Diperetelinya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) adalah pukulan besar terhadap kaum perempuan, penyintas, dan mereka yang rawan kekerasan seksual. Bukan hanya RUU TPKS berfokus pada pidana dan kian mengabaikan unsur pencegahan maupun pemulihan penyintas, namun juga menghapuskan banyak jenis kekerasan seksual yang sebelumnya disasar RUU PKS. Penyiksaan seksual dan perkawinan paksa serta beberapa jenis kekerasan seksual lainnya kini tak lagi dikategorikan kekerasan seksual di RUU TPKS. Ini menunjukkan rezim lebih memilih kompromi ke para penentang RUU PKS (yang di antara mereka juga banyak oposisi kanan) agar kekuasaannya stabil, tak lagi dituduh legalisasi zina dan Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT), daripada sepenuhnya berpihak ke kaum perempuan dan korban.
Padahal 12 tahun terakhir, kekerasan ke perempuan meningkat delapan kali. Tahun 2016, tercatat 1 dari 3 perempuan, dari anak-anak sampai nenek-nenek pun pernah disasar kekerasan (seksual). Survei Menteri Pendidikan pun mengungkap 77% dosen akui ada kekerasan seksual. Salah satu penyebabnya: kekosongan hukum dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.
Pelaku kian licik dalam menjebak, memperdayai, dan membungkam korban dengan semakin banyak modus, memanfaatkan jaringan kekuasaannya. Sementara hukum ketinggalan dan kebanyakan berfokus pada penindakan, saat sudah jatuh korban. Sedangkan segi pencegahan dan pemulihan, kurang. Bahkan banyak kasus aparat malah mengabaikan dan menyepelekan laporan kekerasan seksual serta tak jarang menyalahkan korban atau lebih parahnya menjadi pelaku kekerasan seksual itu sendiri.
RUU PKS dan Permendikbudristek 30/ 2021 tentang tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) capaian maju bagi perjuangan melawan kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak hanya diartikan sebagai pencabulan dan pemerkosaan yang melibatkan penetrasi. Pemaksaan aborsi, perbudakan seksual, dan berbagai bentuk lainnya dicakup juga. RUU PKS juga mengenal relasi kuasa yang melatarbelakangi kebanyakan kasus kekerasan seksual. Mayoritas korban enggan melapor karena posisinya rentan serta trauma, stigma, dan ancaman kriminalisasi. RUU PKS mewajibkan hak korban disediakan pemerintah. Termasuk hak bebas ancaman akibat bersuara. Bantuan rehabilitasi pasca kejadian juga diatur. Apabila pelakunya anggota keluarga korban akan ada pencabutan hak asuh. Ada juga pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, misalnya apabila kasus itu terjadi dalam lembaga pendidikan, lembaga sosial, tempat-tempat dimana seorang anak harusnya terlindungi.
Namun berbanding terbalik dengan RUU Cipta Kerja yang selesai lewat kebut semalam, RUU PKS tidak kunjung disahkan. Sejak diwacanakan dari tahun 2014, isu kekerasan seksual selalu ditunda pembahasannya. 2018, diputuskan RUU PKS akan didiskusikan setelah pemilu 2019. Tapi lalu justru dipereteli jadi RUU TPKS. Banyak kategori kekerasan seksual dihapuskan termasuk penyiksaan seksual dan perkawinan paksa bahkan tak ada lagi perlindungan ataupun bantuan psikis untuk penyintas.
Di DPR mereka yang mendukung pemretelan RUU PKS adalah PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PAN dan PPP. Mereka mendukung RUU TPKS untuk dibawa ke rapat paripurna agar disahkan sebagai RUU usul inisiatif DPR. Di tengah mencoloknya kasus-kasus kekerasan seksual belakangan ini mereka menutupi fakta bahwa RUU TPKS adalah pemretelan dari RUU PKS dan mengkampanyekan pengesahan RUU TPKS sebagai langkah maju dalam mengatasi kekerasan seksual. Sementara itu Partai Golkar dalam upaya mempertahankan basis dukungan kaum bigot meminta agar proses ini ditunda untuk meminta masukan publik. Walaupun sudah dipereteli demikian pun RUU TPKS masih ditolak oleh Partai Keadilan Sejahtera.
Kaum bigot, fundamentalis agama, dan konservatif menyebar hoax dan memfitnah Permendikbud PPPKS serta RUU PKS sebagai legalisasi zina atau seks bebas. Mereka mempermasalahkan kata-kata “tanpa persetujuan.” Padahal istilah itu untuk mengembalikan kedaulatan tubuh pada korban, yang selama ini direnggut pelaku maupun aparat tak adil. Sebab banyak pelaku berkelit tak mengaku melakukan paksaan dengan berdalih “suka sama suka” padahal banyak korban tak setuju. Aparat juga banyak mengabaikan kekerasan seksual yang dilakukan pasangan pacaran maupun nikah karena mengandaikan paksaan tak mungkin ada di dalamnya. Para penentang RUU PKS dan Permendikbud PPKS juga tidak mampu dan tidak mau membedakan antara mana yang kekerasan seksual serta mana yang dianggap pelanggaran kode etik. Namun saat Anies Baswedan membuat Surat Edaran Gubernur DKI Jakarta tentang Pencegahan dan Penanganan Tindakan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Pemprov. DKI Jakarta, yang juga memuat konsep “consent” yaitu kata “tidak diinginkan” atau “tidak diharapkan”, tidak ada penentangan sama sekali dari kelompok tadi. Sebab kepentingan mereka sebenarnya bukan penghapusan kekerasan seksual melainkan rebutan jatah kekuasaan politik dengan menggunakan isu ini sekaligus kepentingan menguasai dan mengekang tubuh, reproduksi, maupun seksualitas (perempuan). Ini kian terbukti karena mereka yang menolak RUU PKS maupun Permendikbud PPKS juga tidak pernah terlibat atau bersolidaritas dalam gerakan anti-kekerasan seksual, seperti Kita Agni, solidaritas untuk Anin, solidaritas untuk Baiq Nuril, dan sebagainya.
Kejadian ini bukan pertama kalinya. Ini adalah pola lama yang terjadi ketika mengejar perubahan hanya lewat parlemen borjuasi. Bertahun-tahun terhambat, diserang berkali-kali, terus-menerus kompromi dan mengorbankan banyak hal. Namun lawan bukannya kalah dan perjuangan bukannya menang, malah ini membuat mereka semakin lupa daratan dan memukul balik gerakan. Rakyat akan selamanya tak berdaya jika kekuatannya cuma dikerahkan untuk memohon pada pemerintah borjuasi. Perjuangan pengesahan RUU PKS adalah bukti nyata. Kebuntuan dari berharap pada penguasa telah menimbulkan demoralisasi besar. Proses pengesahan RUU PKS terlambat saking lamanya, banyak yang lupa seakan kekerasan seksual hanya isu kemarin. Kinipun berbagai kelompok perempuan menerima pemretelan RUU PKS dan mendukung pengesahan RUU TPKS, mengikuti propaganda partai-partai borjuis bahwa RUU TPKS adalah langkah maju dalam mengatasi kekerasan seksual.
Kelupaan ini juga terlihat dari minimnya upaya untuk menghubungkan pentingnya Permendikbudristek dan pengesahan RUU PKS. Justru seakan menukar satu peraturan demi peraturan lainnya, yang jauh lebih kecil lingkup dan pengaruhnya. Ini tidak terlepas dari sifat Permendikbudristek yang berasal dari lobi-lobi daripada mobilisasi massa. Selain terhambat pembahasannya, setelah pengesahan pun Permendikbudristek berisiko dihambat penerapannya. Konservatisme kampus mendominasi, sementara belum ada gerakan perempuan revolusioner di tingkat kampus yang bisa mengawal penerapannya. Ditambah berbagai faktor; seperti terpisahnya gerakan mahasiswa dari masyarakat luas. Gerakan mahasiswa seringkali menutup diri dari partisipasi masyarakat umum. Konsepsi “gerakan moral” ini, sebuah ideologi warisan orde baru yang anti politik dan anti organisasi luar kampus. Hasilnya, ada kecenderungan untuk memperkuat sektarianisme yang membatasi perjuangan hanya di lingkup kampus dan atau hanya oleh civitas akademik kampusnya sendiri. Sementara konsepsi “keluarga besar universitas…” menjalar dan mengaburkan kekerasan seksual lewat mengecilkan trauma korban berdalih ‘kekeluargaan’. Begitu juga dengan RUU PKS. Tanpa mobilisasi massa, dengan besarnya penentang dari kaum bigot, rezim akan kian berkompromi, dan itu akan makin menghantam mundur gerakan, penyintas, serta kaum perempuan.
Sebab kepentingan utama rezim kapitalis bukanlah berpihak pada kaum perempuan, penyintas, maupun kaum rentan, melainkan melayani kepentingan umum pejabat dan konglomerat. Lobi-lobi tidak cukup dan memang tidak punya kekuatan lebih, kalau rezim memutuskan berkompromi dan mempereteli, apalagi mengkhianati, bisa apa? Jangan lupa bukan hanya rezim dipenuhi militeris, pelanggar HAM, dan sisa Orba yang rekam jejaknya juga sarat kekerasan seksual terhadap perempuan seperti Malapetaka 1965, Marsinah serta pemerkosaan perempuan Tionghoa di pogrom Mei 1998, namun juga Presiden dan Wakil Presiden merupakan anggota kehormatan kelompok premanisme, Pemuda Pancasila, yang bangga memerkosa dan membantai perempuan (yang dituduh) anggota Gerwani/PKI.
Kita butuh membangun gerakan massa anti-kekerasan seksual, anti-seksisme, dan gerakan pembebasan perempuan secara mandiri. Bukan bersatu apalagi bergantung pada lobi-lobi ke (rezim) borjuasi. Buruh, tani, pelajar, mahasiswa, kaum miskin kota, bersatu bersama penyintas dan perempuan-pekerja lewat pengorganisiran serta mobilisasi massa. Menuntut laksanakan Permendikbud PPKS dilaksanakan dan RUU PKS harus disahkan, tanpa dipereteli.
Pergerakan perempuan, solidaritas penyintas, dan anti-kekerasan seksual/seksisme harus dibangkitkan bahkan dihubungkan dengan perjuangan demokratis nasional. Termasuk untuk kebebasan beragama/beribadah serta sekularisasi. Agama harus dipisahkan dari negara/pemerintahan, agar tidak disalahgunakan kaum bigot demi kepentingan penindasannya. Jangan lupa, penindasan ke perempuan dan penindasan terhadap kebebasan beragama juga kerap bersinggungan (ingat paksaan berjilbab terhadap pelajar Kristiani di SMK Negeri di Padang). Jadi kebigotan, fundamentalisme agama, ketimpangan relasi kuasa, dan seksisme–semuanya berkaitan dengan masyarakat kelas berbasiskan penghisapan dan penindasan yang bentuk termuktahirnya adalah tatanan kapitalisme. Karenanya alih-alih terpisah, kita justru harus bersatu, bersama melawan bahkan menghancurkan tirani, memenangkan pembebasan, dan membangun tatanan masyarakat setara, maju, bebas dari kekerasan seksual, bebas dari seksisme, maupun segala bentuk penindasan-penghisapan.
Ditulis oleh Susie | Anggota Lintas Komunal
Comment here