Proyek kolonial pemukim Israel saat ini menghadapi krisis legitimasi yang mendalam, tulis Nick Everett.
Pada 5 Mei, sebuah video tentang seorang tentara okupasi Israel yang berlutut di leher seorang pengunjuk rasa Palestina di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur menjadi viral. Pengunjuk rasa itu terdengar berteriak: “Saya tidak bisa bernapas. Kamu mencekik saya”. Keesokan harinya, dalam protes massal yang diadakan di halaman masjid Al-Aqsa, warga Palestina memegang spanduk bertuliskan “Kami tidak bisa bernapas sejak 1948”. Slogan tersebut telah banyak digunakan di Palestina sejak pembunuhan polisi Minneapolis terhadap George Floyd tahun lalu.
Persamaannya jelas. Pembunuhan polisi memicu kerusuhan dan gelombang protes massal terbesar di Amerika Serikat sejak akhir 1960-an.
Upaya kekerasan yang dilakukan pasukan okupasi Israel untuk mengusir keluarga Palestina dari rumah mereka di Sheikh Jarrah, dan penyerbuan mereka di Al-Aqsa empat kali dalam lima hari selama bulan suci Ramadhan, melukai ratusan demonstran yang mencari perlindungan di dalam masjid, memprovokasi sebuah pemberontakan massal dalam skala yang tidak terlihat sejak pecahnya intifada (“pemberontakan”) kedua Palestina dua dekade lalu.
Tidak siap menghadapi ledakan kemarahan luas rakyat yang telah mengalami puluhan tahun penggusuran, penghancuran rumah, rasisme dan diskriminasi dalam segala bentuknya, Komisaris Polisi Israel Yaakov Shabtai dengan tergesa-gesa memindahkan polisi paramiliter Tepi Barat ke Kota Tua Yerusalem. Namun upaya untuk membubarkan protes Palestina dan menghalangi akses jamaah ke Al-Aqsa secara menakjubkan terbukti tidak berhasil.
Pada 8 Mei, di malam suci Lailatul Qadar, 90.000 warga Palestina menentang blokade jalan polisi untuk mencapai Al-Aqsa. Setelah shalat, banyak yang tetap menunjukkan solidaritas mereka untuk keluarga-keluarga dari Syekh Jarrah yang menghadapi penggusuran. Beberapa di antaranya melakukan konfrontasi dengan merobohkan barikade polisi dan melemparkan batu, sementara polisi berkuda dengan perlengkapan anti huru hara menembaki mereka dengan peluru berlapis karet, gas air mata, meriam air, dan granat kejut.
Pemandangan ini terulang dua hari kemudian ketika 30.000 pemukim Israel bersiap berbaris menuju Gerbang Damaskus (pintu masuk ke Kota Tua Yerusalem). Namun karena adanya rakyat Palestina yang dengan gagah berani mempertahankan kompleks masjid dalam menghadapi serangan para pemukim tersebut, negara apartheid terpaksa mundur secara memalukan.
Pertama, jaksa agung Israel turun tangan menunda keputusan Pengadilan Tinggi yang akan datang mengenai penggusuran di Sheikh Jarrah selama sebulan, karena takut akan munculnya protes internasional. Kedua, atas saran badan-badan intelijen, pasukan okupasi mengalihkan pawai para nasionalis Israel menjauh dari Al-Aqsa dan kemudian membatalkan masuknya mereka melalui Gerbang Damaskus.
Konsesi-konsesi ini tidak mampu memadamkan intifada yang menyusul setelahnya. Dari kamp pengungsi Jabaliya di Gaza, hingga Ramallah di daerah okupasi Tepi Barat dan Nazareth di Palestina (Israel) tahun 1948, protes telah meletus layaknya gunung berapi.
Selama bertahun-tahun, para Zionis tersebut telah menyatakan bahwa di kota-kota “campuran” di Israel, seperti Lydda, Ramleh, Jaffa, Acre dan Haifa, “orang Arab Israel” (Palestina) dan orang Yahudi Israel hidup dalam keadaan “berdampingan secara damai”. Namun tembok memisahkan distrik-distrik orang Palestina yang miskin dari lingkungan orang Yahudi yang kaya. Pasukan Israel mengawasi saat para pemukim menyerang warga Palestina dengan kejam.
Di kota Palestina Umm Al-Fahm, di Israel utara, di Lydda, di Israel tengah, dan di kota Rahat, di Negev, pemuda Palestina membakar kantor polisi hingga rata dan membakar mobil para pemukim, muak dengan diskriminasi dan kebrutalan yang mereka hadapi. Di Lydda, ribuan warga Palestina bergabung dalam protes setelah pemakaman Moussa Hassouneh, yang terbunuh pada 11 Mei. Dia yang dengan berani memanjat tiang lampu untuk mengganti bendera Israel dengan bendera Palestina.
Hassouneh sebelumnya ditembak mati oleh seorang pemukim Israel yang difoto memegang senjata di satu tangan dan bendera Israel di tangan lainnya. Dia awalnya ditangkap karena kejahatan tersebut, tetapi kemudian dibebaskan ketika menteri keamanan dalam negeri, Amir Ohana, menuntut pembebasannya segera, yang dengan tidak benar mengklaim bahwa pembunuhnya bertindak untuk “membela diri” sambil membantu polisi yang bertugas.
Setelah pawai pemakaman berlangsung, kota tersebut ditempatkan dalam keadaan darurat, polisi perbatasan paramiliter Tepi Barat dikirim untuk berkeliaran di jalan-jalan bersama pemukim Israel yang bersenjata lengkap. Seorang anggota sayap kanan-ekstrim Knesset, Itamar Ben Gvir, menyerukan penembakan terhadap setiap pelempar batu di kota. Ben Gvir adalah anggota Partai Zionisme Religius dan sekutu politik Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Pada 12 Mei, di Bat Yam, selatan Tel Aviv, gerombolan pembunuh (lynch mob) orang-orang Israel menyeret seorang pria Arab dari mobilnya dan memukulinya hingga pingsan.
Tindakan kebrutalan yang dilakukan oleh para penjajah Israel, dan keberanian perlawanan yang ditunjukkan oleh Palestina, digambarkan sebagai “kekerasan antar-komunal” di media internasional, yang banyak diasumsikan berakar dari permusuhan agama antara Muslim, Yahudi dan Kristen selama berabad-abad. Membantah narasi kolonialis ini, Sawsan Zaher, wakil direktur jenderal kelompok hak asasi Palestina Adalah, mengatakan kepada Al Jazeera:
“Kami berbicara tentang kekerasan ekstrim pemukim sayap kanan yang terorganisir, oleh para pemukim yang merupakan penduduk di luar kota-kota campuran dan di luar kota-kota Arab, yang mengorganisir melalui media sosial saling memanggil untuk mengatur di mana mereka akan menyerang malam ini dan besok, pada jam berapa , apa yang akan dikenakan, senjata apa yang harus dibawa, dan properti Arab apa yang harus diserang. Mereka didampingi oleh polisi, mereka tiba dengan bus sayap kanan ke kota-kota campuran dengan polisi, dan mereka tidak ditangkap oleh polisi.“
Tindakan penghasutan dan kekerasan ini menunjukkan sikap negara Israel melalui satu-satunya cara yang mereka tahu: melalui kampanye teror yang ekstrem. Pada 13 Mei, Israel memulai pemboman besar-besaran di Gaza yang meratakan seluruh blok apartemen. Dua juta penduduk Palestina yang terkepung tidak punya tempat untuk melarikan diri.
Dalam adegan-adegan yang mengingatkan runtuhnya gedung menara kembar di New York City, pada 11 September 2001, sebuah blok menara yang menampung para pekerja dan penduduk berubah menjadi puing-puing dalam sekejap mata. Lantai teratasnya berisi kantor untuk agensi media internasional, termasuk Al Jazeera. Netanyahu sesumbar setelah meluncurkan serangan tersebut: “Ini baru permulaan. Kami akan menghajar mereka seperti yang tidak pernah mereka impikan sebelumnya”.
Namun, bagi warga Palestina di Gaza, pemboman ini tidak hanya “mungkin”; semuanya sudah terlalu familiar bagi mereka. Pada musim dingin tahun 2008-09, pada tahun 2012, dan sekali lagi pada tahun 2014, serangkaian serangan rudal Israel, beberapa berlangsung selama berminggu-minggu, menewaskan ribuan orang Palestina, termasuk ratusan anak-anak.
Pembantaian itu terulang lagi selama “Marches of Return” 2018, ketika puluhan ribu rakyat Palestina berbaris dengan damai menuju perbatasan Gaza. Pasukan Israel melepaskan tembakan di setiap kesempatan, menembak ribuan warga Palestina, banyak dilakukan di kepala. Korbannya tinggi: 183 tewas, 6.106 luka-luka, dan 136 di antaranya kehilangan anggota tubuh.
Proyek kolonial pemukim Israel saat ini menghadapi krisis legitimasi yang mendalam. Usahanya untuk menyangkal keberadaan orang Palestina dengan membagi mereka menjadi kantong-kantong yang dipisahkan oleh kawat berduri dan tembok menjadi sia-sia. Bahkan Human Rights Watch yang konservatif telah dipaksa mengakui apa yang telah diketahui orang Palestina selama beberapa dekade: bahwa Israel melakukan praktik apartheid.
Di Washington, London, dan Brussel, para politisi dengan berlagak suci menangis dan mendorong perlunya kedua pihak menahan diri. Namun mereka punya banyak kesalahan yang sama. Gedung Putih melaporkan bahwa Presiden AS Biden menelepon Netanyahu untuk menyampaikan “dukungan tak tergoyahkannya untuk keamanan Israel dan hak sah Israel untuk membela dirinya dan rakyatnya, sekaligus melindungi warga sipil”.
Sejak menjabat, Biden sudah menolak membalikkan keputusan pemerintahan Trump untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, sebuah provokasi serius dihadapan rakyat Palestina yang sudah lama melihat Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka.
Pada tahun 2016, Presiden Barack Obama menjanjikan bantuan militer AS senilai $ 38 miliar selama sepuluh tahun, paket bantuan militer terbesar dalam sejarah AS. Biden, seperti Trump sebelumnya, terus menolak seruan untuk membuat bantuan militer AS ke Israel bersyarat. Hari ini “bantuan” tersebut menghujani orang-orang Palestina di Gaza, meninggalkan mayat terkubur di bawah puing-puing.
Di London, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson meminta kedua belah pihak untuk “mundur dari tepi jurang”. Menteri Luar Negeri James Cleverley menyerukan diakhirinya “siklus kekerasan ini” sambil menegaskan bahwa Israel “memiliki hak yang sah untuk membela diri”. Di House of Commons, Cleverley mengulangi klise-klise tentang keinginan Inggris untuk “solusi dua negara”, posisi yang digaungkan oleh juru bicara urusan luar negeri UK Labour, Wayne David. David mendesak pemerintah Inggris “untuk melakukan semua yang bisa dilakukan untuk mencegah konflik lebih lanjut”. Namun tidak ada pihak yang berkomentar tentang penjualan senjata Inggris ke Israel, senilai ratusan juta pound setiap tahun.
Pada 12 Mei, pernyataan media oleh Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne juga menyerukan kepada para pemimpin Israel dan Palestina untuk “menghentikan kekerasan, menahan diri, dan memulihkan ketentraman”. Tidak ada yang menyebutkan negosiasi yang sedang berlangsung antara Israel dan Australia mengenai perjanjian perdagangan bebas. Inti dari negosiasi tersebut adalah fokus pada “keamanan cyber” (spyware), yang memberikan jalan masuk bagi investor Australia ke dalam industri menguntungkan senjata Israel.
Sebagai reaksi atas air mata buaya dan kemunafikan dari para politisi kita, gerakan solidaritas global untuk Palestina membuat suaranya makin terdengar. Protes massal telah berlangsung dari New York hingga Istanbul, London hingga Amman dan Berlin hingga Sydney.
Dalam artikel bulan Januari untuk Middle East Monitor , Dr Amira Abo el-Fetouh mendesak:
“Tidak ada yang akan memberi kami kebebasan; kita harus mengambilnya kembali dari mereka yang merebutnya, seperti yang kita lakukan selama revolusi musim semi Arab. Perjalanan menuju kebebasan ini panjang dan jalan tersebut penuh dengan rintangan, membutuhkan banyak pengorbanan.”
Di Ramallah, Presiden Otoritas Palestina (PA) yang mengangkat dirinya sendiri, Mahmoud Abbas tidak mendengarkan, berjanji untuk kembali melakukan koordinasi keamanan dengan Israel setelah pemilihan Biden. Pemilu Palestina pertama dalam 14 tahun seharusnya menggarisbawahi normalitas baru ini. Namun, menjelang krisis saat ini, Abbas segera membatalkan pemilihan tersebut. Penolakan Israel atas hak orang Palestina di Yerusalem untuk memilih adalah dalihnya; kenyataannya adalah bahwa perpecahan tiga arah dalam faksi Fatah yang berkuasa, dan jajak pendapat yang buruk untuk Abbas, berarti pria berusia 85 tahun itu tidak memiliki prospek untuk mendapatkan mandat untuk memerintah. Menjelaskan kegagalan menyedihkan PA untuk membawa pembebasan menjadi lebih dekat, El-Fetouh menulis:
“Hampir tiga dekade telah berlalu sejak Oslo, dan keadaan orang Palestina sekarang lebih buruk daripada sebelumnya; mereka memiliki lebih sedikit tanah dan bahkan lebih sedikit kesempatan untuk mendirikan negara merdeka. Seruan kebebasan telah keluar dari agenda tersebut selama beberapa dekade. Tak seorang pun di ‘Koordinasi Keamanan’ PA ingin mengakui kegagalan jalur yang mereka pilih, karena mereka semua mendapat manfaat dari delusi itu.”
Hari ini sebuah kebangkitan sedang berlangsung. Rantai penindasan yang telah menahan rakyat Palestina selama beberapa dekade akhirnya putus ketika generasi baru menemukan kekuatan intifada baru yang sedang meningkat seiring dengan gerakan solidaritas pan-Arab dan internasional yang kuat.
Di jalan-jalan Arab, keteguhan dan tekad yang ditunjukkan oleh para pengunjuk rasa di Yerusalem telah diimbangi dengan protes militan yang memandang rezim otoriter terlalu patuh melakukan apa yang Israel tawarkan. Kita juga harus menunjukkan rasa pembangkangan itu. Kita harus menghentikan kota dan tempat kerja kita dan membuat suara kita terdengar. Jangan berhenti sampai Palestina merdeka!
Naskah diambil dari website Red Flag. Dapat diakses melalui Cracks emerge in Israeli apartheid: now is the time to make our voices heard dimuat pada 16 Mei 2021. Diterjemahkan oleh Holy Angela, anggota Lingkar Studi Kerakyatan Kutai Timur.
Comment here