Sabtu (20/11/2021) Aliansi Hari Pelajar Internasional (AHPI) berdemonstrasi di perempatan jalan Veteran memperingati International Students’ Day (ISD). Tujuh puluh enam demonstran dari berbagai organisasi yaitu Sosialis Muda, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan), Aliansi Mahasiswa Papua, Komite Pendidikan Malang, Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI WP), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aufklarung, IMM Rauzan Fikir, dan IMM Supremasi itu menyerukan bangun gerakan rakyat lawan kapitalisme dan pelecehan seksual di dunia pendidikan serta wujudkan demokrasi seluas-luasnya.
Chill dari Sosialis Muda berorasi, “Dengan semangat International Students’ Day, dengan semangat anti penindasan dan anti penjajahan kita turun ke jalan melawan tirani hari ini. Saat ini demokrasi di kampus diberangus, hak-hak pekerja kampus tidak diberikan, dan mahasiswa yang mengkritik justru dikriminalisasi. Sementara rakyat terus dipersulit kebijakan-kebijakan negara. Pembatasan bersifat bias kelas. Tidak ada jaminan kebutuhan pokok sepenuhnya bagi rakyat. Sementara penanganan pandemi justru dikomersialisasi untuk melahirkan keuntungan bagi segelintir orang di lingkar kekuasaan. Pemerintah justru membisniskan padahal seharusnya menjain keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Lebih dari separuh anggota kabinet kekayaannya naik di atas satu miliar, kenaikan kekayaan juga diraup para kepala daerah dan anggota legislatif, sementara buruh banyak yang diPHK, dirumahkan, dan rakyat kian dimiskinkan.”
Menambahi itu Yos dari SDMN mengemukakan, rezim Jokowi saat ini tidak mementingkan rakyat tapi mementingkan kapitalis monopoli internasional sehingga memperparah krisis dan penderitaan rakyat. Pemberangusan serikat dan PHK sewenang-wenang terhadap kaum buruh serta kasus-kasus perampasan tanah kaum tani terus berlangsung di bawah rezim Jokowi…”
Mizi dari Pembebasan mengemukakan, “Militerisme dan pelanggaran HAM menjadi-jadi. Terutama di wilayah Papua. Tanah masyarakat adat dirampas sementara rakyat Papua yang memprotesnya direpresi dan dirampas HAMnya.” Melengkapi itu Fenny dari Aliansi AMP, “Perampasan tanah terhadap masyarakat adat di Papua difasilitasi militerisme demi kepentingan kapitalisme-imperialisme. Selain itu rezim malah mengesahkan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid 2. Padahal Otsus Jilid 1 saja tidak berhasil karena justru saat itu terjadi perampasan tanah, pelanggaran HAM, dan pemerkosaan oleh militerisme. Otsus tidak menguntungkan rakyat Papua melainkan menguntungkan kapitalisme-imperialisme. …Otsus jilid 2 adalah kepentingan elit Jakarta, bukan rakyat Papua…kini pun negara sedang gencar merampas lahan dan tanah adat baik di Indonesia maupun West Papua…rakyat menolak tapi militerisme mengerahkan pasukannya untuk mengusir dan merepresi rakyat…”
AHPI juga mengecam tingginya angka kekerasan seksual termasuk di dunia pendidikan yang seringkali disusul dengan kriminalisasi serta persekusi terhadap korban. Mereka mengemukakan hal itu diakibatkan penyalahgunaan wewenang kekuasaan, tingginya seksisme, sekaligus minimnya jaminan HAM termasuk hak-hak perempuan maupun hak-hak untuk bebas dari pelecehan serta segala bentuk kekerasan seksual. Oleh karena itu AHPI juga menuntut “Hapus segala bentuk tindakan kekerasan seksual di kampus dan berikan perlindungan hukum terhadap korban.” (lk)
Comment here