Sejarah

Referendum dan Perjuangan Kemerdekaan Timor Leste

Timor Leste dijajah oleh Portugis pada abad ke-16 hingga tahun 1975. Lepasnya Timor Leste dari Portugis tak lepas dari gejolak politik yang terjadi di negara penjajahnya, yakni Revolusi Anyelir. Rakyat Portugis melakukan revolusi menggantikan pemerintahannya yang tadinya dipimpin oleh kediktatoran otoriter menjadi demokrasi, dan menghasilkan perubahan signifikan dalam sistem politik, ekonomi, dan lain-lain. Kelas buruh dan serikat serdadu berpangkat rendah menolak melanjutkan peperangan di wilayah jajahan Portugis, dan kemudian bangkit mengambil alih kekuasaan dari kontrol korporasi dan rezim otoriter yang telah memerintah Portugis sejak tahun 1930-an. Revolusi Anyelir ini mengharuskan mengakhiri perang di wilayah jajahan, dan menarik seluruh pasukan militer Portugis di Angola, Cape Verde, Mozambik, Guinea Portugis di Afrika, hingga Timor Leste. Sekitar satu juta orang ditarik kembali ke Portugis setelah revolusi dimenangkan. Revolusi ini menjadi salah satu revolusi tanpa darah dengan simbol bunga anyelir merah yang dimasukkan dalam moncong senjata para serdadu.

Penarikan kembali pasukan Portugis, membuat rakyat Timor Leste melalui Front Revolusi untuk Timor Leste Merdeka (FRETILIN) segera mengumumkan kemerdekaannya pada 28 November 1975. Namun sembilan hari kemudian, Indonesia melakukan invasi militer dan aneksasi terhadap Timor Leste. Invasi itu disokong oleh bantuan persenjataan termutakhir sebesar 128 juta Euro dari Amerika, Israel, Inggris, dan Australia. Agresi militer Indonesia itu selain demi menguasai sumber daya alam Timor Leste, juga karena ketakutan negara-negara Imperialis dan rezim militer Soeharto dengan kebangkitan komunisme di Asia.

Selama tahun 1970-an saja, Amnesty International menyebutkan lebih dari 200.000 jiwa (atau sepertiga dari jumlah seluruh rakyat Timor Leste) tewas akibat dibunuh oleh militer Indonesia. Sepanjang 1974-1999, Indonesia melakukan banyak pelanggaran HAM di Timor Leste. Jumlah korban yang tewas karena kelaparan akibat pendudukan 123.500 jiwa, 833 korban sipil dihilangkan paksa, 5.109 yang dibunuh, 10.809 mati dalam penahanan, 11.960 menjadi korban penyiksaan, 485 pemerkosaan, 295 kejahatan seksual, 124 perbudakan seksual, dan 2.184 korban kerja paksa.

Setelah satu generasi menjadi korban represi yang brutal, rakyat Timor Leste bertekad untuk membebaskan diri mereka dari dominasi Indonesia. Rakyat Timor Leste melawan dengan berbagai upaya, baik melalui perjuangan rakyat bersenjata, maupun menggalang solidaritas internasional. Referendum Timor Leste setelah bertahun-tahun perlawanan berdarah-darah adalah juga hasil langsung dari Reformasi 1998. Di saat yang sama di Timor Leste sendiri, ada mobilisasi besar-besaran rakyat sejak Juni hingga November menuntut referendum kemerdekaan. Demonstrasi besar-besaran di Dili selama periode ini melibatkan puluhan ribu rakyat Timor Leste, dengan tuntutan utama, yakni untuk membebaskan pemimpin perlawanan Xanana Gusmao, dan penarikan militer Indonesia. Perjuangan pembebasan nasional Timor Leste saling terhubung dengan perjuangan Reformasi 1998 di Indonesia. Radikalisasi gerakan buruh dan rakyat Indonesia yang mampu meruntuhkan rezim militer Soeharto, mendorong demokrasi Indonesia, termasuk referendum bagi Timor Leste.

Referendum dilakukan pada 30 Agustus 1999 dan dilaksanakan untuk menentukan apakah Timor Leste akan menjadi bagian dari Indonesia, menjadi Wilayah Otonomi Khusus, atau berpisah dari Indonesia. Penyelenggarannya dilakukan dan diawasi oleh UNAMET (United Nations Mission in East Timor) dengan 450.000 orang yang memiliki hak suara, termasuk 13.000 orang di luar Timor Leste. Pembentukan UNAMET merupakan hasil perjanjian 5 Mei 1999 antara Indonesia dan Portugis, yang ditengahi oleh PBB. Namun, perjanjian itu membuat militer Indonesia bertanggung jawab atas “keamanan” di Timor Timur sebelum dan selama referendum. Kelompok reaksioner milisi anti-kemerdekaan memobilisasi 2000 orang untuk turun ke jalan pada 26 Juli. Sebagian besar milisi dibayar, diberi makan, atau dipaksa berada di sana.

Menanggapi itu, pada 25 Agustus sekitar 50.000 pendukung pro-kemerdekaan berkumpul di Dili untuk melaksanakan rapat akbar. Rapat umum itu berlangsung selama lima jam, dengan mengelilingi kota. Di mana-mana, orang-orang berbaris di jalan-jalan menyanyi dan berteriak “Viva Timor leste!”. Pusat-pusat pengaturan politik bermunculan di mana-mana. Organisasi pelajar, dsb berkeliling dari pintu ke pintu untuk meyakinkan orang bahwa mereka harus memilih kemerdekaan. Kampanye terbuka itu direpresi dan banyak siswa terbunuh oleh milisi pro-Jakarta. Berbagai posko didirikan di kota-kota yang mengalami kekerasan terburuk, seperti Maliana, Suai dan lainnya di barat. Di Dili, kantor-kantor publik dibuka oleh Fretilin, Dewan Solidaritas Mahasiswa, kelompok mahasiswa Renetil dan Impettu, dan dua kantor Dewan Nasional Perlawanan Timor.

Tiga hari sebelum referendum 30 Agustus, gerombolan teror pro-Jakarta mengamuk di Dili. TNI tidak berpartisipasi secara aktif, tetapi membela milisi dari serangan balik oleh pasukan pro-kemerdekaan. Sebelas orang terbunuh di hari itu, menunjukkan sebenarnya kekuatan milisi reaksioner lemah ketika beroperasi tanpa dukungan langsung dari TNI. Rakyat Timor Leste mengorganisir dan membangun unit pertahanan sendiri melawan milisi reaksioner. Unit pertahanan rakyat itu dipersenjatai dengan tongkat, tombak, parang, busur, dan panah. Tumpukan batu diletakkan di sepanjang sisi jalan, siap untuk dilempar. Situasi mencekam beberapa hari sebelum dan saat referendum dilaksanakan.

Hasil yang diumumkan pada tanggal 4 September menunjukkan 344.580 suara atau 78.5% memilih untuk merdeka, membuat situasi menjadi tak terkendali. Tentara Indonesia secara terbuka bergabung dengan kelompok milisi dan memimpin penyerangan. Selama tiga jam setelah pengumuman hasil, senjata api ditembakkan terus menerus di seluruh Dili. Ribuan orang mengungsi ke gunung-gunung atau hilang dibawa oleh pasukan TNI dan dideportasi. Hasil referendum itu membuat Indonesia terutama sisa-sisa rezim militer Soeharto, dengan menggunakan kelompok paramiliter anti-kemerdekaan tidak tinggal diam. Militer Indonesia, dengan didukung penuh oleh pemerintah, telah mengorganisir dan menghasut kelompok lumpen proletar untuk membunuh, membakar, dan menghancurkan. Mereka mengancam akan melakukan kekerasan, dan benar-benar melakukannya. Bila kemerdekaan Timor Leste tidak bisa dihindari, maka mereka akan memastikan bahwa kemerdekaan itu berada di atas puing-puing ketiadaan, dengan melakukan kekacauan dan kehancuran yang luar biasa sehingga tidak ada lagi yang tersisa. Ini juga dimaksudkan sebagai pelajaran berdarah bagi siapa saja yang berani mengikuti Timor Leste untuk menuntut referendum kemerdekaan.

Kelompok reaksioner itu memulai kerusuhan dan pembantaian besar-besaran. Sekitar 1.400 rakyat Timor Leste tewas dan 300 ribu harus mengungsi ke hutan dan pegunungan di Timor Barat. Sebagian besar infrastruktur seperti rumah, sistem irigasi, air, sekolah dan listrik hancur. Bahkan hingga menit terakhir penarikan pasukan dan pelucutan senjata, yaitu pada 18 September, hampir 200 orang terbunuh. Di hari itu, milisi para-militer dan pasukan Indonesia melakukan kebijakan ‘pembumi-hangusan’ terhadap kota Dili.

Namun gelombang solidaritas internasional terus mendukung kemerdekaan Timor Leste dan mengecam invasi militer Indonesia yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Tak hanya kelas buruh dan rakyat Indonesia, buruh Australia juga menghentikan seluruh kiriman pos untuk bisnis maupun urusan diplomatik ke Indonesia. Jaringan telepon dari Australia ke Indonesia dimatikan. Buruh Australia melakukan boikot pada Garuda Airlines yang terbang dari Australia. Demonstrasi besar-besaran dilakukan pelajar sekolah dan buruh di berbagai kota, ada 40.000 orang di Melbourne, dan 20.000 orang di Sydney turun ke jalan. Solidaritas juga datang dari kelas buruh Portugal, Kanada, dan Amerika. Buruh pelabuhan di Pantai Barat Amerika menolak membongkar kargo dari Indonesia. Buruh pos Kanada juga menolak mengantarkan seluruh barang ke Indonesia. Berkat tekanan dan solidaritas internasional yang besar itu, pasukan Indonesia bisa ditarik dari Timor Leste, dan kemerdekaannya diakui secara internasional pada 20 Mei 2002.

Kita juga harus mengingat bahwa para jenderal dan politikus pelaku kejahatan kemanusiaan di Timor Leste, termasuk pelaku bumi hangus paska referendum tidak pernah diadili. Jabatan, kekayaan dan bahkan bintang penghargaan diberikan kepada para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut. Beberapa dari mereka diadili dengan pengadilan kanguru yang memberikan vonis ringan. Paling utama diantara para pelaku itu adalah Soeharto selain itu antara lain Wiranto yang saat ini menjadi Dewan Pertimbangan Presiden; MayJen Zacky Anwar Makarim, paman Nadim Makarim ini masih mengurusi berbagai persatuan cabang olah raga; MayJen Kiki Syahnakri sekarang menjabat sebagai Ketua Persatuan Purnawirawan TNI-AD; MayJen Adam Rachmat Damiri pada awal 2021 menjadi tersangkat kasus korupsi PT Asabri; selain itu juga Kolonel Suhartono Suratman, Kolonel Mohammad Noer Muis dan LetKol Yayat Sudrajat; Eurico Gutteres yang diberikan Bintang Jasa Utama oleh Jokowi serta mantan Gubernur Timor Timur saat itu José Abílio Osório Soares.

Ditulis oleh Dipayana Raka | Anggota Lingkar Studi Kerakyatan

Tulisan ini merupakan versi yang diperbarui dari tulisan dalam Arah Juang edisi 71 III-IV Agustus 2019, dengan judul yang sama.

Loading

Comment here