Sejarah

Rosa Luxemburg: Elang Kelas Buruh

Rosa Luxemburg lahir dari keluarga Yahudi pada 5 Maret 1871 di Zamość, Polandia, yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan kekaisaran Rusia. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya merupakan pedagang kayu yang berpikiran liberal, sementara ibunya adalah seorang relijius yang gemar membaca.

Tahun 1873, Luxemburg akhirnya pindah ke ibu kota Warsawa. Di sini Luxemburg bersekolah di tingkat dua sekolah menengah dan memulai aktivitas politik pertamanya dengan bergabung ke dalam Partai Proletariat. Bersama kawan-kawannya di Partai Proletariat, Luxemburg mengorganisir pemogokan-pemogokan serta menggelar rapat-rapat bawah tanah. Akan tetapi, Partai Proletariat harus menerima kenyataan pahit untuk umurnya yang pendek setelah sebagian besar anggotanya dieksekusi atau dipenjara sekitar tahun 1886. Sementara Luxemburg pindah ke Swiss pada 1889 sekaligus untuk menghindari penganiayaan karena ideologi yang dipegangnya.

Di Swiss, Luxemburg kemudian mendaftarkan diri ke Universitas Zurich untuk belajar hukum, ekonomi politik, dan krisis bursa saham hingga meraih gelar doktor pada tahun 1898. Di sini, Luxemburg juga mendirikan koran Sprawa Robotnicza atau Cita-cita Buruh. Ia juga terlibat dalam gerakan sosialis internasional dan bertemu dengan Plekhanov, Axelrod, Lenin, dan perwakilan-perwakilan kaum sosialis Rusia lainnya. Dengan segera, Luxemburg berdebat mengenai hak menentukan nasib sendiri yang digagas ulang oleh Lenin. Bagi Luxemburg, hal semacam itu justru bertolak belakang dengan perjuangan kelas dan internasionalisme proletariat. Ia khawatir bahwa hak menentukan nasib sendiri berarti akan mendukung borjuasi nasional Polandia—tempat di mana Luxemburg menjalankan aktivitas politiknya—dan memecah kelas buruh dalam sentimen sempit nasionalisme borjuis.

Tahun 1898, Luxemburg akhirnya mendapatkan kewarganegaraan Jerman dan mulai menetap di Berlin untuk bergabung dengan Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD). Belum sampai setahun bergabung dengan partai tersebut, Luxemburg harus berdebat dengan Eduard Bernstein, seorang revisionis Marxis, yang menuduh marxisme telah usang dan sosialisme dapat dicapai secara bertahap hanya dengan menggunakan aktivitas serikat buruh dan politik parlementer. Setahun kemudian, Luxemburg menerbitkan buku Reforma atau Revolusi yang menyanggah Bernstein. Luxemburg mengemukakan meskipun serikat buruh, partai-partai politik reformis, dan perluasan demokrasi sosial penting bagi perkembangan kesadaran kelas buruh namun itu tidak bisa menciptakan tatanan masyarakat sosialis. Perkembangan ekonomi kapitalisme yang memungkinkan berbagai reforma, yang diagungkan kaum reformis dan revisionis, menurut Luxemburg hanyalah bersifat sementara. Kapitalisme dari waktu ke waktu, telah dan akan kembali lagi mengalami krisis, serta karenanya reforma-reforma itu akan dirampas lagi. Sosialisme hanya bisa dicapai melalui revolusi.  Melalui tulisannya, Luxemburg mengungkap kredit dan pasar saham justru akan memperparah krisis kapitalisme di masa datang, alih-alih menghapuskannya. Demikianlah Luxemburg memimpin perjuangan melawan reformisme dan revisionisme di SPD dan menang dalam kongres partai, bahkan didukung Karl Kautsky.

Revolusi Rusia kemudian meletus di tahun 1905 dan menjadi pengalaman yang sentral dalam kehidupan Luxemburg. Ia kembali ke Warsawa untuk berpartisipasi dalam perjuangan yang tengah bergolak di sana dengan turut mengorganisir pemogokan namun kemudian dipenjara karenanya. Dari pengalaman ini muncul teori aksi massa revolusioner yang dikemukakannya dalam Pemogokan Massa. Luxemburg mendukung pemogokan massa sebagai senjata penting kelas buruh di manapun berada untuk mencapai kemenangan sosialis. Menurutnya, pemogokan massa, hasil spontan dari kondisi objektif, akan meradikalisasi para pekerja dan mendorong mereka ke arah revolusi. Ini berbeda dari Lenin yang menekankan pentingnya kepeloporan revolusioner. Perlawanan spontan buruh bagaimanapun tidak akan mengembangkan kesadarannya untuk mencapai aksi-aksi revolusioner. Aksi revolusioner itu sendiri hanya muncul ketika seseorang telah mempelajari Marxisme dan dipandu oleh pengalaman perjuangan politiknya sendiri. Ini berarti membutuhkan kepeloporan partai yang disiplin.

Usai bebas dari Warsawa, ia mengajar di sekolah SPD pada 1907-1914, di mana ia juga menulis Die Akkumulation des Kapitals (Akumulasi Modal). Dalam analisis ini, ia menggambarkan imperialisme sebagai hasil dari ekspansi kapitalisme yang dinamis ke wilayah-wilayah dengan kapitalisme terbelakang di dunia. Sayangnya kepemimpinan SPD kemudian melakukan pengkhianatan dengan mendukung partisipasi Jerman dalam The Great War atau Perang Akbar alias Perang Dunia I (PD I). Kaum Marxis menentang perang ini karena ini tidak lebih dari perang para penjajah saling berebut jajahannya dengan mengorbankan kelas buruh yang diwajibmiliterkan untuk saling bunuh dengan kelas buruh yang diwajibmiliterkan di negara lawannya. Sayangnya sebagian kepemimpinan Demokrat Sosial, partai-partainya Internasionale Kedua, adalah mereka yang terlalu nyaman-mapan beraktivitas di masa booming kapitalisme, di masa banyak reforma bisa dimenangkan dan borjuasi memberikan remah-remah ke kaum buruh, sehingga partai membesar dalam suasana legal. Mereka tidak siap melawan arus imperialistis, tidak siap harus bergerak di bawah tanah, dan menghadapi risiko dipenjara karena melawan perangnya para penjajah. Namun mereka yang tetap berpegang teguh pada Marxisme revolusioner melawan perang imperialis sekaligus pengkhianatan kaum revisionis. Salah satunya Luxemburg dan kawan-kawannya yang mulai melakukan agitasi untuk aksi massa menolak PD I dan memulai perpecahannya dari kepemimpinan SPD yang menolak radikalisasi kelas pekerja.

Bekerjasama dengan Karl Liebknecht dan para radikal yang berpikiran sama, Luxemburg kemudian membentuk Spartakusbund, atau Liga Spartacus untuk mengakhiri perang melalui revolusi dan pembentukan pemerintahan proletariat. Pembentukan Liga Spartacus didasari dari pamflet Luxemburg Die Krise der Sozialdemokratie (Krisis di dalam Demokrat Sosial Jerman), ditulis di penjara dengan nama samaran Junius. Dalam pamflet ini ia setuju dengan Lenin untuk menyerukan penggulingan rezim imperialis dan pembentukan Internasional baru yang cukup kuat demi mencegah pecahnya pembantaian massal. Akan tetapi, pengaruh dari Spartacus selama perang bagaimanapun tetaplah kecil.

Setelah dibebaskan dari penjara oleh revolusi Jerman pada November 1918 Luxemburg dan Liebknecht segera memulai agitasi mengarahkan massa ke kiri. Mereka memberi pengaruh yang cukup besar pada publik dan membantu sejumlah perlawanan bersenjata di Berlin. Sebagaimana partai Bolsheviks di Rusia, Luxemburg dan Liebknecht menuntut agar kekuasaan berada di soviet-soviet buruh. Namun ini segera digagalkan oleh Freikorps alias milisi-milisi cikal bakal fasis. Hingga akhir Desember 1918, mereka mendirikan Partai Komunis Jerman (KPD), namun Luxemburg berusaha membatasi pengaruh Bolshevik dalam partai barunya tersebut. Luxemburg masih bertentangan dengan Lenin mengenai masalah agraria, penentuan nasib sendiri, serta kepeloporan revolusionernya.

Memasuki tahun 1919, karena peran Luxemburg dan Liebknecht dalam pemberontakan yang dikenal sebagai Pemberontakan Spartacus, keduanya ditangkap dan dibunuh di Berlin 15 Januari oleh anggota Freikorps. Dalam memperingati kematian Rosa Luxemburg, meski sering beda pandangan, Lenin memberinya julukan sebagai elang. “Elang bisa terbang lebih rendah daripada ayam, namun ayam tidak bisa terbang setinggi elang.” Maksudnya, Rosa Luxemburg memang sering membuat kesalahan-kesalahan dan gagal dalam memimpin revolusi Jerman menuju kemenangan. Tapi banyak teorinya seperti penentangan terhadap reformisme hingga peran sentral pemogokan massa, dan praktek perjuangannya seperti pergerakan bawah tanah hingga penolakan terhadap perang dunia, menunjukkan ketinggiannya yang jauh lebih tinggi daripada para Demokrat Sosial Jerman seperti Bernstein sang revisionis, Kautsky yang menolak revolusi Rusia, dan pengkhianat lainnya yang mendukung perang penjajah.

Ditulis oleh Miswanto, Anggota Lingkar Studi Sosialis

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 105, I-II Maret 2021 dengan judul yang sama.

Loading

Comment here