9 Mei 2021, Victor F Yeimo, aktivis pembebasan nasional West Papua, ditangkap secara semena-mena dan tidak sesuai prosedur oleh aparat kepolisian di Jayapura, Papua. Polisi menuduh Victor melakukan tindak pidana makar atas dasar partisipasinya dalam aksi protes anti-rasisme di Jayapura yang berlangsung akhir bulan Agustus 2019 dimana Victor menuntut Referendum bagi Papua. Dengan tuduhan itu polisi bisa mengancam Victor dengan pidana penjara seumur hidup.
Semenjak ditangkap, Victor ditahan tiga bulan dalam tahanan isolasi (solitary confinement) yang pengap, tidak ada sinar matahari, bahkan satu-satunya ventilasi udara ukurannya hanya 30 cm. Akses bagi keluarga dan pengacara untuk menemuinya juga dibatasi. Akibatnya kondisi fisik Victor semakin buruk dan kurus serta sakit maag dan paru-paru yang dideritanya semakin akut dan dikabarkan batuk-batuknya juga sering keluar darah.
Perlakuan terhadap Victor jelas merupakan tindakan kejam, biadab, dan tidak manusiawi! Sebab, Victor bukanlah penjahat, bukan pelaku kriminal. Ia adalah pemimpin politik bangsa West Papua yang menyampaikan aspirasi politik rakyatnya dengan tidak menganiaya maupun melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) siapapun. Victor bukanlah penghasut maupun perusuh. Justru represi dan kesewenangan aparat terhadap aksi anti-rasisme lah yang menimbulkan masalah.
Aksi protes anti rasisme yang dilancarkan pada tahun 2019 lalu merupakan aksi spontan seluruh rakyat West Papua di 42 kota/kabupaten di tanah Papua, 17 kota di Indonesia dan lima kota di luar negeri untuk mengecam tindakan rasis yang dilakukan oleh kelompok reaksioner dan aparat TNI/POLRI terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
Selama protes itu, negara melalui aparat TNI/POLRI menangkap 72 orang sewenang-wenang, 32 orang diantaranya ditembak mati, 284 orang luka-luka dan 22.800 jiwa terpaksa mengunsi. Sementara itu, pelaku penembakan yang adalah TNI/POLRI tidak ada satu pun yang diadili. Juga halnya pelaku rasisme yang hanya dihukum 7-9 bulan penjara.
Penangkapan Victor Yeimo saat ini dan Frans Wasini telah menambah bukti; pelaku rasis dilindungi dan korban justru dikriminalisasi. Itu semua dilakukan oleh negara secara sadar dan terstruktur. Dengan demikian mitos negara adalah sebuah institusi netral adalah sebuah kebohongan publik yang menyesatkan.
Vladimir Ilyich Lenin mengembangkan kajian kritisnya terhadap negara dan menyimpulkan dalam bukunya “Negara dan Revolusi” bahwa “negara bukan suatu institusi netral di atas masyarakat yang mungkin dimanfaatkan oleh sembarang kelompok atau kelas dalam masyarakat untuk tujuannya sendiri; sebaliknya negara secara historis dan struktural dirancang untuk mempertahankan penguasa. Negara adalah alat mereka untuk menjamin eksploitasi terhadap kelas atau kelas-kelas tertindas pada setiap waktu tertentu.”
Dalam konteks Indonesia, semenjak Pembantaian 1965 negara secara langsung dikendalikan oleh rezim militer di bawah kediktatoran Soeharto, mereka menggunakan kekerasan dan kekuatan paksa untuk menghancurkan kekuatan dan kepentingan kelas pekerja dan melindungi kepentingan kelas borjuasi. Itu dibuktikan dengan negara melalui TNI/POLRI membunuh Marsinah yang memperjuangkan kepentingan buruh, Thom Wanggai yang memperjuangkan hak demokratik rakyat Papua, Wiji Thukul, dan sebagainya. Sementara pelaku pelanggaran HAM yang juga adalah petinggi militer dan borjuasi Indonesia semacam Wiranto, Prabowo, Hartomo, dan orang-orang sejenisnya justru dilindungi dan diberikan berbagai jabatan.
Inilah negara Indonesia. Walaupun tahun 1998 telah dilakukan reformasi; penghapusan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pendirian Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya, namun perjuangan demokratis rakyat telah dipukul mundur sehingga memungkinkan sisa Orba, militeris, serta pelanggar HAM untuk mempertahankan diri dan bersekutu dengan pengkhianat perjuangan demokratis rakyat. Terlebih lagi pada hakikatnya kelas borjuasi bertahta jadi mereka tidak akan mematuhi apapun, kecuali kepentingan mereka. Benar lah bahwa reformasi telah dikorupsi!
Penangkapan Victor Yeimo saat ini merupakan salah satu, bukan satu-satunya, dari rangkaian brutalitas dan represi negara kapitalis republik Indonesia terhadap gerakan rakyat hari ini. Negara akan semakin represif lagi apabila rakyat terus-terusan diam. Persatuan antar elit borjuasi dan persekutuan antara penindas maupun penghisap harus dilawan dengan persatuan rakyat. Dengan front persatuan. Mengumpulkan sebanyak mungkin, kekuatan, buruh, tani, mahasiswa, mama-mama pasar, dan seluruh rakyat terindas di Indonesia maupun Papua untuk mempertahankan dan merebut hak-hak yang kian dirampas tirani, termasuk pembebasan Victor Yeimo.
Front persatuan seluas-luasnya tersebut kemudian harus diwujudkan dalam aksi massa. Karena dengan aksi massa, rakyat yang terlibat dapat belajar mengenai kekuatanya yang dibangun secara kolektif bersama buruh, rakyat tertindas, dan juga kaum muda. Tetapi juga menyaksikan sendiri kebrutalan rezim. Front persatuan dilakukan karena memang ada berbagai macam organisasi dan individu berkumpul dengan landasan kepentingan mendesaknya. Di luar dari itu semua, ada ideologi, perspektif dan bahkan keragaman tradisi organisasi. Karena tuntutanya demokrasi seutuh-utuhnya menjadi kian pentingnya. Demokrasi jugalah yang menjadi landasan penguat sebuah front persatuan.
Maka dari itu, penting sekali untuk membawa prinsip kebebasan propaganda dalam aliansi atau front. Kebebasan propaganda yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai elemen di dalam aliansi akan membuka peluang massa untuk menyuarakan atau menunjukan segala bentuk penindasan yang dilancarkan oleh tirani.
Tak kalah penting, kebebasan propaganda dapat dimanfaatkan oleh kaum revolusioner untuk menjelaskan sebuah tujuan-tujuan trevolusionernya secara terbuka dan utuh. Menjelaskan bagaimana kondisi saat ini adalah keadaan dimana elit penguasa sama sekali tidak punya kepentingan untuk memenuhi seluruh tuntuan demokratis aliansi. Menjelaskan bahwa seluruh tuntutan, termasuk pembebasan Victor Yeimo dan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua hanya bisa dimenangkan oleh massa rakyat sendiri dengan dengan kepemimpinan yang tepat. Partai revolusioner!
Bagaimanapun juga, sebagai sosialis, tentu kita realistis sekaligus dialektis dalam memperjuangkan ini. Persatuan rakyat harus dengan kalangan yang benar-benar konsisten berjuang. Persatuan rakyat demikian tentu harus diiringi dengan perpecahan dengan unsur-unsur penghianat rakyat dan anti rakyat dalam pergerakan.
Oleh karena itu seni yang harus dimainkan oleh seorang sosialis setangkas sekaligus sehalus mungkin, agar bisa menciptakan organisasi, sekaligus aksi massa yang kuat. Aksi massa tetap menurut kaum sosialis bukan hanya karena itu adalah perlawanan yang paling mampu menghantam balik tirani. Namun juga karena dalam kondisi panasnya mobilisasi massa secara besar-besaran, massa akan meninggalkan perasaan inferior di hadapan rezim penindasan. Dengan begitu kaum Marxis revolusioner dapat lebih mudah membangun kesadaran kelas dan menyebarkan wacana revolusioner yang semakin luas diterima massa rakyat.
Buruh, tani, rakyat tertindas lainya, termasuk Papua harus membangun kekuatan politiknya sendiri untuk menumbangkan tirani. Tapi tidak sembarangan politik dan sembarangan alternatif. Hanya kepeloporan revolusioner lah politik yang tepat dan sosialismelah alternatif sejati bagi pembebasan seluruh kaum tertindas.
Bebaskan Victor Yeimo! Bangun kepeloporan revolusioner! Tumbangkan Kapitalisme-kolonialisme, dan bangun sosialisme!
Ditulis oleh Sharon Muller, anggota Lingkar Studi Sosialis
Comment here