Seksisme, kapitalisme, dan kolonialisme menjerat perempuan Papua ke dalam belenggu penindasan berlapis yang mengerikan. Perempuan Papua makin hari kian tercekik dan hampir tidak berdaya serta tidak lagi bebas mengekspresikan dirinya sebagai manusia. Satu sisi, akibat budaya turun-temurun yang kental seksisme, dan di sisi lain, akibat masuknya kebudayaan baru oleh kapitalisme-kolonialisme.
Di sisi pertama misalnya, perempuan Papua ditempatkan sebagai makhluk nomor dua yang tidak berhak bersuara dalam setiap pengambilan keputusan [1], tidak memiliki hak atas tanah adat, digunakan sebagai objek seksual, bahkan di beberapa suku perempuan dijadikan sebagai alat tukar-menukar. Fenoma penindasan akibat budaya atau penindasan dari dalam ini telah ada lebih dulu dan bertahan cukup lama sebelum masuknya penindasan dari luar. Walaupun hal tidak dicatat dengan baik, namun realitas kehidupan sehari-hari telah membenarkan persoalan ini. Misalnya dalam tradisi berkebun suku Baliem atau Maybrat, porsi pekerjaan antara perempuan dan laki-laki mulai dari pembersihan, penanaman hingga proses memanen, semuanya dikerjakan secara kolektif. Atau juga misalnya di daerah Tabi, proses mendapatkan makanan juga dikerjakan secara kolektif; perempuan terlibat dalam ‘tokok’ sagu, mencari ikan, kumpul siput, dan sebagainya.
Artinya dalam proses menghasilkan makanan perempuan juga benar-benar memainkan peran penting. Sayangnya meskipun di ranah publik, laki-laki dan perempuan Papua memainkan peran setara, kolektif, untuk kerja bersama, di sisi lain, di ranah domestik, hanya perempuan yang dibebani kewajiban kerja. Setelah kerja bersama di kebun, kaum perempuan lah yang harus segera menyiapkan makan malam, mengurus anak, melayani suami, mencuci piring, mengurus lansia, dan sebagainya. Ini kenyataan bahwa beban kerja ganda bagi perempuan Papua sudah ada jauh sebelum masuknya budaya dari luar.
Dalam konteks pengambilan keputusan-keputusan, misalnya yang dikisahkan oleh perempuan-perempuan Enggros dalam laporanya yang diluncurkan oleh BBC, ‘Surga kecil yang dirusak manusia’, atau kisah perempuan-perempuan Wamena dalam film dokumenter ‘ Sa Ada Di Sini’ telah menunjukan secara terang bahwa penomorduaan atau pengucilan hak-hak perempuan sebagai manusia sudah ada sejak zaman nenek moyang dan masih diteruskan bahkan dibenarkan hingga saat ini. Dan ini, sekali lagi, telah membuktikan bahwa penindasan terhadap perempuan Papua juga diakibatkan oleh budaya serta tradisi hidup orang Papua.
Sementara di sisi yang kedua, masuknya kapitalisme-kolonialisme selain menyempurnakan tradisi yang sudah lebih dulu berkembang, juga melahirkan bentuk-bentuk penindasan baru terhadap perempuan Papua. Kolonialisme Belanda misalnya, dalam rangka mengeksploitasi kekayaan alam Papua, agama dikampanyekan untuk “meninabobokan” rakyat, dibuat sebagai kebenaran tunggal, dan dibuatlah penafsiran untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk nomor dua, hanya sebagai pelayan suami, kemudian dibenarkan dan dipraktikkan sejak saat itu hingga kehidupan modern ini.
Selepas kekuasaan imperialis Belanda dan pencaplokan Indonesia terhadap West Papua, penindasan terhadap rakyat Papua kian meningkat, termasuk juga penindasan terhadap kaum perempuan Papua. Operasi-operasi militer Indonesia untuk memaksa West Papua bergabung dengan Indonesia telah melakukan kekerasan baru terhadap orang-orang Papua, termasuk ke perempuan Papua.
The Good Time to Talk dalam laporannya pada Mei 2021, malaporkan bahwa pada bulan Maret 1978, militer Indonesia melakukan perbudakan seks terhadap empat perempuan dari desa Piramid dijadikan sebagai budak seks oleh militer Indonesia selama satu bulan, dan kemudian militer Indonesia memasukkan baterai kering ke dalam vagina perempuan Papua itu sebelum kembali ke desa. Pelakunya adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) unit 752,753, dan polisi di bawah komando Kolonel Albert Dieng. Laporan yang sama juga melaporkan bahwa, pada Juni 1978 militer memperkosa lalu menembak enam perempuan Papua dan kemudian mengisi vagina mereka dengan daun ubi jalar dan daun buah merah.
Militer terus melanjutkan kekerasan. Tahun 1996 di Mapenduma dan 1998 di Biak dalam insiden Biak berdarah, militer melakukan banyak pelanggaran HAM, termasuk penganiayaan, pembunuhan, dan pemerkosaan. Ini penindasan berantai sebab ketika korban perkosaan hamil dan melahirkan anak, tidak ada pengakuan apalagi pemberian santunan dan ganti rugi bahkan juga tidak ada pemberian hak-hak terhadap anak-anak korban perkosaan itu. Setelah Reformasi pun militer berulang kali melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap perempuan Papua. Misalnya Operasi Militer di Nduga menewaskan 73 perempuan. Bahkan juga di kota-kota besar seperti di Jayapura, militer secara sengaja memperkosa perempuan muda Papua di hotel-hotel. Posisi sentral militerisme dalam mencaplok West Papua, mendudukinya, dan memfasilitasi penyingkiran masyarakat adat, penghisapan pekerja, sekaligus penjarahan kekayaan alam secara imperialistis oleh perusahaan-perusahaan kapitalis global, membuat mereka bukan hanya relatif bebas hukum namun juga leluasa melakukan serta melakukan kembali berbagai pelanggaran HAM, termasuk terhadap kaum perempuan Papua. Pelanggaran HAM yang dilakukan militer terhadap para perempuan (yang dituduh jadi) anggota Gerwani, terhadap Marsinah, terhadap para perempuan Tionghoa di Mei 1998, terhadap Ita Martadinata, bahkan dalam bentuk lebih brutal, bisa dilakukan juga oleh militer terhadap kaum perempuan West Papua.
Selain kekerasan oleh militer, negara kapitalis republik Indonesia yang melayani kepentingan kapitalis global, juga mewarisi-melanggengkan seksisme-rasisme kulit putih, termasuk menerapkannya ke kaum perempuan Papua. Supremasi kulit putih, meskipun tidak secara terang-terangan menjunjung mitos keunggulan kaukasia atau preferensi kulit kaukasia, namun juga mencekokkan konsep tubuh dan kecantikan yang lebih menghendaki kulit cerah/putih, rambut lurus, badan langsing, dan semacamnya. Kapitalisme mendorong perempuan merasa gelisah dengan tubuhnya agar bisa menjual komoditas yang dipasarkannya seolah-olah sebagai jalan keluar kegelisahan itu. Dengan pelurus rambut, pencerah kulit, dan semacamnya. Sedangkan ciri-ciri fisik perempuan Melanesia yang alami kurang dikehendaki. Jarang diberi tempat di media, pun bilamana disorot sering kali perempuan Papua (dan juga laki-laki Papua) dipakai sebagai bahan tertawaan.
Kapitalisme Indonesia maupun kapitalisme global atau imperialisme yang wataknya rakus keuntungan dalam mengeruk kekayaan secara langsung menghancurkan alam dan merusak lingkungan. Dalam melakukan perusakan bumi demikian, mulai dari menghancurkan hutan hingga meracuni sungai, di Amungme, Blok Wabu, hutan adat Mahuzes, Enggros, dan sebagainya, kapitalisme juga menyingkirkan kaum perempuan Papua. Sebag kaum perempuan Papua turut memainkan peran sebagai penjaga hutan adat maupun nilai-nilai filosofis yang disematkan ke gunung-gunung, hutan-hutan, dan sungai-sungai sakral mereka. Penyingkiran dan penjarahan kapitalisme ini mengakibatkan perempuan-perempuan adat akhirnya kehilangan nilai-nilai budaya, tradisi, pegangan hidup, dan yang lebih penting adalah mereka tercerabut secara permanen dari tanah-tanah sebagai sumber penghidupan.
Dampaknya, untuk bertahan hidup, perempuan Papua akhirnya terpaksa menjajakan diri sebagai pekerja seks. Namun masih bercokolnya stigma negatif dan penghinaan terhadap pekerja seks akibatkan perempuan-perempuan ini akhirnya menjajakan diri secara sembunyi-sembunyi dan tidak mendapatkan jaminan/perlindungan kesehatan. Akibatnya angka HIV/AIDS di Papua terus meningkat, bahkan di posisi paling tinggi di Indonesia.
Akibat lain dari perempuan Papua yang terlepas dari tanah adalah, mereka terpaksa menikah di usia dini, dan mayoritas terpaksa tidak melanjutkan sekolah. Berdasarkan laporan dari Papuan Women’s Working Group (PWG) dalam buku ‘Burung Pun Tak Ada Lagi’ ada empat alasan perempuan Papua tidak mendapatkan pendidikan. Pertama, hamil di usia muda dan dianggap tak perlu lanjutkan pendidikan karena menjadi ibu rumah tangga. Kedua, dipaksa menikah orang tuanya. Ketiga, stigma istri OPM atau anak OPM yang membuat mereka kehilangan hak pendidikan. Keempat, diskriminasi perusahaan-perusahaan yang memberikan bantuan pendidikan hanya ke anak laki-laki.
Sejarah penyingkiran masyarakat adat, termasuk kaum perempuannya, juga terkait erat dengan program transmigrasi, yang dimulai kolonialisme Belanda dan dilanjutkan negara kapitalis republik Indonesia.
Masalah yang mengakibatkan kemiskinan di daerah asal transmigran, umumnya berkaitan pula dengan ketiadaan reforma agraria sejati, tidak dipecahkan. Program yang berdalih pengentasan kemiskinan ini kenyataannya hanya memindahkankan rakyat miskin ke pulau/daerah lain. Satu sisi para transmigran dibekali/dimodali pemerintah sedangkan di sisi lain masyarakat setempat tidak didahului diberikan pembangunan dan pemberdayaan. Sehingga alih-alih terjalin kerjasama justru muncul persaingan antara pendatang vs pribumi dan fenomena kesenjangan antara semua pihak. Termasuk fenomena mama-mama pasar Papua. Misalnya suku Dani yang dulunya bertukar kerang, babi, mata kapak, kulit, dan lain-lain, kini harus berjualan di pasar agar bisa mendapatkan uang tunai untuk dibuat membeli barang-barang kebutuhan yang didatangkan secara impor. Namun berbeda dibandingkan para pendatang yang punya akses keuangan untuk memiliki dan membuka lapak/stan/toko di dalam, kaum ibu atau mama-mama Papua serta seringkali juga bersama anak-anaknya duduk di tanah, yang kadang panas, kadang berlumpur, tergantung cuaca, menjual buah dan atau sayur, tanpa atap. Jadi mama-mama pasar yang memiliki modal kecil, dipaksa untuk bersaing dengan saudara-saudara mereka yang dimiskinkan di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan terpaksa dikirim ke Papua untuk mencari hidup dan dimodali. Akibatnya mama-mama pasar tergusur dari persaingan pasar, dan terpaksa bertahan hidup dengan melakukan kerja-kerja ganda.
Baik imperialisme Barat maupun militerisme dan kapitalisme Indonesia sama-sama membawa dan menanamkan pandangan yang memaksa kaum perempuan melakukan kerja-kerja domestik tak berbayar. Seperti merawat anak, mengurus suami, perawatan difabel, dan sebagainya. Tugas-tugas yang harusnya diemban oleh negara, malah diserahkan menjadi urusan rumah tangga, dan akhirnya secara tidak proporsional semuanya dikerjakan oleh perempuan. Kapitalisme Indonesia melakukan semua kejahatannya terhadap perempuan Papua dan kemudian membenarkannya dengan menggunakan agama serta ideologi borjuis bahwa perempuan adalah ‘tulang rusuk’ laki-laki, pelayan suami, lemah, dan layak dijadikan sebagai makhluk nomor dua. Hal ini dibuktikan dengan masifnya kampanye keluarga inti yang menempatkan suami sebagai penguasa tertinggi dalam institusi keluarga. Perempuan Papua juga menjadi sasaran ‘pukulan’ suami akibat stres yang dihasilkan oleh kesusahan hidup di bawah sistem kapitalisme-imperialisme.
Tidak hanya di ranah rumah tangga, di ranah pekerjaan, pun, kapitalisme menindas Perempuan Papua. Ratusan ribu perempuan dipekerjakan hanya sebagai guru honorer, perawat, juru tulis dan sebagainya. Mereka diupah dengan murah dan kadang-kadang untuk sekedar menaikkan posisi kerjanya mereka harus rela tubuhnya diraba sang bos atau menjadi subjek pelecehan seksual.
Namun perempuan dalam sejarahnya tidak selalu mengalami penindasan. Penindasan terhadap perempuan muncul pada tahap tertentu perkembangan sosial dan dilembagakan melalui keluarga. Dengan kata lain, penindasan perempuan adalah permasalahan sosial, bukan ditentukan secara biologis, dan hal ini terus berubah sepanjang waktu.
Engels dalam bukunya Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Privat, menjelaskan bahwa penundukan perempuan baru terjadi pada zaman barbarisme dan berkembang pada awal zaman peradaban. Sementara pada zaman sebelumnya yakni zaman kebuasan atau sekitar 100.000 tahun yang lalu, dan didukung oleh data antropologi Morgan, menunjukan bahwa praktik-praktik hubungan sosial dan seksual pada zaman ini masih dilakukan dengan setara. Hal ini ditandai dengan produksi yang masih dikerjakan secara kolektif dan kepemilikan komunal.
Institusi keluarga juga kemudian turut dikembangkan seiring berkembangnya kepemilikan pribadi dan masyarakat berkelas. Walaupun para antropologi borjuis berusaha mengaburkan hal ini, namun fakta bahwa adanya unit ‘klan’ sebagai unit sosial dasar sebelum masyarakat berkelas telah dengan jelas menunjukkan institusi keluarga bukanlah hal alami.
Fakta lainya adalah kata family (keluarga) yang masih digunakan sampai hari ini adalah berasal dari istilah Latin, yakni ‘famulus’ yang berarti budak rumah tangga, dan familia, keseluruhan budak milik satu orang. Institusi keluarga juga kemudian memperkuat gagasan superior dan inferior. Perempuan lalu ditetapkan sebagai makhluk lebih rendah dan dikenai ketergantungan ekonomi.
Dalam buku Feminisme dan Sosialisme yang diterbitkan oleh Partai Sosialis Demokratik Australia, menjelaskan bahwa sistem keluarga dan penundukan atas perempuan muncul seiring dengan institusi-institusi lainya dari masyarakat berkelas dalam rangka menopang pembagian kelas yang baru lahir dan menjaga kekayaan pribadi. Dalam tahapan perkembangan selanjutnya, terutama dalam masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, bentuk-bentuk hubungan keluarga yang merendahkan perempuan kemudian semakin disempurnakan dan diperkuat oleh negara; polisi, tentara, hukum, pendidikan, agama, pengadilan, dan sebagainya.
Menurut Michael Yates, Kapitalisme adalah sistem sosial yang dibangun dari eksploitasi dan perampasan. Sifat utama dari ekonomi kapitalisme adalah menempatkan proses produksi untuk tujuan pasar dan bukan untuk tujuan kegunaan. Alhasil, watak dari sistem ini adalah keuntungan, keuntungan, dan keuntungan. Dan untuk mendapatkan keuntungan maka semua barang harus dijadikan uang, termasuk tubuh perempuan.
Kapitalisme merendahkan sekaligus menghisap kaum perempuan. Sistem ini menempatkan perempuan sebagai orang yang bertangungjawab atas semua kebutuhan keluarga, ia harus tetap dipertahankan sebagai mesin-mesin pencetak cadangan tenaga kerja, agar tatanan yang memeras tenaga manusia dan alam demi keuntungan segelintir lintah darat ini tetap berlangsung. Kapitalisme-kolonialisme adalah sistem buruk dan kurang ajar, dalamnya masa depan perempuan Papua adalah budak rumah tangga, tenaga kerja demostik yang gratis dan menjadi bulan-bulanan operasi militer. Hanya itu! Kapitalisme-kolonialisme tidak sedikitpun berkepentingan untuk membebaskan perempuan.
Lalu bagaimana perempuan bisa dibebaskan; apakah dengan memberi perempuan hak untuk memilih dan dipilih dapat membebaskan perempuan dari belenggu penindasan? Kenyataan yang terjadi dalam hari-hari kemarin dan sekarang telah memberi penjelasan seutuhnya. Presiden kelima Indonesia adalah perempuan, menteri Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan 2014-2019, Yohana Yembise adalah perempuan Papua, bahkan ketua DPRI sekarang, Puan Maharani adalah perempuan. Tapi apakah penindasan terhadap perempuan dihapuskan? Tidak sama sekali, bahkan dibawah kepemimpinan Puan Maharani, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru dihalang-halangi dan sekarang mau dipreteli.
Ini menunjukkan bahwasannya, di satu sisi, argumentasi kaum kanan bahwa dalam kapitalisme telah terjadi kemajuan besar bagi perempuan adalah penipuan yang sangat menjijikkan. Sebab, kemajuan yang sekarang terjadi hanya dinikmati oleh segelintir perempuan, perempuan-perempuan yang memiliki modal besar dan hak-hak istimewa. Sementara mayoritas perempuan, terutama perempuan pekerja seperti buruh, dan juga perempuan adat di Papua, mengalami serangan bertubi-tubi dan membuat mereka terperosok jauh sampai titik nol.
Sementara di sisi yang lain, hal ini juga menunjukkan bahwa strategi apapun untuk membebaskan perempuan harus melibatkan perubahan menyeluruh kondisi sosial yang mendukung penindasan perempuan. Ini berarti hak untuk dipilih-memilih atau semua perempuan harus berpendidikan itu baik. Namun untuk mencapai kemerdekaan 100% ini tidaklah cukup.
Sebagaimana ditulis Engels dalam Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara menerangkan bahwa penindasan perempuan bukanlah ‘alami’ atau fenomena yang tidak dapat dihindari, melainkan berhubungan dengan perkembangan masyarakat berkelas. Dengan mengubah kondisi material, menghilangkan kelas dan eksploitasi, dengan menghancurkan institusi keluarga, perempuan bisa dibebaskan dari penindasan. Disini Engels dengan jelas menunjukan bahwa pembebasan perempuan hanya bisa dicapai apabila semua basis material yang merantai perempuan dihancurkan. Ini berarti kerja-kerja domestik, sistem keluarga yang menempatkan perempuan di posisi nomor dua, sistem ekonomi-politik kapitalisme yang menetapkan standarisasi kecantikan, mengupah perempuan dengan murah, dan sebagainya itu mesti dihancurkan dan diganti dengan tatanan masyarakat yang baru, yang bebas penindasan, yakni sosialisme.
Dalam masyarakat sosialis, sebagaimana dipraktikkan di Rusia pada tahun 1917, kita saksikan bagaimana perempuan-perempuan Rusia untuk pertama kalinya mendapatkan capaian luar biasa. Sebagai contoh antara tahun 1917-1927 pemerintahan Soviet mengesahkan serangkaian undang-undang yang memberikan keadilan legal bagi perempuan dan laki-laki. Hak pilih sepenuhnya, upah setara, kesetaraan dalam kesempatan kerja dan pendidikan, aborsi dan kontrasepsi gratis, pernikahan dan perceraian yang mudah, rumah sakit bersalin gratis dan cuti melahirkan tanpa dipotong upah, hingga penghapusan undang-undang anti-homo seksual yang disahkan pada tahun 1918.
Tidak hanya itu, pemerintahan Soviet juga menyadari bahwa keterbelakangan dan tingkah laku yang berakar selama berabad-abad tidak akan hilang dalam satu malam sehingga pada tahun 1919 pemerintah meluncurkan program yang mengutamakan kerja di bidang ide dan pendidikan untuk menghancurkan prasangka-prasangka kuno tentang perempuan. Pemerintah juga mulai mendirikan tempat penitipan anak, taman kanak-kanak, binatu, pusat-pusat reparasi, laundry umum, perumahan komunal, serta dapur-dapur umum yang semuanya bisa diakses secara umum dan biayanya ditanggung oleh negara. Dengan demikian kerja-kerja rumah tangga yang diemban oleh perempuan resmi dihancurkan.
Pemerintahan sosialis juga secara konsisten memperluas kesempatan-kesempatan kerja bagi perempuan di sektor publik. Hal ini utamanya dilakukan guna memutus ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki. Karena tanpa uang perempuan menjadi tuna daya untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, jaminan masa tua, dan layanan sosial lainnya. Sehingga pemerintah sosialis menyadari bahwa pelibatan perempuan dalam dunia kerja berarti melepaskan perempuan dari ketergantungan ekonomi.
Tidak lupa, dalam masyarakat sosialis juga, polisi-tentara tetap juga dihapuskan dan diganti tentara reguler yang dikontrol oleh dewan-dewan buruh dan petani. Hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa kecil juga dipenuhi, sehingga kolonialisme, operasi militer, dan sebagainya, seperti yang dilancarkan hari ini di West Papua sudah tidak dikenal lagi.
Demikianlah sosialisme. Sebagaimana dikatakan oleh Inessa Armand bahwa kita tidak dapat membicarakan pembebasan perempuan tanpa membicarakan sosialisme, sebaliknya kita tidak dapat membicarakan sosialisme tanpa membicarakan pembebasan perempuan. Keduanya saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan. Atau pendeknya sosialisme sama dengan pembebasan perempuan.
Hancurkan kapitalisme-kolonialisme! Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua dan Wujudkan Sosilaisme! Hidup Perempuan!
ditulis oleh Zetkin V’lle dan Sharon Muller, anggota Lingkar Studi Sosialis dan kader Perserikatan Sosialis
Catatan.
- PWG menuliskan cerita perempuan-perempuan di Unurum Guay, Jayapura, yang justru diminta untuk diam saat rapat tentang masuknya perusahaan sawit. Mereka tidak diberikan kesempatan berbicara dan ketika mereka memaksa untuk berbicara, mereka disuruh diam oleh tokoh adat bahkan diancam oleh aparat.
- Baca Pat Brewer, ‘Penyingkiran Perempuan: Pengujian Marxis atas Bukti Baru tentang Asal-Usul Penindasan Perempuan’. Bintang Nusantara 2021.
Referensi:
1. F. Engels, Asal usul keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara.
2. Demokratik Sosialis Party, Feminisme dan Sosialisme. Yogyakarta: Bintang Nusantra 2015.
3. Koran Arah Juang edisi 83, Sosialisme dan Pembebasan Perempuan 2019.
4. Michael Yates, Dapatkah Kelas Pekerja Mengubah Dunia?. Yogyakarta: Penerbit Independen 2020.
5. Kristen R. Ghodsee, Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik Di Bawah Sosialisme. Yogyakarta: Jalan Baru Publisher 2020.
Comment here