“Jika kau menikamkan pisau di punggungku sedalam sembilan inci dan menariknya keluar enam inci, itu bukan kemajuan. Kalaupun kau menariknya keluar sepenuhnya, itu tetap bukan kemajuan. Kemajuan adalah menyembuhkan luka akibat tikaman itu. Dan mencabut pisau itu saja belum mereka lakukan, apa lagi menyembuhkan luka. Bahkan mereka tidak akan mengakui bahwa ada pisau yang ditancapkan di sana.” (Malcolm X).
Kamis (31/3/2022), Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Andika Perkasa mengumumkan perubahan-perubahan peraturan seleksi penerimaan calon prajurit, selain hapuskan tes renang dan tes akademik, ia juga sebutkan keturunan ex-anggota PKI dibolehkan ikut. “Keturunan (PKI dilarang ikut seleksi penerimaan prajurit) ini apa dasar yang melarang dia? Jadi jangan kita mengada-ada. Saya orang yang patuh peraturan perundangan. Kalau kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum,” tekannya dalam rapat penerimaan, prajurit TNI (Taruna Akademi TNI, Perwira Prajurit Karier TNI, Bintara Prajurit Karier TNI dan Tamtama Prajurit Karier TNI) Tahun Anggaran 2022 sebagaimana diunggah di akun YouTube Andika. Khususnya pada sesi pemaparan mekanisme penerimaan prajurit TNI dari tes mental ideologi, Andika mengatakan “Zaman saya tak ada lagi keturunan dari apa (PKI dilarang ikut seleksi penerimaan prajurit), tidak. Karena apa? Saya menggunakan dasar hukum. Oke? Hilang nomor 4.” Ia lalu mengacu pada Tap MPRS Nomor 25/1966. “Satu, menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Tidak ada kata-kata ounderbow (organisasi sayap) segala macam.” Bagian Kedua, “Menyatakan komunisme, leninisme, marxisme sebagai ajaran terlarang. Itu isinya. Ini adalah dasar hukum, ini legal ini,” tambah dia. Dalam aturan itu tak ada soal keturunan ex-anggota PKI dilarang diterima masuk TNI. “Keturunan ini apa dasar hukumnya, apa yang dilanggar sama dia?”
Bobby Adhito Rizaldi, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, mengomentari “Bila soal keturunan PKI bisa mendaftar, saya rasa tidak masalah, kan belum tentu diterima…Selama memang tetap ada tes wawasan kebangsaan dan memastikan tidak terpapar pemikiran Leninisme, komunisme dan Marxisme yang merupakan ajaran terlarang berdasar TAP MPRS Nomor 25/1966. Termasuk, memahami sejarah dengan baik khusus nya mengenai G30S PKI, agar menjadi prajurit TNI sesuai harapan sebagai pelindung masyarakat dan menjaga NKRI.” Serupa dengan itu, Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra juga berkicau lewat Twitter (3/4/2022), “Sebenarnya tak ada larangan bagi keturunan PKI sejak reformasi, selama setia pada Pancasila dan RI.”
Bahkan Gatot Nurmantyo, Jenderal TNI Purnawirawan, yang saat menjabat dulu getol menyebarkan histeria bahaya kebangkitan PKI dan penyusupan komunis ke Angkatan Darat (AD) pun berkelit. “Sejak zaman orde baru tidak ada kata-kata anak keturunan PKI tidak boleh mendaftar sebagai anggota TNI… Dalam hal ini pernyataan Panglima Andika Perkasa, perlu diingatkan lagi bahwa TNI sangat humanis, tentara rakyat dan berasal dari rakyat serta bersama sama rakyat. sehingga TNI menjadi pemersatu dan penjaga ideologi negara.”
Pernyataan Gatot Nurmantyo ini adalah manipulasi. Rezim Militer Soeharto bukan saja melakukan kejahatan kemanusiaan dalam Malapetaka 1965 tapi juga mendiskriminasi jutaan rakyat lewat surat “bebas dari G30S/ PKI”,“bersih lingkungan”ataupun“bersih diri.”Kebijakan ini dibuat pada tahun 1982 oleh Kopkamtib. Dengan tujuan melakukan skrining mental ideologis terhadap calon prajurit ABRI, pelamar pegawai negeri sipil, BUMN dan perusahaan swasta vital. Skrining itu meneliti identitas keluarganya yang menyangkut keadaan lingkungan, tempat tinggal dan pergaulan. Pada tahun 1990 ketika Kopkamtib dibubarkan dan diganti Bakorstanas. Kebijakan tersebut berganti nama menjadi penelitian khusus (litsus). Sasaran dari kebijakan tersebut adalah sanak keluarga eks-tapol. Luas cakupan kebijakan tersebut hingga tiga generasi dalam hubungan keluarga horisontal maupun vertikal hingga istri, mertua, menantu, kawan dekat, ayah-ibu, anak dan cucu.
Tidak lama muncul beberapa spanduk penolakan keputusan tersebut di Jakarta dan pernyataan menolak dari Gandung Pardiman, Panglima Gerakan Pasukan Anti Komunis (GEPAKO) Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga anggota DPR dari Partai Golkar. Demikian juga Sekretaris Dewan Syuro Persaudaraan Alumni (PA) 212, Slamet Maarif menyatakan menolak. Keputusan Andika dan minimnya oposisi borjuis/reaksioner terhadap itu menunjukkan konsolidasi rezim semakin kuat. Rezim berhasil mengkonsolidasikan berbagai faksi (termasuk oposisi) borjuis/ reaksioner dengan berbagai jabatan, proyek dan sogokan sementara “memukul” oposisi borjuis/ reaksioner yang tetap menentangnya.
Soe Tjen Marching, dosen senior di University of London sekaligus putri dari seseorang yang dicap sebagai pengurus PKI, membantah itu “Memang tidak dilarang. Tapi kalau melamar tidak bakal diterima atau diciduk sekalian (terutama sama anteknya Soeharto).” Bahkan keluarga, termasuk anak-anak dari anggota PKI dan organisasi-organisasi yang dianggap terkait PKI, justru menghadapi diskriminasi serta persekusi. Bukan hanya banyak dari orang tua mereka ditangkap, disiksa, dan dipenjarakan, bahkan dihukum mati tanpa proses pengadilan yang adil serta sah, mereka juga kadang ikut dipenjara, diasingkan, dikucilkan, dan dimata-matai. Penandaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan status Ex-Tapol (ET) meskipun sudah dicabut Presiden Abdurrahman Wahid, namun masih ada praktik pencatatan para penyintas yang digunakan sebagai pangkalan data untuk berbagai praktik diskriminasi. Sebagaimana dilansir BBC Indonesia, Pipit, putri dari Deborah Oni Ponirah—anggota Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), mengemukakan bahwa di suatu kecamatan di Yogyakarta, beberapa birokrat menyusun buku bersampul kuning yang memuat data para penyintas 65. “Saya sempat syok,” ungkap Pipit. Dengan menggunakan data di buku itu otoritas kecamatan melarang para penyintas untuk pindah ke tempat. Dengan demikian melanggar HAM dalam hal kebebasan atau hak asasi bagi seseorang untuk bergerak, berperjalanan, dan berpindah. Sebagaimana dimuat di Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 13: “Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara.” Pipit lanjut menjelaskan, “Di buku itu, dari informasi yang saya peroleh, bukan hanya mencatat nama penyintas, tapi juga menikah dengan siapa, anaknya berapa, dan anaknya sekolah di mana. Berarti nama saya juga tercatat di buku itu. Jadi apa yang berubah? Tidak ada yang berubah bagi kami,” terangnya.
Kenyataannya, diskriminasi seputar TNI itu tidak mutlak hilang dengan kebijakan ini. Sebab kenyatannya larangan masih ada menyasar beberapa penganut aliran kepercayaan seperti penghayat yang dipersulit mendaftar dan juga LGBT, dimana ada kasus 16 tentara diadili MA dan dipecat hanya karena mereka gay. Selain itu seberagam apapun aparat, termasuk dalam hal ini TNI, selama militerisme, yaitu penggunaan militer sebagai alat penindasan–yang mana hakiki di tatanan masyarakat kelas termasuk kapitalisme, berlaku di Indonesia, maka keberagaman cenderung semu, sepatu boot dan senapan yang mereka pakai sama-sama menindasnya ketika dipakai merepresi petani, masyarakat adat, orang Papua, maupun aktivis, serta hanya pembelahan militer di atas garis kelas, yang bisa benar-benar menjadi solusi sejati.
Demikian bukan hanya diskriminasi dan persekusi terhadap keturunan anggota PKI maupun ormas-ormas terkaitnya itu merupakan pelanggaran HAM. Pelarangan PKI dan praktik anti-komunisme itu sendiri juga bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 45 (UUD 45): “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Bahkan ayat (3)nya berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Tak cuma itu TAP MPRS dan seluruh program anti-komunisme (termasuk dalam konteks ini di Indonesia), itu bersifat reaksioner. Karena bukan hanya dihasilkan dari Malapetaka 1965 dan kudeta merangkak terhadap pemerintahan Demokrasi Terpimpin, melainkan juga memfasilitasi restorasi kekuasaan dan pengaruh imperialisme-kapitalisme pimpinan AS terhadap Indonesia. Suatu proses yang bukan hanya diiringi pembantaian, pembunuhan, persekusi, penangkapan/pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, dan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang kemudian dipakai lagi sebagai modus-modus penindasan berikutnya, namun juga pendirian kediktatoran militer yang korup.
Dari semua pernyataan dukungan kelas borjuis terhadap keputusan Jenderal Andika, hal di ataslah yang selalu ditutup-tutupi. Termasuk oleh Jenderal Andika sendiri. Mereka terus menerus mengingatkan bahwa Komunisme, Marxisme, Leninisme dan PKI dilarang oleh TAP MPRS 25 Tahun 1966 sembari menutupi apa yang terjadi saat Malapetaka 1965. Dalam kebijakan“rehabilitasi”mereka tersimpan ketakutan akan kebenaran.
Rehabilitasi sejati membutuhkan pemulihan seluruh hak-hak demokratik para korban yang dirampas. Demikian juga pengadilan dan penghukuman terhadap para pelaku Malapetaka 1965. Pemulihan hak-hak demokratik tersebut juga berlaku pada ideologi dan organisasi Marxisme, Leninisme, Komunisme. Ini berarti TAP MPRS 25 Tahun 1966 harus dicabut termasuk berbagai macam larangan yang terkait. Untuk itu semua dibutuhkan pengungkapan kebenaran apa yang terjadi dalam Malapetaka 1965.
Namun kita harus sadar bahwa kelas penindas telah, sedang, dan tak akan mau mendukung penelusuran sejarah, pengungkapan fakta, dan penegakan keadilan. Sebab bila kelas buruh dan massa rakyat pekerja mengetahui bahwa bukan hanya organisasi kelasnya tidak bersalah namun juga cita-cita sekaligus pergerakan mereka di masa lalu untuk menghapuskan Imperialisme, Kapitalisme, dan segala bentuk penindasan itu harus direhabilitasi alias dipulihkan dan dibangkitkan kembali, maka kelas buruh dan rakyat Indonesia dapat melihat lebih jelas masa depan baru. Masa depan di luar para pejabat, elit politik, konglomerat, jenderal dan kroni-kroni mereka yang sudah berkuasa menindas sejak Malapetaka 1965. Masa depan di luar eksploitasi, kesengsaraan, penindasan Bapak dan Ibu penguasa tersebut. Kelas penindas yang berkuasa akan kelabakan karena berisiko dihadapkan kembali dengan perlawanan ideologis, politis, dan organisasional yang bisa menggulingkan tiraninya.
ditulis oleh Leon Kastayudha, anggota Sosialis Muda dan kader Perserikatan Sosialis
SUMBER:
Affan, Heyder. (2019, Oktober 16). ‘Dosa Turunan’ Dicap PKI, Keluarga Penyintas 65 Masih Mengalami Diskriminasi: ‘Jangan Bedakan Kami’.
Amrulla, Amri. (2022, Maret 31). Anggota DPR Tak Permasalahkan Keturunan PKI Bisa Daftar Jadi Prajurit TNI. Republika. Diakses 3 April 2022 di https://www.republika.co.id/berita/r9lq4a330/anggota-dpr-tak-permasalahkan-keturunan-pki-bisa-daftar-jadi-prajurit-tni
Dirgantara, Adhyasta. (2022, Maret 31). Aturan Baru Jenderal Andika: Keturunan PKI Boleh Daftar TNI-Hapus Tes Renang. DetikNews. Diakses 3 April 2022 di https://news.detik.com/berita/d-6009089/aturan-baru-jenderal-andika-keturunan-pki-boleh-daftar-tni-hapus-tes-renang/1
CNN Indonesia. (2022, April 1). Pakar Soal Keturunan PKI Boleh Masuk TNI: Kegaduhan Hanya di Eksternal. Diakses 3 April 2022 di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220331213110-12-778665/pakar-soal-keturunan-pki-boleh-masuk-tni-kegaduhan-hanya-di-eksternal
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 1948. Komnas HAM. Diakses di https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-universal-hak-asasi–$R48R63.pdf
Marching, Soe Tjen. (2022, April 3, 14.34). “Sejak zaman orde baru tidak ada kata-kata anak keturunan PKI tidak boleh mendaftar sebagai anggota TNI,” kata Gatot Nurmantyo. [Pos] Facebook. Diakses 3 April 2022 dari https://m.facebook.com/story.php? Story_fbid=4499801423453629&ide=100002714462838
Paat, Yustinus. (2022, April 3). Ini Respons Fadli Zon Soal Jenderal Andika Bolehkan Keturunan PKI Jadi TNI. Berita Satu. Diakses 3 April 2022 di https://www.beritasatu.com/nasional/911321/ini-respons-fadli-zon-soal-jenderal-andika-bolehkan-keturunan-pki-jadi-tni
Comment here