaran menjajah Papua.
Kelompok ini tidak dilihat secara netral sebagai bagian dari penderitaan rakyat, justru kelompok ini memperparah penindasan masyarakat.
Untuk merespon kebijakan elit-elit politik dan kolonialisme yang keras kepala, diawal bulan maret rakyat Papua meresponnya dengan aksi demonstrasi dalam rangka penolakan Rencana Pemekaran Provinsi Baru (DOB): Di Jakarta, Jogjakarta, Jayapura, Manokwari Sorong, Wamena, Paniai, hingga di Yahukimo yang berujung dengan penembakan terhadap 10 massa aksi, 2 orang meninggal di tempat dan 8 orang lainya mengalami kritis.
Dengan segalah macam kebijakan jakarta yang berdampak pada ancaman genosida, ekosida dan etosida secara sistematis dan tersturktus diatas tanah papua, maka, kami yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) menyatakan sikap tegas, bahwa;
- Hentikan Praktek Pelaksanaan Otonomi Khusus Jilid II, dalam kebijakan UU Nomor 2 Tahun 2021.
- Hentikan Produk Hukum Pemekaran yang dipaksanakan atas nama Pembangunan dan Kesetaan Kesejahteraan semua terhadap orang Papua.
- Berikan akses Internasional, Jurnalis Independen untuk datang ke Papua dan menginvestigasi segala bentuk kejahatan kemanusiaan di tanah Papua.
- Cabut UU Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001.
- Hentikan rencana Pemekaran Provinsi di Tanah Papua, yang merupakan politik pendudukan dan politik pecah belah di Papua;
- Tarik Militer Organik dan non-organic dari seluruh Tanah Papua.
- Meminta akses Palang Merah Internasional, untuk memberikan akses pelayanan Kesehatan terhadap 67 ribu pengungsi, di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua, Pegunungan Bintang, Maybrat dan Yahukimo.
- Elit Politik Papua STOP mengatasnamakan rakyat Papua mendorong pemekaran demi memperpanjang kekuasaan dan menjadi alat penindas bagi rakyat Papua.
- Bebaskan Viktor Yeimo dan seluruh tahanan Politik di Tanah Papua TANPA SYARAT!
- Segera hentikan rencana pembangunan bandara udara antariksa di Biak.
- Presiden Republik Indonesia dan Kabinetnya HENTIKAN rancangan Undang-undang Pemekaran di Tanah Papua.
- Pemerintah Indonesia segera membuka akses bagi komunitas Internasional untuk datang ke Papua: Komisi Tinggi HAM PBB, Pelapor Khusus tentang Pengungsi, Anggota Kongres, Jurnalis – Akademisi Internasional, LSM Internasional.
- Mendesak komunitas Internasional, UNI Eropa, Amerika Australia, New Zealand, Negara-negara ASEAN, China, International Money Fund (IMF), World Bank, untuk menghentikan bantuan dana kepada pemerintah Indonesia, karena selama 59 tahuntelah terbukti gagal membangun Papua, yang berdampak pada genosida, etnosida, dan ekosida terhadap Bangsa Papua.
- Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis bagi Rakyat Bangsa Papua.
- Tutup semua perusahaan asing di seluruh Tanah Papua: Freeport, LNG Tangguh, MIFEE, Blok Wabu.
- Kami Bangsa Papua bersama saudara Saudara Haris Azhar dan Fathia: Hentikan kriminalisasi hukum, terror dan intimidasi terhadap pembela HAM Bangsa Papua di Indonesia.
- Mendukung perjuangan rakyat di Wadas di purworejo, Jawa Tengah tentang penolakan tambang proyek bendungan Bener.
- Hentikan uji coba nuklir di Pasifik yang dilakukan oleh Prancis, Amerika, New Zeland dan Australia
- Tolak KTT G-20 pada tahun 2022 di Indonesia.
Demikian Pernyatan sikap ini kami buat, atas nama seluruh pejuang yang telah mati diatas tangan penjejah dan atas nama rakyat Papua barat yang telah lama hidup dibawah rantai penindasan kolonialisme indoneisa dan kapitalisme, kami akan terus berjuang hingga terciptanya kemerdekaan sejati di atas bumi tercinta kita West Papua.
Tertanda,
a.n. 116 Organisasi dan 718.179 Suara Rakyat Papua Cabut Otonomi Khusus Jilid II dan tolak pemekaran.
Comment here