Sejarah

Pembunuhan Theys Eluay Oleh Militerisme

Paska terjungkalnya Soeharto dari kekuasaan pada 21 Mei 1998, aksi merebak di Papua Barat menuntut kemerdekaan. Untuk menghadapi hal tersebut, Rezim Habibie memberikan tawaran Otonomi Khusus ditambah dengan represi serta operasi rahasia untuk menghancurkan tuntutan kemerdekaan. Sementara Gus Dur memberikan ruang untuk pengibaran bendera Bintang Kejora, mendukung Kongres Rakyat Papua tahun 2000. Sedangkan Megawati yang berkuasa dengan beraliansi bersama Golkar dan Militer, memperkuat represi serta memaksa Otonomi Khusus.

Theys berjuang di tengah latar belakang tersebut. Perjuangan dan pemikiran Theys sebenarnya kontroversial. Dia dekat dengan para komandan TNI dan Polisi. Saat proses pencaplokan Papua Barat, Theys membantu tentara Indonesia untuk menunjukan mereka-mereka yang anti-Indonesia. Akibatnya ada begitu banyak rakyat Papua terbunuh oleh militer Indonesia atas perantaranya. Pada tahun 1969, Theys termasuk dari 1.000 orang Papua yang ditunjuk untuk ikut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) mendukung integrasi ke Indonesia. Pada tahun 1971, dia menjadi anggota DPR dari Parkindo dan kemudian Golkar.

They pernah mengatakan bahwa dirinya bertobat (“dulu saya adalah Saul tetapi sekarang saya Paulus”) dan kemudian memperjuangkan kemerdekaan Papua paska jatuhnya Soeharto. Pada Oktober 1998, Theys, Don Flassy dan dua mahasiswa ditangkap saat menyelenggarakan pertemuan untuk mendiskusikan pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 1998. Ketika dibebaskan, Theys mendapatkan liputan dari Cendrawasih Pos, koran harian satu-satunya di Papua. Liputan yang terus berkembang dan membantu popularitas Theys karena Theys berbicara hal yang tidak ada orang lain berani bicarakan, yaitu mengenai kemerdekaan Papua. Theys juga semakin popular ketika Tim 100 bertemu dengan Presiden Habibie, pada Januari 1999. Setelahnya tim tersebut mengumumkan bahwa rakyat Papua menginginkan kemerdekaan. Mobilisasi mendukung kemerdekaan dilakukan oleh Foreri (Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya) dimana semua kelompok seperti pemimpin gereja, pemimpin adat, mahasiswa, dsb berkumpul dan Theys termasuk tokohnya.

Theys mengusulkan pengibaran bintang kejora di hari ulang tahunnya pada 12 November 1998. TNI merespon dengan keras dan mengancam akan membuat lautan darah kalau sampai itu terjadi. Theys kemudian membatalkan agenda itu. Tahun 1999 Theys juga berencana melakukan hal yang sama pada 1 Desember, namun juga ingin membatalkannya. Dalam banyak kesempatan adalah peran dari rakyat Papua sendiri untuk menekan Theys agar konsisten dan membawa tuntutan Kemerdekaan. Pengibaran bendera Bintang Kejora akhirnya tetap berlangsung di berbagai daerah di Papua pada 1 Desember 1999. Ketertiban dijaga oleh milisi pro-kemerdekaan yang dikenal dengan Satgas Papua. Ini merupakan capaian yang luar biasa bagi rakyat Papua.

Ia kemudian mengusulkan Rapat Akbar untuk menyuarakan ‘M’ (Merdeka). Ide itu menyebar dengan cepat, dan pada 23-26 Februari 2000, Musyawarah Besar dilaksanakan untuk membahas strategi perjuangan kemerdekaan. Organisasi Papua Merdeka (OPM) juga hadir saat itu. Theys membawa Satgas Papua yang bertanggungjawab untuk keamanan Mubes. Keberadaan mereka membuat Theys tidak bisa diabaikan, walaupun mayoritas peserta Mubes mengingingkan Tom Beanal untuk menjadi pimpinan Mubes. Kompromi diambil, keduanya menjadi “Pimpinan Besar Bangsa Papua” dan Mubes memutuskan untuk menyelenggarakan kongres dengan keterwakilan yang lebih luas.

Kongres Rakyat Papua Kedua dilakukan pada 29 Mei-4 Juni 2000. Kongres itu memandatkan Presidium Dewan Papua (PDP) atas nama seluruh rakyat Papua untuk melaporkan kemajuan kerja dalam rangka persiapan kemerdekaan Papua 1 Desember 2000. Pemerintah Papua dan Indonesia menerima PDP sebagai perwakilan suara rakyat Papua. Di Kongres tersebut, Theys ditetapkan sebagai pemimpin PDP. Namun sebagai Ketua PDP, Theys tidak pernah berdiskusi dengan para anggotanya. Anggota PDP hanya mengetahui manuver politik Theys dari surat kabar. Theys juga mendapatkan protes, Benny Giay keluar dari PDP, karena pada Oktober 2000 Theys menganugerahi seorang komandan militer gelar “Pejuang Besar Papua.”

Operasi rahasia berlangsung terus menerus untuk membungkam aktivis Papua menjelang Kongres Rakyat Papua Kedua. Dokumen yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Dirjen Kerbang dan Linmas) Departemen Dalam Negeri tertanggal 9 Juni 2000 dengan nomer No. 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 berisi konsep  “Rencana Pengkondisian dan Pengembangan Jaringan Komunikasi dalam Menyikapi Arah Politik Irianjaya untuk Merdeka dan Melepaskan Diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dalam dokumen tersebut disebutkan nama tokoh intelektual, agamawan, kepala suku, dan tokoh adat yang harus diwaspadai, termasuk Theys H Eluay.

Theys didakwa dengan pasal Makar dan sidang dimulai pada April 2001. Jaksa penuntut umum mengatakan bahwa Theys melakukan kegiatan deklarasi Papua Merdeka di kediamannya pada 12 November 1999; menjadi inspektur upacara pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 1999; terlibat dalam Mubes Papua dan menghadiri Kongres Rakyat Papua Kedua. Sekitar bulan Maret 2002, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura memvonis bebas lima tokoh PDP dari dakwaan Makar tersebut. Namun Theys sudah dibunuh setengah tahun sebelumnya.

Pada tanggal 10 November 2001 siang hari, Komandan Satgas Tribuana, LetKol.Inf. Hartomo datang sendiri ke rumah Theys membawa kado dan undangan peringatan Hari Pahlawan di Markas Kopassus. Pulang dari acara tersebut, Theys bersama supirnya, Aristoteles Masoka dicegat di tengah jalan. Mobil mereka direbut sementara Ari Masoka meloloskan diri dan meminta diantar ke Markas Kopassus. Ari Masoka terakhir kali terlihat di dalam Markas Kopassus dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Keesokan harinya, jasad Theys ditemukan di dalam mobilnya di Km 9 Desa Koya, Kec. Abepura. Theys dikebumikan di lapangan sepakbola dekat Bandara Internasional Sentani, pada 13 November. Lapangan ini belakangan menjadi “Pemakaman Pahlawan’ bagi aktivis perjuangan Papua, seperti Arnold AP dan Thomas Wanggai. Ribuan orang turun ke jalan-jalan dan melumpuhkan Jayapura, Abepura dan Sentani.

Keluarga Theys dan Aris mengalami intimidasi paska pembunuhan tersebut. Demikian juga dengan para saksi, beberapa bahkan menghilang. Tiga hari setelah pembunuhan tersebut, diselenggarakan Festival Papua 2001. Festival yang diselenggarakan oleh GPDI, Gereja Betel Indonesia, Gereja Sidang Jemaat Allah dan Gereja Kemah Injil. Acara ini dituding sebagai upaya memoderasi perlawanan terhadap pembunuhan Theys, dengan pesan agar menyerahkan semua persoalan kepada tuhan sebagai hakim yang adil.

Pada 21 April 2003, tujuh orang Kopassus divonis dalam kasus Theys.Mereka adalah Hartomo; Kapten Inf. Rionardo; Mayor Inf. Doni Hutabarat; dan Lettu Inf. Agus Suprianto. Mereka masing-masing dihukum 3 tahun 6 bulan penjara dan dipecat dari dinas militer. Sedangkan dua orang prajurit Sertu Asfrial dihukum 3 tahun, Sertu Laurensius dijatuhi vonis 2 tahun dan Praka Achmad Zulfahmi juga dijatuhi 3 tahun 6 bulan. Sebagian diberhentikan sebagai anggota TNI. Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu sendiri tidak sepakat dengan hukuman ini, dan justru mengatakan para anak buahnya ini seharusnya dianggap “pahlawan” karena membunuh demi keutuhan nasional. Namun vonisnya bukan karena pelanggaran HAM ataupun pembunuhan berencana melainkan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Demikian pula tidak ada satupun dari perwira dan prajurit ini yang benar-benar dipecat.

Ketika Ryamizard Ryacudu menjadi Kasad pada rezim SBY, Hartomo saat itu menjadi Komandan Pusat Intelijen Angkatan Darat (Danpusintelad) dan sudah berpangkat brigadir jenderal. Saat rezim Jokowi menempatkan Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan, karir Hartomo juga ikut melesat. Ia menjadi Gubernur Akmil di Magelang (2015-2016), kemudian Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI pada akhir 2016. Pada Oktober 2017, Hartomo menjadi Komandan Pusat Teritorial Angkatan Darat (Pusterad), kemudian Staf Khusus Kasad tahun 2019, dan hingga sekarang menjadi dosen di Universitas Pertahanan sejak tahun 2019.

Selain mereka, calon tunggal Panglima TNI saat ini, Jenderal Andika Perkasa, juga disebut terlibat pembunuhan Theys saat masih berpangkat Mayor. Surat dari ayah Kapten Rionardo kepada Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa anaknya dipaksa mengakui pembunuhan Theys dan dijanjikan karir cemerlang di Badan Intelijen Negara oleh Mayor Andika.

Theys dibunuh untuk meredam perjuangan pembebasan Papua, serta meloloskan Otsus sebagai sogokan. Akhir hayatnya, Theys Hiyo Eluay, dikenal sebagai pejuangan kemerdekaan Papua dengan jalan damai termasuk menggunakan ibadah dan khotbah untuk tujuan tersebut. Namun untuk perjuangan pembebasan Papua, Theys sejatinya membutuhkan program perjuangan yang koheren.

ditulis oleh Aghe Bagasatriya

Tulisan ini merupakan versi yang diperbarui dari tulisan dalam Arah Juang edisi 98 I-II November 2020, dengan judul yang sama.

Loading

Comment here