AksiReportase

Peringati NYA, FRI WP dan AMP Tuntut Bebaskan Victor Yeimo

Kota Malang, Senin (16/08/2021) 45 kaum muda dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) berdemonstrasi depan Gedung Bank Central Asia (BCA) lalu depan Kantor Polisi Resor Kota (Polresta) Mereka memperingati 59 tahun Perjanjian New York atau New York Agreement (NYA) yang Ilegal serta menuntut hentikan stigma terhadap Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB),tarik mundur semua pasukan organik dan non-organik dari West Papua, serta tutup dan usir semua perusahaan nasional dan multinasional dari tanah Papua.

Sebagaimana terang rilis pers mereka, NYA pada 15 Agustus 1962 digelar di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS) mempertemukan Belanda dan Republik Indonesia (RI) tanpa melibatkan orang-orang Papua. NYA memandatkan PBB untuk mengambil alih pemerintahan di West Papua dari Belanda untuk kemudian menyerahkannya ke RI yang diharuskan melakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Ini bukan hanya tidak demokratis tapi juga mengabaikan parlemen West Papua dan pengibaran benderanya pada 1 Desember 1961.

Tarmizi dari FRI-WP, memaparkan kasus-kasus rasisme Indonesia terhadap West Papua terkait erat dengan perampasan kedaulatan mereka. Oleh karena itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan kata “maaf” saja. Apalagi banyak rasisme tersebut dilakukan aparat untuk menindas aktivis West Papua seperti pada 2016 kasus rasisme terhadap Obby Kogoya, Rasisme Surabaya di kamasan Asrama Papua pada 16-17 Agustus 2019, kemudian rasisme di Merauke pada 26 Juli 2021 terhadap Steven. Tarmizi menyimpulkan diperlukan pemberian Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) sebagai solusi demokratis bagi permasalahan penindasan terhadap West Papua.

Dalam demonstrasi hari ini, kepolisian mengerahkan jumlah aparat secara berlebihan. Barisan polisi bermobil bahkan sudah ditempatkan sejak pagi 8.00 WIB.

Semenjak ditangkap, Victor ditahan tiga bulan dalam tahanan isolasi (solitary confinement) yang pengap, tidak ada sinar matahari, bahkan satu-satunya ventilasi udara ukurannya hanya 30 cm. Akses bagi keluarga dan pengacara untuk menemuinya juga dibatasi. Akibatnya kondisi fisik Victor semakin buruk dan kurus serta sakit maag dan paru-paru yang dideritanya semakin akut dan dikabarkan batuk-batuknya juga sering keluar darah.

Perlakuan terhadap Victor jelas merupakan tindakan kejam, biadab, dan tidak manusiawi. Sebab, Victor bukanlah penjahat, bukan pelaku kriminal. Ia adalah pemimpin politik bangsa West Papua yang menyampaikan aspirasi politik rakyatnya dengan tidak menganiaya maupun melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) siapapun. Victor bukanlah penghasut maupun perusuh. Justru represi dan kesewenangan aparat terhadap aksi anti-rasisme lah yang menimbulkan masalah.

Aksi protes anti rasisme yang dilancarkan pada tahun 2019 lalu merupakan aksi spontan seluruh rakyat West Papua di 42 kota/kabupaten di tanah Papua, 17 kota di Indonesia dan lima kota di luar negeri untuk mengecam tindakan rasis yang dilakukan oleh kelompok reaksioner dan aparat TNI/POLRI terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Selama protes itu, negara melalui aparat TNI/POLRI menangkap 72 orang secara sewenang-wenang. 32 orang diantaranya ditembak mati, 284 orang luka-luka dan 22.800 jiwa terpaksa mengungsi. Sementara itu, pelaku penembakan yang adalah TNI/POLRI tidak diadili apalagi dihukum sama sekali. Kriminalisasi dan ancaman sanksi terhadap Viktor Yeimo juga makin menunjukkan bias rasisme dan berat sebelahnya hukum RI karena para pelaku rasisme di sisi lain hanya dihukum 7-9 bulan penjara.

Penangkapan Victor Yeimo dan Frans Wasini telah menambah bukti; pelaku rasis dilindungi dan korban justru dikriminalisasi. Itu semua dilakukan oleh negara secara sadar dan terstruktur. Dengan demikian mitos negara adalah sebuah institusi netral adalah sebuah kebohongan publik yang menyesatkan.

FRI-WP dan AMP menjelaskan, 59 tahun telah berlalu sejak penandatanganan NYA, RI masih berupaya menancapkan pengaruhnya di tanah Papua Barat melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus). Otsus di Papua sudah berusia 20 tahun dan disahkan pada 2021 secara sepihak oleh Pemerintah RI tanpa aspirasi rakyat West Papua. Namun sejak UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus diberlakukan justru tidak ada perlakuan khusus yang bisa didapatkan oleh rakyat Papua Barat. Apa yang tampak khusus tak lain hanyalah pengiriman pasukan militer secara besar-besaran ke tanah Papua Barat. Kenyataannya Otsus tidak bisa melindungi masyarakat adat West Papua dari perampasan tanah untuk kepentingan investasi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menjadi amanah dalam undang-undang Otsus tidak pernah dijalankan, tidak ada upaya untuk mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, sementara dari tahun ke tahun kasus pelanggaran HAM terus bertambah. Otsus tak lebih dari sekadar alat untuk meredam aspirasi politik rakyat Papua yang menghendaki hak penentuan nasib sendiri.

Alih-alih memenuhi tuntutan aksi massa anti-rasisme Papua dengan secara sistematis menghapuskan rasisme anti-kulit hitam/Melanesia-Papua, pemerintah RI justru mengkriminalisasi dan mempersekusi aktivis anti-rasisme. Hampir ratusan rakyat West Papua ditahan secara sewenang-wenang. Bukan hanya di wilayah Papua, tujuh orang juga ditangkap meski lalu dibebaskan di Kalimantan,. Ini juga diiringi pemburuan sewenang-wenang dengan penerapan status Daftar Pencarian Orang (DPO) kepada para aktivis West Papua, salah satunya Viktor Yeimo. Divisi siber militer Indonesia pun malah merespon masalah rasisme dengan men-doxing atau membocorkan sekitar 800.000 ribu data akun media sosial yang dibobol, itu pun menimbulkan  kepulangan Mahasiswa Papua di luar Papua (eksodus) sekitar tujuh ribu mahasiswa Papua hingga memukul mundur semua gerakan Pro-Demokrasi.

Viktor Yeimo pun kemudian ditangkap di Kamkei Jayapura 2021. Sebelumnya, ada aktivis-aktivis West Papua ditangkap seperti Naftali Tipagau dan lainnya. Kemudian juga penangkapan terhadap anggota TPNPB. Skenario Negara Indonesia melakukan penangkapan serta pemenjaran secara sewenang-wenangnya tidak disertai bukti yang jelas. Ini menunjukkan upaya-upaya untuk meredam aspirasi politik rakyat Papua Barat tidak hanya dilakukan dengan bujukan gula-gula Otsus dan kata “maaf” namun juga disertai penangkapan dan pemenjaraan dengan cap makar terhadap rakyat West Papua maupun aktivis yang berbicara isu Papua.  

Jeksen dari FRI-WP membacakan tuntutan berikut di depan Polresta Kota Malang :

  1. Berikan kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua Barat.
  2. Tarik militer (TNI-POLRI) organik dan non-organik dari seluruh tanah papua barat sebagai syarat demokratik.
  3. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFFE, dan yang lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas tanah Papua Barat.
  4. Amerika Serikat, Belanda, Indonesia, Rusia, harus bertanggung jawab atas penjajahan dan pelanggaran HAM yang Terjadi terhadap bangsa Papua Barat dari Trikora hingga Otsus berlanjut.
  5. PBB segera desak Indonesia membawa Persoalan Papua Barat ke meja perundingan.
  6. Buka akses jurnalis internasional dan nasional ke  Papua Barat.
  7. Kebebasan berkumpul, berpendapat dan berekspresi bagi rakyat Papua Barat.
  8. Bebaskan Victor Yeimo dan seluruh tahanan politik Papua Barat tanpa syarat.
  9. Tolak Otsus Jilid II.
  10. Tetapkan TPNPB bukan organisasi terroris, KKB, KKBS, tapi mereka adalah freedom fighter. (aln)

Loading

Comment here