Pada tanggal 4-5 Oktober lalu, Partai Buruh melakukan Kongres di Jakarta. Partai Buruh ini merupakan Partai Buruh lama yang didirikan oleh Mukhtar Pakpahan dan sempat mengikuti beberapa kali Pemilihan Umum. Saat ini, selain pengurus Partai Buruh yang lama terdapat setidaknya 11 organisasi buruh yang tergabung. Organisasi tersebut antara lain KSPI, KSBSI, FSPMI, KSPSI Andi Gani, KPBI, FSP KEP, FSP Farkes, FPTHSI dan GPI. Salah satu keputusan Kongres Partai Buruh adalah pembentukan struktur kepengurusan baru dari Partai Buruh. Dari struktur tersebut kita bisa melihat dominasi oleh elit-elit birokrasi serikat buruh kuning dari KSBSI, KSPI, FSPMI dan KSPSI Andi Gani.
Elit-elit birokrasi serikat buruh kuning tersebut memiliki track record memotong maupun melemahkan gerakan buruh dan menjadi kaki tangan dari berbagai faksi kelas borjuis. Sementara KPBI dapat dikatakan memiliki track record sebagai serikat buruh “merah” dan terlihat yang paling aktif dalam mempersiapkan pembangunan Partai Buruh itu, setidaknya lewat pembentukan Komite Politik untuk Pembangunan Partai Buruh.
Setelah Kongres Partai Buruh, pada tanggal 16 Oktober, Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) menyatakan mendukung partai buruh. Muncul berbagai ucapan selamat datang dari berbagai faksi borjuis seperti PKS, Partai Demokrat juga Partai Gerindra. Media sosial resmi Partai Buruh di Facebook dan IG membuat postingan khusus untuk ucapan selamat dari Wakil Ketua DPR RI yang juga Ketua Umum Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad.
Apakah ini menandakan cengkraman elit birokrasi serikat buruh yang kuat dalam Partai Buruh serta menghapus kemungkinan adanya pembagian kekuasaan ataupun peran di dalam Partai Buruh dengan kelompok kiri? Apakah ini pertanda Partai Buruh sudah bersiap untuk melakukan kolaborasi dengan faksi borjuis yang ada, termasuk dengan yang terbusuk diantara yang busuk?
—–
Kesimpulan Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) bahwa akar semua persoalan yang dihadapi kelas buruh dan rakyat saat ini adalah kapitalisme, sudah tepat. Demikian juga kesimpulan bahwa dibutuhkan revolusi untuk menggantikan kapitalisme dengan sistem yang berkeadilan sosial, atau Perserikatan Sosialis menyebutnya dengan sosialisme.
Namun pernyataan sikap “SGBN dan Partai Buruh” sepertinya mengarahkan bahwa revolusi dan sosialisme dapat dimenangkan dengan merebut negara lewat memenangkan pemilihan umum dengan alat Partai Buruh yang baru saja dideklarasikan. Dalam Pendahuluan untuk Edisi Jerman 1872 dari Manifesto Partai Komunis, Marx dan Engels mengambil mengambil pelajaran penting dari Komune Paris. Pelajaran itu adalah “(s)atu hal yang terutama telah dibuktikan oleh Komune, yaitu bahwa kelas buruh tidak dapat hanya merebut alat-alat negara yang telah ada dan mempergunakannya untuk maksud-maksudnya sendiri.” Ini berarti revolusi dan sosialisme tidak dibangun dengan merebut negara (borjuis) saat ini. Ini juga berarti tidak bisa dibangun lewat memenangkan pemilu dengan atau Partai Buruh.
Revolusi secara mendasar adalah perubahan menyeluruh dalam sistem sosio-ekonomi. Setiap formasi sosio-ekonomi dalam masyarakat memiliki corak produksi (atau sering disebut basis material masyarakat) serta suprastrukturnya. Corak produksi tertentu yang stabil memiliki suprastruktur yang sesuai dengannya. Suprastruktur berfungsi untuk melindungi, mempertahankan dan mengembangkan basisnya. Suprastruktur yang utama adalah Negara. Oleh karena itu corak produksi kapitalisme juga memiliki Negara yang sesuai dengannya, yaitu Negara Borjuis. Bentuk-bentuk Negara Borjuis dapat berbeda dari masa ke masa. Dari negara berbentuk monarki konstitusional, demokrasi liberal, kediktaktoran militer bahkan fasisme. Tatanan masyarakat sosialis tidak kompatibel dengan negara borjuis. Sosialisme membutuhkan bentuk negaranya sendiri yaitu Negara Kelas Buruh.
Tujuan memenangkan revolusi, mendirikan Negara Kelas Buruh dan membangun sosialisme menentukan tipe alat politik yang dibutuhkan. Alat politik tersebut adalah partai (buruh) revolusioner. Ini karena pemahaman akan tugas-tugas historis kelas buruh tidak dapat muncul secara spontan dari perjuangan kelas buruh. Dibutuhkan partai revolusioner untuk meningkatkan kesadaran, meyakinkan serta memimpin kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya. Partai (buruh) revolusioner yang dipundaknya dipikul seluruh pelajaran sejarah perjuangan kelas; yang dapat memahami pelajaran tersebut untuk secara ilmiah melihat perkembangan perjuangan kelas termasuk mengambil strategi taktik perjuangan yang diperlukan. Hanya dengan partai seperti itu maka kelas buruh dapat membebaskan dirinya dari mengulang-ulang sejarah, keragu-raguan, kekurangteguhan termasuk mengulang-ulang kesalahan-kesalahannya. Oleh karena itulah Lenin mengatakan bahwa komposisi utama partai (buruh) revolusioner pertama dan terutama harus terdiri dari orang-orang yang melihat perjuangan revolusioner sebagai profesinya, sebagai tugas seumur hidupnya. Ini artinya elemen-elemen termaju dari kelas buruh dan rakyat tertindas yang paling berdedikasi dan berkomitmen.
Dari argumentasi di atas juga bisa dikatakan persoalan terlibat dalam Partai Buruh yang baru saja dideklarasikan ataupun mengikuti pemilihan umum adalah persoalan taktik. Itu artinya perjuangan (partai) revolusioner akan melihat apakah keterlibatan tersebut menguntungkan atau tidak dalam pembangunan partai revolusioner untuk memenangkan revolusi dan mewujudkan sosialisme.
—–
Ted Sprague dalam tulisannya “Kebuntuan Asas “Negara Kesejahteraan” Partai Buruh” menyatakan bahwa “Setiap partai yang tidak memiliki asas dasar yang berani melampaui batas-batas kapitalisme – yakni asas dasar Sosialisme – maka pada akhirnya akan didikte oleh logika pasar kapitalisme.” Di sisi yang lain terdapat para penolak Partai Buruh yang menggunakan alasan reformis itu untuk tidak bergabung dalam Partai Buruh. Untuk apa juga terlibat dalam Partai Buruh yang tidak revolusioner ataupun pada akhirnya akan mengalami kebuntuan?
Visi Partai Buruh adalah Welfare State atau negara kesejahteraan dengan 13 Platform Perjuangan yaitu: kedaulatan rakyat; lapangan kerja; pemberantasan korupsi; jaminan sosial; kedaulatan pangan, ikan dan ternak; upah layak; pajak yang berkeadilan untuk kesejahteraan rakyat; hubungan industrial; lingkungan hidup, HAM dan masyarakat adat; perlindungan perempuan dan anak; pemberdayaan penyandang disabilitas; perlindungan dan pengangkatan status PNS untuk guru dan tenaga pendidik honorer serta peningkatan kesejahteraan mereka; memperkuat koperasi dan BUMN bersama swasta sebagai pilar utama perekonomian.
Sebuah partai buruh dengan karakter gabungan dari berbagai serikat buruh dan organisasi tentulah reformis. Program-programnya akan berada dalam kerangka kapitalisme dan tujuan utamanya adalah memenangkan pemilu serta membentuk pemerintahan. Tentu saja kita harus melampaui kapitalisme namun kita juga harus melihat apa yang pada saat ini bisa diterima serta yang secara objektif dihadapi oleh massa kelas buruh dan rakyat tertindas saat ini. Hanya dengan program-program mendesak dan demokratik maka kelas buruh akan mampu mendapatkan dukungan dari massa luas rakyat pekerja dan tertindas. Kita tidak bisa menolak itu dan massa sendiri harus dapat melampaui program-program demokratik ataupun program mendesak tersebut dengan pengalaman politiknya sendiri.
Persoalan utama dari visi dan platform perjuangan Partai Buruh adalah ketidakjelasannya. Visi dan platform di atas tidak mengartikulasikan dengan jelas kepentingan kelas buruh dan rakyat tertindas. Mungkin saya yang belum mendapatkan dokumen utuh Program Perjuangan Partai Buruh. Tapi saya menantikan Partai Buruh menyerukan penangkapan dan penyitaan harta koruptor dan pengemplang pajak, tentunya termasuk aset-aset tersembunyi Prabowo, Sandiaga Uno, Luhut, Airlangga, dsb; mungkin juga seruan untuk mengadili Prabowo, Wiranto, Hendropriyono dan para jenderal-jenderal lainnya atas kejahatan kemanusiaan yang mereka dalangi; memperjuangkan pengesahan RUU PKS yang ditentang terutama oleh kelompok fundamentalis kanan seperti Partai Keadilan Sejahtera; kita juga membutuhkan pendidikan gratis dan kesehatan gratis yang bukan dibiayai dari iuran kelas buruh dan rakyat itu sendiri; mungkin juga reforma agraria untuk memenuhi tuntutan petani atas tanah; bagaimana dengan memisahkan antara agama dan politik misalnya dengan membubarkan Kementerian Agama dan menghentikan dana ke MUI ataupun lembaga keagamaan lainnya tentunya juga dengan menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada rakyat termasuk ke Syiah, Ahmadiyah, dsb; bagaimana jika juga menghapuskan militerisme dengan membubarkan komando teritorial, menghentikan semua operasi militer di Papua; bagaimana untuk menjaga demokrasi kita menghapuskan seluruh produk hukum yang anti terhadapnya, seperti UU ITE; dsb. Penting sekali dalam program-program demokratik tersebut untuk juga menunjukan perlawanan vis a vis dengan borjuis yang ada apapun faksinya. Itulah yang membuat “We Are The Working Class,” identitas sebagai kelas buruh hanya bisa bermakna ketika memahami kepentingan kelasnya yang bertentangan dengan kelas borjuis.
Reformisme adalah hasil tidak terelakan dari gerakan buruh yang spontan, berkebalikan dengan kesadaran kaum sosialis. Partai buruh dengan karakter seperti itu pastilah reformis tapi itu belum tentu kebuntuan. Kita harus membedakan antara dua bentuk reformisme. Pertama, reformisme yang tetap meyakini adanya antagonisme kepentingan antara buruh dengan para majikan dan meyakini bahwa kaum buruh tak akan memperoleh apapun dari kaum kapitalis tanpa perjuangan. Pandangan mereka tetap terbatas pada mencapai perbaikan-perbaikan kondisi kerja ataupun kebebasan dalam sistem kapitalisme. Reformisme seperti ini muncul secara spontan dari perjuangan kelas buruh. Sementara terdapat reformisme lain yang tumbuh akibat sogokan ataupun jaminan yang diberikan oleh kelas borjuis kepada sebagian kecil lapisan kelas buruh. Sogokan ataupun jaminan tersebut memunculkan lapisan elit birokrasi serikat buruh serta pandangan bahwa kepentingan kelas buruh tidak bertentangan dengan kelas borjuis. Bahwa kesejahteraan kelas buruh bisa didapatkan dari kerjasama dengan kelas borjuis untuk memajukan perusahaan ataupun bangsa dan negara.
Reformisme yang pertama dapat berkembang menjadi perjuangan kelas revolusioner; demikian pula cengkraman elit-elit birokrasi serikat buruh dapat dipatahkan ketika terdapat gelombang pasang radikalisasi rakyat pekerja serta kepemimpinan terorganisir dari kaum revolusioner.
—–
Kita tidak bisa menilai sebuah Partai Buruh hanya dari anggotanya namun juga siapa yang memimpinnya, tindakan-tindakannya serta taktik-taktik politiknya. Itu adalah kutipan dari pidato Lenin mengenai bagaimana menilai Partai Buruh Inggris.
Dalam puncak radikalisasi gerakan buruh, walaupun terpaksa memberikan lip service mendukung perjuangan kelas buruh mereka akan berupaya menghentikannya. Ini biasanya dilakukan dengan mengkanalkan radikalisasi tersebut pada jalur-jalur lobi (baca kapitulasi) dengan kelas borjuis. Serta melemahkan elemen-elemen maju di dalam serikat buruh mereka sendiri. Semakin lemah gerakan buruh, maka semakin bebas manuver-manuver kolaborasi kelas para elit birokrasi serikat buruh. Kolaborasi kelas yang semakin menguat bisa dikatakan dilakukan dengan menyingkirkan perspektif kiri serta metode perjuangan radikal yang berjalan dan berkembang di serikat buruh.
Mogok Nasional Pertama 2012, mogok nasional pertama sejak berdiri Rezim Militer Soeharto, dihentikan secara sepihak oleh Said Iqbal saat hari pertama. Ketika kelas buruh tumpah ruah di jalanan, Said Iqbal berunding dengan Menteri Tenaga Kerja dan meminta mogok nasional dihentikan. Hasilnya jauh dari harapan, yaitu hanya Peraturan Menteri yang membatasi Outsourcing pada 5 bidang pekerjaan. Di rencana Mogok Nasional Kedua 2013, KSPSI dan KSBSI justru menggembosi dan menyerang gerakan buruh dengan mendeklarasikan Gerakan Anti Kekerasan (GEBRAK) yang menyamakan antara kekerasan yang dilakukan oleh preman dengan mogok nasional yang dilakukan oleh kelas buruh. R Abdullah (SPSI) bahkan memberikan instruksi kepada anggotanya untuk tidak segan-segan melawan sweeping saat Mogok Nasional. Mogok Nasional Kedua beberapa kali diundur dan KSPI merubah instruksinya dari “Aksi Mogok Nasional” menjadi “aksi unjuk rasa nasional.’ Mogok Nasional Ketiga 2014 gagal karena diganti dengan unjuk rasa nasional. Aksi itu sendiri dihentikan oleh Andi Gani (Presiden KSPSI) dengan alasan mendapat telepon dari Jokowi. Andi Gani yang ditelpon Jokowi secara langsung mengatakan bahwa Jokowi menjanjikan buruh dilibatkan dalam penyusunan APBN 2015 serta akan ada Tim Ekonomi untuk menyelidiki kebutuhan hidup buruh.
Gruduk pabrik yang berhasil membebaskan puluhan ribu buruh dari sistem kerja kontrak ataupun outsourcing dihentikan dengan Deklarasi Harmoni pada 8 November 2012 yang ditandatangani oleh Forum Investor Bekasi, PemProv dan Kabupaten, milisi sipil reaksioner dan dari serikat buruh adalah Obon Tabroni (FSPMI), R Abdullah (SPSI), Joko Tugimin (SPN) dan Sepriyanto (GSPMII). Setelah berhasil mengikat kaki dan tangan gerakan buruh, aparat kepolisian dan milisi sipil reaksioner menggunakan Deklarasi Harmoni untuk membubarkan aksi-aksi buruh. Proses hukum terhadap milisi sipil reaksioner yang menyerang mogok para buruh dihentikan. Dalam perkembangannya Go-Politik Obon Tabroni di Pilkada Bekasi merangkul milisi sipil tersebut.
Taktik elektoral FSPMI/ KSPI dipenuhi dengan oportunisme. Go-Politik awalnya adalah mendukung anggota untuk masuk ke dalam partai apapun yang ada, dari GOLKAR, GERINDRA hingga PDI Perjuangan. Tanpa pertimbangan ideologis apapun dalam taktik-taktik tersebut. Ini kemudian berkembang menjadi dukungan KSPI kepada Prabowo/ GERINDRA/ PKS sementara KSPSI dan KSBSI mendukung Jokowi/ PDI Perjuangan. Pembicaraan membangun partai massa buruh pada 2012 akhirnya dikhianati. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Prabowo dibenarkan oleh Said Iqbal dengan mengatakan “Prabowo dikatakan ada persoalan HAM, tetapi buruh tidak bersinggungan jadi agak sulit dikaitkan dengan buruh.” Seolah-olah itu belum cukup, Said Iqbal kemudian menyebarluaskan rasisme terhadap pekerja Tiongkok dan bergabung dengan GNPF-MUI dalam Aksi Bela Islam 212 walau menggunakan nama Gerakan Pekerja Indonesia.
Walaupun Partai Buruh didirikan oleh serikat buruh dan beberapa organisasi rakyat namun dia dipimpin oleh elit-elit birokrasi serikat buruh. Elit-elit birokrasi paling busuk yang memiliki sejarah panjang kepemimpinan, tindakan serta taktik-taktik yang alih-alih mendukung perjuangan buruh namun justru melemahkannya. Semangat dan panutan mereka adalah kolaborasi kelas dengan berbagai faksi borjuis yang ada.
Ada yang menanyakan, kalau tidak mendukung kelas buruh artinya menjauhi kelas buruh. Saya meragukan pembangunan Partai Buruh akan berhubungan dengan massa. Dalam artian Partai Buruh akan menjadi barisan terdepan memobilisasi massa untuk membela kepentingan mendesak ataupun demokratik massa baik itu kelas buruh ataupun rakyat lainnya. Elemen-elemen kelas buruh terorganisir yang maju dalam mobilisasi misalnya seperti Konfederasi KASBI, F-SEDAR, FSEBUMI, dsb belum mengeluarkan pernyataan sikap secara resmi. Namun beberapa bersedia memberikan komentarnya ke Arah Juang.
Rangga, Pengurus Pusat Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) menyatakan bahwa “…pembangunan partai (bagi kelas buruh dan rakyat tertindas) memang mendesak dan menjadi kebutuhan… tentunya secara konsepsi berbeda dengan konsepsi partai borjuis secara umum…. (seharusnya partai alternatif atau) partai gerakan rakyat… lahir dari konsolidasi-konsolidasi ataupun proses perjuangan yang sedang gerakan rakyat lakukan. Bahkan harus muncul menjadi kebutuhan massa di gerakan (dan karenanya) prosesnya haruslah demokratis dan partisipatif. Bukan partai yang lahir dari rapat-rapat elit gerakan saja. Mengenai Partai Buruh apakah bisa dikatakan sebagai partai alternatif atau bukan, menurut kami saat ini belum bisa dikatakan sebagai demikian.”
Sedangkan Ilham Jimbo, Staff Departemen Litbang Federasi Serikat Buruh Militan (FSEBUMI) melihat bahwa sebuah partai buruh “haruslah diinisiasi dan didasari oleh kesadaran kolektif kaum buruh akan politik dan alat politik. Dibangun dari perjuangan dialektis kaum buruh dan perdebatan ilmiah tentang strategi serta taktik, bukan semata-mata inisiatif elit pimpinan serikat buruh…(Selain itu) mestilah bersih dari anasir-anasir reformis yang kemungkinan akan membawa kaum buruh kepada kapitulasi di hadapan kekuatan borjuasi.” Sayangnya menurut Ilham Jimbo, Partai Buruh yang baru saja dideklarasikan “belumlah memenuhi syarat (tersebut) sebagai alat perjuangan politik kaum buruh.”
Besar kemungkinan pembangunan Partai Buruh tidak akan berhubungan dengan massa namun akan pada (bisa saja mobilisasi) urusan administratif pemilu. Pengalaman Go-Politik KSPI lewat Obon Tabroni dalam Pilkada Bekasi memberikan gambaran taktik-taktik dan tindakan-tindakan politik dari elit-elit birokrasi serikat buruh. Pada saat Pilkada Bekasi 2017 lalu, Obon Tabroni meminta situasi kondusif menjelang Pilkada. Ini artinya demi proses elektoral maka perlawanan-perlawanan buruh harus diredam. Demikian juga ketika kita mendengarkan 7 Maklumat Presiden Partai Buruh, Said Iqbal. Seperti seorang nabi, Said Iqbal (dan diharapkan seluruh pengurus Partai Buruh) akan menjadi juru selamat bagi rakyat. Mereka akan menanggung penderitaan rakyat, bersusah payah membangun partai dan memperjuangkan nasib rakyat. Dalam pengalamannya, intervensi elektoral FSPMI/ KSPI menggantikan mobilisasi ataupun upaya radikalisasi massa.
Seiring menurunnya gerakan buruh, serta serangan balik terhadap perjuangan melawan anti Omnibus Law, menurun pula kemampuan serikat-serikat buruh kuning untuk melancarkan mobilisasi. Faktor lain penurunan mobilisasi massa tersebut juga perspektif elit birokrasi serikat buruh yang melihat mobilisasi massa bukanlah alat perjuangan utama namun alat untuk memperkuat posisi tawar lobi mereka.
Apa yang bisa diharapkan dengan elit-elit birokrasi serikat buruh yang semangatnya adalah kolaborasi bersama kelas borjuis Indonesia? Kelas borjuis yang tidak memiliki visi masa depan Indonesia, bahkan yang demokratis dan sejahtera sekalipun. Faksi borjuis yang bisa “adu mulut” dalam Pemilihan Umum kemudian bersatu dalam satu kabinet. Kelas borjuis yang visi masa depan Indonesia hanya sebatas baliho yang marak dimana-mana.
Banyak yang beranggapan bahwa mereka akan masuk ke Partai Buruh kemudian merubah Partai Buruh menjadi revolusioner. Atau setidaknya mengawal para elit-elit birokrasi serikat buruh. Tapi pengalaman sudah menunjukan bahwa hal itu tidaklah semudah yang dibayangkan. Hampir semua, jika bukan semua, kontrak-kontrak politik yang dibuat oleh serikat buruh dengan calon kepala daerah bahkan calon presiden tidak ada yang terwujud. Go-Politik dengan calon dari serikat buruh sendiri seperti Obon Tabroni, Nyumarno dan Nurdin tidak mampu dikawal. Termasuk juga berbagai manuver elit birokrasi serikat buruh setidaknya sejak mengkhianati pembangunan partai buruh tahun 2013 dengan mendukung Prabowo ataupun Jokowi juga tidak dapat dipatahkan, termasuk oleh mereka-mereka yang saat ini berada di dalam Partai Buruh.
Kawan-kawan yang berada di Partai Buruh berhadapan dengan (elit birokrasi) serikat buruh yang memiliki warisan, tradisi bahkan perspektif politik yang bukan saja berbeda namun bertentangan dengan mereka. KSPSI dan KSPI berakar pada SPSI, serikat buruh sentralistik yang dikontrol oleh Rezim Militer Soeharto berfungsi untuk menjaga “hubungan industrial Pancasila” antara pemilik modal dan buruh serta bermusuhan terhadap perjuangan kelas. Didukung oleh negara serta tergantung padanya bukan oleh anggota aktif buruh itu sendiri. SPSI kemudian terpecah-pecah paska induknya, Rezim Militer Soeharto, dihantam Reformasi 1998. SPSI tidak bisa dilihat sebagai serikat yang besar di atas kertas melainkan organisasi manajemen buruh dengan agenda konservatif dan sempit serta kepemimpinan yang memiliki ketergantungan pada negara kelas borjuis. Sementara KSBSI dibentuk dengan model serikat buruh “sosial-demokrat” ortodoks Eropa. Meskipun perlawanannya memiliki karakter politik penting melawan Rezim Militer Soeharto tapi perspektif ideologi SBSI melihat serikat buruh hanya sebagai mekanisme posisi tawar untuk negosiasi upah dan kesejahteraan umum lainnya. Partai Buruh yang diluncurkan paska 1998 memiliki mekanisme yang berbeda dari SBSI. Di sisi lain serikat-serikat seperti KPBI ataupun SGBN bisa dilacak ke garis-garis PPBI yang pada masa awal pendiriannya melihat diakhirinya Rezim Militer Soeharto akan membuka ruang demokrasi, dimana politik buruh, termasuk sosialisme, akan memiliki kebebasan. Mobilisasi massa adalah alat untuk mewujudkan perjuangan politik tersebut.
Pertanyaan yang harus diajukan, apa yang akan dilakukan oleh kelompok-kelompok “merah” seperti KPBI ataupun SGBN di dalam Partai Buruh jika elit-elit birokrasi serikat buruh kembali mendukung Prabowo atau berkolaborasi dengan faksi borjuis lainnya; atau jika mengikuti aksi bigot seperti 212; atau anti buruh-Tiongkok? Apakah cukup hanya oposisi kritik dan ketika minoritas kalah suara tetap menerima dan mendukung Partai Buruh? Ataukah justru menyensor diri sendiri dan tidak melancarkan kritik apapun? Apakah mobilisasi serta radikalisasi massa akan dimaksimalisasi untuk memenangkan visi-misi dan platform Partai Buruh, ketimbang negosiasi dengan berbagai faksi borjuis yang ada?
—–
Cengkraman dan manuver elit birokrasi serikat buruh dapat dipatahkan bukan hanya dengan kepemimpinan terorganisir dari kaum revolusioner, melainkan juga dibutuhkan situasi objektif yaitu radikalisasi dari massa rakyat pekerja. Radikalisasi massa rakyat pekerja akan memaksa elit birokrasi serikat buruh tersebut untuk bergerak mengikuti radikalisasi atau pilihan lainnya adalah ditinggalkan atau disingkirkan oleh massanya sendiri. Itu kenapa bagi kaum revolusioner masuk ke dalam partai buruh adalah persoalan taktik yang banyak bergantung pada bagaimana tingkat radikalisasi dari rakyat pekerja itu sendiri.
Sayangnya situasi objektif tersebut tidak ada saat ini. Dalam dua tahun belakangan ini muncul beberapa radikalisasi spontan, setidaknya gerakan anti rasisme di Papua 2019, Reformasi Dikorupsi 2019 dan Anti Omnibus Law 2020. Namun karakternya yang spontan dan masih kecilnya kekuatan revolusioner, maka gerakan tersebut cepat muncul dan hilang. Sementara serangan balik terus menerus dilancarkan oleh Rezim Jokowi-Ma’aruf. Kemunduran gerakan tersebut juga berarti kemunduran dalam demokrasi, hak-hak buruh bahkan kehidupan sehari-hari massa rakyat pekerja.
Malapetaka 1965 telah membuat kelas buruh dan rakyat tertindas kehilangan alat politiknya. Sehingga politik terus menerus diisi oleh konglomerat, jenderal dan pejabat (ditambah keluarga mereka) sedangkan kita terjebak dan berputar-putar terus dalam lingkaran setan mereka. Hingga kini belum ada kekuatan politik alternatif yang signifikan untuk menandingi kekuatan mereka. Bertahun-tahun upaya membangun kekuatan politik alternatif sejak ABM, Sekber Buruh, KNGB hingga KGR tidak berhasil berkembang menjadi sebuah partai politik. Terlepas dari semuanya sering mengangkat slogan “Bangun Kekuatan Politik Alternatif,” “Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera” namun tidak ada yang secara serius sebagai (setidaknya embrio) politik alternatif menyebarkan ide-idenya, visi misi ataupun program perjuangannya ke massa luas. Mayoritas besar terkurung dalam kerja-kerja serikat buruh-ismenya sendiri ataupun kerja-kerja advokasi. Kekosongan ditambah dengan kejenuhan ataupun muak terhadap politik-politik yang ada memberikan ruang untuk diisi oleh apapun, seperti Partai Buruh. Ataupun partai yang oportunis seperti PRIMA. Juga muncul kemungkinan partai yang diinisiasi oleh mantan Pegawai KPK.
Perjuangan membangun partai alternatif (revolusioner) adalah perjalanan yang panjang dan tidak mudah. Tapi itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Mereka adalah tembok dan kita adalah bunga yang tidak mereka kehendaki. Tapi biji-bijinya telah disebarkan dalam tubuh tembok itu, mereka pada akhirnya akan hancur. Setelah setiap kekalahan, kemunduran, kekejian bahkan seperti Malapetaka 1965, para penindas tidak bisa selamanya berkuasa.
Kawan-kawan termaju dari serikat buruh serta gerakan rakyat harus bergabung dan membangun partai revolusioner. Melampaui kerja-kerja serikat buruhisme ataupun advokasi-advokasi. Mari bergabung dengan Perserikatan Sosialis untuk menyebarluaskan ide-ide kita; meyakinkan kelas buruh dan rakyat tertindas atas program perjuangan kita serta merekruit lapisan termaju dari kelas buruh dan intelektual revolusioner untuk membangun partai dan memenangkan sosialisme. Selain itu kita juga mempunyai tugas untuk memajukan gerakan buruh menjadi lebih memahami kepentingan kelasnya, anti-kolaborasi kelas, demokratis serta teguh dalam perjuangannya.
ditulis oleh Dipo Negoro, kader Perserikatan Sosialis.
[…] remain dubious of the PB’s oppositional stance. A key independent union, KASBI, as well as several smaller militant unions, have remained separate or sceptical as have other social opposition activist groupings. These […]
[…] itupun tidak akan cukup untuk melemahkan manuver serta cengkraman para elit Partai Buruh. Seperti pernah kami sampaikan bahwa salah satu persoalan utama di situasi sekarang adalah ketiadaan radikalisasi gerakan buruh. […]
[…] The reason for concluding that this perhaps represents only partially a civil society phenomenon is that central figures in the process, in particular PB President Said Iqbal, have been players in mainstream elite politics for some time. As President of the Confederation of Indonesian Trade Unions (KPSI) in two elections, Said Iqbal campaigned in support of Prabowo Subianto. However, the PB has been able to draw in local-level trade union officials, including from outside the KPSI, as well as activists and intellectuals associated with other trade unions and civil society groups. Much of these have been drawn in by the oppositional policy campaigns of the Komite Politik (Political Committee) associated with another trade union federation, the Confederation of United Indonesian Workers (KPBI). However, those unions historically most associated with union and pro-democratic militancy are still staying away. […]