Revolusi adalah suatu perubahan dimana suatu negara atau rezim digulingkan serta dirombak total oleh suatu gerakan rakyat yang bukan hanya berisi mobilisasi massa namun juga perubahan sosial, ekonomi, dan kebudayaan secara mendasar sekaligus menyeluruh, baik selama atau pun segera sesudah perebutan kekuasaan. Sebagaimana dikatakan Tan Malaka, revolusi bukanlah suatu peristiwa yang bisa dikarang-karang atau dijadwalkan. Itu adalah suatu keniscayaan sejarah, buah langsung dari kontradiksi internal masyarakat kelas termasuk kapitalisme itu sendiri. Tugas kaum Revolusioner adalah berjuang memenangkannya.
Karl Marx dan Friedrich Engels memandang bahwa revolusi akan muncul pertama kali di negara-negara Imperialis. Mereka memperkirakan sosialisme akan tercapai lebih awal di negara yang memiliki corak produksi terdekat dengan itu: kapitalisme, terutama kapitalisme yang paling maju. Krisis memang bisa merata di pusat maupun pinggiran kapitalisme. Namun kenyataannya, revolusi meletus terlebih dahulu justru di mata rantai kapitalisme paling lemah. Dengan kata lain di negara kapitalisme terbelakang.
Dari sini muncul permasalahan mengenai tahapan-tahapan revolusi. Karena negara-negara kapitalis terbelakang tidak mengalami penuntasan tugas-tugas demokratis-nasional sepenuhnya. Tugas-tugas demokratis nasional adalah tugas-tugas yang harus ditunaikan oleh kelas borjuis saat menggulingkan feodalisme–tatanan masyarakat kelas sebelumnya, dan menggantikannya dengan kapitalisme. Tiga inti tugas-tugas demokratis nasional adalah penggantian kerajaan dengan republik, teokrasi dengan demokrasi, dan penghambaan dengan kerja upahan. Namun tidak kalah pentingnya, peralihan demokratis nasional mewajibkan, reforma agraria, penghapusan monarki dan keningratan, pembentukan parlemen, pembentukan negara bangsa dengan pasar nasional serta batas-batas wilayah formal, pembebasan nasional, modernisasi, serta industrialisasi nasional. Bagi negara-negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat dan Jerman, tugas ini sudah terpenuhi dan kaum sosialis ketika revolusi pecah, bisa langsung memperjuangkan menangnya revolusi sosialis. Namun bagi kaum sosialis di negara-negara kapitalis terbelakang, mereka masih menghadapi bagaimana menuntaskan tugas-tugas demokratis nasional.
Banyak kaum Marxis memandang bahwasanya perkembangan suatu tatanan masyarakat harus melalui tahapan-tahapan dan tidak bisa melompat. Tatanan masyarakat feodal mustahil melompat ke tatanan masyarakat sosialis. Sama mustahilnya dengan masyarakat tribal atau kesukuan melompat ke masyarakat kapitalis. Sebab mereka memandang bahwa di negara-negara yang kurang memiliki prasayarat-prasyarat dasar bagi kapitalisme (apalagi sosialisme) dibutuhkan terbentuknya populasi kelas buruh yang luas, terorganisir, dan terdidik, selain juga pembentukan perkotaan berdasarkan industrialisasi dan urbanisasi, konsentrasi kapital, dan kultur politik demokratis. Oleh karena itu muncul pandangan bahwa di negara kapitalis terbelakang, revolusi harus melalui dua tahap. Pertama, tahap demokratis nasional. Kedua, tahap sosialis.Perbedaan lebih jauh muncul mengenai bagaimana melalui dua tahapan berbeda itu.
Kaum Menshevik memandang, karena tahapan pertama adalah tahapan demokratis nasional, maka tidak masalah bilamana bekerjasama dengan borjuasi bahkan tidak mempermasalahkan kepemimpinan dipegang oleh kaum borjuis. Dengan alasan musuh bersamanya adalah kalangan monarki-feodal. Bahkan mereka memandang tahapan ini harus melalui tahapan perantara berupa pendirian rezim borjuis-demokratis dan karenanya tidak mungkin mendirikan kediktatoran proletar. Perkembangan pasar, industri, modernisasi, dan tingkat kebudayaan harus matang sampai tuntas baru kelas proletar bisa bicara mengenai perebutan kekuasaan.
Berbeda dengan itu, Lenin dan kaum Bolshevik meskipun sama-sama menekankan revolusi harus melalui dua tahap, justru mewajibkan kelas proletar lah yang harus memegang kepemimpinan terhadap perjuangan revolusi demokratis nasional. Dalam Dua Taktik Demokrasi Sosial dalam Revolusi Demokratis ia mengatakan, “Hanya proletariat yang bisa menjadi pejuang konsisten demokrasi. Namun ia hanya akan bisa menjadi pejuang yang memenangkan demokrasi hanya bilamana massa tani bergabung dalam perjuangan revolusionernya. Jika proletariat tidak cukup kuat untuk mewujudkan hal ini, maka kaum borjuasi akan mengepalai revolusi demokratis dan menularinya dengan sifatnya yang mencla-mencle dan egois…” Lenin juga menolak masa perantara dengan rezim borjuis dengan mengatakan, “…hanya kediktatoran demokratis revolusioner proletariat dan tani yang bisa mencegah hal itu.”
Joseph Stalin sayangnya di kemudian hari mengubah tafsiran mengenai pandangan Lenin itu serta memasukkan pandangan Menshevik yang diperbarui ke dalamnya. Ini diterapkan Internasional Komunis pimpinan Grigory Zinoviev yang sudah didominasi Stalin ke persoalan Tiongkok. Mereka memandang bahwa karena perjuangan untuk revolusi Tiongkok ada pada tahapan pertama yaitu demokratis nasional maka kaum komunis Tiongkok harus tunduk pada kepemimpinan Kuo Min Tang (KMT) atau Partai Nasionalis Tiongkok (yang merupakan cerminan borjuasi nasional Tiongkok), bahkan bergabung ke dalamnya. Alih-alih membangun kemandirian kelas dan kepeloporan revolusioner. Sesuatu yang berujung pada Pembantaian Shanghai. Kebijakan revolusi dua tahap neo-Menshevik ini diambil setelah Uni Soviet secara resmi merumuskan teori sosialisme di satu negeri. Teori yang memandang bahwa kelas buruh bisa dan harus membangun tatanan masyarakat sosialis di satu negeri. Hal yang berlawanan dengan pandangan Friedrich Engels maupun Lenin sendiri. Namun ini dirumuskan karena hampir semua revolusi pasca-PD I di Eropa berakhir dengan kekalahan, kecuali di Rusia. Rezim birokrat berkepentingan mengalihkan fokus dari apa yang semula orientasi revolusi dunia menjadi sosialisme di satu negeri, demi mempertahankan kekuasaannya. Sebagai akibatnya, rezim birokrat juga lebih berkepentingan memelihara hubungan baik dengan negara borjuis tetangganya daripada membantu kelas buruh negara lain merebut kekuasaan yang berisiko menjadi pesaing atau malah ancaman bagi rezim birokratnya.
Teori revolusi dua tahap neo-Menshevik di kemudian hari tidak hanya melahirkan teori sosialisme di satu negeri saja. Melainkan juga Popular Front atau Front Kerakyatan dan People’s Democracy atau Demokrasi Rakyat. Muasal lahirnya Popular Front harus dilihat dari sejarah sebelumnya Stalinis menolak gagasan United Front atau Front Persatuan agar bersatu dengan kaum buruh Demokrat Sosial untuk melawan musuh bersama yang tengah membesar yaitu kaum fasis. Mereka berpegang pada teori periode ketiga. Komintern merumuskan teori ini pada Kongres Dunia Keenam Komintern di Moskwa 1928. Isinya sejarah berkembang lewat tiga periode. Periode pertama adalah kebangkitan revolusioner dan kekalahan kelas buruh pasca-PD I. Periode kedua adalah konsolidasi kapitalis bagi mayoritas dasawarsa 1920an. Periode ketiga, adalah keambrukan ekonomi meluas dan radikalisasi proletariat. Stalinis percaya bahwa kebangkitan fasis hanyalah bagian dari periode kedua dan setelahnya buruh akan berkuasa. Oleh karena itu mereka memproklamirkan, “Setelah Hitler, giliran kita!” Atas dasar itu, alih-alih bersatu dengan buruh Demokrat Sosial, Stalinis bahkan mencap mereka sebagai kaum social-fascist. Teori Stalinis ini terbukti salah, kaum fasis malah berkuasa, dan kiri dipersekusi. Maka Popular Front dirumuskan sebagai manuver banting setir ke kanan oleh Komintern. Perintahnya kaum komunis harus menunda semua perjuangan kelas dan perjuangan kemerdekaan demi mendahulukan perjuangan melawan fasis, untuk itu harus bersekutu dengan semua elemen demokratis, termasuk borjuis demokratis dan imperialis demokratis. Perintah ini bukan hanya menghancurkan revolusi Spanyol namun juga memicu perpecahan di antara kaum komunis dengan kaum nasionalis di negara-negara jajahan.
Dari Popular Front tadi dikembangkan pula teori People’s Democracy atau Demokrasi Rakyat. Suatu bentuk pemerintahan lintas kelas yang melibatkan kelas manapun asalkan demokratis dan anti-fasis. Konsep yang bahkan berbeda dengan Kediktatoran Proletar sebagaimana dipaparkan Marx maupun Kediktatoran Demokratis Buruh dan Tani sebagaimana diuraikan Lenin.Berbeda dengan konsep Marx maupun Lenin, di sini bukan hanya kelas borjuasi memiliki kepemilikan privat yang dilindungi negara namun juga dilibatkan dalam pemerintahan. Secara formal Demokrasi Rakyat dipakai Uni Soviet sebagai dasar untuk mendirikan negara-negara Republik Rakyat atau Republik Demokratis Rakyat di negara-negara Eropa yang didudukinya setelah mengalahkan kaum fasis di Perang Dunia II. Secara hakikat ini dilakukan karena Stalin tidak ingin menimbulkan kesan bahwa Uni Soviet melakukan invasi atau ekspansi ke negara-negara lain namun di sisi lain ia menyadari bahwa PD II akan disusul dengan Perang Dingin dimana negara-negara imperialis akan melanjutkan permusuhannya terhadap komunis setelah kaum fasis di negara-negara Poros atau Axis berhasil dikalahkan. Oleh karena itu Republik Rakyat Hungaria, Republik Rakyat Bulgaria, atau bahkan juga Republik Demokratis Rakyat Korea, dan semacamnya ini lebih berfungsi sebagai buffer states atau negara penghalang seandainya kelak imperialisme kembali menyerbu Uni Soviet. Alih-alih suatu negara sosialis otentik.
Penentangan terhadap konsepsi Stalin utamanya dilakukan oleh Leon Trotsky dan para pendukungnya. Utamanya dengan mengajukan teori revolusi permanen. Trotsky mempertahankan pandangan Bolshevik bahwasanya borjuasi di negara kapitalisme terbelakang akibat terlambat memasuki panggung ekonomi politik, punya karakter kelas yang bimbang, lemah, dan bahkan terikat seribu benang dengan imperialisme. Oleh karena itu kepemimpinan harus dipegang proletar. Bukan hanya kelas buruh di negar kapitalis terbelakang bisa menggulingkan tirani namun juga bisa merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan model soviet. Namun agar revolusi sosialis di negara kapitalisme terbelakang itu berhasil mempertahankan kemenangannya, kelas buruh di negara-negara kapitalis maju juga harus memenangkan revolusi. Dengan demikian bisa mematahkan kepungan imperialis dan rongrongan revolusi serta menggabungkan basis material, utamanya tenaga produksi.
Namun meskipun teori revolusi permanen mempertahankan banyak prinsip revolusioner Bolshevik di hadapan kebijakan neo-Menshevik birokrat Uni Soviet, sayangnya juga mengandung beberapa perbedaan dengan teori revolusi dua tahap tak terinterupsi atau revolusi dua tahap tanpa jeda yang dirumuskan Lenin.Doug Lorimer menjabarkan setidaknya terdapat tiga perbedaan pokok antara Lenin dan Trotsky. Pertama, posisi yang berbeda terhadap kaum tani. Trotsky memandang kaum tani tidak mampu memainkan peran independen maupun menentukan dalam revolusi, dan terombang-ambing antara kelas borjuasi di satu sisi dan kelas buruh di sisi lain. Kedua, begitu revolusi oleh karena itu Trotsky menolak konsepsi kediktatoran demokratik buruh dan tani sembari mengajukan bahwasanya kaum tani akan mendukung kelas buruh berkuasa sehingga kediktatoran proletar juga diisi wakil-wakil revolusioner dari kelas-kelas dan golongan-golongan non-proletar. Ketiga, revolusi permanen memandang bahwa tahap revolusi pertama akan dimulai dari menjalankan tugas-tugas demokratis nasional namun penuntasannya hanya bisa melalui revolusi sosialis.
Namun kenyatannya di Rusia sempat muncul Partiya sotsialistov-revolyutsionerov atau Partai Revolusioner Sosialis, yang merupakan partainya kaum tani, dimana sayap kiri pecahannya bersama partai Bolshevik mengobarkan Revolusi Oktober menggulingkan Pemerintahan Sementara. Jadi tidak benar bahwa kaum tani tidak bisa memainkan peran independen maupun revolusioner. Selain itu Lenin memandang bahwasanya tahapan demokratis nasional harus dituntaskan baru kemudian revolusi dilanjutkan ke tahapan sosialis. Terutama dalam persoalan tanah dan kepentingan tani. Lenin merangkum pendekatan ini dengan ungkapan revolusi demokratis nasional berupa buruh bersama kaum tani secara keseluruhan menggulingkan monarkisme dan sisa feodal lalu berlanjut menjadi revolusi sosialis berupa buruh bersama kaum tani miskin dan buruh tani untuk melawan borjuasi pedesaan. Jadi buruh harus menunggu kontradiksi atau pertentangan kelas di pedesaan matang terlebih dahulu. Karena buruh di negara kapitalisme terbelakang jumlahnya minoritas dibandingkan massa kaum tani yang mayoritas. Oleh karena itu untuk mengobarkan revolusi demokratis nasional, buruh harus beraliansi dengan kaum tani secara keseluruhan, bukan hanya tani miskin dan buruh taninya saja. Meskipun demikian sekali lagi teori revolusi dua tahap tanpa jeda tidak boleh dipandang secara kaku. Lenin mengemukakan, “…upaya membangun Tembok Besar Tiongkok pemisah buatan antara tahapan pertama revolusi dan tahapan keduanya, untuk memisahkan keduanya dengan cara apapun kecuali derajat kesiapan proletar dan derajat persatuannya dengan kaum tani, sama saja dengan memutarbalikkan Marxisme dengan amat sangat, menampilkannya secara kasar, dan menggantikannya dengan liberalisme…” Ini mengapa sehubungan dengan tugas-tugas revolusi demokratis nasional lainnya, Lenin mengarahkan semua kekuasaan untuk Soviet–bukan Duma/parlemen dan majelis konstituen, maupun juga tidak menunggu industrialisasi nasional dan modernisasi selesai.
Selain itu patut digarisbawahi bahwa baik Lenin maupun Trotsky sama-sama memandang dikobarkannya revolusi sosialis bukan berarti langsung diikuti dengan sosialisme sebagai corak produksi. Dalam corak produksi sosialis, bukan hanya kepemilikan privat atas alat produksi semuanya sudah diganti kepemilikan bersama di bawah pengelolaan kekuasaan kelas buruh berbasis demokrasi proletar, namun produksi juga sudah dijalankan dengan skema dari setiap orang sesuai kemampuannya untuk setiap orang sesuai sumbangsihnya, dan itu berarti penghapusan uang sebagai alat tukar. Corak produksi sosialisme murni seperti itu belum bisa langsung dibangun di negara kapitalis terbelakang yang basis materialnya belum cukup. Sehingga mau tidak mau harus menerapkan ekonomi campuran terlebih dahulu.
Oleh karena itu baik teori revolusi dua tahap tak terinterupsi dengan teori revolusi permanen sama-sama mengakui bahwasanya diperlukan tahapan-tahapan dalam revolusi serta perubahan masyarakat tidak bisa langsung melompat mewujudkan corak produksi sosialisme. Namun di luar kedua teori ini dan di luar kelompok Leninis serta Trotskyis, terdapat mereka yang secara ekstrem berpandangan sebaliknya. Mereka yang berpendapat masyarakat sosialis bisa segera diwujudkan setelah revolusi berkobar setidaknya terbagi ke dalam tiga kelompok besar: Komunisme Kiri, Anarkis, dan Khmer Merah.
Faksi Komunis Kiri dalam Partai Buruh Demokratis Sosial Rusia (PBDSR) adalah kelompok yang menolak perlunya menerapkan tahapan-tahapan revolusi di negara kapitalis terbelakang seperti Rusia. Mereka bahkan menolak partisipasi dalam parlemen. Kelak mereka dalam Partai Komunis Rusia (PKR) juga menentang perjanjian damai Brest-Litovsk dan menginginkan revolusi proletar internasional di seluruh dunia. Komunis Kiri dalam PKR mengajukan perang revolusioner melawan negara-negara Poros, dan bahkan menolak hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri.
Sementara itu kaum Anarkis, menghendaki kepemilikan privat atas alat produksi langsung dihapuskan semuanya setelah revolusi dan kolektivisasi atau sosialisasi dijalankan dengan menolak hirarki maupun sentralisasi. Ini berbeda dengan kaum Leninis yang dalam revolusi memprioritaskan perebutan aset-aset strategis, bukan semua alat produksi. Masalahnya bukan hanya basis materialnya tidak cukup namun kebijakan untuk pengambil alihan kekuasaan diperkecil hanya di tingkat lokal-lokal bukannya memunculkan sosialisme melainkan kapitalisme sindikalisme. Suatu bentuk kapitalisme berupa koperasi-koperasi produsen dimana laba akhirnya dibagi rata ke para buruhnya namun berakibat pabriknya, ladangnya, tambangnya, dan alat produksi lainnya yang dikolektivisasi tingkat tempat kerja jadi saling berkompetisi satu sama lain. Sehingga tidak memungkinkan perencanaan nasional atau pembangunan sosialisme sebagai suatu tatanan masyarakat secara menyeluruh.
Khmer Merah atau pengikut Pol Pot lebih parah lagi. Mereka secara ekstrem ingin membangun masyarakat tanpa kelas segera setelah revolusi berkobar. Padahal untuk membangun tatanan masyarakat sosialisme saja diperlukan basis material, termasuk alat produksi dan tenaga produktif, yang lebih banyak dan lebih maju dibandingkan kapitalisme, agar bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Sementara kondisi di Kamboja, banyak pabrik, tambang, rumah sakit, dan alat produksi lainnya hancur lebur dibombardir invasi imperialis AS. Namun Khmer Merah memaksakannya dengan memobilisasi populasi perkotaan ke pedesaan untuk menggarap ladang. Tanpa kecukupan alat dan teknologi pertanian, banyak warga bahkan yang dipaksa menggarap dengan tangan kosong. Lebih parahnya lagi akibat ketiadaan demokrasi proletar, banyak penyiksaan dan pembunuhan dilakukan Khmer Merah terhadap rakyat yang dicurigai. Bukan hanya ambisi Khmer Merah ini utopis namun juga membawa malapetaka luar biasa.
Ditulis oleh Leon Kastayudha | Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Sosialis Muda
Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 100, I-II Desember 2020, dengan judul yang sama.
mantab artikel nya hehe