Perspektif

Kudeta Militer dan Perjuangan Demokratis Rakyat Myanmar

1 Februari 2021, Tatmadaw alias Angkatan Bersenjata Myanmar mengudeta pemerintahan dan menangkapi Suu Kyii serta banyak pejabat dari Liga Nasional Demokrasi. Kudeta yang semakin menggerus demokrasi di Myanmar itu ditanggapi rakyat dengan ledakan protes luar biasa. Rakyat Myanmar pernah merasakan betapa menderitanya hidup di bawah kekuasaan militer selama puluhan tahun dan bersumpah tidak akan mau mengalami penderitaan seperti itu lagi. Perlawanan ini dibalas penindasan brutal oleh Tatmadaw. Hingga 16 Mei, setidaknya 796 demonstran, termasuk 44 anak-anak, telah dibunuh tentara dan polisi, dan 3.778 orang lainnya ditahan.

Kudeta militer 2021

Senin (1/2/2021) dini hari, stasiun televisi militer menyatakan kekuasaan telah dialihkan kepada Panglima Badan Teringgi Pertahanan: Min Aung Hlaing. Kudeta dilakukan sehari sebelum Parlemen Myanmar disumpah dan dilantik sebagai hasil Pemilu 2020. Liga Nasional untuk Demokrasi atau National League for Democracy dalam bahasa Inggris–disingkat NLD–yang dikepalai Aung San Suu Kyi memenangi pemilihan umum untuk kedua kalinya berturut-turut. Meskipun militer, yang telah menguasai Myanmar/Burma selama kurang lebih 50 tahun, tetap memiliki kursi terkuat di kabinet, mereka tidak bisa menolerir kekalahan ini. Maka Tatmadaw menyatakan hasil Pemilu November 2020 tidak sah.

Malam itu, Tatmadaw menangkap serta mengkriminalisasi Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan pimpinan NLD berdalih pelanggaran pembatasan Covid-19, sekaligus merahasiakan dimana mereka ditahan. Tentara memblokade jalanan di ibu kota, Nay Pyi Taw, dan kota terbesar, Yangon. Stasiun-stasiun televisi domestik dan internasional, termasuk milik pemerintah, tidak disiarkan. Jaringan internet dan telepon dimatikan. Beberapa saat kemudian, militer mengumumkan 24 menteri dan deputi telah dicopot, termasuk nama-nama para penggantinya, terutama dalam bidang keuangan, kesehatan, urusan dalam negeri, dan luar negeri. Tatmadaw memberlakukan darurat militer di sebagian besar wilayah negara selama satu tahun ke depan.

Latar belakang

Tatmadaw sebelumnya telah menguasai Myanmar selama sebagian besar sejarah modern negara itu. Setelah merdeka dari kekuasaan Inggris tahun 1947, Myanmar mengalami periode perkembangan industri yang pesat – disertai dengan meningkatnya militansi buruh – hingga Tatmadaw, yang takut akan ancaman gerakan kelas buruh yang melawan, merebut kekuasaan pada 1962.

Tatmadaw memerintah selama dua dekade selanjutnya melalui rezim negara kapitalis otoriter. Tetapi Agustus 1988, rezim diguncang oleh demonstrasi-demonstrasi pelajar serta pemogokan-pemogokan yang menuntut demokrasi. Aung San Suu Kyi, anak dari Aung San, pimpinan militer yang memimpin gerakan kemerdekaan dari Inggris, menempatkan diri sebagai pemimpin gerakan, dan mengalihkan gerakan dari konfrontasi dengan rezim. Karena pengalihan itu, Tatmadaw mendapat kesempatan untuk kembali memegang kendali atas situasi, membantai ribuan warga sipil, dan membakar hidup-hidup para pimpinan protes.

Tatmadaw menyusun konstitusi tahun 2008 untuk memastikan bahwa mereka akan terus memegang tuas utama kekuasaan. Seperempat kursi di kedua majelis parlemen dijatah untuk pejabat militer, sehingga memastikan bahwa mereka dapat memblokir amandemen konstitusi apa pun. Tatmadaw juga tetap mengendalikan kementerian-kementerian yang kuat, termasuk pertahanan dan urusan dalam negeri, dan karenanya dikecualikan dari pengawasan sipil. Suu Kyi, yang dibebaskan dari tahanan rumah pada tahun 2010, dan NLD miliknya telah setuju untuk mempertahankan pengaturan ini meskipun militer secara resmi mengizinkan pemerintahan sipil satu dekade lalu. Selama pemerintahan NLD, Tatmadaw percaya bahwa mereka dapat menaikkan posisinya melalui kendaraan elektoral, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan atau dalam bahasa Inggris: Union Solidarity and Development Party yang disingkat: USDP. Namun USDP gagal besar dalam lingkup elektoral dan kalah terhadap NLD. NLD memenangkan mayoritas parlemen baik dalam pemilu 2015 maupun 2020. Tatmadaw telah kalah dua kali, dan tidak bersedia membiarkan kekalahan berikutnya terjadi.

Keluarnya Undang-Undang Pertahanan yang mewajibkan Panglima Militer untuk pensiun pada umur 65 tahun, tidak dapat dibiarkan oleh Tatmadaw. Karena Panglima Militer terbesarnya, Min Aung Hlaing akan diharuskan pensiun pada Juli 2021. Selain itu, konstitusi memberikan mandat pada Presiden dengan berkonsultasi ke Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional, hak untuk menunjuk Panglima Badan Tertinggi Pertahanan berikutnya. Dengan demikian Presiden berkesempatan menunjuk tokoh militer pro-reformasi, dan bukan orang pro-militer.

Bagi Tatmadaw, kehilangan posisi sentral politik juga berarti kehilangan posisi sentral ekonomi dan sumber kekayaannya. Sejak tahun 90-an, Tatmadaw telah mengonsolidasikan posisinya sebagai faksi sentral dari kelas kapitalis Myanmar. Melalui dua konglomerasi milik militer – Myanmar Economic Corporation dan Myanmar Economic Holding Ltd. – Para pejabat Tatmadaw menggunakan privatisasi untuk menguasai perusahaan yang sebelumnya dikelola negara dengan harga jual yang sangat rendah. Konglomerat-konglomerat ini mengendalikan bisnis dan investasi di berbagai sektor mulai dari bir, tembakau dan bahan habis pakai, hingga pertambangan, penggilingan, pariwisata, pengembangan properti, serta komunikasi. Tak hanya itu, MEC dan MEHL juga berinvestasi dalam aktivitas pelabuhan komersial Myanmar, depo peti kemas, penambangan batu giok dan batu rubi, real estat, konstruksi, dan banyak lainnya. Putra Min Aung Hlaing, Aung Pyae Sone, menjalankan bisnis pasokan medis, A&M Mahar, yang menjual izin Badan Pengawas Obat dan Makanan dan perantara impor obat-obatan, serta perdagangan dan pemasaran obat-obatan dan teknologi medis. Semua kerajaan bisnis itu, diawasi dan diurus oleh Min Aung Hlaing beserta anak-anak dan menantu-menantunya. Kudeta militer oleh Tatmadaw dibiayai oleh keuntungan konglomerasi ini, dan begitu juga sebaliknya, seluruh konglomerasi ini dilindungi oleh Tatmadaw.

Taktik Geopolitik Tatmadaw Sebelum dan Sesudah kudeta

Beberapa hari sebelum kudeta, IMF menggelontorkan dana sebesar $30 juta secara tunai ke Bank Central Myanmar sebagai bagian paket bantuan darurat untuk menangani pandemi Covid-19. Bantuan ini diberikan tanpa syarat dan hal seperti ini tidak pernah diberikan oleh IMF sebelumnya. Tak hanya itu, setelah kudeta terjadi, Tatmadaw menyewa seorang pelobi Israel-Kanada untuk mewakili mereka di Amerika Serikat, agar dapat meyakinkan Washington bahwa para jenderal Myanmar ingin mempererat hubungan dengan Amerika dan menjauh dari Tiongkok. Ari Ben-Menashe dan perusahaannya Dickens dan Madson Canada dibayar dua juta dolar AS untuk melakukan pekerjaan tersebut beserta lobi-lobi investasi dengan kapitalis internasional lainnya, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Israel, Rusia, serta badan-badan internasional seperti PBB.

Respon rakyat

Ledakan perlawanan rakyat Myanmar dilakukan dengan berbagai aksi pembangkangan sipil, gelombang pemogokan buruh, kampanye boikot produk-produk dan bisnis-bisnis militer, cacerolazos, membangun barikade sampah, kampanye pita merah, serta berminggu-minggu berdemonstrasi memenuhi jalanan utama di seluruh Myanmar.

Buruh-buruh garmen yang sebagian besar adalah perempuan telah melancarkan mogok kerja di seluruh wilayah Myanmar dan telah menjadi barisan terdepan dalam perlawanan terhadap junta militer. Mereka menjadi pusat gerakan buruh di Myanmar, dengan menutup pabrik-pabrik di seluruh negara sebagai bagian dari mogok umum nasional. Ribuan buruh turun ke jalan dan mogok kerja. Serikat-serikat buruh dari berbagai sektor telah menyerukan kepada para buruh untuk mogok kerja hingga junta militer dapat dikalahkan. Pemogokan buruh menyebar ke sektor-sektor lainnya. Sejak sehari setelah kudeta, buruh kesehatan dan pegawai negeri seluruh Myanmar, termasuk di ibu kota Naypyidaw, melakukan aksi pembangkangan sipil. Seorang ahli pemerintahan memperkirakan ada satu juta pegawai negeri Myanmar dan sekitar tiga perempatnya menolak bekerja. Termasuk para pekerja di Kementerian Luar Negeri Myanmar dan Kementerian Pertanian, Perternakan, dan Irigasi Myanmar. Buruh kesehatan dari 110 rumah sakit dan institusi pemerintah menginisiasi mogok buruh sejak 3 Februari. Sejak itu vaksinasi COVID terhenti, sistem tes laboratorium kolaps, dan sebagian besar rumah sakit di Myanmar ditutup. Tujuh organisasi guru, termasuk Federasi Guru Myanmar yang beranggotakan 100.000 orang, menyatakan bergabung dalam pemogokan.  Buruh-buruh administrasi, kesehatan, dan pendidikan termasuk mahasiswa di 91 rumah sakit pemerintah, 11 universitas dan perguruan tinggi, dan 19 departemen pemerintah di 79 kota terlibat dalam pemogokan. Seluruh buruh kereta api Myanmar bergabung dalam pemogokan sehingga transportasi kereta api dihentikan sama sekali. Bank-bank juga menutup operasinya karena buruh-buruh perbankan berpartisipasi dalam pemogokan. Sejak 25 Februari, sopir truk pelabuhan bergabung dalam pemogokan dan menolak mengangkut barang dari dermaga di empat pelabuhan utama Yangon. Asosiasi Truk Kontainer Myanmar mengatakan bahwa sekitar 90% dari 4000 sopir truk melakukan mogok, dan hanya bersedia mengangkut makanan dan obat-obatan. Ditambah dengan 300 buruh tambang di Kyisintaung, dan para buruh penerbangan dari Maskapai Nasional Myanmar yang juga bergabung dalam pemogokan.

Para perempuan di pusat-pusat perkotaan seperti Yangon, mengawali gelombang perlawanan dengan melakukan cacerolazos, yaitu aksi memukuli peralatan dapur secara bersama-sama bersahut-sahutan setiap malam sebagai aksi simbolik megusir setan jahat, sebuah metode untuk menunjukkan perlawanan mereka terhadap kudeta. Penduduk setempat juga melancarkan ‘pemogokan sampah’ yaitu dengan membuat barikade sampah yang ditumpuk di jalanan dan membakarnya untuk menghadang polisi dan tentara masuk ke lingkungan mereka.

Rakyat Myanmar juga memboikot produk-produk yang berkaitan dengan Tatmadaw. Tak hanya dilakukan secara perorangan, boikot dilakukan secara kolektif seperti toko-toko dan rumah-rumah makan yang tidak bersedia menjual produk-produk militer. Mereka juga tidak bersedia menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari kepada personel polisi dan militer Myanmar, serta anggota keluarga mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan penentangan mereka tak hanya terhadap rezim militer tapi juga kepada pasukan tentara dan polisi yang terlibat dalam represi brutal yang dilakukannya kepada para pengunjuk rasa anti-kudeta. Banyak toko di daerah Yangon, Mandalay, Bago, Karen, dan Kachin yang terang-terangan memasang spanduk di depan toko mereka yang bertuliskan bahwa mereka tidak menjual kepada polisi dan personel militer. Sejumlah entitas bisnis besar yang selama ini dekat dengan militer juga diboikot. Mulai dari operator telekomunikasi seluler terbesar, Mytel, disusul oleh dua merek bir terpopuler Myanmar Beer dan Black Shield. Lalu perusahaan rokok Red Ruby dan Premium Gold. Ditambah lagi dengan kampanye berhenti membeli dari bisnis yang terkait dengan militer Myanmar, seperti supermarket Gandamar Wholesale dan Ruby Mart, hingga perusahaan bahan bakar minyak Myawady Petrol. Akibat boikot tersebut sebagian besar supermarket, restoran, dan hotel di Yangon dan Mandalay tak lagi menyajikan merek bir milik Tatmadaw.

Represi rezim

Tatmadaw tidak tinggal diam terhadap gelombang perlawanan yang besar itu. Mereka mematikan seluruh jaringan internet dan sosial media, menghentikan media massa, menangkap dan mengkriminalisasi para demonstran, menyebarkan hoax, mengganti menteri-menteri strategis dengan orang-orang militer, mengerahkan ormas pro-militer, dan tentu saja melakukan kekerasan brutal untuk membungkam demonstran.

Ada banyak video merekam tentara dan polisi secara sistematis bergerak masuk ke pemukiman, menghancurkan properti milik penduduk, menjarah toko, menangkapi, dan dengan kejam memukuli pengunjuk rasa, petugas medis, dan orang-orang sekitar secara sewenang-wenang, serta menembaki rumah-rumah penduduk tanpa pandang bulu. Menurut situs berita Myanmar Now, Tatmadaw mengeluarkan ancaman di televisi bahwa para demonstran bisa ‘ditembak di kepala’ saat melakukan demonstrasi. Represi Tatmadaw sangat mengerikan: pembasmian dengan kekerasan, termasuk penggunaan penyiksaan dan penculikan; hingga serangan ke rumah-rumah dan bahkan ke rumah sakit yang merawat demonstran yang terluka. Dalam satu periode yang paling mengerikan, tiga hari di bulan Maret, hanya di satu distrik di Yangon, ibu kota Myanmar, ada 242 yang terbunuh, 60 orang ditanggap dan hilang, dan 27 jenazah hilang.

Kebrutalan represi yang dilakukan Tatmadaw terhadap demonstran tidak tertanggungkan, bahkan bagi personel polisi berpangkat rendah yang ditugasi melakukannya. Beberapa dari mereka memutuskan menolak mematuhi perintah militer untuk menembaki para demonstran anti-kudeta, sehingga mereka dan keluarganya harus melarikan diri dan bersembunyi dari kejaran militer, kemudian tinggal di rumah-rumah demonstran lain dan bergabung dalam perlawanan. Anggota keluarga dari tentara yang mendukung protes anti-kudeta juga harus melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, bahkan dari keluarganya. 5 Maret 2021, 11 anggota Kepolisian Myanmar melarikan diri, menyeberang perbatasan ke India bersama para keluarganya karena menolak menghadapi demonstran dengan senjata mematikan. Pemerintah Myanmar mendesak pemerintah India untuk memulangkan para pengungsi tersebut. Sementara itu, tercatat hingga tanggal yang sama, lebih dari 600 polisi telah membelot, bergabung ke dalam gerakan anti-kediktatoran. Akhir Maret, dilaporkan lusinan demonstran bergerak ke perbatasan Myanmar untuk bergabung dan berlatih ke salah satu kelompok pemberontak. Tentara Arakan mengancam mengakhiri gencatan senjata dengan Tatmadaw kalau pemerintah terus membantai demonstran. 28 Maret menandai para demonstran pertama kalinya membalas Tatmadaw dengan perlawanan bersenjata. Pengunjuk rasa di kota Kalay menyerang balik tentara dan polisi dengan menggunakan senapan pemburu dan bom api. 10 April 2021, Aliansi Utara, yang mencakup Tentara Araan, Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang, dan Tentara Aliansi Demokratis Nasional Myanmar menyerang kantor polisi di Naungmon dan menewaskan setidaknya 10 aparat. 26 April 2021, para pemberontak dari Tentara Pembebasan Nasional Karen merebut pangkalan militer Tatmadaw di perbatasan Myanmar-Thailand.

Solidaritas Internasional

Solidaritas internasional datang dari Thailand, ribuan mahasiswa dan pelajar Thailand beserta demonstran anti-pemerintah turun ke jalan menuju kediaman PM Thailand pada Minggu 28 Februari untuk mengecam korupsi dan menunjukkan solidaritas mereka terhadap rakyat Myanmar yang melawan kudeta militer di Myanmar. Mereka dilempari gas air mata, dipukul mundur dengan meriam air, dan ditembaki peluru karet oleh polisi.

Warga negara Myanmar di Tokyo, Jepang, bersama rakyat setempat yang bersolidaritas melakukan demonstrasi anti-kudeta di depan Universitas PBB. Sementara itu Kepolisian Singapura pada 5 Februari 2021 melarang warga asing ikut demo anti-kudeta. Tanggal 14 Februari, mereka menangkap tiga orang yang melakukan protes di depan Kedutaan Myanmar Singapura. Polisi Macau juga memperingatan warga negara Myanmar dilarang melakukan demonstrasi anti-kudeta. Di Amerika Serikat, lebih dari 150 orang melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Myanmar di Washington. Di Australia, aksi solidaritas terhadap demonstran Myanmar berlangsung di Perth, Melbourne, dan Sydney. Banyak dari solidaritas ini kemudian membangun jaringan internasional seperti Milk Tea Alliance, yang juga muncul di Indonesia dan sempat beberapa kali beraksi massa memprotes kudeta. Termasuk mengecam pertemuan ASEAN yang diselenggarakan pemerintah Jokowi-Amin di Jakarta dengan mengundang Jenderal Min Aung Hlaing sebab itu sama saja mengakui pemerintah hasil kudeta. Namun aparat merepresi dan menangkap sewenang-wenang aparat beberapa demonstran anti-kudeta dan pendamping hukumnya.

Represi pemerintah Jokowi-Amin terhadap para demonstran anti-kudeta dan di sisi lain lunaknya pemerintah terhadap diktator militer Myanmar bukan hanya menunjukkan negara borjuis Indonesia tidak benar-benar berkepentingan terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Melainkan juga lebih banyaknya kepentingan dan persamaan di antara kedua pemerintahan. Apalagi dalam sejarahnya, kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Harto memberikan didikan langsung kepada kediktatoran militer Myanmar. Beberapa kali Tatmadaw berguru langsung ke Orba, termasuk soal Dwi Fungsi ABRI. Hanya solidaritas internasionalis buruh dan kaum tertindas sedunia yang berpotensi menunjukkan komitmennya dalam perjuangan demokratik melawan imperialisme.

Ditulis oleh Aghe Bagasatriya

Loading

Comment here