Pembentukan organisasi dan gerakan revolusioner pembebasan perempuan di Indonesia dilatarbelakangi kebutuhan tumbuh melebihi aktivitas pembekalan keterampilan dan pendidikan perempuan. Dibutuhkan menghubungkan perjuangan kesetaraan serta hak-hak perempuan tidak hanya pada tataran umum seperti hak pilih namun juga tingkat konkret mendasar di akar rumput seperti melawan pernikahan di bawah umur, poligami, maupun kekerasan seksual sekaligus menyambungkannya dengan perjuangan anti-penjajahan/anti-penindasan. Bukan hanya sebagai solidaritas, kesatuan dengan pergerakan rakyat, namun juga akibat adanya ketertindasan bahkan pemiskinan terhadap perempuan pekerja. Demikian dikemukakan mantan Sekretaris Jenderal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), mendiang Sulami, (1992).
Embryo pembentukan gerakan perempuan revolusioner sebenarnya mulai muncul seiring revolusi nasional. Pertama, dengan pembentukan kelompok bersenjata perempuan anti-imperialis seperti Laskar Wanita Indonesia (Laswi), Laskar Putri Indonesia (LPI), dan sebagainya, mempersatukan para perempuan yang terlibat dalam perjuangan bawah anti-fasis melawan Jepang, Barisan Srikandi badan semi-militer di bawah Fujinkai bentukan Jepang yang ketika Kaisar Hirohito menyerah kemudian turut mengorganisir perebutan senjata, amunisi, dan gedung-gedung pemerintahan, maupun perempuan rekrutan-rekrutan baru. Kedua, pengorganisiran perempuan pekerja yang pada dasarnya merupakan gabungan penyikapan isu kelas buruh, isu perempuan, dengan pembebasan nasional, lewat Barisan Buruh Wanita (BBW), yang diprakarsai Umi Sardjono dan S.K. Trimurti, dua sosialis yang terlibat perjuangan anti-fasis Jepang.
BBW ini menjadi sayap perempuan dari Partai Buruh Indonesia (PBI) yang kelak bergabung ke Front Demokrasi Rakjat dan berfusi ke Partai Komunis Indonesia (PKI). PBI bersama dengan Partai Sosialis sebenarnya dipimpin oleh para komunis yang diorganisir Musso untuk perjuangan melawan fasis Jepang. Ketika Musso kembali dan merumuskan dokumen Jalan Baru untuk Republik Indonesia, kelompok Sajap Kiri yang terdiri dari PKI, PBI, PS, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), laskar sekaligus organisasi kaum muda Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), proses fusi PBI dan PS ke PKI dimulai. Meskipun Musso mengkritik kecilnya pengaruh kaum komunis di kalangan perempuan dan PKI tidak memberi porsi besar bagi peran perempuan dalam revolusi, namun Musso sendiri menentang usulan Umi Sardjono dan S.K. Trimurti untuk membentuk satu organisasi perempuan revolusioner. Dalihnya pembentukan organisasi perempuan secara tersendiri bisa melemahkan revolusi. “Bagi saya, alasan tersebut tidak masuk akal,” menurut Umi Sardjono.
Ironisnya, embryo organisasi perempuan revolusioner baru bisa berkembang dan lahir setelah kehancuran FDR dan represi pemerintah terhadap PKI akibat Peristiwa Madiun. Para perempuan sosialis yang selamat dari konflik itu seperti Umi Sardjono dan S.K. Trimurti mendorong pembentukan Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) dengan mempersatukan enam organisasi perempuan. Rukun Putri Indonesia (RUPINDO), Persatuan Wanita Sedar Surabaya, Isteri Sedar Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (GERWINDO), Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia. Enam organisasi perempuan ini berpartisipasi dalam perjuangan pembebasan nasional melawan Imperialis Belanda bahkan sebagian juga sudah jauh terlibat sejak perjuangan anti-fasis Jepang. Semuanya melebur menjadi satu organisasi baru: Gerwis pada 4 Juni 1950. Ini tercermin di susunan para pendirinya. Selain Umi Sardjono dan S.K. Trimurti yang sudah bergabung dalam gerakan bawah tanah bersemangat komunis, ada Salawati Daud walikota perempuan pertama di Indonesia sekaligus memimpin pemerintahan kota Makassar melawan Westerling, dan Tris Metty dari Laswi. Lalu ada Sujinah dan Sulami yang sebelumnya aktif di PPI (Pemuda Puteri Indonesia), organisasi perjuangan sosialis. Ditambah para pendiri lainnya yang aktif dalam mengorganisir dapur umum dan layanan kesehatan selama perjuangan melawan penjajah. Bahkan banyak perempuan yang kembali dari pembuangan di Boven-Digul karena terlibat Pemberontakan PKI 1926 kemudian turut bergabung. Dengan demikian walaupun latarbelakang sosial mereka beranekaragam, termasuk terdapat para perempuan dari keluarga ningrat, namun kiprah perjuangan mereka membuktikan komitmen kerakyatan dan emansipasinya.
Kiprah Gerwis sejak awal sangat tinggi. Gerwis menentang PP 19 yang mengatur pernikahan secara diskriminatif serta memperjuangkan reformasi UU Perkawinan. Mereka juga aktif menolak poligami dan pernikahan anak, termasuk melawan kekerasan seksual. Selain itu Gerwis turut menentang Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menggerus kedaulatan. Lalu Gerwis juga mengecam Peristiwa 17 Oktober 1952 dimana militerisme menuntut pembubaran DPRS. Selain itu Gerwis juga mendukung perjuangan Barisan Tani Indonesia (BTI) membela kaum tani dari perampasan tanah oleh korporat.
Kongres pertama Gerwis digelar Desember 1951 di Jakarta. Suara paling banyak memilih Umi Sarjono sebagai Ketua Umum namun ia mundur dan menyerahkannya ke Suwarti Bintang. Sebagai gantinya, bersama S.K. Trimurti, Umi Sarjono dipilih sebagai Wakil Ketua. Lalu Gerwis mengubah nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang kelak menjadi organisasi massa perempuan yang besar. Namun dalam pembahasan itu, banyak anggota yang tidak sepakat, dikarenakan masih banyak anggota Gerwis yang menganggap bahwa yang dibutuhkan saat itu adalah organisasi yang di dalamnya wanita sedar (sadar) bukan organisasi garis massa. Umi Sardjono menjelaskan bahwasanya desakan perubahan identitas dari Gerwis ke Gerwani mencerminkan kebutuhan memperluas organisasi perempuan ke massa rakyat. Serupa dengan perubahan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi Pemuda Rakyat. Sudjinah, anggota Gerwis sekaligus Pemuda Rakyat, menjelaskan bilamana Gerwis sebelumnya hanya menerima anggota yang sadar, saat berubah jadi Gerwani membuka keanggotaannya bagi semua perempuan berusia 18 tahun atau ke atas. Jadi sebelumnya organisasi merekrut massa yang sadar atau sosialis, dan dengan demikian lebih merupakan organisasi kader dibandingkan organisasi massa. Ini diubah menjadi merekrut massa luas terlebih dahulu baru mendidik, meningkatkan kesadarannya di dalam. Alasannya: “Karena ini negeri agraris, gak bisa progresif, banyak yang terbelakang. Kita bukan negara industri; buruh lebih maju daripada petani. Buruh itu sejak lahirnya sudah dinamis, punya karakter tersendiri yang terus dan harus menghendaki perubahan,” terang Umi Sardjono. Sebelumnya, Umi Sardjono menceritakan, “Kami dianggap sektaris” karena Gerwis hanya menerima anggota dari perempuan sadar, Kiri, dan sosialis. Gerwis cabang Surabaya mengkritik itu dan mengemukakan bahwa kalau Gerwis hanya merekrut perempuan sedar dan sosialis saja maka target peningkatan anggota tidak akan bisa dua kali lipat per tahun. Lebih lanjut Gerwis Surabaya mengutarakan kalau program Gerwis terlalu radikal akan sulit mendapatkan dukungan apalagi basis massa. Meskipun begitu nama Gerwis tetap digunakan karena terjadi kompromi akibat adanya perlawanan dari anggota Gerwis yang tidak sepakat. Pengesahan dan diberlakukannya perkembangan organisasi menjadi Gerwani, akhirnya diterapkan di Kongres Kedua di tahun 1954.
Ditulis oleh Kia Sukma | Anggota Lingkar Studi Sosialis
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 89, III-IV Juni 2020 dengan judul yang sama.
REFERENSI:
Francisca, R.S. (9 Maret 2018). Sang Pemimpin. Diakses dari https://fransiscariasusanti.blogspot.com/2018/03/?view=sidebar.
Purwanti, F. (15 Maret 2001). Pembuka Jalan Gerakan Perempuan. Diakses dari https://historia.id/politik/articles/pembuka-jalan-gerakan-perempuan-PR7A6/page/1 .
Sulami. (1992). Beberapa Pendapat Berdasarkan Pengalaman akan Gerakan Wanita Revolusioner. Diakses dari http://kebumenypkp65.blogspot.com/2010/06/beberapa-pendapat-berdasarkan.html.
Sundari, A. (3 Maret 2016). Kepeloporan Perjuangan Politik Perempuan. Diakses dari http://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/gerwani-dan-kepeloporan-perjuangan-politik-perempuan.
Pelita, P. (19 September 2013). Suldjinah, Sang Pemenang. Diakses dari https://marsinahfm.wordpress.com/2013/09/19/sudjinah-sang-pemenang/.
Comment here