Joesoef lahir pada 15 Juli 1928 di Kampung Ketapang, Jakarta. Sekolah-sekolah elit Belanda dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi sudah lebih dini berdiri di sekitar kampung ini. Sebagai anak keluarga berkecukupan, Joesoef sempat belajar di sana. Disini juga, merupakan tempat berkumpulnya pelajar-pelajar dari School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) dimana sebagiannya adalah aktivis kebangsaan. Karenanya Joesoef pun lalu terlibat pergerakan anti-penjajahan. Selain Joesoef, dari Ketapang juga muncul tokoh lain seperti Soetomo, M. Yamin, dan sebagainya.
Saat remaja, Joesoef menyaksikan berbagai penindasan penjajahan terhadap rakyat. Orang-orang kurus kering karena kelaparan, bahkan mati tergeletak karena dianiaya tentara pendudukan Jepang. Saat Jepang menyerah dan angkat kaki dari Indonesia, Joesoef sudah bekerja di surat kabar “Berita Indonesia” yang didirikan oleh S. Taskin, S. Tasrif, Mohammad Sa’af dan Haris (yang adalah paman Joesoef sendiri). Surat kabar “Berita Indonesia”, merupakan surat kabar pertama Republik Indonesia (RI) yang didirikan sejak pendudukan Jepang untuk melawan Gunsai Kambu (sebagai surat kabar yang memihak pendudukan Jepang atas RI). Selama pendudukan Belanda (1945-1949), surat kabar ini mengalami pembredelan sebab dianggap sebagai surat kabar yang mendorong pada pemberontakan dan pembangkangan. Sebelumnya, sebulan setelah Proklamasi RI, Joesoef Isak bersama Barhanuddin Mohammad (BM) Diah dan Rosihan Anwar serta kawan-kawan lainnya bergerak mempersenjatai diri, menyerbu percetakan koran Jepang Djawa Shimbun. Tentara Jepang di luar dugaan menyerahkan percetakan tanpa perlawanan. Tahun 1949 setelah BM Diah membeli “Berita Indonesia” untuk digabungkan ke dalam surat kabar “Merdeka” serta-merta Joesoef bekerja sebagai staf pada redaksi Merdeka. Tepatnya sebagai wakil pimpinan redaksi sementara BM Diah menjadi pimpinan redaksi dan Rosihan Anwar sebagai redaktur.
Pada masa demokrasi terpimpin, Joesoef muda tumbuh dalam lingkungan dimana kesadarannya dikepung dengan kesadaran Partai Sosialis Indonesia (PSI). Joesoef tidak bergabung dengan PSI, namun secara emosional mendukung PSI. Ini berubah di awal tahun 1958, meledaknya peristiwa PRRI-Permesta, ia merubah haluan politiknya pada Sukarno dan meninggalkan PSI. Joesoef pun mulai mendalami ide-ide Marxisme dan Liberalisme. Keberpihakannya pada Sukarno tak lain karena sejak mula-mula ia begitu gandrung pada persatuan Indonesia.
Tahun 1959, Joesoef mulai masuk organisasi kewartawanan yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tahun yang sama, setelah bergabung sebagai anggota PWI, ia pun dicalonkan untuk menduduki kepengurusan PWI-Jakarta dan kemudian terpilih sebagai ketuanya dengan hampir suara bulat.
Awalnya Joesoef didukung oleh orang-orang kanan yang tidak menghendaki dunia pers jatuh pada kekuatan radikal-kiri seperti Bintang Timur, Harian Rakjat, dan semacamnya. Namun sebaliknya, orang-orang kiri rupanya lebih tajam melirik Joesoef yang waktu itu sudah meninggalkan garis PSI, maka secara serentak seluruh kubu kiri mendukungnya pula.
Sukarno sendiri sangat menghendaki agar PWI-Jakarta dapat berdiri di garisnya serta dipimpin oleh orang-orang moderat progresif hingga sanggup menentukan segala kebijakan terhadap koran-koran daerah. Perebutan PWI pusat dengan dukungan penuh Sukarno, mendorong kemajuan PWI Jakarta lebih maju. Joesoef, menghadiri Kongres PWI di Makassar pada tahun 1960 untuk menaikkan Djawoto seorang pimpinan redaksi surat kabar “Antara” yang mendukung program Sukarno sejak tahun 1955. Pertarungan tersebut berhasil dimenangkan Joesoef yang mendorong kepemimpinan Djawoto di PWI Pusat dan menggeser kepemimpinan Tengku Syahril dari PSI.
Sikap-sikap Joesoef dengan keberpihakan politiknya membuat ia dipecat dari PWI dan surat kabar “Merdeka” pada tahun 1962. Perselihannya dengan BM Diah terkait prinsip-prinsip politik, membuat Joesoef harus keluar dari surat kabar “Merdeka”. Diah memandang Joesoef telah membawa “Merdeka” menjadi berhaluan kiri.
Diah sendiri berpendapat surat kabar harus netral, seperti yang ia sampaikan “Merdeka harus terus berjuang dengan keringat sendiri. Kita bukanlah pendukung dari suatu partai ataupun aliran politik tertentu. Kita harus memilih berita yang terbaik untuk rakyat,”.
Dipecat dari surat kabar “Merdeka” dan organisasi PWI pada tahun 1962 karena menjadi sayap kiri, Joesoef dengan cepat terpilih sebagai sekretaris jenderal Asia-Afrika Journalist Assosiation (AAJA) dan lalu melakukan perjalanan ke sebagian besar negara “nonblok”.
Prestasi Joesoef dihancurkan oleh Malapetaka 65 dimana militerisme di bawah pimpinan Suharto melakukan kudeta merangkak diiringi pembantaian jutaan massa rakyat. Sepanjang tahun 1965 hingga tahun 1968, berkali-kali Joesoef mengalami interogasi dan penahanan, namun belum dipenjara. Hal itu diikuti, pembredelan koran-koran yang dianggap pendukung Bung Karno dan penangkapan pengurus-pengurus PWI dari unsur komunis. Masa ini kepengurusan PWI dan AAJA direbut para pendukung Suharto dan Orba.
Waktu itu Joesoef menyaksikan sendiri bagaimana intelejen bergerak dan berinisiatif sendiri-sendiri, antara lain intel baret hijau, intel Siliwangi dan beberapa kesatuan militer lainnya. Karenanya ia pernah mengalami penahanan di banyak tempat: tahanan Kodam, gedung Xin Hua, Universitas Rakyat (Unra), Gedung Koperasi Batik dan juga Pintu Besi (salah satu sekolah terbesar Tionghoa yang kemudian disita menjadi tempat tahanan).
Joesoef ditahan sebagai pendukung Sukarno dan posisi dia sebagai pemimpin organisasi penting yang dianggap “berbahaya” oleh orde baru. Joesoef ditahan pada tahun 1968, penahanannya dilakukan oleh tim khusus dari badan intelijen Kodam, yaitu Likdam (Penyelidik Kodam). Ia dibawa bersama suatu rombongan yang disatukan dalam satu bus, dan langsung diarahkan menuju Salemba.
Sebagai tapol golongan A yang statusnya disejajarkan dengan para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI), Joesoef sangat dikekang. Ia dilarang mengikuti perkembangan sosial-politik di luar penjara. Para tahanan menyiasatinya dengan menyampaikan informasi dari telinga ke telinga antar sesama tapol dan surat-surat kecil yang disusupkan melalui rantang makanan. Satu-satunya bacaan yang boleh masuk cuma kitab suci.
Di periode tahun 1970-an setiap barang yang mengandung kertas sama sekali tidak diperbolehkan masuk. Bahkan sebungkus rokok pun satu persatu harus dikeluarkan dari kemasannya.
Para tapol di arahkan pada “proyek” untuk memanfaatkan tenaga mereka menurut keahliannya masing-masing. Para tapol yang tadinya seorang arsitek atau pematung biasanya dipekerjakan untuk membikin atau merenovasi rumah-rumah para petinggi militer. Sedangkan yang dianggap tak punya keahlian dipekerjakan sebagai yang menuruti perintah atasannya.
Sedangkan, seorang arsitek atau pematung yang dipekerjakan dengan cukup waktu atau kekeluasaan untuk beristirahat. Dari merekalah Joesoef menerima selundupan koran-koran yang dicemplungkan melewati jeruji-jeruji selnya setiap malam, untuk dibaca dan dihancurkan menjadi bahan membuat lukisan atau patung dengan disobek atau di rendam di air setiap jam 04.00 hingga jam 05.00 pagi. Koran-koran yang diterimanya antara lain Merdeka, Kompas, dan bahkan majalah Time atau Newsweek dan lain-lain.
Joesoef dibebaskan dari penjara, pada tahun 1978. Hambatan saat itu, para tapol yang dibebaskan tidak boleh bersentuhan dengan dunia tulis-menulis. Pada tahun 1980, ia bertemu Hasjim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer untuk membicarakan membangun perusahaan penerbitan yang kelak dikenal sebagai “Hasta Mitra”. Pendirian Hasta Mitra merekrut 20 mantan tapol sebagai pekerjanya.
Peran Hasta Mitra sangat besar dalam melawan penyimpangan sejarah oleh Orba. Penerbitan Tetralogi Pulau Buru sebagai novel sejarah terbesar Indonesia, memoar, sejarah, koleksi lengkap dokumen internal CIA berkaitan dengan gerakan 30 September 65, dan versi Indonesia pertama atas Kapital-nya Karl Marx yang diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen, salah satu pimpinan Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan anggota PKI, serta 80 judul lainnya.
Ditulis oleh Dipayana Raka | Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Lingkar Studi Kerakyatan
Comment here