Sejarah

Intifada: Lemparan Batu Perlawanan Rakyat Palestina

Ketika Israel berdiri tahun 1948, mereka mengusir tiga perempat populasi rakyat Palestina dari wilayah sebelumnya yang berada di bawah Kemandatan Inggris. Pengusiran ini membuat 750.000 orang terdesak ke wilayah Palestina yang masih tersisa yaitu Tepi Barat dan Gaza dan juga terlempar ke luar Palestina (sebagian besar ke Lebanon, Yordania, dan Mesir). Kemudian di tahun 1967 Israel meluncurkan perang untuk merampas wilayah yang masih dikuasai Yordania dan Mesir, serta Tepi Barat dan Gaza. Perang ini dimenangkan Israel hanya dalam waktu enam hari, dengan bantuan persenjataan dan lobi-lobi politik AS.

Sejak Tepi Barat dan Gaza jatuh ke tangan Israel, kondisi hidup rakyat Palestina menjadi tidak tertanggungkan. Pemukulan, penembakan, pembunuhan, penghancuran rumah, pencabutan pohon-pohon perkebunan rakyat, deportasi, penangkapan tanpa pengadilan dan perpanjangan masa penahanan adalah represi Israel yang setiap hari harus dihadapi oleh rakyat Palestina. Dua puluh tahun hidup di bawah penindasan dan melihat perlawanan-perlawanan kecil dipadamkan dengan brutal, membuat rakyat Palestina tidak punya pilihan selain melakukan perlawanan besar-besaran. Rangkaian perlawanan ini, dikenal sebagai Intifada.

Intifada adalah kata dalam Bahasa Arab yang berarti ‘mengguncang’ atau ‘menggigil’. Itu juga bisa berarti bangun secara mendadak dari kondisi tidur atau tidak sadar. Secara politis, Intifada digunakan sebagai simbol perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan Israel dan juga menunjukkan penderitaan yang dialami mereka.

Negara baru Israel membutuhkan tenaga kerja dan kelas buruh Palestina adalah tenaga kerja yang bisa dibayar murah. Sebagian besar dipekerjakan untuk pekerjaan paling buruk dengan upah paling rendah yang tidak ingin dilakukan sendiri oleh Israel. Saat Intifada Pertama terjadi, 40 persen kelas buruh Palestina bekerja di wilayah Israel setiap harinya. Kondisi Tepi Barat dan Gaza sangat buruk, jumlah penduduk bertambah berkali-kali lipat, tak adanya lahan untuk perumahan baru akibat perampasan tanah oleh Israel, dan tak ada lapangan kerja. Hanya satu dari delapan lulusan universitas yang mampu mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jurusan kuliahnya. Namun perkembangan universitas di Palestina memungkinkan semakin banyaknya mahasiswa yang berasal dari kamp-kamp pengungsi, desa-desa, dan kota-kota kecil sehingga muncul generasi muda terdidik yang semakin aktif dan konfrontatif terhadap Israel.

Intifada sendiri tidak diinisiasi oleh satu orang atau satu organisasi. Kepemimpinan kolektif lokal tumbuh dari kelompok-kelompok dan organisasi yang terafiliasi dengan PLO di Wilayah Pendudukan seperti Fatah, Front Popular, Front Demokratik, dan juga Partai Komunis Palestina. Juga lawan PLO dari organisasi Islam, yaitu Hamas dan Jihad Islam. Kepemimpinan kolektif lokal di tiap kota juga ditemukan di Betlehem dan Beit Sahour. Namun secara umum, Intifada berjalan karena adanya dewan-dewan rakyat yang bekerja mengorganisir perlawanan dengan jaringan independen satu sama lain. Selebaran propaganda Intifada juga disebar, isinya adalah tuntutan penarikan diri sepenuhnya Israel dari wilayah yang dijajahnya sejak 1967, serta penghapusan jam malam dan pos-pos pemeriksaan, ajakan kepada rakyat Palestina untuk bergabung dalam perlawanan, seruan dibentuknya negara Palestina di Tepi Barat dan Israel, serta pembebasan seluruh rakyat Palestina.

Meskipun pemicu meledaknya Intifada Pertama terjadi pada Desember 1987 karena insiden pembunuhan 4 orang pekerja Palestina di Perbatasan Erez, basis material perlawanan sudah muncul berbulan-bulan sebelumnya. Beberapa demonstrasi telah dilakukan kaum muda Palestina secara terus menerus, disertai perlawanan kelompok lainnya dalam bentuk operasi gerilya untuk membunuh tentara Israel. Demonstrasi dengan skala besar juga telah muncul setahun sebelumnya, saat mahasiswa Gaza di Universitas Birzeit ditembak tentara Israel di dalam kampus pada 4 Desember 1986. Israel menanggapi demonstrasi itu dengan lebih brutal, seperti penangkapan massal, penjara, pemukulan sistematis terhadap kaum muda Palestina yang diborgol, juga terhadap mantan tahanan politik dan aktivis. Hukum Deportasi juga diberlakukan untuk mengintimidasi aktivis pada Januari 1987 sehingga mereka tidak bisa memasuki Palestina lagi.

Penembakan 4 pekerja Palestina yang berasal dari Kamp Pengungsi Jabaliya membuat situasi bertambah genting. Tanggal 9 Desembar 1987 di Jerusalem Timur, beberapa tokoh Palestina mengadakan konferensi pers bersama Liga Israel untuk Hak Asasi Manusia dan Sipil, di saat yang sama Kamp Pengungsi Jabaliya di Gaza sedang membara karena memprotes pembunuhan para pekerja tersebut. Kemudian terjadi penembakan terhadap seorang pelajar perempuan berumur 17 tahun saat ia sedang melempar molotov ke arah tentara Israel saat demonstrasi di Jabaliya. Gadis itu kemudian dikenal sebagai martir pertama Intifada, yang kemudian menyulut protes yang jauh lebih luas di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Kaum muda mengambil alih pemukiman, mereka menutup kamp-kamp pengungsian dengan barikade batu, ban yang dibakar, dan tumpukan sampah, serta melempari tentara yang menerobos masuk dengan molotov. Toko-toko ditutup dan buruh Palestina mogok kerja dari pekerjaan mereka di Israel. Israel melabeli pembangkangan ini sebagai ‘kerusuhan’, dan menjustifikasi bahwa represi diharuskan untuk ‘menegakkan hukum dan keamanan’.

Hanya dalam beberapa hari wilayah pendudukan mengalami gelombang demonstrasi dan pemogokan umum dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Elemen spesifik dari pendudukan dan penjajahan Israel menjadi sasaran perlawanan: kendaraan militer, bus Israel, dan bank Israel. Tidak ada pemukim Israel yang diserang dan tidak ada penduduk Israel yang menjadi korban dari aksi pelemparan batu di periode awal perlawanan. Di saat yang sama, belum pernah terjadi sebelumnya adanya partisipasi massal sebanyak ini, puluhan ribu orang turun ke jalan, termasuk perempuan dan anak-anak. Rakyat Palestina melawan dengan demonstrasi, pembangkangan sipil, dan juga kekerasan. Dari pembuatan graffiti, barikade, dan pelemparan batu dan molotov terhadap tentara Israel dan berbagai infrastuktur penindasan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Di saat yang bersamaan juga terjadi pemogokan umum, boikot terhadap institusi Administrasi Sipil Israel (institusi militer Israel yang bertugas dalam urusan administrasi sipil rakyat Palestina) di Tepi Barat dan Gaza, boikot ekonomi yang terdiri dari menolak bekerja di pemukiman Israel atau pabrik Israel, menolak membayar pajak, dan menolak untuk mengendarai mobil Palestina dengan SIM Israel. Tiga hari pertama Intifada, 6 orang Palestina terbunuh dan 30 lainnya terluka. Di hari selanjutnya, Konsulat AS di Jerusalem Timur dilempari bom bensin namun tidak ada yang terluka. Militer Israel meresponnya dengan brutal sehingga ada lebih banyak korban tewas dan terluka.

Menteri Pertahanan Israel Yitzhak Rabin merespon perlawanan rakyat Palestina dengan seruan, “Kami akan mengajari mereka harga yang harus mereka bayar akibat menolak hukum Israel.”. Ketika ancaman waktu penjara tidak membuat takut para aktivis, Israel menghancurkan boikot dengan pemberian denda yang lebih berat dan penyitaan maupun penghancuran mesin-mesin, perlengkapan rumah tangga, dan barang-barang dari toko, pabrik, dan rumah-rumah.

Israel menurukan 80.000 tentara untuk meredam perlawanan. Tentara Israel menggunakan seluruh tindakan pengendalian massa untuk memadamkan perlawanan; tongkat pemukul, gas air mata, water cannon, peluru karet, hingga peluru tajam. Tentara IDF membunuh banyak rakyat Palestina di periode awal Intifada, sebagian besar dibunuh dalam aksi demonstrasi dan kerusuhan. Israel melakukan penangkapan massal terhadap rakyat Palestina, menggunakan hukuman kolektif dengan menutup universitas di Tepi Barat selama bertahun-tahun Intifada, dan sekolah-sekolah Tepi Barat selama 12 bulan. Jam malam diberlakukan lebih dari 1600 kali dalam satu tahun pertama Intifada. Suplai air, listrik, dan bahan bakar diputus. Ada 25.000 rakyat Palestina dilarang keluar rumah. Pohon-pohon dicabut dari perkebunan rakyat Palestina, dan produk pertanian tidak boleh dijual. Dalam tahun pertama lebih dari 1000 rakyat Palestina kehilangan rumah mereka karena dihancurkan Israel. Selama Ramadan, kamp-kamp pengungsi diberikan jam malam sehingga tidak bisa membeli kebutuhan makan mereka. Penolakan rakyat Palestina untuk membayar pajak ditanggapi Israel dengan penyitaan properti dan surat izin, tambahan pajak kendaraan baru, dan denda yang lebih berat bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang diidentifikasi sebagai pelempar batu. Tak hanya tentara, pemukim Israel juga terlibat dalam penyerangan langsung kepada rakyat Palestina.

Selama setahun pertama Intifada, Israel membunuh 311 orang Palestina, 53 di antaranya berusia di bawah 17 tahun. Pada tahun pertama Intifada di Jalur Gaza saja, 142 orang Palestina terbunuh, dan tidak ada satupun orang Israel yang terbunuh. Dari jumlah tersebut, 77 orang ditembak langsung, 37 orang tewas karena menghirup gas air mata, 17 orang tewas karena pemukulan oleh tentara dan polisi Israel. Selama enam tahun Intifada, tentara Israel membunuh 1.162-1.204 orang Palestina, 241-332 di antaranya adalah anak-anak. 57.000-120.000 ditangkap, 481 dideportasi keluar dari Palestina, dan 2.532 orang melihat rumah mereka rata dengan tanah. Antara Dessember 1987 – Juni 1991, 120.000 orang terluka, 15.000 ditangkap dan 1.882 rumah dihancurkan. Tentara Israel didorong untuk mematahkan tulang anak-anak Palestina yang mereka pukuli. Lembaga Save the Children menyatakan ada 23,600 – 29,900 anak-anak membutuhkan perawatan medis akibat dipukuli tentara Israel dalam dua tahun pertama Intifada. Sepertiga nya anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Ketika para pengacara di Gaza melakukan mogok sebagai bentuk protes mereka karena dilarang mengunjungi aktivis yang ditangkap Israel, Israel kemudian menangkapi pemimpinnya dan memenjarakan mereka selama 6 bulan tanpa persidangan. Pemimpin Asosiasi Medis Gaza juga ditangkap dan ditahan beserta beberapa anggota Komite Kerja Perempuan.

Perlawanan Intifada mereda di tahun keenam, ketika tokoh-tokoh politik (borjuis) Palestina dan Israel bertemu untuk menyepakati ‘perdamaian’, gencatan senjata, pengakuan wilayah dan pembagian otoritas kekuasaan di bawah dukungan AS. Kesepakatan ini didasari oleh harapan naif bahwa kepemimpinan Yasser Arafat dan tokoh-tokoh borjuis lainnya dapat diharapkan untuk mewujudkan negara Palestina yang merdeka. Dalam Intifada, Arafat dan kepemimpinan PLO sesungguhnya tidak memainkan peran yang signifikan. Kaum muda Palestina lah yang harus melawan militer Israel hanya dengan bersenjatakan kayu dan batu. Meski begitu, gerakan massa di Tepi Barat ini dalam waktu hanya beberapa bulan saja berhasil memajukan perjuangan Palestina jauh lebih daripada apa yang dicapai oleh Arafat dan kawan-kawannya selama 30 tahun terakhir. “Konsesi-konsesi” yang ditawarkan oleh Israel bukan didapat oleh para eksil PLO, tetapi dari aksi Intifada, yang mengguncang seluruh Israel dan mendapat simpati dari seluruh dunia.

Seperti yang telah diprediksi kaum Marxis, perjanjian yang ditandatangani oleh Arafat dengan rejim Israel adalah perangkap bagi rakyat Palestina. Kekecewaan rakyat di Gaza dan Tepi Barat semakin hari kian besar, dan di kemudian hari meledak menjadi Intifada yang baru. Sebuah Intifada yang baru akan mengandung potensi revolusioner, hanya dengan satu syarat: keberadaan kepemimpinan revolusioner.

Ditulis oleh Aghe Bagasatriya

Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 100, I-II Desember 2020, dengan judul yang sama.

Loading

Comment here