Perjuangan

PPKM Gagal: Hentikan Proses Produksi Non-esensial! Jamin Kebutuhan Hidup Rakyat!

PPKM Mikro Darurat pada khususnya maupun berbagai bentuk pembatasan non-karantina oleh pemerintah pada umumnya sebelumnya terbukti tidak manjur alias gagal. Tidak ada hukuman berat terhadap perusahaan-perusahaan raksasa yang mengakibatkan kerumunan massa seperti McDonalds dan GoFood dalam kasus BTS Meal, tidak ada sanksi setimpal terhadap perusahaan-perusahaan non-esensial yang memaksa pekerja tetap bekerja tatap muka, sementara pedagang kecil dan pekerja sektor informal, direpresi, dihardik, dilecehkan, dipaksa menghentikan aktivitas mencari nafkahnya, dengan minim atau bahkan tanpa jaminan bagi pemenuhan kebutuhan hidup dirinya serta keluarganya.

Karena itu muncul banyak pertengkaran di lapangan, bahkan juga perlawanan terhadap kesewenangan pemerintah demikian pada khususnya maupun PPKM pada umumnya. Beberapa kali aksi penolakan PPKM juga digelar di beberapa tempat. Mulai demo ratusan orang di Bandung yang melibatkan kalangan mahasiswa, pedagang kecil, dan ojek daring pada Kamis (22/7/2021) hingga demo puluhan mahasiswa Universitas Pattimura Ambon pada Senin (19/7/2021). Sementara itu di berbagai wilayah juga marak grafiti menolak PPKM dan pesan berantai via media sosial mengajak berdemonstrasi.

Sebagian ajakan ini tidak menunjukkan siapa organisasi atau aliansinya. Malah sebagian menganjurkan agar tidak memakai identitas bahkan juga menolak mengajukan tuntutan serta hanya ingin mengekspresikan kemarahan belaka. Ini tentu saja tidak tepat. Pertama, organisasi dan identitas tetap penting sebagai pertanggungjawaban kepada rakyat, sekaligus meraih kepercayaan massa dan meyakinkan mereka agar berjuang bersama. Sekaligus mematahkan berbagai hoax dan fitnah yang disebarkan penguasa. Tentu selalu ada risiko direpresi dan dikriminalisasi aparat, bahkan diserang premanisme, namun ini bisa disiasati dengan menerapkan taktik-taktik maupun mekanisme keamanan. Juga, gerakan tidak bisa memenangkan tuntutannya bilamana tidak terorganisir dan tanpa kepemimpinan. Tidak bisa semua orang bisa keluar masuk sesukanya, hari ini datang, besok menghilang, tanpa penjelasan, tanpa tanggung jawab, tanpa disiplin. Musuh kelas kita, kelas penghisapan, terutama jajaran aparatnya, jauh lebih teorganisir serta berdisiplin, dan kita tidak akan bisa mengalahkannya kalau juga tidak sama (atau bahkan harus lebih) terorganisir dan berdisiplinnya. Benar ada lompatan besar jumlah partisipasi massa yang bukan anggota organisasi massa apapun dalam gerakan Reformasi Dikorupsi dan Mosi Tidak Percaya sebelumnya. Namun massa yang tidak terorganisir justru harus diorganisir. Karena kalau tidak terorganisir akan mudah menguap begitu saja, apalagi bila dihadapkan dengan hantaman balik rezim penindas berupa represi, intimidasi, kriminalisasi, dan persekusi. Ini yang sudah kita alami sendiri dua tahun lalu saat gerakan Reformasi Dikorupsi serta setahun lalu dalam gerakan anti Omnibus-Law. Tidak kalah pentingnya, kelas buruh harus pegang kepeloporan dalam perjuangan melawan buruknya penanganan pandemi di Indonesia pada khususnya maupun dalam melawan tirani. Kelas buruh di sektor non-esensial harus mempelopori pemogokan nasional untuk mencegah penyebaran pandemi. Karena kelas buruh, termasuk pekerja kesehatan, lah, yang mengoperasikan ekonomi, jadi mereka pula lah yang bisa menyerang kapitalisme tepat di jantung, serta mereka lah yang bisa merebut kekuasaan dari tangan kaum penghisap.

Kedua, penolakan terhadap pengajuan tuntutan apalagi ajakan aksi hanya untuk melampiaskan kemarahan, justru kontraproduktif. Tuntutan berfungsi untuk mendesakkan hal-hal yang harus dikerjakan sasaran massa aksi sebagai pemenuhan terhadap apa yang seharusnya menjadi hak rakyat dan atau sebagai solusi terhadap permasalahannya. Rakyat-pekerja tidak bisa hanya sekadar melampiaskan amarah, entah itu dengan berteriak, berarak-arakan, apalagi menyerang pusat-pusat pemerintah dan aparat, namun saat mereka kembali ke tempat tinggalnya, pulang ke keluarganya, (itu pun kalau tidak ditangkap dan dipenjara polisi), kesengsaraan masih mereka rasakan akibat permasalahan yang sama tetap tidak terselesaikan. Perlawanan harus dengan kesadaran. Pembentukan kesadaran kelas harus didorong di massa, alih-alih hasutan marah. Massa aksi yang sadar kelas dan terorganisir bukan hanya lebih sulit diselewengkan, lebih sulit dihasut aparat penyusup dan dipecah belah, namun juga akan lebih kuat-teguh-bersatu-langgeng karena sepenuhnya sadar akan kekuatannya dan tujuannya sekaligus bagaimana memperjuangkannya. Perkembangan di lapangan menuntut massa aksi harus terus mengevaluasi diri dan beradaptasi. Itu menuntut massa aksi harus terorganisir, karena pergerakan butuh mengoordinir badan-badannya dan arah geraknya, massa aksi partisipannya butuh mendiskusikan bahkan memperdebatkan strategi dan taktik bagaimana yang harus ditempuh serta apa saja kesalahan yang harus diperbaiki. Itu semua tidak bisa kalau bersandar pada spontanitas, kalau menolak kepemimpinan, kalau tidak terorganisir.

Selain itu, PPKM yang tidak manjur dan gagal, bahkan kerap dipakai aparat sebagai dalih untuk merepresi perjuangan rakyat demikian memang harus ditolak. Namun kita tidak bisa kembali ke New Normal karena New Normal dan berbagai pembatasan tak memadai itulah yang mengakibatkan ledakan pandemi di Indonesia sampai melebihi India dan Brazil. Oleh karena itu, patut dihargai dan didukung diusungnya tuntutan penerapan Pasal 55 (1) UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi: “Selama dalam karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.” Tentu sikap rezim selama ini menunjukkan tidak mau menerapkan ini karena tidak mau mengeluarkan uang untuk menanggung semua kebutuhan seluruh rakyat sekaligus tidak mau menghentikan operasi bisnis kapitalisme. Selain itu massa aksi juga tetap perlu mendesakkan tuntutan gentingnya penghentian proses-proses produksi non-esensial. Seluruh produksi dan aktivitas nasional harus dikonsentrasikan untuk menangani pandemi dan menjamin keselamatan-kesehatan-kesejahteraan rakyat. 

Juga perlu ditambahi tuntutan-tuntutan progresif atau maju lainnya seperti “penanganan pandemi di bawah kendali rakyat-pekerja, khususnya pekerja kesehatan.” Suatu tuntutan agar Jokowi dan jajarannya mundur, dapat saja mencerminkan militansi dan keberanian bukan hanya menuding namun juga menuntut pertanggungjawaban rezim penindas yang berkuasa yang bersalah atas kondisi pademi dan anjloknya kesejahteraan rakyat-pekerja kini. Namun tuntutan demikian jangan sampai membingungkan kalangan rakyat-pekerja mengenai siapa gantinya kalau pemerintah sekarang mundur sekaligus juga jangan sampai memberi celah pada oposisi borjuis seperti PKS, Partai Demokrat, dan KAMI untuk berkuasa karena mereka sama saja: memprioritaskan bisnis dan laba di atas keselamatan-kesehatan-kesejahteraan rakyat-pekerja. Maka tuntutan juga perlu dilengkapi dengan slogan-slogan perjuangan. Bilamana tuntutan adalah desakan ke sasaran (yaitu rezim Jokowi-Amin) agar dipenuhi, maka slogan adalah seruan atau ajakan kepada massa, kepada rakyat-pekerja, kepada kawan-kawan seperjuangan, untuk diperjuangkan maupun untuk menarik radikalisasi. Pergerakan massa sebelumnya melawan kesewenangan yang dilegalkan dan melawan perampasan terhadap capaian-capaian perjuangan demokratis rakyat melawan kediktatoran militer Orde Baru-Suharto, telah memberikan slogan-slogan, yang sangat layak kita teruskan. Baik slogan “Mosi tidak percaya” maupun slogan “Bentuk Dewan Rakyat!” Tentu saja ini bisa dilengkapi yang spesifik terkait penanganan Covid-19 seperti “Cegah Penyebaran Covid-19! Hentikan Proses Produksi Non-esensial! Jamin Kebutuhan Hidup Rakyat!”

Kami di Arah Juang, media resmi Perserikatan Sosialis, dengan rendah hati menyatakan telah menyusun pandangan kami soal tuntutan dan slogan terkait ini. Lebih lengkapnya bisa disimak di tulisan Arah Juang berjudul “Virus Corona: Pandemik yang Membongkar Busuknya Kapitalisme” di https://www.arahjuang.com/2020/03/19/virus-corona-pandemik-yang-membogkar-busuknya-kapitalisme

Ditulis oleh Leon Kastayudha | Anggota Sosialis Muda dan Kader Perserikatan Sosialis

Loading

Comment here