Perjuangan

Penghapusan Mural Kritik, Pemberangusan Hak Demokratis Rakyat

Hak atas kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat adalah salah satu hak asasi manusia (HAM) yang dengan susah payah direbut pergerakan perjuangan demokratis rakyat melawan kediktatoran militer Orde Baru (Orba) Suharto. Termasuk hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, mengemukakan pendapat, dan menggelar diskusi publik. Karenanya rakyat berhak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapatnya terhadap hal apapun. Baik berupa unjuk rasa, audiensi, tulisan/kajian yang dimuat di media, karya sastra, maupun mural.

Kritik berupa mural juga dibuat mereka yang memprotes kecenderungan pemerintah melakukan pembatasan berdalih penanganan pandemi namun tanpa disertai pasokan pemenuhan semua kebutuhan pokok seluruh warga, sebagaimana yang dimandatkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menimbulkan gejolak sosial. Pandemi sudah menurunkan tingkat penghasilan pedagang kecil, pedagang kaki lima, pedagang pasar, pedagang asongan, dan semacamnya. Mereka yang dianggap melanggar aturan ini bukan hanya kerap langsung disanksi berupa denda ataupun penjara, namun juga dianiaya aparat secara fisik. Apalagi penindakan itu pun bias kelas, McDonalds yang secara nasional mengakibatkan kerumunan rawan penularan dengan produk BTS Meals tidak direpresi seperti itu apalagi dihukum setimpal.

Banyak kritik memprotes buruknya penanganan pandemi oleh pemerintah Indonesia, termasuk dalam bentuk mural. Misalnya mural “Tuhan Aku Lapar” di Tangerang, “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit” di Pasuruan, dan “(Jokowi) 404: Not Found” di Tangerang . Namun bukannya menanggapi kritik mural tersebut dengan memperbaiki kesalahan pemerintah, aparat negara justru sibuk membungkam kritik dengan menghapus mural-mural itu serta memburu para pembuatnya.

Pejabat minta pemerintah dikritik demi mengesankan seolah rezim berlaku demokratis terhadap rakyat namun justru aparat pemerintah sendiri sering merepresi, memperkusi, dan mengkriminalisasi banyak pengkritik pemerintahannya. Betapa kontrasnya pembubaran demonstrasi, kriminalisasi aktivis, dan penghapusan mural itu dengan penjagaan polisi terhadap kerumunan kampanye serta pendaftaran Pilkada (termasuk Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, kini Walikota Surakarta), persekutuannya dengan para penyebar hoax (seperti La Nyalla yang menjadi otak tabloid Obor Rakyat yang memfitnah Jokowi komunis), maupun kelakuan para politisi sekutunya yang berlomba-lomba pasang baliho (seperti Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Erick Thohir, Muhaimin Iskandar, dan sebagainya) menyiratkan ambisi menjijikkan untuk berebut mencalonkan sebagai presiden di tahun 2024 saat rakyat kini masih bergulat hidup mati melawan pandemi. Penghapusan mural kritik maupun berbagai bentuk pemberangusan hak-hak rakyat lainnya harus terus dilawan. Bersatulah pekerja seni dengan buruh, tani, dan rakyat tertindas, untuk melawan tirani.

Ditulis oleh Leon Kastayudha | Anggota Sosialis Muda dan Kader Perserikatan Sosialis

Loading

Comment here